*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Selasa, 26 Januari 2010

Surah Al Ikhlas

Surat Al Ikhlas adalah salah satu surah yang sangat mulia yang bernilai sebanding dengan sepertiga seluruh surah di Al-Qur’an. Sebagaimana Rasulullah bersabda, yanga artinya ,” Demi Allah yang jiwaku dalam genggaman-Nya, sesungguhnya surah ini sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an “, (Hr Bukhari).
Surah ini adalah ahadiyyatul wujud , keesaan wujud, dimana tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya dan tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Segala maujud yang lain adalah berkembang atau muncul dari wujud hakiki itu dan berkembang dari wujud Dzatiyah itu.

Sehingga ini diartikan sebagai keesaan pelaku. Tiada segala sesuatu selain Dia sebagai pelaku hakiki terhadap wujud alam ini. Inilah akidah yang harus tertanam dalam hati sekaligus penafsiran terhadap wujud semesta.

Lengkah berikutnya dari telah mantapnya pandangan penafsiran ini, maka bersihkan hati dari semua kotoran yang menutupi. Yaitu bersih dari ketergantungan selain kepada Dzat Yang Maha Esa dan Tunggal dengan hakikat wujud dan hakikat pelaku.
Bersih dari segala ketergantungan kepada sesuatu selain wujud Allah, jika ia tidak lepas sama sekali dari perasaan tentang adanya sesuatu. KArena tidak ada hakikat bagi suatu wujud selain wujud Ilahi. Maka , untuk apa hati bergantung pada sesuatu yang tidak ada hakikatnya bagi wujud dan tindakannya.

Karena hati sudah bersih dari perasaan terhadap selain hakikat yang satu, Allah, dan dari kebergantungan kepada selain hakikat ini. Maka saat itu juga bebaslah hamba dari segala ikatan, lepas dari segala belenggu, bebas dari ambisi yang merupakan sumber segala ikatan yang banyak. Serta bebas dari ketakutan yang juga menjadi pokok ikatan yang banyak.


  • Sehingga untuk apa seorang hamba berambisi sedangkan ia tidak kehilangan sesuatupun bila ia telah bertemu Allah?

  • Dan untuk apa seorang hamba merasa takut, sedangkan tidak ada wujud bagi si pelaku kecuali kepunyaan Allah?

Apabila sudah mantap pandangan yang tidak melihat di alam wujud selain hakikat Allah, pandangan ini akan disertai dengan melihat hakikat itu pada semua wujud lain yang bersumber dari hakikat ini.
Ini adalah tingkatan dimana hati melihat kekuasaan Allah berada pada segala sesuatu yang dilihatnya.Dibalik itu terdapat tingkatan dimana ia tidak melihat sesuatu di alam ini kecuali Allah, karena ia tidak melihat sesuatu hakikat di sana kecuali hakikat Allah.
Oleh karena itulah, Al-Qur’an menjauhkan sebab-sebab lahir dan menghubungkan semua urusan secara langsung kepada kehendak Allah.

Dengan menjauhkan semua sebab lahiriah dan mengembalikan segala urusan kepada kehendak Allah, maka akan tercapai ketentraman didalam hati sanubari.
Sehingga tahulah seorang hamba arah dan tujuan satu-satunya untuk mendapatkan apa yang diinginkan di sisi-Nya dan menjauhkan segala yang ditakuti, juga untuk menenangkan dan memantapkan hati didalam menghadapi akibat-akibat , pengaruh-pengaruh, dan sebab-sebab lahiriah yang tida ada hakikat dan wujudnya.

“Adapun makna bahwa Allah Maha Esa adalah bahwa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu di alam semsta ini.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia”. Al-Qur’an menyebutkan perincian-perincian ini adalah untuk menambah kemantapan dan kejelasan.

اﷲ الصمد
Makna Ash-shamad , secara bahasa diartikan sebagai tuan yang dituju yang suatu perkara tidak akan terlaksana kecuali dengan ijinnya. Allah SWT adalah Tuan yang tidak ada tuan yang sebenarnya selain Dia.
Allah adalah Maha Esa didalam uluhiyyah-Nya dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah hamba bagi-Nya. Hanya Dia-lah satu-satunya yang dituju untuk memenuhi segala hajat makhluk. Hanya Dia satu-satunya yang dapat mengabulkan keinginan orang-orang yang berkebutuhan. Sifat ini merupakan aktualisai dari keberadaan-Nya Yang Maha Tunggal dan Maha Esa.

لم يلد ولم يلد
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Maka hakikat Allah itu tetap , abdai dan azali. Dia tidak akan berubah-ubah menyesuaikan dengan situasi maupun kondisi. Sifatnya adalah sempurna dan mutlak dalam semua keberadaan.


ولم يكن له كفوا أحد
Tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. Yaitu tidak ada yang sebanding dan setara dengan Allah, baik dalam hakikat wujudnya maupun dalam hakikat efektifitasnya, dan tidak juga dalam sifat dzatiyah manapun. Ini merupakan perwujudan bahwa Dia adalah “Ahad” “ Maha Esa”, sekaligus penegasan dan penjabaran. Sifat ini meniadakan akidah dualism seperti yang dianut bangsa Persia maupun kawasan selatan jazirah Arab pada saat jaman Rasulullah SAW, yang meyakini ada penguasa cahaya dan penguasa kegelapan.
Sauadraku, surah ini adalah surat sebagai dasar penetapan dan pemantapan akidah tauhid Islam.

Allahu a'lam
Sumber : Ash-shohwah, dari Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Syaikh Sayyid Qutb



Hiburan yang menentramkan

Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Dan dijadikan penyejuk hatiku dalam shalat ,” (Hr Ahmad dan an – Nasai dari Anas). Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Wahai Bilal ! Kumandangkan iqamat untuk shalat. Karena dengan shalat itu hati kita menjadi tenang, “(Hr Ahmad dan Abu Dawud ).
Hal ini menunjukkan bahwa hati beliau tidak tenang kecuali saat mengerjakan shalat, sebagaimana seorang hamba sedang jatuh cinta, yang hatinya menjadi tenang saat bertemu dengan kekasihnya. Atau orang yang takut hatinya menjadi tenang dengan masuk ke tempat yang aman.

Shalat adalah hiburan yang sebenarnya dalam hidup kita. Dikala shalat , hati seorang hamba bisa terlepas dari segala permasalahan yang mencengkeramnya.

Shalat adalah ketenangan yang didapatkan ketika memasuki tempat yang membuat seorang hamba merasa lebih tenang daripada tempat sebelumnya. Semoga kita bisa merasakan sebagaimana yang telah dirasakan Rasulullah. Yaitu perasaan bahagia dan penuh kedamaian , seperti yang disabdakan dalam haditsnya, yang artinya ,” Kebahagiaan hatiku tercipta dalam shalat “.

Shuhaib meriwayatkan dari Rasulullah bahwa amalan para Nabi Allah adalah melaksanakan shalat setiap menghadapi kesusahan.
Sahabat Abu Darda berkata, bahwa ‘jika terjadi angin topan, maka Rasulullah saw segera masuk ke masjid dan tidak akan keluar sehingga angin itu berhenti. Begitu juga apabila terjadi gerhana matahari atau bulan maka Rasulullah saw segera melaksanakan shalat ‘.

Saudaraku, sungguh shalat adalah kenikmatan yang sering terlupakan. Kadangkala kita tidak menyadarinya, sehingga kita terhalang dari kenikmatan itu sendiri.
Padahal shalat adalah kenikmatan yang sempurna pada diri seorang hamba. Bagaimana tidak, pada saat shalat, pada saat itulah kita menghadap kepada Allah, disaat itulah kita memuji-Nya, meminta belas kasih-Nya , pada saat itulah kita memohon ampunan-Nya, dan pada saat itu jugalah kita bisa berkeluh kesah menumpahkan segala persoalan yang menghimpit kita kepada-Nya.

Shalat adalah rahmat Allah yang sungguh luas. Maka apabila seorang hamba yang melaksanakan shalat ketika sedang mengalami kesusahan yang luar biasa , berarti ia segera menuju kepada rahmat Allah. Dan apabila rahmat Allah datang menghampiri dan menolongnya dari kesusahan, maka kesusahan apa lagi yang tersisa?

Adapun orang yang berlebih-lebihan dalam berbicara, melakukan perbuatan dosa dst …. akan mustahil merasakan khusyu’ dan kedamaian. Perbuatan maksiat akan mengeraskan hati , walau kadang disaat lain mereka mengerjakan shalat untuk menanti mukjizat, sementara fisiknya masih menzalimi orang lain.

Berapa banyak hamba-hamba terhalang untuk mendirikan shalat bahkan ingkar terhadapnya ? Berapa banyak hamba-hamba yang tidak pernah tahu kelezatan shalat? Mereka sungguh telah kehilangan rahmat Allah.

Syaikh sa’id Hawa menjelaskan kenapa shalat dan sabar sangat tepat untuk dijadikan sarana meraih pertolongan Allah.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam firman Allah, yang artinya ,” Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya (yang demikian itu) sulit , kecuali bagi orang-orang yang khusyu. (Yaitu) orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhan-nya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya “ , (Qs. Al-Baqarah : 45).

Ya Allah, hamba adalah orang yang takut dan meminta perlindungan. Hamba adalah seorang fakir yang meminta-minta. Oleh karena itu , karuniai aku dengan rizki-Mu. Ya Allah
Aku bukanlah pendosa yang meminta maaf atau orang yang memiliki kekuatan dan meminta pertolongan. Akan tetapi hamba , hanyalah seorang pendosa yang meminta ampunan.

Kesabaran dapat mendatangkan berbagai kebaikan, sedangkan shalat mencegah dari perbuatan keji dan munkar, disamping tentu saja shalat dapat memberikan ketenangan dan kedamaian hati.

Saudaraku, mengapa kita harus mencari beraneka hiburan untuk mengobati kepenatan aktivitas kehidupan sehari-hari. Bukankah Allah telah menyediakan sarana yang sungguh indah bagi hamba-hamba-Nya yang beriman.

Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Shalat adalah sebaik-baiknya amalan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya “ ,(Hr Muslim).

Allahu a’lam
Sumber : Awwal Marrah ‘Ushalli : wa kana li al-shalat tha’mun akhar , Dr Khlaid abu Syadi.
Catatan :
1. Hr Ahmad dan an – Nasai dari Anas, shahih sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami’ 3124
2. Hr Ahmad dan Abu Dawud dari seseorang, hadits shahih sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami’ ,7892)



Tidak membanggakan diri

Ketika seseorang menganggap dirinya besar, maka sesungguhnya justru ia makin kecil disisi Rabb-nya. Membanggakan diri sendiri (prestasi diri), akan menghapus amal kebaikan-kebaikannya walau telah dilakukannya dengan keikhlasan. Sebagaimana Firman Allah, yang artinya ,” Maka masukilah pintu-pintu neraka jahanam, kalian kekal didalamnya. Maka amat buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri “. (Qs. An-Nahl : 29).
Rasulullah saw bersabda ,yang artinya ,” Tidaklah seseorang menganggap besar dirinya sendiri, berjalan sambil menyombongkan diri kecuali ia akan bertemu Allah sedangkan Allah murka terhadapnya,” (Shohibul jami’ al-Shoghir 5711).

Saudaraku, dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah ada dua macam , yaitu takabur dan ambisi. Takabur adalah dosa yang pertama kali dilakukan iblis terlaknat, karena menganggap dirinya lebih hebat dari Adam.
Sedangkan dosa Adam as adalah ambisi dan syahwat. Namun Adam as me-nyesalinya dan memohon ampunan serta bertaubat, sehingga Allah memberi hidayah padanya .
Sedangkan iblis tidak menyesal atas perbuatannya, sehingga ia akan terjerumus kedalam neraka bersama orang-orang dibelakangnya yang dalam hatinya tertanam kesombongan diri, kebanggaan diri.

Sebuah penggambaran , yang harus kita waspadai dalam diri kita. Janganlah kita memandang hebat diri, selanjutnya merasa memiliki kemampuan dan kelebihan diatas orang lain. Bila perasaan ini menghinggapi diri , maka akan menjadikan seseorang sering membicarakan dirinya sendiri, marah akan kritikan orang lain, menganggap besar atas apa yang dilakukannya. Maka saat itulah kita sudah berperilaku sebagaimana yang dilakukan iblis dahulu.

Akibat selanjutnya adalah hal itu akan menghalangi seseorang terhadap keikhlasan-nya. Seseorang yang menyandarkan keberhasilan dirinya karena kemampuan dirinya semata, maka dia justru makin menjauhkan dirinya dengan Allah.
Rasulullah sering mengingatkan umatnya untuk berhati-hati dari perasaan membanggakan diri. Sebagaimana sabda-nya , yang artinya ,” Kalau sekiranya kalian tidak pernah berdosa, sungguh yang aku takutkan atas kalian sesuatu yang lebih besar dari itu : Ujub…ujub …”. (hadits hasan, dari kitab Shohibul jami’ 5303, Silsilah shohibah 658).

Ibnul Qoyyim al-Jauziyah dalam Tahzib Madarik Al-Sholihin, menyatakan , bahwa,


  • ‘jika engkau tidur pada malam hari, lalu engkau bangun pada pagi harinya dengan penuh penyesalan, itu lebih baik bagimu daripada engkau bangun lalu shalat qiyamullail dan pada pagi harinya engkau bangga dengan hal itu.

  • Jika engkau tertawa sedangkan dalam hati engkau mengakui kesalahan dan dosamu, itu lebih baik dari pada engkau menangis dan engkau ingin menunjukkan bahwa engkau menangis.

  • Seseorang yang merintih karena dosa lebih dicintai Allah daripada orang bersuara keras bertasbih karena ingin menunjukkan bahwa ia sedang bertasbih ‘.

Para sahabat dan salfusshalih yang merupakan generasi terbaik islam , sangat menghindari membanggakan diri dan justru mengatakan sebaliknya. Sebagaimana perkataan Abu Bakar ra, ketika diangkat sebagai khalifah, bahawa ‘aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian sedangkan aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Padahal kita mengetahui bahwa Abu Bakar adalah orang terbaik setelah Rasulullah.

Saudaraku, sungguh sangat tidak layak kita membanggakan diri. Sebagaimana hadits dari Iyadh bin Himar dalam shahih Muslim, bahwa dia berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang atinya ,” Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati, hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap orang lain, dan seseorang tidak berbuat aniaya terhadap orang lain”

Ibnu Atha’ berkata ‘ rendah hati artinya mau menerima kebenaran dari siapapun. Kemuliaan ada dalam rendah hati. Maka siapa pun yang mencarinya dalam ke-sombongan , berarti dia bagaikan mencari air dalam kobaran api’.

Semoga Allah memberi haidayah kepada kita untuk dapat menghindari sifat-sifat membanggakan diri.

Allahu a’lam
Sumber : Madarijus Salikin, Ash shohwah, H Zulhamdi M Saad Lc.



Senin, 25 Januari 2010

Fokus

Fokus pada satu tujuan, ini adalah kunci rahasia keseluruhan. Tingkat keberhasilan seseorang ditentukan oleh kemampuannya memusatkan kekuatan mental dalam mencapai sasaran. Setiap orang mempunyai kekuatan meraih keberhasilan yang besar di wilayah yang dikehendakinya. Akan tetapi dia tak dapat menggunakan kekuatannya dengan cara sekali serang. Kekuatannya terbagi, terpencar dan tak sanggup menembus rintangan yang kuat.

Fokus dalam satu tujuan menuntut kita memusatkan diri sekuat mungkin guna mewujudkan segenap impian kita. Seseorangyang telah fokus dalam satu tujuan tak perlu membuang energi untuk sesuatu yang lain yang tak bermakna. Misalnya cemas dalam menanggapi tanggapan orang lain tentang dirinya, atau terlalu berlebihan dalam menyusun anggapan baik terhadao dirinya sendiri. Mengapa kita harus banyak membuang energi lantaran memendam perasaan-perasaan semacam ini.

Pikiran yang terpusat fokus dalam satu tujuan, merupakan alat penghancur efektif halangan-rintangan kearah tujuan. Jangan mengulur-ulur waktu sehingga terbuang percuma. Jangan menunggu keringnya sungai untuk bisa menyebarang. Usaha anda yang disertai konsentrasi akan membuang rasa bimbang anda.

Agar bisa mewujudkan keinginan lebih cepat tercapai. Maka kita harus memahami keinginan kita. Ketika sebuah keinginan muncul, maka akan segera diikuti respon atas keinginan tersebut. Anda akan breaksi dalam dua pilihan, bahwa anda yakin akan mewujudkan keinginan itu atau yakin akan gagal.

Seorang alim , Abu Bakr bin Thahir menyatakan, bahwa ‘Pengetahuan datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam kayakinan tidak ada keraguan sama sekali.’
Sedangkan Abu Sa’id Al-Kharraz menjelaskan, bahwa ‘Pengetahuan adalah apa yang membuatmu dapat bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.’

Pandangan seperti ini akan berdampak luas niat untuk mewujudkan keinginan. Bereaksi secara positif dan keyakinan, bagaikan melepas anak panah dari busur, dan membiarkannya melesat menuju sasaran. Reaksi ini, memunculkan energy alami misalnya imajinasi, ketekunan dan harapan.

Namun respon yang negatif akan menghadirkan ketegangan, seperti pemanah yang ragu apakah akan melepaskan anak panahnya.

Saudaraku, kita perlu memahami keinginan kita agar kita segera bisa mewujudkan-nya. Ini akan membantu kita menilai apa saja yang benar-benar kita inginkan dan bagian mana yang tidak terlalu kita inginkan.
Kita tidak menginginkan sesuatu karena nilai yang dimilikinya. Dan kita menilai sesuatu karena kita menginginkannya.
Yakinlah apa yang benar-benar kita inginkan adalah juga yang terbaik buat kita.

Allhu a'lam

Sumber : Secret of mental magig, Vernon Howard.


Obat kehidupan

Ibnu Qayyim membari nasihat, bahwa jika manusia itu tidak pernah mendapat cobaan dengan sakit dan kepedihan, maka ia akan menjadi manusia ujub dan takabur. Hatinya menjadi kasar dan beku. Sehingga, musibah dalam bentuk apapun adalah rahmat Allah yang disiramkan kepada hamba-Nya. Akan membersihkan kotoran jiwanya. Itulah obat dan penawar kehidupan yang diberikan Allah untuk hamba beriman. Ketika ia menjadi bersih dan suci karena penyakitnya, maka martabatnya diangkat dan jiwanya dimuliakan. Pahalanyapun berlimpah apabila penyakit (musibah) yang menimpa dirinya diterimanya dengan sabar dan ridha.
Saudaraku , jika seseorang kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampui batas. Namun apabila ia ditimpa sakit, sehingga banyak hal yang tidak bisa ia lakukan lagi. Disaat itulah timbul kesadaran dalam dirinya, bahwa hanya Allah-lah tempat ia berkeluh kesah.

Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya , “ Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri, tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia akan banyak berdoa ,” (Qs. Fushilat : 51).
Musibah yang menimpa dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlash dalam memohon kepada-Nya.
Dengan makin mendekatkan diri kepada-Nya , maka seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang bahkan terasa lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita.

Sebagaimana dilakukan Nabi Ayyub as yang berdoa sebagaimana dikisahkan didalam Al-Qur’an, yang artinya ,” Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabb-nya, “ Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang ,” (Qs. Al-Anbiyaa : 83).
Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Allah menurunkan cobaan kepada hambanya, supaya hamba itu memanjatkan doa dengan sebab bala’ itu.

Musibah atau penyakit akan memunculkan ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Seorang hamba menjadi istiqomah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah, menjauhkan dirinya dari kesesatan. Melakukan Taubatan nasuha, lebih banyak berbuat kebajikan, dimana kesemua itu tidak muncul sebelum ditimpa penyakit. Maka sakit (musibah) yang dapat memunculkan ketaatan-ketaatan baru , pada hakekatnya adalah kenikmatan bagi hamba itu.

Dan ini berarti Allah membarikan kebaikan bagi hambanya. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah bersabda, yanga artinya, “ Barang siapa yang dikehandaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya".
Bukankah bisa dikatakan bahwa musibah merupakan salah satu indikasi bahwa Allah SWT bermaksud memberikan kebaikan kepada hamba-Nya untuk kembali me-nempuh jalan yang diridhai-Nya, dengan syarat hamba tersebut menerima dengan kesabaran dan ketaqwaan.

Saudaraku, seorang hamba yang sedang tertimpa musibah, tentunya tidak lagi dapat menjalankan ketaatan sebaik atau sekuat waktu sehat (waktu normal).
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abdullah bin Amr bawa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Tidak seorangpun yang ditimpabala’ pada jasadnya melainkan Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman, “ Tulislah untuk hamba-Ku siang dan malam amal shalih yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian dengan-Ku,”.
Saudaraku, karena sekaitnya , maka seorang hamba terhalang dari melakukan amalan yang biasa ia lakukan selama ia sehat, maka itu tidak menghalangi mengalirnya pahala walaupun ia tidak sanggup melakukan dikala sakit. Sepanjang hamba tersebut masih dalam niat melakukan kebaikan tersebut.

Saudaraku, jika seseorang hamba selalu dalam keadaan sehat , maka ia tak akan mengetahui betapa besar nikmatnya sehat.
Saudaraku, bila tidak ada ujian, maka tidak akan nampak keutamaan dari sifat kesabaran. Kesabaran akan memunculkan sebaga macam kebaikan, namun bila kesabaran hilang maka hilang pula segala kebaikan yang menyertainya.

Semoga Allah memberi hidayah kesabaran kepada kita ,

Allahu a’lam
Sumber : Ash Shohwah.


Saat pintu langit terbuka

Saat pintu-pintu langit terbuka ini merupakan salah satu dari waktu mulia yang dianjurkan untuk berdoa didalamnya sebagaimana perkataan Abu Hurairah, bahwa ”Sesungguhnya pintu-pintu langit terbuka saat barisan (kaum muslimin) yang berjihad di jalan Allah melakukan penyerangan, ketika turun hujan lebat, ketika iqomat untuk melaksanakan shalat wajib maka raihlah keberuntungan didalamnya dengan berdoa.” (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 7163)

Adapun tentang dimana kedudukan lapisan langit yang sebenarnya maka hanya Allah lah yang mengetahuinya namun jika kita melihat arti dari langit atau sama’ didalam bahasa arabnya, menurut az Zajjaj bahwa makna sama (langit) secara bahasa adalah segala sesuatu yang tinggi dan berada diatas dan setiap atap adalah langit. Dari sini bisa dikatakan bahwa awan adalah langit karena ia berada tinggi diatas. langit adalah segala sesuatu yang ada diatasmu dan menaungimu. (Lisan al Arab juz XIV hal 397)

Adapun waktu-waktu yang dibukakan pintu langit didalamnya adalah :
1. Sebelum zhuhur
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka hingga tergelincir matahari dan tidaklah tertutup hingga shalat zhuhur maka aku ingin saat itu yang naik bagiku adalah suatu kebaikan.” (Shahih at Targhib, 584)

2. Saat melaksanakan shalat sunnah qobliyah zhuhur
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Empat rakaat sebelum zhuhur tanpa salam diantara rakaat-rakaatnya maka terbukalah pintu-pintu langit.” (Shahih al Jami, 885)

3. Saat berkumandang adzan
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Apabila seorang muadzin mengumandangkan adzan maka terbukalah pintu-pintu langit dan dikabulkanlah doa.” (shahih al Jami’ 803)

4. Tatkala menanti dua shalat
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Bergembiralah kalian, Ini adalah Tuhan kalian sungguh Dia swt telah membuka satu pintu dari pintu-pintu langit dan membanggakan kalian dihadapan para malaikat dengan mengatakan,’Kalian lihatlah hamba-hamba-Ku, mereka telah menyelesaikan suatu kewajibannya dan menanti kewajiban yang lainnya.” (ash Shaihah 661, sunan Ibnu Majah 850)

5. Di tengah malam
Berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Pintu-pintu langit dibuka pada saat tengah malam lalu ada suara yang memanggil,’Apakah ada orang yang berdoa? Lalu orang itu pun dikabulkan. Apakah ada orang yang meminta? Lalu orang itu pun diberikan. Apakah ada orang yang dalam kesulitan? Lalu orang itu pun dilapangkan.” (Shahih al Jami’ 376)

6. Saat berdoa dengan mengucapkan Allahu Akbar Kabiron Walhamdulillah Katsiron Wa Subhanallahu Bukarotan Wa Ashilan.
Ketika kami melaksanakan shalat bersama Rasulullah saw, lalu ada seseorang yang mengatakan,”Allahu Akbar Kabiron Wal hamdulillah Katsiron Wa Subhanallahu Bukrotan wa Ashilan.”
Lalu Rasulullah saw bersabda,”Siapakah yang mengatakan kalimat ini dan itu.’ Lalu orang itu berkata,’Saya wahai Rasulullah saw.’ Beliau bersabda,”Aku tertegun dengannya dan pintu-pintu langit pun terbuka.’ Ibnu Umar berkata,’Aku pun tidak pernah meninggalkan kalimat-kalimat itu sejak mendengar sabda Rasulullah itu.” (Shahih Muslim)— http://www.5reeef.com


Yang jelas bahwa Allah swt telah memberitahukan bahwa lapisan langit ini sebagaimana lapisan bumi berjumlah tujuh,
Sebagaiman didalam firman-Nya :
Artinya : “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” (QS. Ath Thalaq : 12)


Dan jarak antara satu langit dengan langit yang lainnya mencapai lima ratus tahun, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairoh,”Sesungguhnya antara satu langit dengan langit yang lainnya berjarak lima ratus tahun, dan sesungguhnya bangunan setiap langit sama seperti itu. Dan antara satu bumi dengan bumi yang lainnya berjarak lima ratus tahun.”

Diriwayatkan pula oleh Ishaq bin Rohuwaih dan al Bazzar dari hadits Abu Dzar serupa dengan itu,”Antara setiap langit dengan langit yang lainnya berjarak tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua tahun.”
Kedua hadits tersebut dapat digabungkan yang berarti bahwa perbedaan jarak diantara keduanya adalah tergantung dari cepat atau lambat perjalanannya. (Fathul Bari juz VI hal 317)

Wallahu A’lam

Sumber : Eramuslim


Minggu, 24 Januari 2010

Zuhud

Dari Abu Khallad, bahwa Nabi SAw bersabda, “Apabila kalian melihat seseorang yang telah dianugerahi zuhud berkenaan dunia dan ucapan, maka dekatilah dia, karena dia dialiri kebijaksanaan.”
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,” Zuhudlah terhadap yang ada didunia , maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap yang ada disisi manusia, maka manusiapun akan mencintaimu.” (Hr Ibn Majah, Tabrani, Ibn Hibban dan al-Hakim).
Yahya Ibn Mu’adz berkata, ‘Seseorang akan mencapai zuhud yang sebenar-benarnya apabila dia punya sifat-sifat ini: berbuat tanpa disertai keterikatan, berbicara tanpa disertai nafsu, dan kemuliaan tanpa adanya kekuasaan ke atas orang lain.’
Lantas apa zuhud itu?

Abu Idris Al Khaulani berkata, bahwa zuhud terhadap dunia bukanlah mengharam-kan yang halal dan membuang harta. Zuhud disini adalah meyakini apa yang ada di sisi Allah daripada apa yanga da di tangan kita. Dan jika kita ditimpa musibah, maka kita berharap untuk mendapatkan pahala. Dan ketika musibah sedang menimpa kita, maka kita pun masih berharap menambah dan meyimpan pahala.

Zuhud bukan meninggalkan harta atau menolak segala kenikamatan kehidupan, dan mengharamkan yang halal. Namun pada saat yang sama kita jangan tertipu oleh dunia. Abu Bakar dalam doanya, berkata ‘Ya Allah, jadikanlah dunia ditangan kami, bukan di hati kami’.
Saudaraku, apakah kita bisa mencapai Zuhud ?


  1. Menurut Yahya bin Yazid, bahwa tanda zuhud adalah dermawan dengan yang ada.

  2. Sufyan ats Tsauri berkata bahwa zuhud adalah pendeknya angan-angan. ‘Zuhud terhadap dunia adalah mengurangi keinginan untuk memperoleh dunia, bukan memakan makanan kasar atau mengenakan jubah dari kain kasar.’

  3. Imam Al-Ghazali menyebutkan ada 3 tanda zuhud, yaitu :
    a. tidak bergembira dengan apa yang ada dan tidak bersedih karena ada yang hilang (di genggamannya).
    b. Sama saja disisinya orang yang mencelanya maupun yang memujinya (baik terkait dengan harta maupun kedudukan).
    c. Senantiasa bersama Allah dan hatinya terikat dengan lezatnya ketaatan

Sebagian ulama mengatakan, ‘Apabila seorang hamba membelanjakan harta dalam kepatuhan, bersabar, dan tidak mengeluh kepada apa yang dilarang oleh syariah untuk dia lakukan dalam kesulitan hidup, maka adalah lebih baik baginya bersikap zuhud terhadap hal-hal yang dihalalkan.’

Sebagian yang lain berpendapat, “Adalah tepat bagi seorang hamba memutuskan untuk tidak bersikap zuhud dengan sengaja terhadap hal-hal yang halal, tidak pula berusaha memenuhi keperluan-keperluan secara berlebihan, kerana menyedari rezeki yang diberikan oleh Allah. Apabila Allah SWT menentukan dia berada pada batas hidup sederhana, maka dia hendaknya tidak memaksakan diri mencari kemewahan, kerana kesabaran merupakan sesuatu paling utama bagi pemilik harta yang halal.

Sebagaimana Firman Allah, yang artinya, “ Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian ini mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri”.(Qs. Al-Hadid: 22-23)


Junaid mengajarkan, ‘Zuhud adalah begini: Hati kosong dari sesuatu yang tangan tidak memilikinya.’

Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, ‘Zuhud adalah menjauhkan diri dari apa pun yang memalingkan anda dari Allah SWT.’

Abu Hafs mengatakan, ‘Tidak ada zuhud kecuali dalam hal-hal yang halal.’

Abu Utsman mengatakan, ‘Allah SWT memberi seorang zahid sesuatu lebih daripada yang dia inginkan, dan Dia memberikan sesuatu kepada hamba yang dicintai-Nya kurang dari yang dia inginkan, dan Dia memberi hamba yang takut sebanyak yang benar-benar diinginkan.’

Muhammad Ibn Al-Fadhl mengatakan, ‘Kedermawanan kaum pecinta adalah pada waktu mereka berkecukupan, dan kedermawanan kaum pembela adalah pada waktu yang sangat diperlukan.’

Dikatakan, ‘Manakala seorang hamba menjauhkan diri dari dunia, maka Allah SWT mempercayakan dirinya kepada malaikat yang menanamkan kebijaksaan di dalam hatinya.’

Ahmad Ibn Hanbal memberikan penjelasan, ‘Ada 3 macam zuhud: bersumpah menjauhi hal yang haram adalah zuhud kaum awam, bersumpah menjauhi berlebihan dalam hal-hal yang halal adalah zuhud kaum terpilih, dan bersumpah menjauhi apa pun yang mengalihkan sang hamba dari Allah SWT adalah zuhud kaum arif.’

Kaitan zuhud ada enam macam. Seorang hamba belum layak disebut zuhud kecuali menghindari enam macam, yaitu harta, rupa, kekuasaan, manusia , nafsu dan hal-hal lain selain Allah. Bukan maksudnya menolak hak milik. Nabi Sulaiman dan Nabi Daud adalah orang yang paling zuhu dizamannya, tetap dua nabi Allah ini memiliki harta, kekuasaan, istri-istri yang tidak dimiliki oleh orang selain mereka. Rasulullah Muhammad SAW adalah orang paling zuhud, tetapi beliau mempunyai sembilan istri. Para sahabat adalah orang-orang yang paling zuhud, banyak diantara mereka yang kaya raya

Saudaraku, dapat dikatakan zuhud, adalah menyeimbangkan keadaaan saat dia mendapatkan sesuatu dan saat meninggalkan sesuatu , atau yang dilakukannya dalam kedudukan yang sama.
Seorang hamba tetap zuhud saat mengambil keduniaan dan tetap zuhud saat meninggalkannya, sebab hasratnya untuk meraih ridha Allah lebih tinggi dari sekedar mengambil/ menerima dan meninggalkannya.


Allahu a'lam

Sumber : Ar-Risalah Imam Qusyairi, Madarijus Salikin



Selasa, 19 Januari 2010

Jud wa sakha’,kemurahan hati

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya , “Orang-orang yang pemurah dekat dengan Allah SWT, dekat dengan manusia, dekat dengan syurga, dan jauh dari neraka. Orang yang pemurah sekalipun jahil lebih disukai oleh Allah daripada orang yang gemar beribadat tetapi kikir.”
Inti kemurahan hati adalah bahawa dalam mengorbankan sesuatu, orang tidak merasakan perasaan tertekan. Orang yang mengutamakan orang lain berarti meninggalkan apa yang sebenarnya dia perlukan , dinamakan sebagai Itsar

Kebalikan dari Itsar adalah kikir, yaitu orangyang menginginkan apa yang tidak ada di tangannya, dan apabila sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia berat untuk mengeluarkannya.

Dikalangan sufi, sakha’ yaitu seseorang yang memberikan setengah dari hartanya dan menahan setengahnya lagi untuk dirinya meperlihatkan sifat sakha’. Ini merupakan langkagh pertama dari kemurahan hati.
Langkah berikutnya adalah jud, yaitu seseorang yang memberikan sebahagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit untuk dirinya sendiri..
Selajutnya memberikan tanpa mementingkan diri sendiri. Dimana seseorang yang masih berada dalam keadaan sangat memerlukan tetapi masih mengutamakan keperluan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya sedikit, memperlihatkan sebagai sifat itsar (mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.)

Asma’ binti Kharijah mengatakan, “Aku tidak mau menolak seseorang yang datang meminta kepadaku.
- Jika dia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga kehormatannya.
- Jika dia seorang bawahan, dia membuatku mampu menjaga kehormatanku sendiri.”

Ketika seseorang dari Manbij bertemu dengan orang dari Madinah, berkata dia kepada orang Madinah tersebut, "Seorang laki-laki dari kota anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang kepada kami dan membuat kami kaya raya.”
Orang Madinah itu bertanya, “Bagaimana mungkin? Dia datang kepada anda tanpa membawa apa-apa selain sehelai jubah bulu domba pada tubuhnya!”
Orang Manbij itu menjawab, "Dia tidak menjadikan kami kaya harta, namun dia mengajarkan kepada kami tentang kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami tidak lagi merasa miskin.”

Dikatakan, “Kemurahan hati berarrti bertindak pada saat munculnya kecenderungan yang pertama. Saya mendengar salah seorang sahabat Abul Hasan al-Bunsyanji menuturkan, “Abul Hasan Al-Bunsyanji sedang berada di dalam tenda. Dia memanggil salah seorang muridnya dan memerintahkan , “Ambillah baju ini dariku dan berikannya kepada si fulan.”
Seseorang bertanya kepadanya, “Tidak dapatkah anda menunggu sampai anda keluar dari tenda?”
Dia menjawab, “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah fikiran dan tidak jadi memberikan baju itu.”

Diceritakan bahawa Abdullah bin Jaafar pergi menengok salah satu kebunnya di suatu daerah. Di tengah perjalanan, dia berhenti di sebuah kebun kurma di mana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke kebun itu dan mendatanginya.
Budak itu lalu melemparkan sepotong roti dan sepotong lagi roti kepada anjing itu, yang terus memakannya.
Abdullah bin Jaafar, yang melihat hal itu, bertanya kepada si budak, “Wahai fulan, berapa banyak makanan yang kau terima setiap hari?”
Dia menjawab, “Seperti yang anda lihat tadi.”
Abdullah bertanya, “Jadi mengapa kau berikan sebagian makananmu kepada anjing itu, bukannya lebih baik kau makan sendiri?”
Si budak menjelaskan, “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu telah datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.”
Abdullah bertanya lagi, “Sedangkan kau , sudah berapa kali makan hari ini ?”
Si budak menjawab, “Harini ini , baru sekali ini aku makan bungkusan ini.”
Abdullah berkata, “Semala ini aku sering dicela orang kerana dianggap terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.”
Maka dia lalu membeli kebun kurma itu, budak itu, alat-alat kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu, dan memberikan kebun itu kepadanya.
Alangkah herannya hati Abdullah, budak yang baru saja menerima kebun itu , langsung menyerahkannya kepada anak yatim. Dia berkata, ‘anak yatim ini lebih membutuhkan kebun ini daripada aku’.

Seorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Al-Hasan bin Ali bin Abi thalib ra. Maka beliau lalu memberi orang itu uang sebanyak 50 ribu dirham dan 500 dinar. Beliau menyuruh orang itu mencari kuli [untuk mengangkut uang itu]. Maka orang itu pun lalu mencari kuli. Al-Hasan lalu memberikan kepadanya selendang sambil berkata, “Upah kuli itu, ku tanggung juga.”

Ketika seorang wanita meminta semangkuk madu kepada Al-Laits bin Sa’id, dia menyuruh orang membawa sebekas penuh madu kepada wanita itu. Seseorang mengkritiknya atas tindakannya itu, dan dia menjawab,
“Dia meminta sesuai dengan keperluannya, dan aku memberi sesuai dengan kemampuanku.”
Abdullah bin Mubarak berkata, “Manahan jiwa dengan penuh kemurahan hati dari hawa nafsu untuk memiliki harta milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati jiwa dalam memberikan milik sendiri.”

Salah seorang sufi mengabarkan, “Pada suatu hari yang sangat dingin aku pergi kepada Bisyr Al-Hariths. Dia telah menanggalkan sebahagian pakaiannya, dan menggigil kedinginan. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa anda berpakaian begitu tipis?”
Dia menjawab, “Aku ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada mereka. Maka aku ingin menderita kesejukan seperti mana mereka.

Ad-Daqqaq menyatakan, “Kemurahan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kemurahan sejati adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”

Dalam Madarijus Salikin, dinyatakan bahwa kedermawanan itu ada sepuluh macam, yaitu:


  1. Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa. Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, seperti yang dikatakan dalam syair,
    "Kedermawanan dengan jiwa yang dihindari orang bakhil pengorbanan jiwa adalah puncak tertinggi kedermawanan."

  2. Kedermawanan dalam kekuasaan. Kedermawanan orang yang memiliki kekuasaan membuatnya tidak mempedulikan kekuasaannya dan dia lebih mengutamakan keperluan orang lain yang perlu dibantu.

  3. Kedermawanan dalam kesenangan, ketenangan dan istirahatnya. Dia mengabaikan waktu istirahatnya untuk berpayahpayah demi kemaslahatan orang lain, sampai-sampai dia tidak sempat tidur.

  4. Kedermawanan dengan ilmu. Ini juga termasuk tingkatan yang paling tinggi, karena mendermakan ilmu lebih baik daripada mendermakan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.

  5. Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, seperti meminta tolong kepada seseorang untuk menemui seorang pemimpin.

  6. Kedermawanan dengan memanfaatkan badan dengan berbagai , sebagaimana hadits Nabi SAW, yang artinya ,”Pada setiap persendian salah seorang seorang di antara kalian ada shadaqahnya. Setiap hari yangpadanya matahari terbit, lalu dia bertindak secara adil di antara dua orang adalah shadaqah. Membantu orang berkaitan dengan hewan tunggangannya, lalu dia menaikkannya ke atas punggungnya atau dia mengangkatkan barang dagangannya ke atasnya adalah shadaqah. Kata-kata yang baik adalah shadaqah. Setiap langkah kaki waktu seseorang berjalan menuju shalat adalah shadaqah. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah." (Muttafaq Alaihi).

  7. Kedermawanan dengan kehormatan diri, seperti yang dilakukan Abu Dhamdham, seorang shahabat. Setiap pagi dia berkata, "Ya Allah, aku tidak mempunyai harta yang bisa kushadaqahkan kepada manusia. Maka aku bershadaqah kepada mereka dengan kehormatan diriku. Siapa yang mencaciku atau menuduhku, maka sudah terbebas dari pembayaran tebusan kepadaku."
    Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mendengarnya bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bisa berbuat seperti Abu Dhamdham?"
    Kedermawanan seperti ini bisa membersihkan dada, menenangkan hati dan membuat seseorang tidak ingin bermusuhan dengan orang lain.

  8. Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri. Ini merupakan tingkatan yang mulia dan lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada mendermakan harta. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki jiwa besar. Siapa yang tidak bisa menjadi dermawan dengan hartanya, maka dia bisa bederma dengan kesabarannya. Allah menetapkan hukum qishash. Namun siapa yang melepaskan hak tebusan,maka itu merupakan tebusan bagi dosanya. Dengan kedermawanan ini seseorang bisa merasakan pahalanya di dunia dan di akhirat.

  9. Kedermawanan dengan akhlak, perilaku dan budi pekerti yang baik. Ini di atas tingkatan kedermawanan dengan sabar, menguasai diri dan maaf. Tingkatan ini dapat mengangkat pelakunya ke derajat orang yang puasa pada siang harinya dan shalat tahajjud pada malam harinya, serta dapat memberatkan timbangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "janganlah sekali-kali engkau menghina sedikit pun dari hal yang ma'ruf, sekalipun engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri."

  10. Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manusia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun.

Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita untuk bersabar dan bermurah hati.
Sumber : Madarijus salikin, Ar-Risalah Imam Qusyairi



sunnah RAWATIB

yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib.[1] Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu.[2]
Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ahli ibada sangat memperhatikannya?

Rasulullah SAW bersabda:, yang artinya “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?" Lalu shalat wajibnya yang kurang tersebut disempurnakan dengannya, kemudian seluruh amalannya diberlakukan demikian” [HR At-Tirmidzi] [3]

Dari hadits tersebut, menjadi jelaslah betapa shalat sunnah Rawâtib memiliki peran penting, yakni untuk menutupi kekurangsempurnaan yang melanda shalat wajib seseorang.
Disamping itu juga karena kita sangat sulit untuk mendapatkan kesempurnaan hanya dari sahalt wajib , sebagaimanan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang atinya “ Sesungguhnya seseorang selesai shalat dan tidak ditulis kecuali hanya sepersepuluh shalat, sepersembilannya, seperdelapannya, seper-tujuhnya, seperenamnya, seperlimanya, seperempatnya sepertiganya, setengahnya” [HR Abu Dawud dan Ahmad] [4]

KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Di antara hadits yang menunjukkan keutamaan shalat sunah Rawâtib secara umum, ialah hadits Ummu Habîbah, yang berbunyi, yang artinya ,” Tidaklah seorang muslim shalat karena Allah setiap hari dua belas raka'at shalat sunnah, bukan wajib, kecuali akan Allah membangun untuknya sebuah rumah di surga” [5]

Jumlah raka'at ini ditafsirkan dalam riwayat at-Tirmidzi dan an-Nasâ-i, dari hadits Ummu Habibah sendiri, Ummu Habibah berkata,"Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :'Barang siapa yang shalat dua belas raka'at maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di surga; empat raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at setelahnya, dua raka'at setalah Maghrib, dua raka'at sesudah 'Isya`, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh."

Dalam riwayat lain dengan lafazh , “Barang siapa yang terus-menerus melakukan shalat dua belas raka'at, maka Allah membangunkan baginya sebuah rumah di surga” [HR An-Nasâ-i] [6]

Riwayat ini menunjukkan sunnahnya membiasakan dan secara rutin agar kita mengerjakan shalat dua belas raka'at tersebut setiap hari. Sehingga, siapapun yang membiasakan diri melakukan sunnah-sunnah Rawâtib ini, ia termasuk dalam keutamaan tersebut.
Dan ini dikuatkan dengan perbuatan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam , sebagaimana tersebut dalam hadits Ibnu 'Umar berikut ini ,”Aku hafal dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam sepuluh raka'at: dua raka'at sebelum Zhuhur dan dua raka'at sesudahnya, dua raka'at setelah Maghrib, dua raka'at setelah 'Isya, dan dua raka'at sebelum shalat Subuh. Dan ada waktu tidak dapat menemui Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam . Hafshah menceritakan kepadaku, bila muadzin beradzan dan terbit fajar, beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at.” [7]

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim terdapat tambahan lafazh.,Dan dua raka'at setelah Jum'at. Adapun (shalat sunnah Rawatib) Maghrib dan 'Isya dilakukan di rumahnya” [8]

Dalam riwayat Muslim berbunyi, “Adapun (shalat sunnah Rawâtib) Maghrib, Isya dan Jum'at, aku lakukan bersama Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya” [9]

REKA'AT SUNNAH RAWÂTIB
Dalam masalah jumlah raka'at sunnah Rawatib ini, di kalangan para ulama terdapat perbedaan pendapat, yang terbagai dalam dua pendapat. Ini dikarenakan perbedaan dua hadits di atas.


