Sehingga apapun bentuknya menceritakan tentang orang lain adalah dilarang bila sesuatu tersebut tidak disenangi olehnya, hal ini dikecualikan oleh para ulama di antaranya oleh Syaikh Muhammad Ibnu Utsaimin dalam Syarah Riyadhus Shalihiin, beliau berkata:
“Ketahuilah bahwa ghibah diperbolehkan demi tujuan yang benar dan syar’i yang tidak mungkin tercapai tujuan tersebut tanpa melakukan ghibah, dan adapun ghibah yang diperbolehkan tersebut ada enam sebab:
- Pertama, seseorang terzhalimi mengadukan kepada pihak yang berwenang dan dia mempunyai pengaruh terhadap orang yang menzhalimi. Hal ini berdasarkan kisah Hindun binti ‘Utbah istri dari Abu Sufyan yang datang kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: bahwa suaminya adalah orang yang kikir atau pelit, dan dia tidak memberi nafkah kepadaku dan anakku yang cukup, lalu beliau bersabda yang artinya, “Ambillah dari hartanya yang cukup untuk menafkahi dirimu dan anakmu tanpa berlebihan.” Dari cerita di atas Hindun mengatakan tentang suaminya bahwa dia kikir kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam karena Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin, dan ini ghibah. Seandainya hal ini dilarang maka tentulah Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam sudah mengingkarinya.
- Kedua, menjadikannya sebagai salah satu cara untuk mengubah sebuah kemungkaran, sehingga tukang maksiat tersebut meninggalkan maksiatnya.
- Ketiga, meminta fatwa dari seorang ‘alim (orang yang berilmu).
- Keempat, memperingatkan seluruh kaum muslimin akan kejahatan seseorang, di antaranya, jarh (melukai) orang-orang yang terjarh dari para perowi hadits (yang dimaksud adalah memberikan sifat tidak adil pada orang yang meriwayatkan hadits yang dianggap berhak menerima sifat tersebut sehingga haditsnya ditolak dan tidak diriwayatkan), Musyawarah dalam pemilihan calon pengantin, ikut serta dalam perdagangan, menitipkan harta, atau mu’amalah. Bila melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir kepada seorang ahlul bid’ah, dan khawatir terjadi perubahan padanya. Pemimpin yang tidak becus dalam kepemimpinannya.
- Kelima, orang yang dengan terang-terangan melakukan sebuah kemaksiatan, seperti terang terangan minum bir.
- Keenam, dengan tujuan mengenal dengan julukan tersebut seperti si pincang, si mata picek/kabur, si bisu, dan lain-lain (dengan sedikit perubahan bahasa dari penerjemah).”
mengadu domba ,
adalah merupakan bagian dari namimah yang telah didefinisikan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih, “Namimah adalah seseorang menukil (mengambil) perkataan manusia dari yang satu ke yang lainnya dengan tujuan merusak hubungan mereka, dan ini termasuk dosa yang besar, dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori dan Muslim juga telah disebutkan orang yang sedang mendapatkan siksaan di alam kuburnya di antaranya adalah karena dia sering menyebar luaskan fitnah antara manusia, yang mana perbuatannya ini menyebabkannya berhak mendapatkan siksaan tersebut.”
Allah berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَهِينٍ هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. yang banyak mencela, yang kesana ke mari menyebar luaskan fitnah.” (QS. Al Qalam: 10,11)
Saya berwasiat kepada diri saya juga ikhwah untuk melihat kembali setiap perkataan yang mungkin mempunyai tujuan memecah belah persaudaraan sesama muslim untuk segera meninggalkannya karena hal ini terkadang tidak disadari, serta bedakanlah antara keinginan memperbaiki keadaan orang yang kita maksud dengan keinginan kita untuk menyingkirkannya dari hadapan kita karena kita tidak suka terhadapnya
Sumber: Ust. Abu Hafsah Subkhan Khadafi, Lc , http://situs.assunnah.web.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar