*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Kamis, 31 Juli 2008

Mengapa Islam Turun di Arab?

apa rahasia atau hikmah yang terkandung di balik ketentuan Allah menurunkan Islam di negeri Arab. Adakah lantaran negeri itu paling jahiliyah di seluruh dunia, ataukah karena hal-hal lain ?
Walau pun sebenarnya Islam bukan hanya untuk bangsa Arab, namun karena turun pertama kali di negeri itu, otomatis bangsa Arab jadi naik pamor ke seantero jagad. Minimal bahasa Arab menjadi bahasa bangsa-bangsa di dunia.

Adakah rahasia di balik ketetapan Allah atas bangsa Arab, ?

Para penulis sirah nabawiyah seperti Syeikh Dr. Said Ramadhan Al-Buthi dan beberapa ulama lainnya memang pernah menuliskan apa yang anda tanyakan. Yaitu tentang beberapa rahasia dan hikmah di balik pemilihan Allah SWT atas jazirah arabia sebagai bumi pertama yang mendapatkan risalah Islam.


Rupanya turunnya Islam pertama di negeri arab bukan sekedar kebetulan. Juga bukan semata karena di sana ada tokoh paling jahat semacam Abu Jahal cs. Namun ada sekian banyak skenario samawi yang akhir-akhir ini mulai terkuak. Kita di zaman sekarang ini akan menyaksikan betapa rapi rencana besar dan strategi Allah jangka panjang, sehingga pilihan untuk menurunkan risalah terakhir-Nya memang negeri Arabia.


Meski tandus, tidak ada pohon dan air, namun negeri ini menyimpan banyak alasan untuk mendapatkan kehormatan itu.


Beberapa di antaranya yang bisa kita gali adalah:


  • I. Di Jazirah Arab Ada Rumah Ibadah Pertama
    Tanah Syam (Palestina) merupakan negeri para nabi dan rasul. Hampir semua nabi yang pernah ada di tanah itu. Sehingga hampir semua agama dilahirkan di tanah ini. Yahudi dan Nasrani adalah dua agama besar dalam sejarah manusia yang dilahirkan di negeri Syam.
    Namun sesungguhnya rumah ibadah pertama di muka bumi justru tidak di Syam, melainkan di Jazirah Arabia. Yaitu dengan dibangunnya rumah Allah (Baitullah) yang pertama kali di tengah gurun pasir jazirah arabia.
    Rumah ibadah pertama itu menurut riwayat dibangun jauh sebelum adanya peradaban manusia. Adalah para malaikat yang turun ke muka bumi atas izin Allah untuk membangunnya. Lalu mereka bertawaf di sekeliling ka'bah itu sebagai upaya pertama menjadikan rumah itu sebagai pusat peribadatan umat manusia hingga hari kiamat menjelang.
    Ketika Adam as diturunkan ke muka bumi, beliau diturunkan di negeri yang sekarang dikenal dengan India. Sedangkan isterinya diturunkan di dekat ka'bah. Lalu atas izin Allah keduanya dipertemukan di Jabal Rahmah, beberapa kilometer dari tempat dibangunnya ka'bah.
    Maka jadilah wilayah sekitar ka'bah itu sebagai tempat tinggal mereka dan ka'bah sebagai tempat pusat peribadatan umat manusia. Dan di situlah seluruh umat manusia berasal dan di tempat itu pula manusia sejak dini sudah mengenal sebuah rumah ibadah.
    Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
    Sesungguhnya rumah yang pertama dibangun untuk manusia beribadah adalah rumah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkati dan menjadi petunjuk bagi manusia. (QS. Ali Imran: 96)

  • II. Jazirah Arabia Adalah Posisi Strategis
    Bila kita cermati peta dunia, kita akan mendapati adanya banyak benua yang menjadi titik pusat peradaban manusia. Dan Jazirah Arabia terletak di antara tiga benua besar yang sepanjang sejarah menjadi pusat peradaban manusia.
    Sejak masa Rasulullah SAW, posisi jazirah arabia adalh posisi yang strategis dan tepat berada di tengah-tengah dari pusat peradaban dunia.
    Bahkan di masa itu, bangsa Arab mengenal dua jenis mata uang sekaligus, yaitu dinar dan dirham. Dinar adalah jenis mata uang emas yang berlaku di Barat yaitu Romawi dan Yunani. Dan Dirham adalah mata uang perak yang dikenal di negeri timur seperti Persia. Dalam literatur fiqih Islam, baik dinar maupun dirham sama-sama diakui dan dipakai sebagai mata uang yang berlaku.
    Ini menunjukkan bahwa jazirah arab punya akses yang mudah baik ke barat maupun ke timur. Bahkan ke utara maupun ke selatan, yaitu Syam di utara dan Yaman di Selatan.
    Dengan demikian, ketika Muhammad SAW diangkat menjadi nabi dan diperintahkan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sangat terbantu dengan posisi jazirah arabia yang memang sangat strategis dan tepat berada di pertemuan semua peradaban.
    Kita tidak bisa membayangkan bila Islam diturunkan di wilayah kutub utara yang dingin dan jauh dari mana-mana. Tentu akan sangat lambat sekali dikenal di berbagai peradaban dunia.
    Juga tidak bisa kita bayangkan bila Islam diturunkan di kepulauan Irian yang jauh dari peradaban manusia. Tentu Islam hingga hari ini masih mengalami kendala dalam penyebaran.
    Sebaliknya, jazirah arabia itu memiliki akses jalan darat dan laut yang sama-sama bermanfaat. Sehingga para dai Islam bisa menelusuri kedua jalur itu dengan mudah.
    Sehingga di abad pertama hijriyah sekalipun, Islam sudah masuk ke berbegai pusat peradaban dunia. Bahkan munurut HAMKA, di abad itu Islam sudah sampai ke negeri nusantara ini. Dan bahkan salahseorang shahabat yaitu Yazid bin Mu'awiyah ikut dalam rombongan para dai itu ke negeri ini dengan menyamar.

  • III. Kesucian Bangsa Arab
    Stigma yang selama ini terbentuk di benak tiap orang adalah bahwa orang arab di masa Rasulullah SAW itu jahiliyah. Keterbelakangan teknologi dan ilmu pengetahuan dianggap sebagai contoh untuk menjelaskan makna jahiliyah.
    Padahal yang dimaksud dengan jahiliyah sesungguhnya bukan ketertinggalan teknologi, juga bukan kesederhanaan kehidupan suatu bangsa. Jahiliyah dalam pandangan Quran adalah lawan dari Islam. Maka hukum jahiliyah adalah lawan dari hukum Islam. Kosmetik jahiliyah adalah lawan dari kosmetik Islam. Semangat jahiliyah adalah lawan dari semangat Islam.
    Bangsa arab memang sedikit terbelakang secara teknologi dibandingkan peradaban lainnya di masa yang sama. Mereka hidup di gurun pasir yang masih murni dengan menghirup udara segar. Maka berbeda dengan moralitas maknawiyah bangsa lain yang sudah semakin terkotori oleh budaya kota, maka bangsa arab hidup dengan kemurnian niloai kemanusiaan yang masih asli.
    Maka sifat jujur, amanah, saling menghormati dan keadilan adalah ciri mendasar dari watak bangsa yang hidup dekat dengan alam. Sesuatu yang telah sulit didapat dari bangsa lain yang hidup di tengah hiruk pikuk kota.
    Sebagai contoh mudah, bangsa Arab punya akhlaq mulia sebagai penerima tamu. Pelayanan kepada seorang tamu yang meski belum dikenal merupakan bagian dari harga diri seorang arab sejati. Pantang bagi mereka menyia-nyiakan tamu yang datang. Kalau perlu semua persediaan makan yang mereka miliki pun diberikan kepada tamu. Pantang bagi bangsa arab menolak permintaan orang yang kesusahan. Mereka amat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang paling dasar.
    Ketika bangsa lain mengalami degradasi moral seperti minum khamar dan menyembah berhala, bangsa arab hanyalah menjadi korban interaksi dengan mereka. 360 berhala yang ada di sekeliling ka'bah tidak lain karena pengaruh interaksi mereka dengan peradaban barat yang amat menggemari patung. Bahkan sebuah berhala yang paling besar yaitu Hubal, tidak lain merupakan sebuah patung yang diimpor oleh bangsa Arab dari peradaban luar. Maka budaya paganisme yang ada di arab tidak lain hanyalah pengaruh buruk yang diterima sebagai imbas dari pergaulan mereka dengan budaya romawi, yunani dan yaman.
    Termasuk juga minum khamar yang memabukkan, adalah budaya yang mereka import dari luar peradaban mereka.
    Namun sifat jujur, amanah, terbuka dan menghormati sesama merupakan akhlaq dan watak dasar yang tidak bisa hilang begitu saja. Dan watak dasar seperti ini dibutuhkan untuk seorang dai, apalagi generasi dai pertama.
    Mereka tidak pernah merasa perlu untuk memutar balik ayat Allah sebagaimana Yahudi dan Nasrani melakukannya. Sebab mereka punya nurani yang sangat bersih dari noda kotor. Yang mereka lakukan adalah taat, tunduk dan patuh kepada apa yang Allah perintahkan. Begitu cahaya iman masuk ke dalam dada yang masih bersih dan suci, maka sinar itu membentuk proyeksi iman yang amal yang luar biasa. Berbeda dengan bani Israil yang dadanya sesat dengan noda jahiliyah, tak satu pun ayat turun kecuali ditolaknya. Dan tak satu pun nabi yang datang kecuali didustainya.
    Bangsa Arab tidak melakukan hal itu saat iman sudah masuk ke dalam dada. Maka ending sirah nabawiyah adalah ending yang paling indah dibandingkan dengan nabi lainnya. Sebab pemandangannya adalah sebuah lembah di tanah Arafah di mana ratusan ribu bangsa arab berkumpul melakukan ibadah haji dan mendengarkan khutbah seorang nabi terakhir. Sejarah rasulullah berakhir dengan masuk Islamnya semua bangsa arab. Bandingkan dengan sejarah kristen yang berakhir dengan terbunuhnya (diangkat) sang nabi. Atau yahudi yang berakhir dengan pengingkaran atas ajaran nabinya.
    Hanya bangsa yang hatinya masih bersih saja yang mampu menjadi tiang pancang peradaban manusia dan titik tolak penyebar agama terakhir ke seluruh penjuru dunia.

  • IV. Faktor Bahasa
    Sudah menjadi ketetapan Allah SWT untuk mengirim nabi dengan bahasa umatnya. Agar tidak terjadi kesalahan dalam komunikasi antara nabi dan umatnya.
    Namun ketika semua nabi telah terutus untuk semua elemen umat manusia, maka Allah menetapkan adanya nabi terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia. Dan kelebihannya adalah bahwa risalah yang dibawa nabi tersebut akan tetap abadi terus hingga selesainya kehidupan di muka bumi ini.
    Untuk itu diperlukan sebuah bahasa khusus yang bisa menampung informasi risalah secara abadi. Sebab para pengamat sejarah bahasa sepakat bahwa tiap bahasa itu punya masa eksis yang terbatas. Lewat dari masanya, maka bahasa itu akan tidak lagi dikenal orang atau bahkan hilang dari sejarah sama sekali.
    Maka harus ada sebuah bahasa yang bersifat abadi dan tetap digunakan oleh sejumlah besar umat manusia sepanjang masa. Bahasa itu ternyata oleh pakar bahasa adalah bahasa arab, sebagai satu-satunya bahasa yang pernah ada dimuka bumi yang sudah berusia ribuan tahun dan hingga hari ini masih digunakan oleh sejumlah besar umat manusia.
    Dan itulah rahasia mengapa Islam diturunkan di arab dengan seorang nabi yang berbicara dalam bahasa arab. Ternyata bahasa arab itu adalah bahasa tertua di dunia. Sejak zaman nabi Ibrahim as bahasa itu sudah digunakan. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa bahasa arab adalah bahasa umat manusia yang pertama.
    Logikanya sederhana, karena ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa bahasa ahli surga adalah bahasa arab. Dan asal-usul manusia juga dari surga, yaitu nabi Adam dan isterinya Hawwa yang keduanya pernah tinggal di surga. Wajar bila keduanya berbicara dengan bahasa ahli surga. Ketika keduanya turun ke bumi, maka bahasa kedua 'alien' itu adalah bahasa arab, sebagai bahasa tempat asal mereka. Dan ketika mereka berdua beranak pinak, sangat besar kemungkinannya mereka mengajarkan bahasa surga itu kepada nenek moyang manusia, yaitu bahasa arab.
    Sebagai bahasa yang tertua di dunia, wajarlah bila bahasa arab memiliki jumlah kosa kata yang paling besar. Para ahli bahasa pernah mengadakan penelitian yang menyebutkan bahwa bahasa arab memiliki sinonim yang paling banyak dalam penyebutan nama-nama benda. Misalnya untuk seekor unta, orang arab punya sekitar 800 kata yang identik dengan unta. Untuk kata yang identik dengan anjing ada sekitar 100 kata.
    Maka tak ada satu pun bahasa di dunia ini yang bisa menyamai bahasa arab dalam hal kekayaan perbendaharaannya. Dan dengan bahasa yang lengkap dan abadi itu pulalah agama Islam disampaoikan dan Al-Quran diturunkan.

  • V. Arab Adalah Negeri Tanpa Kemajuan Material Sebelumnya
    Seandainya sebelum turunnya Muhammad SAW bangsa arab sudah maju dari sisi peradaban materialis, maka bisa jadi orang akan menganggap bahwa Islam hanyalah berfungsi pada sisi moral saja. Orang akan beranggapan bahwa peradaban Islam hanya peradaban spritualis yang hanya mengacu kepada sisi ruhaniyah seseorang.
    Namun ketika Islam diturunkan di jazirah arabia yang tidak punya peradaban materialis lalu tiba-tiba berhasil membangun peradana materialis itu di seluruh dunia, maka tahulah orang-orang bahwa Islam itu bukanlah makhluq sepotong-sepotong. Mereka yakin bahwa Islam adalah sebuah ajaran yang multi dimensi. Islam mengandung masalah materi dan rohani.

Ketika sisi aqidah dan fikrah bangsa Arab sudah tertanam dengan Islam, ajaran Islam kemudian mengajak mereka membangun peradaban materialis yang menakjubkan dalam catatan sejarah manusia. Pusat-pusat peradaban berhasil dibangun bangsa-bangsa yang masuk Islam dan menjadikan peradaban mereka semakin maju.
Logikanya, bila di tanah gersang padang pasir itu bisa dibangun peradaban besar dengan berbekal ajaran Islam, maka tentu membangun peradaban yang sudah ada bukan hal sulit.


Wallahu a'lam bishshawab,


Sumber : Ahmad Sarwat, Lc, eramuslim



Tips naruh mobil dlm waktu lama

Bila anda ingin meninggalkan mobil anda di garasi dalam periode waktu lama, mungkin sebulan atau lebih. Munkin karena liburan lebaran, atau
karena anda sering dinas luar daera atau alansan lainnya. Ada Beberpa tips yang bisa anda terapkan agar mobil anda tetap tetap prima kondisinya.:
1. Cabut kabel aki mobil anda. Bila mencabut kabel, mulailah dulu kabel negati baru cabut kabel positif. Bila memasang kembali daulukan pasang kabel positif. Mencopot aki saat tidak dipakai dalam waktu lama, akan memperlama masa pakai aki.

2. Bebaskan rem parkir. Bila rem parkir anda aktif, berarti kampas rem mobil anda ada kontak dengan piringan. Iklim tropis cenderung menimbulkan karat , bisa menyebabkan sistem rem macet.

3. Jika mobil anda matik, sebaiknya posisikan di “P” , sehingga mobil tertahan sistem transmisi tanpa harus mengaktifkan rem parkir.

4. Tekanan ban mobil anda sebaiknya ditambah hingga 3,5 psi, untuk antisipasi berkurangnya tekanan angin.

5. Saat mobil dibiarkan lebih dari kurun waktu 6 bulan . minyak rempun perlu diganti. Karena biasanya minyak rem akan terkontaminasi oleh udara yang mengandung uap air.

6. Akan lebih baik jika anda gunakan jack stand di keempat roda.

7. jika mobil dibiarkan sampai 12 bulan, maka oli mesin dan saringan oli harus diganti ketika mesin dalam suhu kerja.

8. kunjungi bengkel anda untuk pengecekan lebih lanjut.

Sumber : auto Bild



Menangguhkan Shalat

Banyak tenaga kerja yang menangguhkan shalat Zhuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaan atau karena pakaian mereka terkena najis atau tidak bersih
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh menangguhkan shalat hingga keluar dari
waktunya, akan tetapi, wajib atas setiap Muslim dan Muslimah yang mukallaf untuk
melaksanakan shalat pada waktunya semampunya.
Pekerjaan bukanlah alasan untuk menangguhkan shalat, demikian juga pakaian yang terkena najis atau kotoran, semua itu bukan alasan yang dibenarkan.
Waktu-waktu shalat harus dikecualikan dari waktu kerja. Ketika tiba waktu shalat, seorang pekerja hendaknya membersihkan pakaiannya dari najis atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Adapun kotoran, maka kotoran itu tidak menghalangi shalat jika bukan merupakan najis atau tidak mengeluarkan bau busuk yang mengganggu. Jika kotoran itu atau baunya mengganggu dirinya, maka harus dicuci terlebih dahulu sebelum shalat atau menggantinya dengan pakaian bersih sehingga bisa melaksanakan shalat secara berjamaah.

Bagi orang yang mendapat udzur secara syar'i, seperti; orang sakit dan musafir, maka dibolehkan menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar di salah satu waktunya, juga antara Maghrib dengan Isya di salah satu waktunya.
Hal ini berdasarkan dalil shahih dari Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam. Dan dibolehkan juga menjamak shalat dikarenakan hujan dan beceknya jalanan yang menyusahkan orang melewatinya.

Sumber: Syaikh Ibnu Baz, Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal. 19-20, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq. http://www.fatwa-ulama.com



Rabu, 30 Juli 2008

Waspada terhadap riya’

Riwayat Syaddad bin Aus, Rasulullah bersabda” Barangsiapa shalat karena riya’, maka ia telah syirik. Barangsiap berpuasa karena riya’, maka ia telah syirik. Barang siapa bersedekah karena riya’, maka ia telah syirik. (HR ahmad : misykat).
Salah satu perbuatan dosa yang tidak pernah bisa diampuni adalah perbuatan syirik atau menyekutukan Allah SWT
Memamerkan (riya’) ibadah kepda orang lain, berarti ia tidak ikhlas, karena didalam ibadahanya masih terdapat tujuan yang lain, tidak semata-mata untuk mencari ridha Allah. Kita harus berhati-hati terhadap sifat riya’ ini, karena digolongkan dalam perbuatan syirik yang tidak diampuni Allah.

Ibadah yang kita lakukan hendaknya semaksimal mungkin diusahakan untuk mencari ridha Allah. Hindarkan tujuan-tujuan lain seperti mencari ketenaran , pamer dst. Dalam sebuah hadits qudsi , allah SWT berfirman,” Aku Mahakaya dari sekian banyak sekutu. Barang siapa menyekutukan Aku dengan yang lain dalam ibadahnya. Maka Aku biarkan ia dengan sekutu-sekutunya.” (misykat). Artinya orang tersebut supaya meminta balasan amalan dari sekutunya tersebut, dan Allah SWT berlepas diri darinya. Karena Allah SWT tidak membutuhkan sekutu dari apapun juga.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersbda,” Maukah kalian aku beritahu tentang sesuatu yang lebih aku takuti atas diri kalian daripada dajjal?”.
Mereka berkata,”Beritahukanlah ya Rasulullah,”
Rasulullah SAW bersabda,”Syirik khafi (syirik tersembunyi).”
Misalnya seseorang yang sedang mengerjakan shalat, memudian orang itu memanjangkan shalatnya karena dilihat orang.

Sahabat lain meriwayatkan, bahwa Rasulullah SAW bersabda,” Sesuatu yang aku takuti atas diri kalian adalah syirik kecil,”
Sahabat bertanya,”Ya Rasulullah apakah syirik kecil itu?”
Rasulullah SAW menjawab,”Riya’,”

Allah berfirman,”Barang siapa menemui Tuhan-nya (dan hendak menjadi kekasih-Nya, dan mendekati-Nya), hendaknya ia beramal shalih dan janganlah ia menyekutukan dengan yang lain dalam menyembah Tuhan-nya,” (Qs. Al-Kahfi : 110).
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman,”Barangsiapa menyekutukan sesuatu yang lain beserta amalannya. Aku akan meninggalkannya. Aku hanya menerima amalan yang diperuntukkan semata-mata untuk diri-Ku”.

Perbuatan syirik ancamannya sangat berat, sebuah hadits , Rasulullah SAW bersabda
,” Berlindunglah kalian dari jubbul Hanz (sumur kesusahan yang berada didalam neraka jahannam)”.
Sahabat bertanya ,”Wahai Rasulullah, siapakah yang akan tinggal didalamnya ?”
Rasulullah menjawab,”Mereka yang riya’ dalam amalannya”.

Menurut Imam Ghazali :

  1. syaitan menghalang-halangi manusia untuk beramal baik, kemudian ia memasukkan kedalam pikiran manusia berbagai macam khayalan, sehingga ia tidak akan beramal.
  2. Akan tetapi bila manusia bersungguh-sungguh dalam melawan syaitan, dan tidak menghiraukan larangan syaitan. Maka syaitan akan berkata, jika dalam ibadahmu tidak ada keikhlasan, maka ibada dan usahamu akan sia-sia.

Oleh karena itu, janganlah kita berhenti dari beribadah dan berusaha untukselalau ikhlas dalam menjalankannya. Serta berdoa kepada Allah SWT agar dilindungi dari godaan syaitan dan tidak ada perasaan was-was dalam beribadah.
Allah Maha Pengasih dan Allah Maha Pemurah, tent dengan kemurahan-Nya Allah akan menjaga kita dari pikiran dan perbuatan yang merusak ibadah, serta pada perbuatan yang sia-sia.

Kalau kita berhenti menjalankan ibadah hanya karena da perasaan was-was dan menganggap ibadah tadi sia-sia, maka sesungguhnya syaitan berhasil mencapai tujuannya. Marilah kita selalu berusaha untuk terus melakukan ibadah dan berbuat kebaikan, walaupun dalam pikiran terlintas perasaan-perasaan yang bisa menggagalkan perbuatan baik.

Setiap aktivitas diupayakan selalu dilandaskan pada niat ikhlas karena Allah SWT. Adapun pahala serta diterima tidaknya ibadah kita merupakan rahasia Allah SWT, kita sebagai manusia wajib berusaha sebaik-baiknya.
Sumber: Keajaiban Shodaqoh, the real stories, Sugeng D T



Senin, 28 Juli 2008

Pengertian (Ucapan) Niat

Niat bukan sekedar ucapan nawaytu (saya berniat). Lebih daripada itu, ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan) dari Allah SWT. Kadang-kadang ia mudah dicapai, tetapi kadang-kdang juga sulit. Seseorang yang hatinya dipenuhi urusan dien, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah
hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun qkqn terdorong untuk cabang-cabang kebaikan.

Dari riwayat Umar bin Khathab, Rasulullah bersabda ,” Bahwasanya amal-amal itu tergantung kepada niat. Dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa niat hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, hijrahnyapun kepada Allah dan rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya kepada dunia yang diinginkannya atau wanita yang akan dinikahinya, hijrahnyapun untuk apa yang ia niatkan “.

Kalimat , “bahwasanya amal-amal itu tergantung pada niat” berarti, baiknya amal yang dikerjakan sesuai dengan sunnah itu tergantung kepada kebaikan niatnya. Sabda Rasulullah “Bahwasanya amal-amal itu terhgantung kepada akhirnya”.
Kalimat ,”Dan seorang itu akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, berarti pahala amal seorang itu tergantung kepada kebaikan niatnya.

Kalimat, “ Barang siapa niat hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, hijrahnyapun kepada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya kepada dunia yang diinginkannya atau wanita yang akan dinikahi-Nya, hijrahnyapun untuk apa yang ia niatkan”.

Diatas adalh contoh dari amalan-amalan yang memiliki kesamaan bentuk pelaksanaanya, tetapi berbeda adlam hasil. Namun, niat baik tidak akan mengubah kemaksiatan pada hakikatnya. Jadi kemaksiatan itu tidak dapat berubah menjadi ketaatan karena niat.

Ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan karena niat. Perkara mubah bisa menjadi kemaksiatan dan bisa berubah menjadi ketaatan karena niat.
Sedangkan kemaksiatan tidak akan berubah menjadi ketaatan karena niat (tetapi justru akan menambah berat dan dosa dari kemaksiatan itu).

Pada dasarnya , keabsahan suatu ketaatan itu terikat kepada niat. Begitu pula dengan pelipatgandaan pahalanya. Sehubungan dengan keabsahan, seseorang harus meniatkan ketaatanya sebagai ibadah kepada Allah SWT saja.
Jika ia meniatkan riya’, maka ketaatan yang ia lakukan itu berubah menjadi kemaksiatan.
Perkara-perkara yang mubah, secara keseluruhannya mengandung satu niat atau lebih. Karenanya ia bisa menjadi bentuk taqrrub yang bernilai tinggi, dan disediakan pula derajad yang tinggi untuknya.

Keutamaan niat.
Umar bin Khathab berkata, “ Amal yang paling utama adalah melaksanakan kewajiban dari Allah SWT, bersikap wara’ terhadap apa yang diharamkan-Nya, dan meluruskan niat untuk mendapatkan pahala disisi Allah SWT.
Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat. Betapa banyak pula amalan besar menjadi kecil karena niat.
Niat adalah kehendak hati . Tidak diwajibkan melafalkannya dalam ibadah .

Sumber : Tazkiyatun Nafs, Ibn Rajab Al-Hambali.



Minggu, 27 Juli 2008

Berbuat baik, hilangkan cemas

Tidak ada cara yang lebih utama untuk menghilangkan kecemasan dibandingkan dengan memberikan suatu kebaikan dan berbuat baik kepada orang lain. Hal ini bukan sekadar nasihat melainkan fakta yang berkaitan dengan kejiwaan. Ini sudah menjadi ketetapan para pakar kejiwaan
Bila anda ingin mengetahui kebenaran teori ini, mari kita coba sendiri. Mencoba untuk berbuat baik kepada orang lain dan memberikan amal kebaikan kepada orang lain. Namun dengan syarat pemberian anda itu sekadar bentuk pelayanan tanpa imbalan materi.

Anda akan melihat dan merasakan betapa menjadi lapang hati anda. Suatu ketika, seorang laki-laki datang mengadu kepada rasulullah , bahwa hatinya menjadi keras. Ia mengadu kepada Rasulullah SAW, bahwa ia merasa susah, sedih dan cemas. Hal inilah yang menyebabkan seseorang itu merasakan bahwa hatinya menjadi keras.

Dari Riwayat HR Ahmad dan Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda , “ Usaplah kepala anak yatim dan beri makan orang miskin,”.

Para pakar kejiwaan mengatakan, ‘Anda akan merasa bahagia ketika melihat orang lain bahagia. Anda akan merasa bahagia bila anda menjadi penyebab dari kebahagiaan orang lain itu.”
Theodore Drezz , seorang pakar dai USA yang terkanal sebagai sosok atheis, pernah menyatakan bahwa, “bila seseorang ingin mendapat kenikmatan hidup, hendaknya ia berperan juga dalam membawa kenikmatan bagi orang lain, karena kenikmatan seseorang itu tergantung atas kenikmatan orang lain. Begitulah juga kenikmatan orang lain itu bergantung kepada kenikmatan seseorang.”

Pakar ini menetapkan dari sisi pandang materi saja, yakni dari sisi kebahagiaan dunia saja.

Lantas bagaimanan dengan kita. Kita adalah muslim. Dan sudah pasti mengetahui bahwa memberikan amal baik dan berbuat baik kepada orang lain tidak hanya membawa kenikmatan di dunia saja, melainkan juga membawa kenikamatan di akhirat .
Dari HR Al Haakim dan al Baihaqi , Rasulullah SAW bersabda, “ Orang-orang yang gemar berbuat kebaikan terjaga dari bencana keburukan. Ahli kebaikan didunia merupakan juga ahli kebaikan di akhirat. Dan orang-orang pertama kali masuk surga adalah mereka yang ahli dalam kebaikan.”

Allah pasti menghilangkan kegelisahan seseorang yang gemar membantu sesamanya , juga orang yang gemar menolong orang lain yang kesulitan.

Dari HR Muslim dan lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “ Siapa yang menghilangkan kegelisahan seorang mukmin dari kegelisahan-kegelisahannya didunia, niscaya Allah menghilangkan kegelisahan-kegelisahannya di hari kiamat. Dan siapa yang memberikan kemudahan kepada seseorang dari kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Dan Allah akan memberi pertolongan kepada hamba-Nya selama hamba-Nya itu memberi pertolongan kepada saudaranya.

Dengan perbuatan baik dan pertolongan kepada orang lain, anda akan mendapat ridha dan taufik dari Allah.

Sumber : ‘Isyiriin Nasiihah lit-Takhlulush min al qalaq, Adil Fathi Abdullah, terjemahan oleh Faisal Hakim Halimy.



Makmum diam atau ikut baca ?

kalau menjadi makmum dalam sholat berjamaah kita harus baca apa? Pada sholat subuh, maghrib, dan isya, setelah imam membaca al-Fatiha terus membaca salah satu surat, begitu juga dengan sholat zuhur dan ashar
Kalau kita merujuk kepada dalil-dalil syar'iyah di dalam kitab-kitab hadits, kita akan menemukan banyak hadits yang menjawab apa yang anda tanyakan. Namun sayangnya, masing-masing hadits itu satu sama lain tidak saling menguatkan, bahkan sebagiannya terkesan saling bertentangan atau berbeda.

Kemungkinan yang terjadi adalah bahwa Rasulullah SAW memang memberikan jawaban yang berbeda, karena memang sifat ibadah dalam Islam itu sangat luas dan variatif. Atau boleh jadi ada sebagian hadits yang lebih kuat riwayatnya dan yang lain agak lemah.

Di antara hadits-hadits itu antara lain sebagai berikut:
  1. Hadits Rasulullah SAW yang maknanya:
    Tidak ada shalat kecuali dengan membaca Al-Fatihah (HR Ibnu Hibban dan Al-Hakim dalam Mustadrak).
  2. Hadits Malik dari Abi Hurairah ra.:
    Dari Malik dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW selesai dari shalat yang beliau mengerakan bacaannya. Lalu beliau bertanya, "Adakah di antara kami yang ikut membaca juga tadi?" Seorang menjawab,"Ya, saya ya Rasulullah SAW." Beliau menjawab, "Aku berkata mengapa aku harus melawan Al-Quran?" Maka orang-orang berhenti dari membaca bacaan shalat bila Rasulullah SAW mengeraskan bacaan shalatnya (shalat jahriyah)." (HR Tirmizy).
  3. Hadits 'Ubadah bin Shamit ra.:
    Dari 'Ubadah bin Shamit ra. bahwa Rasulullah SAW shalat mengimami kami siang hari, maka bacaannya terasa berat baginya. Ketika selesai beliau berkata, "Aku melihat kalian membaca di belakang imam." Kami menjawab,"Ya." Beliau berkata,"Jangan baca apa-apa kecuali Al-Fatihah saja."(Ibnu Abdil berkata bahwa hadits itu riwayat Makhul dn lainnya dengan isnad yang tersambung shahih).
  4. Hadits Jabir bin Abdullah ra.:
    Dari Jabir dari Rasulullah SAW berkata,"Siapa shalat di belakang imam, maka bacaannya adalah bacaan imam." (HR Ad-Daruquthuny dan Ibnu Abi Syaibah)
    Juga hadits yang senada berikut ini.
    Apabila imam membaca maka diamlah. (HR Ahmad)

Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Dengan adanya sekian banyak dalil yang terkesan tidak seragam, maka ketika para ulama mencoba menarik kesimpulannya, ternyata hasilnya pun menjadi tidak seragam pula. Sebab ada ulama yang menerima suatu hadits karena kekuatannya dan menolak hadits lain karena dianggap kurang kuat.

Sebaliknya, ulama lainnya berbuat yang sebaliknya, hadits yang dianggap lemah oleh rekannya, justru baginya dianggap lebih kuat. Sedangkan hadits yang dianggap kuat, baginya dianggap lemah.


Walhasil, kalau kita rinci pendapat para ulama dengan latar belakang perbedaan cara menilai hadits-hadits di atas, bisa kita rinci sebagai berikut:

  1. Mazhab Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah
    Menurut Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah bahwa makmum harus membaca bacaan shalat di belakang imam pada shalat sirriyah (suara imam tidak dikeraskan) yaitu shalat zhuhur dan Ashar. Sedangkan pada shalat jahriyah (Maghrib, Isya` Subuh, Jumat, Ied dll.), makmum tidak membaca bacaan shalat.
    Namun bila pada shalat jahriyah itu makmum tidak dapat mendengar suara bacaan imam, maka makmum wajib membaca bacaan shalat.
  2. Mazhab Al-Hanafiyah
    Sedangkan Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa seorang makmum tidak perlu membaca apa-apa bila shalat di belakang imam, baik pada shalat jahriyah maupun shalat sirriyah.
  3. Mazhab As-Syafi'iyyah
    Dan As-Syafi`iyah mengatakan bahwa pada shalat sirriyah, makmum membaca semua bacaan shalatnya, sedangkan pada shalat jahriyah makmum membaca Al-Fatihah (Ummul Kitab) saja.

Semua perbedaan ini berangkat dari perbedaan nash yang ada di mana masing-masing mengantarkan kepada bentuk pemahaman yang berbeda juga.
Bila dilihat dari masing-masing dalil itu, nampaknya masing-masing sama kuat walaupun hasilnya tidak sama. Dan hal ini tidak menjadi masalah manakala memang sudah menjadi hasil ijtihad.