  1. menyatakan jumlah raka'atnya adalah sepuluh dengan dasar hadits Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu tersebut, dan inilah pendapat para ulama madzhab Hambaliyah dan Syafi'iyyah.[10]

  2. menyatakan jumlah raka'atnya ialah dua belas, berdasarkan hadits Ummu Habibah di atas, dan inilah pendapat madzhab Hanafiyyah dan Ibnu Taimiyyah.[11]

  3. menyatakan tidak ada batasan jumlah raka'at, bahkan cukup dengan melakukan dua raka'at dalam setiap waktu untuk mendapatkan keutamaan shalat sunnah Rawatib, dan inilah pendapat madzhab Malikiyyah.

  4. menyatakan jumlah raka'atnya delapan belas. Demikian ini pendapat Imam asy-Syairazi dan disetujui Imam an-Nawawi dalam al-Majmû' Syarhul-Muhadzdzab. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ummu Habibah di atas, serta hadits Ummu Habibah lainnya yang berbunyi: “Aku mendengar Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda,"Barang siapa yang menjaga empat raka'at sebelum Zhuhur dan empat raka'at setelahnya maka Allah mengharamkannya dari neraka." [12]

Juga hadits yang berbunyi, dari Ibnu 'Umar radhiallahu'anhu , dari Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda: "Semoga Allah merahmati seseorang yang shalat sebelum 'Ashar empat raka'at".[13]
Menurut Imam Nawâwi, mengatakan, yang paling sempurna dalam Rawatib yang mendampingi shalat fardhu selain witir, adalah delapan belas raka'at, sebagaimana dijelaskan penulis (asy-Syairazi), dan paling sedikit adalah sepuluh, sebagaimana yang beliau sebutkan. Di antara ulama ada yang berpendapat delapan raka'at dengan menghapus sunnah Isya'; (demikian) ini pendapat al-Khudari. Dan ada yang menyatakan bahwa jumlahnya dua belas, (yaitu) dengan menambah dua raka'at lain sebelum Zhuhur, dan ada yang menambah dua raka'at sebelum shalat 'Ashar. Semua ini sunnah, namun perbedaan pendapat ada pada yang muakkad (yang lebih ditekankan) darinya.[14]

Yang rajih –Wallahu A'lam– yaitu mengembalikan definisi shalat sunnah Rawâtib sebagai shalat sunnah pendamping shalat fardhu yang dilakukan sebelum atau sesudah, dan ada anjuran dari Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam . Sehingga yang lengkap ialah delapan belas raka'at, sebagaimana disampaikan Imam an-Nawawi di atas.

Namun, manakah yang sunnah muakkad dari semua itu?

Dalam persoalan ini, pendapat yang banuyak dipakai ialah pernyataan yang disampaikan oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin [15], yaitu duabelas raka'at dengan perincian dua raka'at sebelum Subuh, empat raka'at sebelum Zhuhur, dua raka'at setelah Zhuhur, dua raka'at setelah Maghrib, dan dua raka'at setelah 'Isya`,

sebagaimana dijelaskan dalam hadits Ummu Habîbah, juga dikuatkan dengan hadits 'Aisyah yang berbunyi ,“Sesungguhnya dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum Zhuhur” [16]

Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar ra yang menerangkan bahwa beliau radhiallahu'anhu hafal dari Nabi sepuluh raka'at. Mengenai hal ini, Ibnul-Qayyim memiliki penjelasan: "Dahulu, Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam selalu menjaga sepuluh raka'at pada waktu muqim. Inilah yang disampaikan Ibnu 'Umar . . . , dan beliau shollallahu 'alaihi wa sallam terkadang shalat empat raka'at sebelum Zhuhur, sebagaimana dijelaskan dalam Shahîhain dari 'Aisyah bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan empat raka'at sebelum Zhuhur. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya bila Nabi shollallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah, maka beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat empat raka'at. Dan bila shalat di masjid, maka shalat dua raka'at. Demikianlah yang lebih rajih. Bisa juga dikatakan bahwa beliau shollallahu 'alaihi wa sallam pernah berbuat demikian dan berbuat begitu, kemudian 'Aisyah dan Ibnu 'Umar masing-masing menyampaikan apa yang dilihatnya".[17]

Syaikh 'Abdullah bin Abdur-Rahman al-Bassâm melakukan kompromi terhadap hadits-hadits ini. Beliau mengatakan: "Pernyataan 'empat raka'at sebelum Zhuhur', tidak bertentangan dengan hadits Ibnu 'Umar yang terdapat pernyataan 'dua raka'at sebelum Zhuhur'. Letak komprominya, terkadang beliau shollallahu 'alaihi wa sallam shalat dua raka'at dan terkadang empat. Kemudian masing-masing dari mereka berdua (Ibnu 'Umar dan 'Aisyah), masing-masing menceritakan salah satu dari kedua amalan tersebut. Fenomena semacam ini terjadi juga pada banyak ibadah dan dzikir-dzikir sunnah."[18]

FAIDAH SHALAT SUNNAH RAWÂTIB
Sebagaimana telah diketahui bahwa uraikan pada awal uraian ini, shalat sunnah Rawâtib ini didefinisikan dengan shalat yang terus dilakukan secara kontinyu mendampingi shalat fardhu.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin memberikan definisinya, sehingga berkaitan dengan faidah shalat sunnah Rawatib ini, beliau memberikan penjelasan: "Faidah Rawatib ini, ialah menutupi (melengkapi) kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu".[19]

Syaikh 'Abdullah al-Basâm mengatakan dalam Ta-udhihul-Ahkam (2/383-384) bahwa shalat sunnah Rawâtib memiliki manfaat yang agung dan keuntungan yang besar. Yaitu berupa tambahan kebaikan, menghapus kejelekan, meninggikan derajat, menutupi kekurangan dalam shalat fardhu.
Semoga kita mendapat hidayah dan pertolongan Allah , sehingga kita bisa menegakkan shalat rawatib secara istiqomah.

Wallahul-Muwaffiq.

sumber : Ustadz Kholid Syamhudi , majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
catatan
[1]. Shahîh Fiqhis-Sunnah, Abu Mâlik Kamâl bin as-Sayyid Sâlim, al-Maktabah at-Taufiqiyyah, Mesir, tanpa cetakan dan tahun (1/372).
[2]. Syarhul-Mumti' 'ala Zâdil-Mustaqni', Syaikh Muhammad bin Shalih al- 'Utsaimin, Tahqîq: Dr. Khâlid al-Musyaiqih dan Sulaimân Abu Khail, Muassasah Âsâm, Cetakan Kedua, Tahun 1414 H (3/93).
[3]. HR At-Tirmidzi no. 413 dan Ibnu Majah no. 1425. Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Al-Jami Ash-Shaghir no. 2020
[4]. HR Abu Daud no. 796 dan dihasankan Al-Albani dalam Shahih Abu Daud dan Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib no. 537
[5]. HR Muslim, kitab Shalat al-Musâfir wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah Qablal-Farâ-idh wa Ba'daha, no. 1199.
[6]. HR An-Nasa’i no. 1804 dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i. (Lihat no. 1804 no. 1804, 261 dan 1696)
[7]. HR al-Bukhari, kitab Tahajjud, Bab: ar-Rak'atain Qablal-Zhuhur (no. 1180), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 729).
[8] HR al-Bukhari, kitab Jum'at, Bab: Tathawwu' Ba'dal-Maktubah (no. 1120), dan Muslim, kitab Shalat al-Musafirin wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[9]. HR Muslim kitab Shalat al-Musafirîn wa Qashruha, Bab: Fadhlus-Sunan ar-Râtibah (no. 1200).
[10]. Syarhul-Mumti' (3/93) dan Shahih Fiqhis-Sunnah (1/372).
[11]. Ibid.
[12]. HR at-Tirmidzi, kitab ash-Shalat (no. 428), Ibnu Majah, kitab ash-Shalat (no. 428), Abu Dawud, kitab ash-Shalat, Bab: al-Arba' Qablal-Zhuhri wa Ba'daha (no. 1269) dan Ibnu Majah, kitab ash-Shalat was-Sunnah fiha, Bab: Mâ Jâ-a fiman Shalla Qablal-Zhuhri `Arba'an wa Ba'daha `Arba'an (no. 1160). Dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Ibni Majah (1/191).
[13]. HR Ahmad dalam Musnad-nya (4/203), at-Tirmidzi dalam kitab ash-Shalat, Bab: Mâ Jâ-a fil-Arba' Qablal-'Ashr (no. 430), Abu Dawud dalam kitab ash-Shalat, Bab ash-Shalat Qablal-'Ashr (no. 1271), dan dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahîh Sunan Abi Dawud (1/237).
[14]. Al- Majmu' Syarhul-Muhadzab, Imam an-Nawawi dengan penyempurnaan oleh muhammad Najîb al-Muthi'i, Dar Ihyâ-ut-Turats al-'Arabi, Beirut, Cetakan Tahun 1419H (3/502).
[15]. Syarhul-Mumti' (4/96).
[16]. HR al-Bukhari dalam kitab al-Jum'at, Bab: ar-Rak'ata-in Qablal-Zhuhri (no. 1110).
[17]. Zâdul-Ma'âd, Ibnul-Qayyim, Tahqiq: Syu'aib al-Arnauth, Mu-assasah ar-Risalah, Cetakan Kedua, Tahun 1418 H (1/298).
[18]. Ta-udhihul-Ahkâm min Bulughul-Maram, Syaikh 'Abdullah bin 'Abdur-Rahman al-Basâm, Maktabah al-Asadi, Mekkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423 H (2/382-383).
[19]. Syarhul-Mumti' (4/96).



