*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Kamis, 30 Juni 2011

Mengelola energi positif

Saudaraku , perjalanan kehidupan selalu mengalami pasang surut. Adakalanya kita menga-lami masa-masa menyenangkan hati . Adakalanya mengalami peristiwa yang menyakitkan sehingga kita mengalami kejenuhan yang luar biasa. Rutinitas yang melelahkan, kehi-langan semangat , membosankan. Padahal, kata orang lain mengatakan bahwa kehidupan kita dapat dibilang lebih beruntung . Pandangan mereka jauh bertolak belakang dengan yang kita rasakan .
Akibat negatif yang kita rasakan, prestasi kerja menurun, semangat hilang, lesu , produk-tivitas menurun, bahkan mulai menarik diri dari komunitas . Banyak kawan-kerabat, me-nyarankan untuk rekreasi, refreshing, istirahat, dan minum obat atau suplemen. Semua kegiatan tadi mengarah pada satu titik : untuk membangkitkan kembali energi diri.
Pernahkan Anda berpendapat bahwa sebenarnya energi dari dalam diri Anda sedang turun?

Saudaraku , semua orang pernah pernah mengalami . Dan itu wajar. Yang penting kita harus segera membangkitkan energi untuk memulihkan semangat keseharian.
Setiap benda memiliki enegi . Dalam teori fisika , ada Hukum Kekekalan Energi. Dimana setiap energi di alam semesta ini tidak pernah hilang dari kehidupan, tetapi hanya sekedar berubah bentuk saja. Contohnya ; zat cair yang menguap, kemudian akan mengembun dan akhirnya turun kembali menjadi hujan. Zat cair ini sesungguhnya tidak pernah berkurang dari kehidupan, hanya berubah bentuk dan akhirnya kembali lagi dalam keseimbangan sebagai zat cair di alam ini.

Dalam kehidupan manusia , sebagai bagian dari alam semesta , hukum kekekalan energi juga berlaku dalam aplikasi kehidupan nyata sehari-hari. Saudaraku, dalam tubuh kita juga tersimpan sumber energi .
Setiap energi yang dilepaskan oleh tubuh (positif maupun negatif) sesungguhnya tidak pernah hilang dari muka bumi ini. Artinya setiap energi yang dipancarkan dari tubuh kita, nilainya tidak pernah berubah. Bila yang kita pancarkan adalah energi positif, maka yang akan kembali dalam bentuk energi positif ke diri kita. Demikian sebaliknya, kalau energi negatif yang kita pancarkan, maka yang akan kembali ke kita adalah energi negatif.

Sebagaimana firman Allah, yang artinya ,” Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur , maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha terpuji, “ (Qs. Luqman : 12)

Saudaraku, energi positif yang terbaik adalah bersyukur kepada Allah . Sedangkan kemaksiatan adalah salah satu contoh energi negatif. Seorang hamba yang melakukan maksiat , maka dia akan berada dalam kegelisahan, ketakutan , was-was , kesempitan dalam hidupnya .

Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpun-kannya pada hari kiamat dalam keadaan buta ,” (Qs. Taha : 124).


Secara alamiah, seseorang yang sedang dirundung masalah , akan berupaya mencari orang yang bisa membangkitkan semangatnya, memberikan optimisme, dan mengem-balikan kemampuannya. Bisa jadi ia berkonsultasi atau curhat dengan orang yang lain , bisa siapa saja : teman, orang tua, manajer, ulama, tokoh , pengusaha, seniman, wartawan atau siapa saja.
Saudaraku, yang paling dibutuhkan seseorang pada saat itu adalah pertolongan Allah, adapan cara paling jitu untuk mendapatkan pertolongan–Nya adalah selalu taat dan ingat kepada-Nya. Allah adalah sebaik-baiknya penolong dan sebaik-baiknya pelindung.

Saudaraku , dalam aplikasi keseharian , apabila Anda menolong orang lain yang sedang memerlukan bantuan pertolongan . Maka sebenarnya anda sedang memancarkan energi positif yakni berupa tindakan positif kebaikan. Energi positif kebaikan yang Anda pancarkan dari diri Anda sesungguhnya tidak akan hilang . Energi kebaikan yang anda pancarkan akan selalu ada di alam ini dan akan kembali kepada diri Anda.
Bentuknya bisa berupa apa saja , Anda akan mendapatkan ketenangan jiwa, keselamatan , kebahagiaan hati, penghargaan dari orang lain dan bahkan ridha Allah. Dan apa yang lebih baik selain dari mendapat ridha Allah ?

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya XIII ,212 , bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama si hamba mau menolong saudaranya ,” (1)
Dari Ali ra, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Segeralah bersedekah, sesungguh-nya musibah tidak dapat melintasi sedekah, (Razin, Misykat).

Dengan demikian kalau hidup semakin banyak digunakan untuk melepaskan energi positif dengan banyak melakukan tindakan positif bagi orang lain, berbagi kebaikan, menolong sesama kehidupan, dibandingkan dengan hanya mementingkan diri sendiri, akan semakin mengangkat derajat atau “value” diri seseorang dihadapan manusia dan dihadapan Tuhan. Inilah yang saya maksudkan dengan daya ungkit energi positif bagi kesuksesan.

Sebagaimana Abu Hurairah meriwayatkan akan sabda Rasulullah bahwa setiap pagi dua malaikat berdoa kepada Allah SWT, Malaikat pertama berdoa, yang artinya ,” Ya Allah berikanlah balasan pada orang yang membelanjakan hartanya (di jalan Allah)”. Dan malaikat kedua juga berdoa,” Ya Allah , binasakanlah harta orang yang tidak mem-belanjakan hartanya (di jalan Allah) “.

Semakin besar energi positif dalam hidup yang kita pancarkan dari tubuh kita, akan menjadikan daya ungkit luar biasa dalam meninggikan kehidupan meraih sukses dan kemuliaan hidup. Hidup akan terasa menjadi semakin mudah, lebih tentram, semakin ringan dan membahagiakan hati.

Dinyatakan dalam sebuah hadits bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah banyak menyenangkan hati orang (muslim) lainnya, menghilangkan kesusahan orang lain, membantu melunasi utang orang lain, atau memberi makan ketika seorang kelaparan (Kanzul-‘ummal).

Dalam hadits lain dinyatakan, “ seseorang janganlah menganggap remeh perbuatan kebaikan. Bila tidak bisa berbuat baik, paling tidak menyapa saudaranya dengan muka manis “ (Kanzul-‘ummal).

Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, menyatakan bahwa diantara kiat melapangkan jiwa dan meraih bahagia adalah dengan berbuat baik kepada orang lainn dan membantu mereka dengan sesuatu yang mungkin diberikan, baik berupa harta, jabatan, materi dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.

Saudaraku , sebenarnya kita selalu menerima pasokan energi setiap hari. Secara fisik bisa didapat dari makanan dan minuman dibantu oleh oksigen dan metabolisme tubuh.
Ada juga energi psikis yaitu masalah pikiran dan emosi.

Kunci dari mengembalikan energi Anda ialah dengan cara menghilangkan hal-hal yang memboroskan energi Anda. Begitu juga dalam diri kita. Kita harus menghemat penggunaan energi dari dalam tubuh kita. Apakah kita harus diam? Tidak, justru kita memangkitkan energi supaya kita bisa kembali beraktivitas dengan penuh. Kita hanya menghilangkan “pemakan” energi yang tidak perlu saja.

Energi dalam tubuh kita bukan hanya digunakan oleh fisik saja, pikiran dan emosi pun menggunakan energi. Kabar baiknya, jika kita menggunakan pikiran dan energi dengan benar, energi kita bisa bertambah. Pikiran dan emosi yang positif akan memberikan pengaruh terhadap tubuh kita. Sebaliknya, jika kita menggunakan emosi dan pikiran dengan cara salah atau negatif, kita akan menyerap energi yang banyak dari tubuh kita.

Jadi andalah yang dapat memilih sendiri pikiran-pikiran yang anda inginkan. Anda sendirilah yang dapat mengontrol pikiran anda dan anda sendiri satu-satunya orang yang menggunakan pikiran anda. Pikiran adalah alat yang luar biasa bagi kita untuk menciptakan kehidupan yang kita pilih.

Bagaimana agar kita dapat meningkatkan sumber energi positif sehingga dapat menjadi daya penyembuh bagi energi negatif yang membelenggu kita, ?.

Memiliki jiwa empati merupakan energi positif ini akan memberikan efek positif bagi kebahagiaan ketika melakukan kebaikan. Tidak mementingkan hidup untuk dirinya tetapi membagi kepedulian dengan segera mengulurkan tangannya bagi mereka yang mem-butuhkan tanpa harus diperintah orang lain.

Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda kepada Asma ra, yang artinya ,” Perbanyaklah membelanjakan harta dan jangan dihitung-hitung, karena Allah SWT, juga akan memberimu dengan dihitung-hitung (sedikit) dan jangan disimpan, nanti Allah SWT akan menyimpannya dari . Belanjakanlah semampumu “. (Misykat).

Ingatlah bahwa Rasulullah pernah bersabda, yang artinya, “ Barangsiapa memenuhi hajat (keperluan) saudaranya yang muslim, maka Allah SWT akan meyempurnakan tujuh puluh dua keperluannya , yang paling ringan adalah diampuni segela dosanya (Kanzul –‘ummal).

Saudaraku, keikhlasan dalam berbagai kebaikan adalah energi positif yang akan menyebar, yang tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga menciptakan lebih banyak lagi energi positif yang akan kembali kepada si pemberi. Ini adalah hukum kehidupan yang benar, tidak peduli apakah si pemberi menginginkan atau bahkan tidak menyadarinya.

Siapapun yang memberi dengan ikhlas, tanpa disadarinya telah meningkatkan nilai “value” dirinya bagi kesuksesan. Siapa yang melepasakan energi positif kebaikan, akan meningkat-kan energi positif yang mengalir kepadanya hingga melipatgandakan kebahagiaannya.

Saudaraku , tubuh kita juga perlu istirahat. Luangkan , carilah waktu yang tenang untuk mengembalikan energi Anda. Membaca Al Quran, dzikir, shalat malam, tafakur dan melakukan kegiatan bersama keluarga yang menyenangkan.

Kita pertahankan keikhlasan dalam melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, memancar-kan energi kebaikan kepada orang lain. Kita hanya perlu meyakini bahwa setiap energi positif yang kita pancarkan sesungguhnya tidak akan pernah berkurang. Meyakini bahwa energi positif tidak hilang dari kehidupan, tetapi akan kembali mengalir kedalam diri kita. Kita tidak perlu kawatir akan menjadi kekurangan.
Seseorang akan hidup nyaman karena kebaikannya kepada orang-orang disekitarnya.

Allahu a’lam

Sumber bacaaan : motivasi islami, Rahmat Mr
Catatan :
1. Sunan Abi Dawud XIII,110, Sunan At Tirmidzi V,324, Sunana Ibn Majah I,261 , juga musnad Imam Ahmad XV 159 dan hadits Abu Hurairah,

Nikmat shalat dhuha,

Firman Allah , yang artinya , “ dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik )itu adalah bagi orang yang bertaqwa ,” (Qs.Thaahaa : 132).
Dalam suatu riwayat hadits disebutkan bahwa, yang artinya ,” kekasihku Muhammad SAW, telah berwasiat kepadaku tentang tiga hal, yang sejak itu aku tidak pernah meninggalkannya. Pertama, hendaklah aku mengerjakan shalat witir sebelum tidur , kedua,hendaknya aku tidak meninggalkan dua rekaat shalat sunnah dhuha , karena sesungguhnya shalat dhuha adalah shalatnya ‘awwabin (shalatnya orang-orang yang bertaubat kepada allah serta meninggalkan maksiat), ketiga , hendaklah aku berpuasa tiga hari dalam tiap-tiap bulan “, (Hr Tirmidzi dan Nasa’i dati Abi Hurairah).

Saudaraku , tidak ada tujuan lain dari anjuran hadits ini , kecuali sebagai berita gembira bagi hamba-Nya yang beriman,sekaligus sebagai penghapus dosa hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya “, jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya,niscaya niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa –dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga),” Qs. An-Nisaa : 31).

Dengan istiqomah melaksanakan shalat dhuha, semoga dengan ridha Allah ,dosa-dosa kita diampuni,sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Barang siapa yang membiasakan diri melakasanakan shalat dhuha dua rekaat , maka diampunilah dosa-dosanya sekalipun dosa itu lakasana (sebanyak) buih di lautan ,” (Hr Ibn Majah dan tirmidzi dari Abi Hurairah).
Disamping kebutuhan materi, manusia juga harus menjaga kebutuhannya diluar materi.

Dan yang juga terpenting dalam hal ini adalah keimanan. Inilah yang dinamakan keseimbangan diri, seimbang dalam arti kebutuhan fisik dan seimbang dalam kebutuhan spiritual. Tentang keseimbangan.
Allah berfirman dalam al-Qur’an, yang artinya ,” Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu , dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan “, (Qs. Al-Qashash : 77).

Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,” Yang terbaik diantara kalian bukanlah orang yang beramal untuk dunianya tanpa akhirat. Juga bukan orang yang beramal untuk akhiratnya dan meninggalkan dunianya. Tetapi yang terbaik diantara kalian adalah orang yang beramal untuk keduanya “, (Hr Bukhari dan Muslim).

Islam sangat memperhatikan keseimbangan, keharmonisan dan keselarasan antara jasmani dan ruhani. Keduanya harus saling mendukung satu sama lain. Keduanya mendapatkan porsi yang seimbang.

Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya ,” Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) , umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.. “, (Qs Al-Baqarah : 143).

Ketika seorang hamba membiasakan diri mendirikan shalat dhuha didalam aktivitas kesehariannya, maka ia telah termasuk kedalam orang yang telah menyeimbangkan diri untuk mencapai kehidupan dunia dan akhirat. Disaat , ia tengah mencari rizki untuk kepentingan jasmani, ia juga mengaktifkan jejak spiritual. Yang pada akhirnya telah menanamkan pahala untuk kepentingan akhirat.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW, yang artinya ,” Sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Agung berfirman ,” Hai anak Adam, cukupilah Aku dengan melakukan empat rekaat shalat sunnah dhuha, maka aku akan mencukupi kebutuhannmu pada akhir hayatmu “, (Hr. Ahmad dan Abu Ya’la dari Uqbah bin Amir al-Juhani)
Ini adalah bagian dari keseimbangan diri, keseimbangan tubuh dan jiwa agar dapat mencapai kebahagiaan sejati. Sebagiamana telah dicontohkan dalam pribadi manusia agung Rasulullah SAW, yang dalam diri beliau terdapat keseimbangan antara kekuatan spiritual yang mendalam dan vitalitas fisik yang sempurna.
Mengapa keseimbangan iman dan usaha dapat menghilangkan perasaan takut dan berganti menjadi kedamaian dan tentram ? Orang-orang yang beriman akan lebih tahan dan sabar dalam menghadapi cobaan-cobaan hidup. Kehidupannya seimbang sehingga mampu menghadapi hari-harinya dengan ketentraman. Keseimbangan diri dapat menumbuhkan optimisme dalam berbagai hal.
Allahu a’lam

Sumber : Muhammad Makhdlori, Menyingkap Mukjizat Shalat Dhuha

Rabu, 22 Juni 2011

Rela dgn ketentuan Allah

Dalam menghadapi sesuatu yang tidak disenangi, seorang hamba dapat bersikap, marah sabar, rela atau bahkan bersyukur. Sikap sabar adalah wajib bagi seorang hamba yang beriman, sedangkan rela (ikhlas) adalah sikap utama yang disunahkan.
Hamba yang ikhlas lebih mampu melihat hikmah dan kebaikan dalam cobaan yang ditimpakan Allah kepadanya, dan terhindar dari prasangka buruk terhadap ketentuan-Nya. Bahkan para ahli makrifat, dalam menghadapi musibah yang menimpa, dirasakannya sebagai suatu nikmat, lantaran jiwa bertemu dengan kecintaanya.
Syaikh Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “Keridlaan bukanlah bahwa engkau tidak mengalami cobaan, keridlaan sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana engkau tidak berkeberatan terhadap ketetapan Illahi dan pengadilan-Nya”.
Diantara sabar dan ikhlas, dimana sabar adalah menahan diri dan mencegahnya dari kemarahan serta kesal pada saat merasakan derita, sakit dikala musibah. Sambil berharap , dan berdoa agar derita ini segera berakhir.
Sedangkan ikhlas (rela), adalah berlapang dada dalam menerima ketentuan-Nya dan menerimanya dengan sepenuh hati. Dan menjauhi keinginan-keinginan atau harapan agar derita ini segera berakhir.

Imam Tirmidzi mentakhrijkan hadits dari Anas ra, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya, “ Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia mengujinya (dengan musibah). Barangsiapa yang rela, maka mereka mendapat ridha Allah. Dan barang siapa yang tidak rela bahkan benci, maka mereka akan dibenci pula oleh Allah “, (Hr Tirmidzi dalam Az-Zuhd (7.77). Ia menyatakan ,’hadits ini hasan gharib.Assuyuthi menghasankan hadits ini dalam Jami’as Shaghir 3,459).

Ketika Musa as berdoa, “Ya Allah, bimbinglah aku kepada amal yang akan mendatangkan keridlaan-Mu.” Allah SWT menjawab, “Engkau tidak akan mampu melakukannya.” Musa bersujud dan terus memohon. Maka Allah SWT lalu mewahyukan kepadanya, “Wahai putra ‘Imran, Keridlaan-Ku ada pada keridlaanmu menerima ketetapan-Ku.”

Sahabat Ibn Mas’ud, berkata bahwa ‘Allah SWT dengan keadilan dan Kemahatahuan-Nya menjadikan kebahagiaan dan kesenangan ada pada keyakinan dan kerelaan hati, dan menjadikan duka dan kesusajan pada keraguan dan ketidak relaan,’

Para syaikh berkomentar, “Keridlaan adalah gerbang Allah yang terbesar”. Maksud mereka adalah bahwa barangsiapa yang mendapat kehormatan dengan keridlaan, berarti dia telah disambut dengan sambutan yang paling sempurna dan dihormati dengan penghormatan yang tertinggi”.

‘Abdul Wahid bin Zayd menjelaskan, “Keridlaan adalah gerbang Alah yang terbesar dan surganya dunia ini”. Seorang hamba tidak akan mendekati derajat keridlaan terhadap Allah sampai Allah ridha terhadapnya, sebab Allah SWT telah berfirman, “Allah ridha kepada mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya” (QS. Al-Bayyinah, 98:8).

Bahkan Khalifah Umar bin Abdul ‘Aziz , berkata ,’tak ada kebahagiaan bagiku kecuali menerima datangnya takdir,’ Dan ketika ditanya ‘Apa yang tuan sukai ?’ Dijawabnya ,’ Yang aku sukai adalah apa-apa yang ditakdirkan oleh Allah ‘azza wa jalla’.

Imam Hasan Basri berkata ,bahwa barang siapa yang rela terhadap bagian (takdir yang telah ditentukan) untuknya niscaya Allah akan melapangkan jalan dan memberkahinya. Namun barangsiapa yang tidak rela, maka Allah tidak akan melapangkannya dan tidak akan memberi keberkahan baginya ,’

Syaikh abu ‘Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Seorang murid bertanya kepada syaikhnya, ‘Apakah si hamba mengetahui apakah Allah ridla kepadanya?‘ Sang Syaikh menjawab, ‘tidak. Bagaimana dia bisa tahu hal itu sedangkan keridlaan-Nya adalah sesuatu yang tersembunyi?’ Si murid memprotes, ‘Tidak, dia bisa mengetahuinya!’
Syaikhnya bertanya, ‘Bagaimana si hamba bisa tahu? Si murid menjawab: “Jika saya mendapati hati saya ridla kepada Allah SWT, maka saya tahu bahwa Dia ridla kepada saya.’ Maka sang Syaikh lalu berkata, ‘Sungguh baik sekali ucapanmu itu, anak muda.’ “

Abu Sulayman ad-Darani menyatakan, “Jika si hamba membebaskan dirinya dari dominasi hawa nafsu, maka dia akan mencapai keridlaan.”
An-Nasrabadhi menyatakan, “Barangsiapa yang ingin mencapai derajat keridlaan, maka hendaklah ia
berpegang teguh pada apa-apa yang padanya Allah telah menempatkan keridhaan-Nya.”

Muhammad bin Khafif menjelaskan, “Ada dua macam keridlaan: keridlaan terhadap Allah SWT dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya.” Keridlaan terhadap Allah SWT berarti bahwa si hamba ridla terhadap-Nya sebagai Pengatur (urusan-urusannya), dan keridlaan terhadap apa yang datang dari-Nya berkaitan dengan apa yang telah ditetapkan-Nya.”

Saya mendengar Syaihk Abu ‘Ali ad-Daqqaq menyatakan, “jalan sang pengembara lebih panjang, dan itulah jalan latihan spiritual. Jalan kaum terpilih lebih singkat, tapi lebih sulit dan menuntut agar engkau bertindak sesuai dengan keridlaan dan agar engkau ridla dengan takdir.”

Abu Bakr bin Thahir berkomentar, “Keridlaan adalah menghilangkan keengganan dari hati hingga tak sesuatupun yang tinggal selain kebahagiaan dan kegembiraan.”

Al-Wasiti mengajarkan, “Manfaatkanlah keridlaan sebesar-besarnya, dan jangan biarkan kemanisan dan pengetahuan memanfaatkan dirimu agar supaya tidak menabirkan dirimu dari kebenaran batin yang menyangkut kepedulianmu.” Ketahuilah bahwa kata-kata ini sangatlah penting. Di Dalamnya terdapat peringatan yang tersirat bagi ummat sebab keridlaan terhadap keadaan itu sendiri merupakan tabir yang membatasi si Pemberi Keadaan. Jika seseorang menemukan kesenangan dalam keridlaannya dan mengalami nikmatnya keridlaan dalam hatinya, maka dia telah tertabiri oleh keadaannya sendiri dari menyaksikan kebenaran hati.

Ibn khafif menyatakan , “Keridlaan adalah tenangnya hati dengan ketetapan Allah dan keserasiannya hati dengan apa yang menjadikan Allah ridha dan dengan apa yang dipilih-Nya untukmu.”
Ketika Rabia’ah al-Adawiyah ditanya: “Kapankah seorang hamba dipandang ridla?” dia menjawab: “Apabila baginya penderitaan sama menggembirakannya dengan anugerah.”

Abu Sulayman ad-Darani mengatakan: “Keridlaan adalah jika engkau tidak meminta surga kepada Allah SWT atau berlindung kepada-Nya dari neraka.“
Dzun Nun al-Mishri menjelaskan, “Ada tiga tanda keridlaan, tidak punya pilihan sebelum diputuskannya ketetapan (Allah), tidak merasakan kepahitan setelah diputuskannya ketetapan, dan merasakan gairah cinta di tengah-tengah cobaan.”

Dikatakan kepada al-Husayn putra ‘Ali bin Abi Thalib ra, “Abu Dzar menyatakan, ‘Kemikisnan lebih kucintai daripada kekayaan, dan sakit lebih kucintai daripada kesehatan.’
Al-Husayn menjawab, “Semoga Allah mengasihani Abu Dzar. Aku sendiri, kukatakan, ‘Orang
yang menaruh kepercayaan kepada pilihan baik Allah baginya tidak akan berkeinginan selain dari apa yang telah dipilihkan Allah SWT baginya.’ “

Al-Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan bahwa Bisyr al-Hafi, “Keridlaan adalah lebih baik daripada hidup kepertapaan (asceticism) di dunia ini, sebab orang yang ridla tidak pernah berkeinginan akan sesuatu di luar keadaannya. “

Ketika Abu ‘Utsman ditanya tentang ucapan Nabi saw, “Aku memohon kepada-Mu rasa ridla setelah diputuskannya ketetapan (Mu), “Dia menjelaskan, “Ini karena keridlaan sebelum diputuskannya ketetapan Allah berarti adanya niat kuat untuk merasa ridla, tetapi keridlaan setelah diputuskannya ketetapan adalah [sebenar-benar] keridlaan.”

Abu Sulayman menyatakan, “Aku ingin seandainya aku mengetahui sebagian kecil saja tentang keridlaan. Sekalipun itu akan menyebabkan aku masuk ke neraka, aku akan puas karenanya.” Abu ‘Umar ad-Dimasyqi menyatakan, “Keridlaan adalah hilangnya kesedihan terhadap perintah (Allah) yang mana pun. “ Al-Junayd berkomentar, “Keridlaan adalah meniadakan pilihan.”

Ibnu ‘Atha’ menegaskan, “Keridlaan adalah mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Allah (Qadha’) bagi si hamba, dan meninngalkan ketidaksenangan.”

Ruwaym berkata,”Keridlaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan (Allah).” An-Nuri menyatakan, “Keridlaan adalah senangnya hati atas pahitnya nasib.”

Al-Jurayri mengatakan, “Barangsiapa yang ridla tampa batas, Allah akan mengangkat derajatnya di luar batas.” Abu Turab An-Naksyabi menyatakan, “Orang yang menaruh penghargaan terhadap dunia di dalam hatinya tidak akan dianugrahi keridlaan.”

Diriwayatkan oleh al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib bahwa Rasulullah saw mejelaskan: “Barangsiapa yang ridla akan Allah sebagai Tuhannya, ia akan meresakan nikmatnya iman.”

Diceritakan bahwa ‘Umar bin al-Khaththab menulis surat kepada Abu Musa al-‘Asy’ary, “Segala kebaikan terletak di dalam keridlaan. Maka jika engaku mampu, jadilah oranng yang ridla; jika tidak mampu, jadilah orang yang sabar.”

Saudaraku, semoga kita mendapat hidayah-Nya untuk menjadi hamba-hamba yang bersyukur.

Allahu a’lam
Sumber : Ibtihadj Musyarof, Rahasia sifat ikhlas dll

Derita krn tinggalkan shalat

Disadur dari KH Abdurrahman Arroisy dalam “30 kisah teladan”, menceritakan bahwa :
Dalam suatu masa, di kala senja terlihat seorang wanita mengetuk kediaman Nabi Musa as. Kulitnya bersih dan indah wajahnya. Namun dari raut mukanya memperlihatkan kesan bahwa dia sedang menanggung beban derita yang mendalam.
Ia mengucapkan salam dengan lirih. Namun demikian terdengar jawaban dari dalam rumah, “Waalaikum salam, silakan”.
Wanita cantik ini bertamu sambil menundukkan mukanya karena beban kesedihan.
“Wahai nabi Allah. Tolonglah saya. Doakan saya, agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya”.
“Apakah dosamu, wahai hamba Allah?” Tanya Nabi Musa as.
“Saya takut mengatakannya “, jawab wanita itu.
“ Katakanlah wahai hamba Allah, jangan ragu-ragu “, desak Nabi Musa as.
Akhirnya wanita itu, dengan berat bercerita walau terbata-bata,” ….Saya… telah berzina “.
Nabi pun terhenyak.Wanita itu melanjutkan ceritanya, “ Dari perzinahan itu akhirnya saya hamil”.Ia pun makin terisak, “ Setelah anakku lahir , sayapun membunuhnya “, dan akhirnya pecahlah raungan penyesalan dari wanita tadi.
Mendengar cerita itu, maka Nabi Musa menjadi marah besar. Wajahnya memerah. Dengan berang ia menghardik ,” Wanita terlaknat, menyingkirlah dari sini!”
“ Menyingkirlah dari sini, agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu, pergilah…!”

Dengan isak yang makin keras, wanita itu segera meninggalkan kediaman Nabi Musa as. Kini ia tak tahu lagi, harus kemana lagi hendak mengadu. Nabi Allah saja sudah menolaknya, terbayang betapa besar derita dosa yang harus ia pikul…., betapa hina perbuatannya…..

Beberapa saat setelah wanita itu pergi. Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk turun mendatangi Nabi Musa.
Jibril bertanya, “ Wahai nabi Alllah, mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya ?”
“Wahai nabi allah, tidakkah engkau mengetahui , bahwa ada dosa yang lebih besar daripadanya?”
Nabi Musa as, tersadar dari kemarahannya, dan bertanya ,” Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian seseorang yang berzina dan membunuh jiwa ?”
Jibril berkata, “ Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar daripada seribu kali berzina “.

Mendengan itu. Nabi Musa bergegas mencari dan memanggil wanita tadi, untuk menghadap kembali kepadanya. Nabi Musa pun mengangkat tangan dan dengan khusyu berdoa memohonkan ampunan kepada Allah untuk wanita itu.

Saudaraku, berapa banyak kita mangkir dari shalat bahkan meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa penyesalan sedikitpun. Betapa kita meremehkan perintah yang sangat mulia dari Allah.
Hamba Allah yang beriman, marilah segera kita bertaubat dan segera menyesali perbuatan itu. Dan berjanji untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang menyia-nyiakan shalat kita.
Semoga Allah member hidayah dan kekuatan untuk kita selalu menegakkan shalat dengan istiqomah.

Bukankah Rasulullah telah bersabda, yang artinya : “ Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur"an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka’bah.

Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakhirat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia “.

Semoga kita dimudahkan Allah sehingga bisa mengerjakan shalat berjamaah di masjid tepat pada waktunya. Tiada karunia yang lebih baik dari hal itu.

Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber : lembar tausiyah 2009

Memaafkan Diri Sendiri

Kita pasti dan pasti sering berbuat kesalahan? Yah, semua orang pernah membuat kesalahan. Kita bukan malaikat yang selalu benar, kesalahan adalah hal yang manusiawi. Dari kesalahan kita bisa memetik hikmah, namun tidak sedikit orang yang menjadi terpuruk karena kesalahan di masa lalu yang menimpanya. Hilang semangat dan merasa tidak berdaya. Inilah kenapa kita perlu memaafkan kesalahan yang sudah kita lakukan.
Banyak orang yang tidak memperdulikan kesalahan diri sendiri. Padahal saat kesalahan kita membekas, memberikan pengaruh besar kepada kehidupan Anda, atau berakibat fatal, kesalahan ini bisa mempengaruhi kehidupan Anda secara keseluruhan. Secara tidak sadar pikiran bawah sadar kita mengatakan bahwa kita adalah orang yang salah, lemah, tidak berdaya, dan berbagai pikiran negatif lainnya.
Pikiran negatif terhadap diri sendiri akan menyebabkan kita rendah diri. Seperti dijelaskan dalam Video The Confidence Secret (percaya diri), rendah diri bila dibiarkan akan seperti bola salju, semakin lama semakin membesar. Saat rendah diri sudah menggunung, Anda sudah merasa tidak bisa apa-apa lagi sehingga tidak ada usaha memperbaiki diri sendiri.

Kesalahan-kesalahan masa lalu bisa membuat diri kita menyesal. Marah pada diri sendiri. Hal ini akan menyebabkan sebuah luka, luka emosional pada diri sendiri. Saat kita memiliki luka, kita akan melakukan usaha ekstra melindungi bagian yang terluka, sebab luka diatas luka itu lebih menyakitkan. Perlindungan ekstra ini seringkali menjadikan diri kita menjadi penakut dan mudah tersinggung. Akhirnya emosi negatiflah yang selalu mengiringi kita.
Rendah diri dan emosi negatif adalah tidak baik bagi kehidupan kita. Kita tidak lagi memiliki motivasi, kebahagiaan, dan pencapaian-pencapaian yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menghindarinya ialah dengan memaafkan kesalahan-kesalahan yang telah Anda lakukan. Tentu saja setelah meminta maaf kepada orang lain jika terlibat dan memohon ampun kepada Allah SWT jika kesalahan Anda juga berdosa.
Tentu saja, kita perlu menghindari kesalahan. Namun sebagai manusia kesalahan selalu saja terjadi. Tidak apa-apa, yang penting ialah kita segera memperbaiki kesalahan kita dan perbaikan akan berjalan efektif jika kita telah memaafkan kesalahan kita. Mencoba memperbaiki kesalahan, sementara Anda berada dalam kondisi rendah diri dan mengutuk diri sendiri, perbaikan itu tidak akan memberikan hasil yang optimal, bahkan bisa saja sama sekali tidak berhasil.

Langkah-langkah memaafkan diri sendiri
1. Fahami bahwa memaafkan berbeda dengan melupakan. Sebuah peristiwa yang melibatkan emosi sulit untuk dilupakan, tetapi bisa dimaafkan.
2. Terimalah bahwa Anda melakukan kesalahan. Ini manusiawi. Katakanlah “Meskipun saya melakukan kesalahan, namun saya menerima diri saya seutuhnya.”
3. Mintalah maaf kepada orang lain yang terlibat. Dimaafkan atau tidak, yang penting Anda sudah minta maaf.
4. Mohonlah ampun kepada Allah SWT segara jika kesalahan Anda membuat kesalahan / dosa.
5. Mohonlah ampunan kepada Allah, setiap waktu kapanpun. Walaupun dalam kondisi kita merasa tidak berbuat dosa. Karena Memohon ampun adalah salah satu bentuk ibdah.
6. Sekarang… maafkanlah diri Anda. Katakan saja “Saya memaafkan diri saya seutuhnya.” Katakanlah berulang-ulang dengan penuh konsentrasi, silahkan katakan di dalam hati saja, namun harus diikuti dengan kesungguhan. Allah SWT Maha Pengampun, kenapa kita tidak mau memaafkan diri sendiri?”
7. Ambillah hikmah dari kesalahan Anda. Bersyukurlah bahwa Anda sudah mendapatkan hikmah yang berharga.

Marilah untuk memaafkan diri sendiri, sambil berupaya terus mengadakan perbaikan-perbaikan dalam diri menuju ridha Allah. Maka hidup akan lebih ringan, lebih bahagia, dan lebih bersemangat. Insya Allah.
Allahu a'lam
Sumber : http://www.motivasi-islami.com

Energi memberi Maaf

Memaafkan , ringan diucapkan. Dalam prakteknya, memaafkan orang lain yang telah melukai , yang telah menzalimi kita, membutuhkan kekuatan yang luar biasa. Apalagi bila itu terjadi disaat kita sedang berkuasa atau mempunyai kekuasaan untuk membalas tindakannya yang telah menzalimi kita dulu.
Allah berfirman, yang artinya : ".. dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Qs. An Nur :22) . Firman Allah , yang artinya “ .. dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (Qs. At Taghabun :14)
Lihatlah Abu Sufyan ibn al-Harith, 20 tahun dia paling gencar memusuhi seluruh dakwah kenabian Rasulullah. Dengan segala daya upaya digunakan untuk menghancurkan perjuangan Rasulullah. Bila kaum Quraisy menyalakan api peperangan kepada Rasulullah saw, Abu Sufyan selalu turut mengobarkannya dan setiap penganiayaan yang dilancarkannya selalu membawa bencana bagi kaum beriman.
Namun dalam perkembangannya, Rasulullah dapat memaafkannya. Sabdanya , yang artinya ,” Wahai Ali, umumkan kepada semua orang, bahwa aku Muhammad telah memaafkan Abu Sufyan” .“Wahai Abu Sufyan. Kini tidak ada dendam dan tidak ada penyesalan”. sambil memegang erat tangan Abu Sufyan dan Ja’far.

Saudaraku, juga dinyatakan dalam Al Qur'an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji. "Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia." (Qur'an 42:43)
Berlandaskan hal tersebut, kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, "...menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain." (QS. Ali ‘Imraan, 3:134)
Mereka yang tidak mengikuti ajaran mulia Al Qur'an akan merasa sulit memaafkan orang lain. Sebab, mereka mudah marah terhadap kesalahan apa pun yang diperbuat. Padahal, Allah telah menganjurkan orang beriman bahwa memaafkan adalah lebih baik.
Saudaraku, memaafkan pihak lain sebenarnya bukan menguntungkan orang lain, namun memaafkan orang lain sebenarnya untuk diri kita sendiri, untuk kebahagiaan kita. Kebencian dan dendam hanyalah perampok kebahagiaan kita. Memaafkan orang lain adalah kunci untuk membuat kita bahagia.

Saudaraku, pernahkan kita mendengar istilah Forgiveness Therapy ?
Seorang pakar California Hypnosis Center USA , Calvin D Banyan , membuat rumusan sederhana tentang terapi mengampuni . Dengan mengampuni berarti kita menghapus kemarahan kepada orang lain. Diibaratkan menggosokkan karet penghapus di atas kertas, untuk membersihkan coretan yang salah dalam hidup kita. Ketika menggosokkan karet penghapus, pikiran kita tertuju pada lembar tulisan yang diharapkan kembali menjadi putih bersih, bukan kepada orang yang menyebabkan terjadinya coretan.

Sedangkan kemarahan yang kita ungkapkan adalah noda dalam lembaran hidup kita. Seringkali kita menahan kemarahan, namun kemarahan bukannya hilang, tetapi dia berpindah menempati ruang tertentu dalam pikiran bawah sadar kita. Selanjutnya ia akan mewarnai seluruh hidup kita. Disukai atau tidak sesuatu yang kelewat kita taruh di dalam pikiran bawah sadar, akan mempengaruhi cara hidup kita, baik itu ditaruh dengan penuh kesengajaan, maupun by accident. Kemarahan yang tertahan atau tersalurkan akan menjadi sebutir biji cabai yang kita letakkan di dalam pikiran kita. Maka apapun yang diucapkan oleh orang yang suka memendam kemarahan sering kali berasa pedas dan panas.

Tidak semua sikap memaafkan dapat menjadi therapy. Hanya cara memaafkan tertentu saja yang bisa mengangkat biji cabai dari dalam pikiran kita. Yaitu cara memaafkan yang dibarengi dengan perubahan dalam berperasaan, membuat bingkai perasaan yang baru terhadap sesuatu yang telah terjadi. Memaafkan sebagai therapy adalah sebuah upaya yang cerdas, ia bukan berarti melupakan. Karena melupakan bukanlah tindakan yang cerdas. Dengan memaafkan tidak berarti kita menyukai kejadian yang telah menyakiti Anda

Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai Al Qur'an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.

Allahu a’lam
Sumber : Indahnya Memaafkan (Abu Naila) , http://republika .co.id, http://www. harunyahya.com ,www.hidayatullah.com

menyakitkan, tapi mendatangkan kebaikan

Allah berfirman, yang artinya, “ Dan Kami berikan kepada mereka kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan agar mereka kembali (kepada-Ku) ,” (Qs. Al A’raf : 168).
Allah akan menguji hamba-hamba Nya dengan berbagai kenikmatan dan musibah agar mereka kembali taat kepda Rabb mereka, bertaubat kepada-Nya dan bertaubat dari segala perbuatan maksiat yang dilakukannya.
Saudaraku, diantara faedah dari penyakit yang kita derita dan musibah yang menimpa bahwa hal itu bisa menyadarkan seorang hamba untuk kembali dari jalan kesesatan ke jalan Rabb-nya . Selain itu musibah juga dapat berfungsi sebagai pengingat bagi seorang hamba karena melalaikan Rabb-nya.
Sufyan bin Unaiyah, dalam Al-Farju ba’da asy-syiddah , Ibnu Abi ad-Dunya, berkata bahwa apa yang dibenci oleh seorang hamba itu lebih baik baginya daripada apa yang ia cintai, karena apa yang dibencinya dapat menggerakkannya untuk selalu berdoa dan apa yang dicintainya membuatnya terlena (lalai).
Banyak diantara kita yang justru terjerumus dalam buaian kenikmatan dan jeratan hawa nafsu ketika dalam keadaan sehat walafiat. Seorang hamba disibukkan dengan urusan duniawinya sehingga melalaikan Tuhan-nya. Dalam kondisi ini setan mengambil kesempatan untuk makin menjerumuskan seseorang untuk makin membuatanya lalai terhadap Allah.

Firman Allah, yang artinya, “ Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri “. (Qs. Al-an’am : 42).

Ibnu Jarir, dalam tafsir Ibnu Jarir menyatakan bahwa Allah menyiksa dengan kesengsaraan berupa kefakiran yang amat sangat dan kesempitan dalam hidup serta berbagai penyakit dan penderitaan yang dirasakan tubuh. Allah memberikan penyakit itu kepada hamba-hamba-Nya agar mereka merendahkan dirinya kepada Allah, meng-ikhlaskannya hanya kepada Allah, hanya memasrahkan keinginannya kepada Allah dan tidak meyerahkannya kepada selain Allah, berupa sikap merendahkan diri hamba kepada Allah dengan ketaatan dan memohon ketenangan dari hamba kepada Allah dengan bertaubat.

Dari Abdurrahman bin Said, dari ayahnya , ia berkata aku bersama Salman mengujungi orang sakit di Kandah, ketika bertemu dengannya ia berkata,’ Kabarkanlah berita gembira, sesungguhnya penyakit yang diderita seorang hamba beriman itu dijadikan oleh Allah sebagai kaffarat (penebus dosa) dan tegoran baginya.

Penyakit yang diderita dan musibah bisa menjadi faktor penyebab untuk meng-instropeksi diri dan bertaubat dari perbuatan buruk serta sarana untuk menyadari kelalaiannya.

Yazid bin Masirah, dalam Iddah Ash-Shabiri, menyatakan bahwa sesungguhnya seorang hamba yang ditimpakan penyakit dan sesuatu yang menimpanya, disisi Allah dicatat sebagai amal kebaikan. Allah akan mengingatkan kepadanya sebagian dari kesalahan-kesalahan masa lalu, sehingga keluarlah air mata karena takut kepada Allah. Maka Allah akan melepaskan ujian itu , jika dilepaskan darinya akan menyebabkan menjadi suci (hatinya), atau tetap akan memberikannya ujian jika hal itu dapat membuatnya (hatinya) menjadi suci.

Ibnu Al-Mu’taz , dalam Jannah ar-ridha, menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang menyakitkan biasanya akan mendatangkan kebaikan yang sangat banyak, diantaranya berupa tabungan pahala, dihapuskannya dosa, peringatan karena sikap lalai, lebih mengetahui betapa indahnya sebuah kenikmatan dan menolong seorang dari malapetakan zaman (kehidupan).

Bahkan Sufyan ats-Tsauri dalam asy-syukru, Ibnu abi ad-Dunya, berkata bahwa Allah telah memberikan nikmat kepada hamba-Nya akan kebutuhannya lebih banyak daripada apa yang dimohonkannya.

Dan , yang menggembirakan sebagaimana dikatakan Wahab bin Munabbih berkata bahwa diturunkannya bencana (bala’) itu agar dengannya doa-doa dikeluarkan (dibacakan).

Saudaraku, dengan adanya musibah atau penyakit, justru mengingatkan kepada kita betapa sangat banyak kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah kepada kita.

Wallahu a’lam
Sumber : Hikmah bagi orang sakit, Abdullah bin ali al-J’aitsin.

Penderitaan karena jauh dari Allah

Firman Allah, yang artinya, “ Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupannya yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta ,” (Qs. Ta-Ha : 124).
Firman Allah, yang artinya, “ Allah berfirman,”Demikianlah , telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya , dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan ,” (Qs. Ta-Ha : 126).
Saudaraku, tingkat persaingan penghidupan yang makin ketat, menjadikan kita rentan terbawa arus untuk semakin menjauh dari Allah. Seakan kehidupan spiritual mejadi justru menghambat berkembangnya karier kita .
Saudaraku, pernahkah kita merasa terbelenggu dalam penderitaan ? Selesai dari masalah yang satu segera datang masalah yang lainnya , silih berganti. Ya tentu, saya juga mengalami masalah yang bertubi-tubi seperti anda.
Setelah sekian lama merenung, jawaban semua itu semakin jelas terpampang didepan saya. Ya, anda betul, penyebab paling utama adalah karena saya semakin menjauh dari Allah. Perhatian terlalu tertuju pada masalah fisik duniawi. Kita berpikir bahwa materi, jabatan, pekerjaan, keilmuan kita, atau yang lainnya bisa menjadi jalan keluar dari masalah-masalah yang menimpa.

Bukan itu semua jawabannya , justru depresi yang kita dapatkan. Saya semakin terperosok kedalam dasar jurang depresi , samapai sya tidak tahu lagi harus berbuat apa . Disaat itulah barulah kita tersadar bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran . Kasih sayang Allah yang telah menggapaiku untuk mendekat kepada-Nya. Kelembutan kasih sayang Allah hadir disaat saya semakin jauh dari-Nya.
Bukankah saat-saat ini adalah saat paling tepat untuk bersyukur kepada Allah? Inilah waktu kita untuk mendekat kepada-Nya.

Barulah kita menyadari, bahwa Allah mencintai diri kita. Jauh lebih besar dari cinta kita terhadap diri kita sendiri. Allah membukakan pintu agar kita mendekat kepada-Nya, disaat kita jauh terperosok dalam kemaksiatan.

Saudaraku, janganlah mengulur waktu untuk selalu berusaha mendekat kepada-Nya. Inilah anugerah terindah dari kasih-sayang-Nya.

Saudaraku, tantangan terbesar dalam kehidupan manusia adalah dirinya sendiri. Tantangan ini tidak bersumber dari luar, namun bersumber dari dalam dirinya sendiri. Benarlah, tantangan yang paling berbahaya adalah kemampuan menerima diri sendiri apa adanya. Dengan kata lain adalah bersyukur kepada Allah, atas apa yang ada dalam dirinya.

Sungguh sangat sedikit orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman Allah , yang artinya ,” Dan sedikit sekali diantara hamba-hamba-Ku yang bersyukur”, (Qs. Saba’ : 13).

Tidak atau kurang bersyukur adalah faktor utama penderitaan manusia. Hamba yang paling menderita adalah orang yang tidak bisa menerima keadaan diri sendiri. Karena sikap ini akan melahirkan serangkaian masalah yang tiada berujung. Semua masalah ini berasal dari dalam diri kita sendiri.

Akibat berpikir negatif tentang dirinya sendiri, maka lambat-laun akan menderita gangguan kejiwaan dan penyakit fisik. Penyebab pikiran negative adalah pengaruh internal dalam dirinya sendiri yang membuat seseorang menghancurkan kehidupannya sendiri. Penyebab utama penderitaan seorang hamba adalah melalui pikiran-pikiran negative tentang dirinya sendiri yang terjadi berulang kali, sehingga akhirnya pikiran ini menjadi keyakinan. Keyakinan yang terus diulang oleh perasaan hingga menjadi kebiasaan yang terbawa sepanjang hidup.
Salah satu bentuk bersyukur adalah kemampuan kita menerima diri sendiri apa adanya. Manfaat bersyukur justru akan kembali kepada kita sendiri, bukan kembali kepada Allah. Kita sendirilah yang mengambil dari manfaat rasa syukur kita.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya ,” Dan, barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri “ , (Qs. Luqman : 12).

Wallahu a’lam
Sumber : Quwwat al-Tafkir, Dr Ibrahim Elfiky.

Senin, 06 Juni 2011

Hakikat Kesabaran

Kesabaran adalah lilin ditengah kegelapan, obat mujarab untuk berbagai luka,dan hakikat mimpi-mimpi.Siapa yang bersabarmaka ia beruntung. Dengan bersabar seorang hamba akan mewujudkan impian-impiannya.
Allah berfirman , yang artinya ,” Dan Kami jadikandi antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi banyak petunjukdengan perintah Kami ketika mereka sabar”, (Qa. Al-Sadjah : 24).
Al Minawi berkata bahwa sabar adalah daya tahan terhadap musibah dan rasa sakit inderawi yang sedang berlangsung. Kesabaran adalah cobaan moral dan ujian mental agar kita mampu mencapai puncah kesuksesan.
Saudaraku setiap kita menginginkan untk dapat tegar dalam menjalani ketentuan Allah yang tidak sesuai dengan keinginan , ataupun ketika menghadapi orang yang berlaku zalim kepadanya. Dan ketegaran ini hanya dapat diperoleh melalui sikap sabar disertai dengan permohonan kepada melalui shalat. Zaman sekarang ini memang sarat dengan kesibukan dan tekanan bagi jiwa, kezaliman meraja lela. Kegelisahan dan ketidakstabilan situasi , akan memicuk ketidaksabaran dan ketidaktegaran. Ini sungguh hambatan besar seorang hamba untuk maju dalam kehidupan sosialnya sebagaimana yang diharapkan. Untuk menghadapi situasi dan kondisi yang sedemikian berat , kesabaran dan shalat adalah senjata yang harus tetap dipegang oleh hamba beriman.


Kezaliman sangat beragam coraknya, ada kezaliman dalam tindakan, kezaliman dalam bicara, kezaliman dalam perasaan (dengki , prasangka). Dan kezaliman-kezaliman ini akan memakan kebaikan yang telah dilakukan , seperti halnya api membakar sekam.
Banyak pertanyaan yang mengganjal dalam benak kita, bagaimana mungkin seseorang dapat bahagia dengan bersabar? Bukankah dengan membalas , melampiaskan emosi maka beban kita menjadi lebih ringan? Saudaraku, pelampiasan emosi hanya akan mendatangkan kepuasan sesaat , yang akhirnya akan selalu berujung pada penyesalan.

Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Hai orang-orang yang beriman , jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,’ (Qs. Al-Baqarah : 153).

Benarlah, firman-Nya, “ Sesungguhnya tidak pernah mendapat kebahagiaan orang yang berlaku aniaya”, (Qs. Yusuf : 23)

Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Dan (bagi) orang-orang yang apabila diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”, (Qs. Asy-syuura : 39,40).

Sungguh kemuliaan kesabaran ada di berbagai lapisan kehidupan, termasuk dalam kehidupan rumah tangga keluarga. Sebagaimana Rasulullah , bersabda, yang artinya ,” Barang siapa bersabar atas keburukan budi pekerti istrinya, Allah akan memberinya pahala seperti apa yang diberikan kepada (nabi) Ayyub. Dan barang siapa yang bersabar atas keburukan budi pekerti suaminya, Allah akan memberikan pahala seperti pahala Asiyah istri fir’aun”.

Lihatlah pesan Lukman Al-Hakim kepada puteranya, “ Wahai anakku, barang siapa mengatakan bahwa kejahatan bisa memadamkan kejahatan, suruhlah ia menyalakan dua api, kemudian suruhlah ia melihat apakah api yang satu dapat memadamkan api yang lain. Sesungguhnya , kebaikan itu akan memadamkan kejahatan seperti halnya air memadamkan api”.

Sayidina Ali bin Abi thalib ra berkata ,” Orang yang bersabar, pasti mendapat kemenangan , walaupn tertunda”.

Suatu ketika ada seorang prajurit yang baru datang dari medan perang bertemu dengan Ibrahim bin Adham di pintu gerbang kota. Dia bertanya dimana tempat perkampungan untuk beristirahat. Lalu Ibrahim menunjuk arah pemakaman.
Karena merasa dipermainkan , maka tanpa pikir panjang , dipukullah Ibrahim dengan kerasnya hingga berdarah. Lalu sesorang lain berkata, “ Mengapa engkau menamparnya, tidak tahukah engkau , dia adalah Tuan Gubernur Ibrahim bin Adham!”.
Bukan main terkejut prajurit itu, dan segera mohon maaf dengan ketakutan.
Namun gubernur menjawab,” Ketika engkau menamparku, aku memohon kepda Allah agar engkau mendapatkan surga”.
Prajurit bertanya dengan keheranan, “ Mengapa tuan berkata begitu kepadaku?”.
Gubernur menjawab, ,” Engkau memukulku, lalu aku mengampunimu. Hal itulah yang menyebabkan aku akan mendapat pahala besar yang akan mengantarkan aku masuk surga. Karena jasamu itulah, aku mohon kepada Allah agar engkau juga mendapatkan surga”.
Lalu Gubernur menambahkan, “ bukankah Rasulullah telah bersabda, yang artinya ,” Janganlah kamu (suka) marah , niscaya kamu akan mendapatkan surga,”.

Saudaraku, sabar adalah menahan diri (pada saat menerima musibah ataupun pada waktu mampu berbuat) untuk tidak bertindak mengikuti hawa nafsu yang bertentangan dengan peraturan Allah (Al-Qur’an) dan petunjuk Rasul-Nya.

Suatu riwayat oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Abdullah bin Mas’ud , bercerita suatu ketika bersama kami di masjid ada Rasulullah SAW sedang melakukan shalat.Utbah, Uqbah, abu Jahal dan Syaibah berkerumun di dekat Hajar Aswad.
Ketika Rasulullah melakukan shalat. Ketika beliau memanjangkan sujudnya.
Terdengar Abu Jahal berteriak,’ Siapakan diantara kalian yang ingin mendatangi domba-domba si fulan dan membawa kotoran kesini untuk kita tmpahkan kepada Muhammad!”
Uqbah langsung berdiri mengambil kotoran domba yang masih basah dan melemparkan ke pundah Rasulullah yang sedang bersujud.
Fatimah, putri Rasulullah, segera membersihkan kotoran itu dan rasulullah mengangkat kepala sebagaiman lazimnya orang yang baru bangun dari sujud.
Selesai shalat , beliau mengadu kepada Allah (tiga kali),” Ya Allah, kepada-Mu kuserahkan orang-orang Quraisy, kepada-Mu kuserahkan Utbah, Uqbah, Abu Jahal dan Syaibah”.

Dan dalam riwayat lain(riwayat Muslim dari Abu Hurairah), para sahabat mendesak Rasulullah,” Ya Rasulullah berdoalah kepada Allah , agar Allah menurunkan bencana kepada orang-orang (musyrik) itu !”.
Rasulullah pun menjawab, yang artinya,” Aku diutus Allah tidak untuk menjadi tukang kutuk, tetapi untuk menjadi rahmat”.

Saudaraku, semoga kita diberi kekuatan sabar dari Allah. Sehingga bisa bersabar semata-mata dengan niat karena taat menjalankan perintah Allah dan mengikuti Rasul-Nya. Kemudian berserah diri kepada Allah.

Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Barang siapa diantara kamu yang patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mengerjakan perbuatan baik, niscaya akan Kami berikan pahala dua kali lipat, dan untuk mereka Kami sediakan rizki yang banyak,” (Qs. Al-Ahzab : 31)

Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku , niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) merreka bersedih hati”. (Qs. Al-Baqarah : 38).

Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,” Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan,” (Qs. An-Nisaa : 13-14).

Saudaraku , setiap kita memiliki tujuan dan ambisi. Ada yang tujuan dan cita-citanya hanyalah sebatas pandangannya saja, ada yang setinggi bintang di langit. Jalan terjal menuju puncak dan kesuksesan memerlukan kekuatan , tekad dan kehendak, kesulitan dan kepahitan memerlukan kesabaran. Dan kesabaran harus dipasangkan dengan shalat, karena sabar dan shalat adalah satu dalam dua sisi mata uang yang harus berjalan bersatu beriringan.

Allau a’lam
Sumber : Dr Musa Rasyid el Bahdal dlm Su’ud bila hudud, Ir Permadi Alibasyah dlm Bahan Renungan Kalbu.

Rabu, 01 Juni 2011

Berkerja keras lagi kepayahan

Dalam suatu ayat, Allah subhanahu wa ta’ala bercerita tentang keadaan hari kiamat:
“Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum (dengan air) dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar.” (QS. Al Ghasyiyah: 1-7)
Ayat tersebut di atas merupakan cerita tentang kondisi sebagian penghuni neraka .Ternyata bukan semua penghuni neraka adalah orang-orang yang dulunya gemar berbuat maksiat dan lain sebagainya.
Namun ternyata ada juga di antara penghuni neraka yang di dunianya rajin beramal, bahkan sampai dia kelelahan karena banyaknya amalannya. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran yang amat besar dalam diri kita, semoga kita tidak termasuk yang sudah beramal banyak tapi nantinya termasuk ke dalam golongan yang disebut oleh Allah subhanahu wa ta’ala di dalam surat Al Ghasyiyah tersebut .


Sebelum , melangkah bahasan ini, mari kita simak bersama hadits berikut ini:
Suatu hari ketika Syufay al-Ashbahani memasuki kota Madinah, dia mendapati seseorang yang sedang dikerumuni orang banyak, maka dia pun bertanya, “Siapakah orang ini?”
Mereka menjawab, “Ini adalah Abu Hurairah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Maka Syufay pun mendekat hingga dia duduk di hadapan Abu Hurairah, yang saat itu dia sedang menyampaikan hadits-hadits Nabi SAW kepada para hadirin. Ketika selesai dan hadirin telah meninggalkan tempat.
Syufay berkata, “Sebutkanlah untukku sebuah hadits yang engkau dengar langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amat engkau hafal dan engkau pahami.”

Abu Hurairah menjawab, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW dan amat aku pahami.” Saat Abu Hurairah akan menyebutkan hadits itu tiba-tiba beliau tidak sadarkan diri untuk beberapa saat.

Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW dan amat aku pahami.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat.

Ketika siuman dia kembali berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi untuk beberapa saat.

Ketika siuman dia mengusap wajahnya dan berkata, “Baiklah, akan kuceritakan padamu suatu hadits yang aku dengar langsung dari Rasulullah SAW di rumah ini, saat itu kami hanya berdua dengan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Tiba-tiba Abu Hurairah tidak sadarkan diri lagi dalam waktu yang cukup panjang, hingga Syafi pun menyandarkan Abu Hurairah ke tubuhnya, sampai beliau siuman.

Ketika sadar beliau berkata, “Suatu saat Rasulullah SAW berkata kepadaku: “Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah subhanahu wa ta’ala akan turun kepada para hamba-Nya untuk mengadili mereka, dan saat itu masing-masing dari mereka dalam keadaan berlutut.

Lantas yang pertama kali dipanggil oleh-Nya (tiga orang):
1. Seorang yang rajin membaca Al Quran,
2. orang yang berperang di jalan Allah ,dan
3. orang yang hartanya banyak dan gemar bersedekah.

Maka Allah pun berkata kepada si Qori’, ‘Bukankah Aku telah mengajarkan padamu apa yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku?’
Si Qori’ menjawab, ‘Benar ya Allah.’
Allah kembali bertanya, ‘Lantas apa yg telah engkau amalkan dengan ilmu yang kau miliki?’
Si Qori menjawab, ‘Aku (pergunakan ayat-ayat Al Quran) yang kupunyai untuk dibaca dalam shalat di siang maupun malam hari,’
Serta merta Allah berkata, ‘Engkau telah berdusta!’ Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’
Lantas Allah berfirman, ‘Akan tetapi (engkau membaca Al Quran) agar supaya engkau disebut-sebut qori’! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’
Kemudian didatangkanlah seorang yang kaya raya,
Allah berfirman padanya, ‘Bukankah telah Kuluaskan (rizki)mu hingga engkau tidak lagi membutuhkan kepada seseorang?”
Dia menyahut, ‘Betul, ya Allah .’
Allah kembali bertanya, ‘Lantas engkau gunakan untuk apa (harta) yang telah Kuberikan padamu?’
Si kaya menjawab, ‘(Harta itu) aku gunakan untuk silaturrahmi dan bersedekah.’
Serta merta Allah berkata, ‘Engkau dusta!’
Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’
Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetapi engkau ingin agar dikatakan sebagai orang yang dermawan! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’

Lantas didatangkan orang yang berperang di jalan Allah,
kemudian dikatakan padanya, ‘Apa tujuanmu berperang?’
Orang itu menjawab, ‘(Karena) Engkau memerintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, maka aku pun berperang hingga aku terbunuh (di medan perang).’
Allah berkata, ‘Engkau dusta!’
Para malaikat juga berkata, ‘Engkau dusta!’
Lalu Allah berfirman, ‘Akan tetap engkau ingin agar dikatakan engkau adalah si pemberani! Dan (pujian) itu telah engkau dapatkan (di dunia).’

Selanjutnya Rasulullah SAW menepuk lututku sambil berkata, ‘Wahai Abu Hurairah, mereka bertiga adalah makhluk Allah yang pertama kali yang dikobarkan dengannya api neraka di hari kiamat.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih IV:115, no: 2482, Ibnu Hibban dalam Shahih II:135, no: 408. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/415 berkata, “Isnadnya shahih” dan disepakati oleh adz-Dzahaby dan Al Albani)

Saudaraku , apakah kita termasuk hamba yang rajin dan bersemangat kerja keras mengais rizki, membanting tulang dan memeras keringat. Bahkan apakah kita merasa amalan ibadah kita sudah sedemikian banyak . Ataukah justru kita terbelenggu dengan perbuatan-perbuatan maksiat .

Dengan mengkaji penjelasan para ulama terhadap ayat diatas (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa li Syaikhil Islam XVI:217, dan Shaid al-Khatir karya Ibn al-Jauzi I:373) , diakatakan bahwa ternyata rahasia kesialan mereka adalah karena mereka beramal tapi tidak memenuhi syarat-syarat diterimanya amalan.

Merujuk kepada dalil-dalil dari Al Quran dan Al Hadits kita bisa menemukan bahwa syarat pokok diterimanya amalan seorang hamba ada dua:
1. Ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala.
2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Kahfi, yang artinya ,“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan sesuatupun dalam beribadat kepada Rabb-nya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Oleh karena itu Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, “Dua hal ini merupakan dua rukun amal yang diterima. (Jadi suatu amalan) harus ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat: Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy, hal: 9-12).

Mari kita mulai mempelajari bersama, syarat pertama diterimanya suatu amalan, yaitu syarat ikhlas karena Allah ta’ala. Maksudnya adalah: seseorang hanya mengharapkan ridho Allah dari setiap amalannya, bersih dari penyakit riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain), tidak mencari pujian dan balasan melainkan hanya dari-Nya. Pendek kata seluruh amalan yang ia kerjakan hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan ini merupakan inti ajaran aqidah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul. (Mudzakkirah fil ‘Aqidah, karya Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimy,).

Orang yang tidak mengikhlaskan amalannya untuk Allah subhanahu wa ta’ala, tidak hanya mengakibatkan amalannya ditolak oleh Allah, tapi juga kelak dia akan disiksa di neraka.
Bila melihat hadits diatas , meskipun masing-masing dari mereka bertiga memiliki amalan yang banyak, akan tetapi justru dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka pertama kali, itu semua gara-gara amalan mereka tidak ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga kita semua termasuk orang-orang yang dikaruniai Allah keikhlasan dalam setiap amalan.
Allah berfirman , yang artinya “Dan Kami datang kepada amalan yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al Furqan: 23)

Maka, jika ada di antara kita yang masih mengotori niat dalam beribadah dengan kotoran-kotoran duniawi, mari kita bersihkan kotoran-kotoran tersebut dari sekarang agar kita tidak menyesal.
Adapun syarat yang kedua agar amalan kita diterima adalah: Mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya: Amalan yang kita kerjakan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala harus sesuai dengan apa yang diterangkan oleh Allah dan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman , yang artinya , “Pada hari ini telah telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Ku-cukupkan kepada kalian nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagi kalian.” (QS. Al Maaidah: 3)

Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya “Katakanlah (wahai Muhammad): Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah hendaklah kalian mengikutiku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31)

Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya, “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunahku dan sunnah para khalifah ar-rasyidin (yang diberi petunjuk) sesudahku, gigitlah dengan gigi geraham kalian, dan hati-hatilah dari setiap perkara yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan adalah di neraka.” (HR. At-Tirmidzi IV:149 dan Ibnu Majah II:1025)

Dalam hadits lain Beliau SAW memperingatkan, yang artinya “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru di dalam perkara (agama) ini yang bukan merupakan bagian darinya, maka amalan itu akan tertolak.” (HR. Bukhari III:241 dan Muslim V:132)

Di zaman kita ini banyak di kalangan sebagian masyarakat amalan-amalan yang dianggap ibadah, padahal tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabatnya. Apakah mereka lebih paham tentang agama Islam daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya? Ataukah mereka telah memiliki tuntunan yang berbeda dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya?
Banyak variasi pendapat para ulama dalam menafsirkan firman Allah, ”bekerja keras lagi kepayahan”.

Saudaraku, tentunya kita harus ekstra hati-hati dengan kegiatan kita yang barangkali kita anggap sebagai lading ibadah. Syarat penerimaan itu ditentukan sendiri oleh Allah SWT; niat yang ikhlas untuk Allah SWT dan cara kerja yang sesuai sunnah Nabi.

Kita harus memahami sedalam-dalamnya untuk siapa sebenarnya kita bekerja. Jangan sampai mendapati ancaman kesia-siaan; kerja keras, seperti firman Allah SWT, “Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).” (Al-Ghasyiyah: 2-4)

Dalam suatu riwayat dikisahkan, dalam perjalanan ke Palestina setelah pembebasan Al-Quds, Umar Bin Khattab berhenti sejenak menyaksikan seorang pendeta yang sedang khusyuk beribadah. Tapi kemudian beliau menangis tersedu-sedu, ketika teringa dan membaca ayat di atas, “bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka).”

Di hadapan ancaman kesia-siaan itu, kita harus mengasah kejujuran batin secara terus menerus, mengoreksi pekerjaan-pekerjaan secara berkesinambungan; sebab dengan begitulah kita berharap dapat mempertahankan keikhlasan dan kerendahan hati di depan Allah SWT, mematikan luapan kebanggaan setelah prestasi-prestasi besarnya, sembari berdoa di antara deru kecemasan dan harapan agar Allah SWT berkenan menerima kegiatan ibadah kita.

Penafsiran lain dari kerja ”keras dan kepayahan” dalam surat al-Ghasyiyah ini adalah kerja keras untuk mendapatkan pahala, namun berangkat dari keyakinan yang sesat, atau cara yang salah.

Syeikh asy-Synqithi menukil sebagian penafsiran, bahwa maksud ayat itu adalah,”Mereka kerja keras dan kelelahan dalam menjalankan ibadah yang sesat. Kelompok ini juga sangat memprihatinkan. Betapa tidak, merasa telah menjalankan ibadah, bersusah payah untuk berbuat baik dalam persangkaannya, namun ternyata sesat.

Sebagaimana firman-Nya , yang artinya ”Katakanlah: ”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS al-Kahfi 103-104).

Termasuk dalam kategori ini, mereka yang beribadah, baik shalat, dzikir dan amalan lain yang tidak mengikuti sunnah. Mereka yang tertarik dengan bid’ah yang di ada-adakan. Syeikh asy-Synqithi mengingatkan tatkala menafsirkan ayat ini, ”Hendaknya takut akan ayat ini, orang yang beramal tanpa dasar ilmu, tapi beramal di atas bid’ah dan kesesatan”.

Umumnya, orang yang melakukan bid’ah memiliki prasangka akan mendapatkan pahala lebih dengan menjalaninya. Padahal, bukan itu amal yang dikehendaki Allah. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan benar. Ikhlas adalah beramal untuk Allah, sedangkan benar adalah sesuai dengan sunnah Rasulullah saw.

Wallahu alam bish shawab.

Sumber : ar-risalah magazine. , Tim Mahasiswa Indonesia Universitas Islam Madinah, Madinah KSA , Ustadz Abu Abdirrahman Abdullah Zaen (Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia)

‘Uzlah dari maksiat

Ada bermacam pemahaman tentang 'Uzlah . Dalam sufisme klasik cenderung pada mengisolir diri yaitu uzlah dari keramaian hidup bermasyarakat dan hanya melakukan kegiatan yang bersifat spiritual, diantaranya adalah Surri Al-Sahathi, Sufyan Al-Suri, Bisyr ibn Al-Harists, Al-Hafi dan Al-Ghazali. Dalam neo sufisme mendorong dan memotivasi untuk kreatif dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, seperti Fazlur Rahman, Hamka dan Said Ramadhan.
Ibnu Athaillah Assukandary dalam Syarah Hikam menyebutkan bahwa dalam diri manusia terdapat bagian yang namanya al-qalbu (hati). Hati ini bisa membuat manusia sejahtera dan bisa pula membuat manusia sakit. Hati ini pula yang membuat tumbuhnya iman, tempat berseminya makrifat kepada Allah SWT, dan berkembangnya rasa keikhlasan.
Uzlah yang terbaik menurut Ibnu Athaillah adalah uzlah-nya Ahlun Nihayah atau manusia yang berada pada tingkat sempurna. Berdasar penjelasannya, orang yang berada pada tingkat ini, ciri-cirinya lebih dekat dengan pelaku uzlah yang masuk kelompok pertama. Orang yang masuk kriteria pertama ini hidupnya diibaratkan seekor ikan yang hidup di laut. Ikan laut tidak akan terasa asin walaupun ia hidup di air laut yang begitu asin. Begitulah hidup orang yang beriman, sangat dekat kepada Allah SWT.

Ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya yang penuh kemungkaran. Dia justru terus melawan kemungkaran itu. Jadi yang dimaksud dengan uzlah adalah menghadapkan hati secara terarah khusus kepada Allah SWT. Dengan demikian, menurut dia, hati akan terbebaskan dari masuknya gambaran-gambaran lain selain Allah SWT.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir. Beliau menyatakan bahwa didalam Al-Qur’an tema uzlah tidak didiskripsikan secara detail. Penafsiran uzlah hanya tersirat dari isyarat yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an Ayat uzlah terdapat dalam surat Al-Kahfi yang didalamnya menerangkan kisah Ashhabul kahfi dalam ayat 16 Allah berfirman, yang artinya, “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung kedalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebaian rahmatnya kepada kalian dan menjadikan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian”.

Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana dikuti Az-Zuhaili, tindakan mengasingkan diri kedalam gua sebagaimana pernah dilakukan ashhabul kahfi adalah di syari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membehayakan agamanya.

Menurut Syekh Zarruq, orang yang ber-uzlah terbagi dalam tiga bagian. Pertama, orang yang ber-uzlah dengan hatinya saja sementara badannya tidak. Kedua, orang yang ber-uzlah badannya saja sementara hatinya tidak. Ketiga, orang yang ber-uzlah baik badan maupun hatinya. Orang yang ber-uzlah menurut kriteria pertama adalah orang yang dapat memelihara hatinya dari keadaan sekitar dia. Meski hidup di tengah kemaksiatan, ia tidak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Orang yang ber-uzlah menurut kriteria kedua adalah orang yang terpengaruh oleh keadaan sekitarnya meskipun ia tinggal menyendiri. Sedangkan orang yang ber-uzlah menurut kriteria ketiga adalah orang yang benar-benar menjauhkan diri dari keadaan sekitarnya baik fisik maupun hatinya.

Dakwah baginya merupakan kewajiban dalam rangka mencegah kemungkaran dan menegakkan yang makruf (QS Ali Imran: 104, 110). Tentu saja dakwah yang dilakukan adalah dakwah yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan tuntunan Rasulullah SAW. Dakwah yang mengajak manusia untuk beriman kepada Allah SWT dengan cara memberi hikmah, memberi teladan yang baik, dan memperlakukan manusia dengan rasa kemanusiaan (QS An-Nahl: 125). Dengan dakwah seperti itu, manusia yang mendapatkan dakwahnya dapat melakukan uzlah untuk mencapai tingkat kesempurnaan (uzlah ahlun nihayah).

Dr. 'Aidh al-Qarni dalam La Tahzan , menekankan ‘uzlah (pengasingan diri) sebagai ber-uzlah dari segala bentuk kejahatan, dan kemubahan yang berlebihan. Ber-’uzlah seperti ini akan membuat dada menjadi lapang dan mengikis semua kesedihan.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Ada keharusan bagi hamba untuk melakukan ‘uzlah agar dapat beribadah kepada Allah, berdzikir kepada-Nya, membaca ayat-ayat-Nya, melakukan muhasabah terhadap dirinya, berdoa kepada-Nya, meminta ampunan-Nya, menjauhi tindakan-tindakan yang jelek, dan lain sebagainya.

Dalam Shaidul Khathir, Ibnu al-Jauzi telah menuliskan tiga pasal, yang ringkasannya demikian: “Saya tidak melihat dan mendengar manfaat yang lebih besar daripada ‘uzlah. Karena ‘uzlah adalah sebuah ketenangan, sebuah keagungan, sebuah kemuliaan, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari keburukan dan kejahatan, sebuah kiat untuk menjaga kehormatan dan waktu, sebuah cara untuk menjaga usia, sebuah tindakan untuk menjauhkan diri dari orang-orang yang mendengki, sebuah perenungan tentang akhirat, sebuah persiapan untuk bertemu Allah, sebuah pemusatan jiwa raga untuk melakukan ketaatan, sebuah pemberdayaan nalar terhadap hal-hal yang bermanfaat, dan sebuah eksplorasi terhadap nilai dan hukum dari nash-nash yang ada.”

Dr. 'Aidh al-Qarni menyatakan bahwa dalam ‘uzlah itu terdapat sebuah kemuliaan yang hanya diketahui oleh Allah saja. Dalam ber-’uzlah terjadi pengembangan daya berpikir, pencapaian pada sebuah hasil pemikiran, penenangan kalbu, dan penyelamatan kehormatan.
Di samping itu, dalam ber-’uzlah ada banyak pahala yang didapatkan, ada usaha untuk menjauhkan diri dari kemungkaran, ada pemberdayaan jiwa untuk selalu melakukan ketaatan, ada waktu untuk mengingat Sang Maha Pengasih, ada usaha untuk menjauhi hal-hal yang melenakan dan menyita waktu, ada upaya untuk lari menjauh dari fitnah, ada usaha untuk menjauh dari kepungan musuh, ada kesempatan untuk tidak mencela orang lain, ada pemenuhan hak-hak, ada kesempatan untuk sembunyi dari orang yang sombong, dan ada kesempatan untuk bersabar terhadap orang yang bodoh.

Dalam ‘uzlah juga terdapat tabir untuk menutupi aurat: yakni aurat berupa aurat lisan, kesalahan melangkah, penyimpangan pikiran, dan kecenderungan jiwa yang jahat.
‘Uzlah merupakan hijab untuk menutupi wajah-wajah kebaikan, cangkang untuk menyembunyikan mutiara-mutiara keutamaan, dan lengan baju untuk membungkus tangan-tangan kebaikan. Alangkah indahnya ber - ‘uzlah dengan buku; karena orang akan dapat menambah usia, dapat mengulur kematian, dapat meraih kenikmatan dalam kesendirian, dapat
mengembara menuju ketaatan, dan dapat berjalan-jalan dalam perenungan.

Dalam ‘uzlah akan kita dapatkan perenungan, penghayatan, tafakkur, dan tadabbur.
Pada saat ber-’uzlah Anda akan dapat menyelami makna-makna, menangkap butiran-butiran nilai, merenungkan tujuan-tujuan hidup, dan membangun menara ide serta pemikiran.

Pada saat ber-’uzlah ruh berada dalam kegembiraan, hati berada dalam kebahagiaan terbesar, dan nurani berada dalam perburuan nilai-nilai. Jangan riya’ pada waktu ber-’uzlah, sebab hanya Allah yang melihat Anda. Dan, jangan perdengarkan pembicaraan Anda kepada sesama, sebab
hanya Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat yang mendengar. Semua orang besar menyirami ‘tanaman’ kemuliaan mereka dengan ‘air’ ‘uzlah sampai mereka bisa tegak berdiri. Selanjutnya, tumbuhlah pohon keagungan mereka dan menghasilkan buahnya yang bisa dipetik setiap saat dengan izin Rabb-nya.

Ada banyak manfaat yang dapat kita petik dari 'uzalh, antara lain ;
Misalnya tersedianya waktu luang untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah, bertaffakur dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, menyibukkan diri dengan berupaya menyingkap rahasia-rahasia Allah dalam berbagai perkara dunia dan akhirat, serta memikirkan hikmah penciptaan makhluk, termasuk kerajaan langit dan bumi yang begitu luas. Seluruh hal tersebut menuntut adanya waktu luang. Sedangkan waktu luang tidak bisa didapat ketika kita banyak menghabiskan waktu dalam bergaul dengan orang lain; dan uzlah merupakan salah satu sarana yang bisa mengantarkan kita kepada tujuan tersebut. Dzun Nun Al Mishri berkata,bahwa 'Kebahagian seorang mukmin dan kelezatanya, yaitu ketika dia bermunajat kepada Rabb-nya.'
Fudhail bin Iyadh berkata,'Jika aku melihat malam telah datang, aku bergembira karenanya, dan ku katakan, ‘aku akan berkhalwat bersama Rabb-ku’.

Dengan ber- 'uzlah , dapat melepaskan diri dari jeratan maksiat, seperti: ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), riya’ (beramal agar dilihat orang), enggan beramar ma’ruf nahi mungkar, serta perangai-perangai buruk lainnya yang menyebabkan kita hanya berambisi kepada dunia. Juga dapat membebaskan serta memelihara diri dan jiwa dari tenggelam ke dalam bermacam fitnah dan permusuhan.

Abdullah bin Amr bin Al Ash berkata, Rasulullah menjelaskan tentang berbagai fitnah. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, yang artinya ," Jika engkau lihat manusia, ketika itu perjanjian-perjanjian mereka dilanggar dan amanah mereka diremehkan, serta keadaan mereka seperti ini (beliau mengaitkan jari jemarinya).”
Aku bertanya,”Apa yang engkau perintahkan kepadaku, ya Rasulullah ?”
Maka beliau bersabda,”Tetaplah di rumahmu, tahanlah lidahmu, ambillah apa-apa yang engkau ketahui dan tinggalkanlah hal yang engkau ingkari, kerjakanlah perkara yang khusus bagimu, serta tinggalkanlah urusan orang banyak.

Ber- 'uzlah dapat menyelamatkan diri dari kejeleken manusia. Tidak diragukan lagi, orang yang bergaul dengan menusia dan bergabung dengan mereka, tidak akan luput dari orang-orang yang dengki dan berburuk sangka kepadanya. Sebagaimana dikatakan ”Bergaul dengan orang-orang yang jelek akan membuahkan buruk sangka kepada orang-orang baik”. Umar bin Al Khattab berkata,”Pada uzlah ada peristirahatan dari teman-teman yang jelek.”

Uzlah juga dapat mengerem ketamakan manusia terhadap diri kita, karena ridha manusia merupakan satu hal yang sulit di raih. Artinya, apapun yang kita perbuat tidak akan pernah lepas dari komentar manusia. Disamping itu juga, uzlah memangkas ketamakan diri kita terhadap apa yang ada di tangan orang lain.

Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya , " Lihatlah orang yang berada di bawahmu, dan janganlah engkau melihat orang yang berada di atasmu, karena hal demikian itu lebih membuatmu bersyukur atas nikmat Allah atasmu. [HR Muslim dari Abu Hurairah].

Banyak kemuliaan ditemukan dalam ber-uzlah (pengasingan diri) dari segala bentuk kejahatan, dan kemubahan yang berlebihan. Dalam kondisi ini 'uzlah tidak diartikan mengasingkang atau menjauhkan diri dari pergaulan . Seperti kita ketahui bahwa , kita tidak mendapatkan beberapa manfaat pada hal-hal yang memang tidak mungkin kita dapatkan, kecuali dengan bermu’amalah dengan manusia lain; baik yang berkaitan dengan masalah duniawi maupun ukhrawi.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ," Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim. [Qs. An Nisa :1].

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ," Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabb mereka dan takut kepada hisab yang buruk. [Qs. Ar Ra’d : 21].

Sebagaimana telah disabdakan oleh qudwah kita Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya ," Mu’min yang bergaul dengan manusia serta bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih utama daripada mu’min yang tidak bergaul dengan manusia, serta tidak bersabar atas ganggaun mereka."

Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Barangsiapa melepaskan kesulitan seorang mu’min di dunia, niscaya Allah lepaskan kesulitannya di akhirat. Barangsiapa yang membantu orang miskin di dunia, niscaya Allah membantunya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, niscaya Allah tutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa menolong hambaNya selama si hamba mau menolong saudaranya. [HR Muslim].

Sebagaimana Rasulullah bersabda, yang artinya ," Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan orang yang memerintahkan untuk bersedekah atau berbuat kebajikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. [An Nisa:114].
Allahu a'lam

Sumber : La -Tahzan, Dr. 'Aidh al-Qarni, majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/