Minggu, 17 Januari 2010

hifzhul-lisan ,menjaga lidah

Salah satu nikmat dari Allah adalah nikmat berbicara , yaitu nikmat kemampuan menyampaikan keinginan-kehendak isi hati. Nikmat besar ini bisa menjadi sumber bencana , bila kita berlebihan dalam mepergunakannya. Keterjagaan dan lurusnya lidah mencerminkan kelurusan hati dan keimanan .
Dari Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah bersabda yang artinya "Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: "Taqwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang" (Hr. Tirmidzi ,no. 2407)

Seorang hamba dapat mempergunakan lidah sebagai perwujudan rasa syukur kepada-Nya berupa mempergunakan lidahnya untuk amar ma'ruf, nahi munkar, atau untuk kegiatan lainnya sebagai wujud ketaatan kepada Allah.

Lidah seorang hamba bisa menjadi faktor yang mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya “ "Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam". [HR al-Bukhâri, no. 6478]

Seorang Salaf berkata: ‘Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan. Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi’

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani menjelaskan makna "dia tidak menganggapnya penting", yaitu dia tidak memperhatikan dengan pikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu". [Lihat Fat-hul-Bâri, penjelasan hadits no. 6478]

Saudaraku, secara umum, bencana yang ditimbulkan oleh lidah ada dua.
Yaitu berbicara batil (kerusakan, sia-sia), atau diam dari kebenaran yang seharusnya wajib untuk diucapkan.

Abu 'Ali ad-Daqqâq ‘ Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu".[3]
Orang yang berbicara dengan kebatilan ialah setan yang berbicara, ia bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Sedangkan orang yang diam dari kebenaran ialah setan yang bisu, ia juga bermaksiat kepada Allah Ta'ala.

Saudaraku barangkali kita bias menjaga diri dari makanan haram, berbuat zhalim kepada orang lain, mencuri, atau perbuatan buruk lainnya , namun seringkali kita sulit untuk mengontrol diri dari menjaga gerakan lidahnya. Sehingga sampai jatuh mengucapkan kalimat-kalimat yang menimbulkan kemurkaan Allah, dan ia tidak memperhatikannya. Padahal hanya dengan satu kalimat itu saja, dapat menyebabkan dirinya bisa terjerumus ke dalam kehinaan di hadapan Allah.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya : “ Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka.” [5]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,” "Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat". [HR Muslim, no. 2988].
Saudaraku, bukankah ini adalah suatu kerugian yang sangat besar,apabila kita tidak hati-hati dalam menjaga lidah kita.

Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah, Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya, sebagaimana riwayat dibawah ini
"Dari Sufyan bin 'Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: "Aku berkata, wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!"
Beliau menjawab: "Katakanlah, 'Rabbku adalah Allah', lalu istiqomahlah".
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?".
Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: "Ini"."[6]

Sehingga Syaikh Husain al-'Awaisyah dalam Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, berkata bahwa ‘Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu yang manusia merasa amat tenteram terhadapnya ialah lidah mereka, padahal lidah yang paling dikhawatirkan Nabi n atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu seolah-olah pabrik keburukan, tidak pernah lelah dan bosan’ .[7]

Saudaraku, lidah memiliki fungsi sebagai penerjemah dan pengungkap isi hati. Rasulullah memerintahkan seseorang beristiqomah, kemudian menjaga lisan. Keterjagaan dan lurusnya lidah sangat berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang.
sebagaimana Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , bahwa Rasulullah SAW bersabda , yang artinya "Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga".[8]

Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: yang artinya "Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: "Takwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang" [9]

Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah menjaga lidahnya.
Sebagaimana Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : yang artinya "Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya." [10]

"Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?" Beliau n menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406]

Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis. [11]

Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas maslahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya.

Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam".
Imam asy-Syafi'i dalam Al-Adzkar, berkata bahawa Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya .[12]

Diriwayatkan bahwasanya Yahya bin Mu'adz berkata: "Hati itu seperti periuk dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang berbicara. Karena sesungguhnya, lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya".[13]

Diriwayatkan, bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab berkata: "Barang siapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barang siapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya".[14]

Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu berkata: "Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih pantas terhadap lamanya penjara daripada lidah! Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah".[15]

Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata: "Jauhilah fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya".[16]

Syaqiq berkata: 'Abdullah bin Mas'ud bertalbiyah di atas bukit Shafa, kemudian berseru: "Wahai lidah, katakanlah kebaikan, niscaya engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah, niscaya engkau selamat, sebelum engkau menyesal".

Orang-orang bertanya: "Wahai Abu 'Abdurrahman, apakah ini suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?"
Dia menjawab, "Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya “kebanyakan kesalahan anak Adam ialah pada lidahnya)".[17]

Diriwayatkan, Ibnu Buraidah berkata bahwa : "Aku melihat Ibnu 'Abbas memegangi lidahnya sambil berkata, 'Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engkau akan menyesal'."[18]

Diriwayatkan, bahwasanya an-Nakha`i berkata , ‘Manusia binasa pada fudhûlul-mâl (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan)’.[19]
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Seorang mukmin itu ialah menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal. Adapun orang munafik, ia memperbanyak perkataan dan menyedikitkan amal’.

Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku manguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku’.

Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan. Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi’.[21]

Saudaraku, semoga kita diberikan hidayah dari Allah, sehingga menjadi hamba-hamba yang bias menjaga lidah dari berbicara keburukan.

Wallahul-Musta'an.

sumber kutipan :
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari , Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani , Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi, Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cetakan Kedua, Tahun 1425H/2004M, Hashâ`idul-Alsun, Syaikh Husain al-'Awaisyah, Penerbit Darul-Hijrah, Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bajis, Penerbit ar-Risalah, Cetakan kelima, Tahun 1414H/1994M, majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan
[1]. Tafsir Adh-wâ`ul Bayân, karya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Lihat surat ar-Rahmân, 55/3-4.
[2]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 4-5, 159-160.
[3]. Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam ad-Dâ` wad-Dawâ`, Tahqîq: Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi, Penerbit Dar Ibnil-Jauzi, hlm. 155.
[4]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm, 5-6, 163.
[5]. HR at-Tirmidzi, no. 2314. Ibnu Majah, no. 3970. Ahmad, 2/355, 533. Ibnu Hibban, no. 5706. Syaikh al-Albâni menyatakan: "Hasan shahîh".
[6]. HR Tirmidzi, no. 2410. Ibnu Majah, no. 3972. Dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani.
[7]. Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, hlm. 15.
[8]. HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13.
[9]. HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512.
[10]. HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri.
[11]. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
[12]. Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cet. 2, Th. 1425H/2004M, 2/713-714.



Jangan Mengemis

tulisan ini dikutip dari Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Saudaraku, minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Salah satu faktor penyebabnya adalah merasa lebih mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.

Ada banyak faktor mendorong seseorang mencari bantuan atau sumbangan, dimana ada yang bersifat permanen, dan ada pula yang bersifat mendadak atau tak terduga.
1. Faktor ketidakberdayaan, kefakiran, dan kemiskinan yang dialami oleh orang-orang yang mengalami kesulitan untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Karena mereka memang tidak memiliki penghasilan cukup ayau tetap, batuan-bantuan atau sumber-sumber kehidupan yang lain. Sementara mereka sendiri tidak memiliki keterampilan atau keahlian khusus yang dapat mereka manfaatkan untuk menghasilkan uang. Sama seperti mereka ialah anak-anak yatim, penyandang cacat, orang-orang yang menderita sakit menahun, janda-janda miskin, orang-orang yang sudah lanjut usia sehingga tidak sanggup bekerja, dan selainnya.


  • 2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi atau sedang musibah kerugian harta cukup besar. Contohnya pengusaha pedagang yang tertimpa pailit atau petani yang gagal panen dst.. Mereka ini juga orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya. Bisa jadi hutang yang telah jatuh tempo tidak terbayar bahkan sampai ke urusan pengadilan.

  • 3. Faktor musibah yang menimpa suatu anggota masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, dst sehingga terpaksa harus minta-minta.

  • 4. Faktor-faktor yang datang diluar kekuasaan manusia yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.

JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:



  • 1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
    Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan.
    Namun umumnya mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya.
    Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, yang artinya "(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [Qs. al-Baqarah : 273].

  • 2. Kelompok pengemis yang bertipu muslihat
    Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis.
    Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen
    Atau ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.

Islam terhadap kasus ini
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Selain melanggar dosa, tetapi juga dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan.
Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.

Beberapa dalil, yang berkaitan dengan meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak.



  1. Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya".[1]

  2. Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang artinya "Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" [2].

  3. Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub ra , ia berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda , yang artinya "Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu" [3]

  4. Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam ra, ia berkata bahwa : Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya ,"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".

Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.

ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali ra, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ,“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:



  • o seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,

  • o seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan

  • o seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[5]

KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta),
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman , yang artinya ,” Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [Qs.al-Baqarah : 273].

Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm ra dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda , yang artinya "Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".[6]

Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya "Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".[8]

Dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat".[9]

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tidak akan tertutupi.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.



Allahu a’lam
Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas , http://www.almanhaj.or.id , majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/20085. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

Catatan :
[1]. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[2]. Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.
[3]. Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).
[4]. Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), dan lainnya.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387 –at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
[7]. Shahîh. HR Ibnu Mâjah (no. 2291) dari Jaabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, dan ath-Thabrâni dalam Mu’jamul-Kabîr (VII/230, no. 6961, X/81-82, no. 10019) dari Samurah dan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu. Lihat Irwâ`ul-Ghalîl (no. 838).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1054) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhu.
[9]. Shahîh. HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645), at-Tirmidzi (no. 2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud


Kamis, 14 Januari 2010

Tips : memelihara kesehatan mata

Sepasang mata kita, adalah karunia Allah yang tiada ternilai harganya. Dengan nikmat kedua jendela jiwa ini, beragam warna-warni kehidupan dapat dinikmati secara nyata.
Oleh karena itu , marilah kita menjaga fungsi dan manfaatnya sebagai bagian dari rasa bersyukur kita kepada sang pencipta. Sehingga karunia nikmat ini bisa optimal bermanfaat sebagai mana mestinya.

Beberapa tips buat anda , semoga bermanfaat dalam menjaga dan merawat nikmat mata ini bagi kita semua. Agar kita bisa menjelajahi jendela dunia dalam kebaikan.

  1. Konsumsi makanan yang baik , halal, bernutrisi dan bergizi cukup.
    Beberapa zat diantaranya, adalah lutein dan vitamin A. Zat ini banyak terkandung dalam makanan sepwerti wortel, bayam, tomat dst.
    Selain berfungsi meningkatakn dan menjaga kualitas penglihatan, bahan makanan ini bisa mencegah timbulnya glukoma dan katarak.
  2. Latihan ringan.
    Sebagaimana bagian tubuh lainnya, mata juga memerlukan latihan-latihan rutin agar tetap bugar. Senam mata dapat merangsang saraf dan otot didalamnya tidak tegang, setelah anda kian lama melihat layar computer atau membaca buku.
    Cukup anda berkedip-kedip beberapa kali untuk melumasi bola mata. Lalu tutup mata anda sekitar lima atau sepuluh menit agar lebih rileks.
    Istirahakan sebentar mata kita dengan melihat-lihat karunia Allah seperti bunga-bunga, sawah, pepohonan dst.
  3. Lindungi mata anda.
    Saat anda beraktivitas diluar ruangan, kenakan kacamata sunglasses untuk mengurangi resiko masuknya kotoran, sinar ultraviolet A (UVA) atau ultraviolet B (UVB).
    Dari penelitian Massachusetts University (USA) dalam situs hubpages, disimpulkan bahwasinar UV dapat mengurangi fungsi mata.
  4. Cuci tangan dulu
    Biasakan anda mencuci tangan anda sebelum menyentuh mata atau hindari menggosok-gosok mata karena dapat menyebabkan iritasi.
  5. Hindari membaca terlalu dekat.
    Hindari juga membaca atau melihat computer dalam pencahayaan yang kurang baik (kurang optimal) karena akan mengurangi kinerja mata .
  6. Merawat dengan baik
    Gunakan produk pelembab mata dan hapus sisa make up anda pada wajah seitar mata sebelum anda berangkat tidur.
  7. Periksa rutin berkala ke dokter .

Semoga bermanfaat.
Sumber : RAN : Kompas 13012010



Senin, 11 Januari 2010

Malu, menumbuhkan ketaatan

Firman Allah
الم يعلم با ن ﷲ يری
“ Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat (segala perbuatan-nya) ,” (Qs. Al-alaq : 14).
Dalam Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhala’ dikatakan malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci. Ibn Qayyim berkata, ‘Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak banyak dipakai.

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri ra, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu." (Hadits shahîh riwayat: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

Al-Junaid berkata, 'Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menim-bulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya. ' (Madârijus Sâlikîn,Fathul Bâri).

Saudaraku, malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga bisa menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.(al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah).

Dalam atsar Illahi, disebutkan ,”Hamba-Ku benar-benar tidak adil terhadap-Ku, dia berdoa kepada-Ku dan Aku malu untuk tidak memperkenankannya, namun dia durhaka kepada-Ku dan tidak malu kepada-Ku.”
Malunya Allah terhadap hamba tidak bisa diketahui melalui suatu pemahaman dan tidak akan bisa digambarkan dengan akal, karena itu merupakan rasa malu yang timbul dari kemurahan hati, kebajikan dan keagungan. Yang pasti Allah malu terhadap hamba-Nya , jika hamba itu berdoa menengadahkan tangan lalu kembali dengan hampa.

Malu adalah akhlak para Nabi , terutama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit. Sebagimana disebutkan dalam Ash Shahihain dari Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa dia berkata, Rasulullah SAW adalah orang yang lebih mudah merasa malu daripada gadis di tempat pingitannya. Jika melihat sesuatu yang tidak disukainya, maka kami bisa melihatnya pada raut muka beliau.

Malu adalah cabang keimanan.
Dalam Ash—Shahihain dari Abu Huriarah, bahwa Rasulullah SAW bersabda,yang artinya “Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.” (Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800).)

Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.” ([Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la Radhiyallahu 'anhu)


Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya “Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.” (Shahîh: HR.Muslim (no. 2401).

Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinuya “Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.” (Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik t . Lihat Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940))

Malu sebagai pencegah dari melakukan maksiat.
Dalam Ash Shahih , disebutkan bahwa Ibn Umar , bahwa Rasulullah SAW pernah melewati seseorang yang sedang memarahi saudaranya tentang rasa malu. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepada orang itu, yang artinya , “Biarkan saja dia, karena malu itu sebagian dari iman.” (hahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad (II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i (VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu ‘Umar ra.)
Abu ‘Ubaid al-Harawi berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.” [Fathul Bâri (X/522).]

Ada Malu yang tercela
Qâdhi ‘Iyâdh mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”

Sehingga, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan. [Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182)]

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar , malu untuk shalat berjama’ah di masjid , malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid berkata,

Artinya : “Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).]

Ummul Mukminin ‘Âisyah ra pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr, Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.]

Para wanita Anshâr selalu bertanya kepada Rasulullah SAW jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.

Ummu Sulaim ra pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?”
Rasulullah SAW menjawab, “Apabila ia melihat air.”[Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).]

Buah Dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa' (setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibban al-Busti berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.

Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup. [Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).]

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.” [Ibid (hal. 55).]

Ada beberapa macam bentuk malu , antara lain :


  1. malu karena telah berbuat dosa, seperti malunya Adam as, ketika Allah bertanya , yang artinya, “Mengakau kamu lari dari-Ku wahai adam ?” , adam menjawab, “Tidak ya Rabbi, namun aku merasa malu terhadap Engkau”

  2. malu kerana keterbatasan diri, seperti malunya para malaikat yang selalu bertasbih setiap waktu . Namun ketika hari kiamat , para malaikat berkata , “ Maha Suci Engkau Ya Allah, kami tidak menyembah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya penyembahan”.

  3. malu kerana menyaksikan kebesaran Tuhan, seperti malunya Israfil as, yang menutup sayapnya ke tubuhnya kerana malu pada Allah.

  4. malu kerana ketinggian budi, seperti malunya Rasulullah saw ketika beliau malu untuk menyuruh pergi tamu-tamu beliau dan Allah SWT hingga berfirman, yang artinya "Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar" [Al-Ahzâb :53]

  5. malu kerana menjaga kesopanan, seperti malunya Ali bin Abi Thalib ra ketika dia menyuruh Miqdad bin Al-Aswad untuk menanyakan kepada Nabi saw tentang darah haid Fatimah ra.

  6. malu kerana menganggap sesuatu sebagai terlalu remeh untuk diungkapkan, seperti malunya seorang hamba yang memohon berbagai macam keperluan kepada Allah, karena menganggap diri terlalu hina untuk memohon itu kapda Allah. Atau Musa as menyatakan, “Aku memerlukan sesuatu daru dunia ini, dan aku malu meminta kepada-Mu, wahai Tuhanku,” dan Allah lalu mengatakan kepadanya, “Mintalah kepada-Ku, bahkan untuk adunan roti dan jerami untuk domba-dombamu.”

  7. Dst

Saudaraku, ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah selalu melihat dirinya, maka hal ini akan menumbuhkan rasa malu terhadap-Nya sehingga memacunya untuk semakin taat.

Allahu a’lam


Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas .http://www.almanhaj.or.id , majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009, Ar-Risalah Imam Qusyairi, Madarijus Salikin Ibn Qayyim Al Jauziyah