Namun kalau boleh memilih, nampaknya apa yang disebutkan oleh kalangan Asy-Syafi`iyah bahwa makmum membaca Al-Fatihah sendiri setelah selesai mendengarkan imam membaca al-fatihah, merupakan penggabungan (jam`) dari beragam dalil itu.


Ini sebuah kompromi dari dalil yang berbeda. Karena ada dalil yang memerintahkan untuk membaca al-Fatihah saja tanpa yang lainnya. Tapi ada juga yang memerintahkan untuk mendengarkan bacaan imam. Karena itu bacaan al-Fatihah khusus makmum bisa dilakukan pada sedikit jeda antara amin dan bacaan surat. Dalam hal ini, seorang imam yang bijak tidak langsung memulai bacaan ayat alquran setelah amien. Tapi memberi kesempatan waktu untuk makmum membaca al-Fatihahnya sendiri.


Wallahu a'lam bishshawab,
Sumber : Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc, eramuslim



Kamis, 24 Juli 2008

Khusuk dan Tawadlu

Firman Allah ,” Sungguh amat beruntung bagi orang beriman; mereka adalah yang khusuk dalam shalatnya “ (Qs 23 : 1-2).
Khusu menurut pengertian ulama adalah bagian pekerjaan hati : seperti kawatir dan rasa takut. Juga ada diantara mereka yang berpendapat bahwa khusu merupakan pekerjaan anggota badan seperti diam, tidak
menoleh dan bermain-main. Mereka juga berbeda pendapat , apakah khusus merupakan bagian dari kewajiban shalat ? atau sekedar keutamaan saja dari dua pendapat ?

Pendapat pertama memegang dalil hadits “Tidak diterima shalat seorang hamba kecuali sesuai apa yang dipikirkan “
Juga dalil firman allah, “Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku...” (Qs.20 :14).

Lalai adalah kebalikan dari ingat. Firman Allah ,”Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai “ (Qs.7 : 205).

Dari Imam Baihaqi melalui Ibnu sirin ra , “ diceritakan bahawa Rasulullah ketika shalat mengangkat pandangannya ke langit”. Lalu turunlah ayat ini . Imam Abdur Razak menambahkan Lafadz :”Kemudian Allah Ta’ala memerintah shalat dengan khusu” Dan beliau Rasulullah SAW pun langsung melempar pandangannya ke arah sujud.

Dari HR Imam Hakim dan Imam Baihaqi , riwayat hadits Abu Hurairah ra , Sabda Rasulullah ,”Rasulullah SAW ketika shalat pernah menghadapkan pandangannya ke langit, lalu ayat ini turun, dan beliau SAW langsung menundukkan kepalanya”.

Riwayat Hasan ra, Sesungguhnya Nabi SAW bersabda “ Perumpamaan shalat lima waktu ialah seperti sungai mengalir didepan pintu rumah seseorang diantara kalian semua. Kemudian dia mandi disana lima kali dalam sehari, lalu apakah masih tersisa sesuatu yang kotor”.


Sumber : http://www.vbaitullah.or.id, Nurul Mukhlisin Asyraf
1. Disarikan dari Kitab Ad-Du'a, Mafhumuhu Wa ahkamuhu, Oleh Syeikh. Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd.
2. Bada'iul Fawaid oleh Ibnul Qayyim.




Tips mempererat Ukhuwah

Ukhuwah Islamiyah - persaudaraan Islam bukanlah teori. Ini adalah ajaran praktis yang bisa kita lakukan dalam keseharian. Karena itu, nikmatnya
ukhuwah tidak akan bisa kita kecap, kecuali dengan mempraktikannya.
Ada bebrapa tips untuk mempererat ukhuwah, dan , Anda akan merasakan ikatan ukhuwah Anda dengan saudara-saudara seiman semakin kokoh.

1. Katakan bahwa Anda mencintai saudara Anda

عَنِ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ: إِِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَلْيُخْبِرْهُ أََنَّهُ يُحِبُّهُ

Rasulullah saw. bersabda, “Apabila seseorang mencintai saudaranya, hendaklah dia mengatakan cinta kepadanya.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits shahih)

عَنْ اَنَسٍ: اَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فَمَرَّ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنّي لأحِبُّ هَذَا فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ أَعْلَمْتَهُ؟ قَالَ: لا، قَالَ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أعْلِمْهُ فَلَحِقَهُ فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِى اللهِ فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْبَبْتَنِى لَهُ

Anas r.a. mengatakan bahwa seseorang berada di sisi Rasulullah saw., lalu salah seorang sahabat melewatinya. Orang yang berada di sisi Rasulullah tersebut mengatakan, “Aku mencintai dia, ya Rasulullah.” Lalu Nabi bersabda, “Apakah kamu sudah memberitahukan dia?” Orang itu menjawab, “Belum.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Beritahukan kepadanya.” Lalu orang tersebut memberitahukannya dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah.” Kemudian orang yang dicintai itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu karena engkau mencintaiku karena-Nya.” (Abu Dawud, dengan sanad shahih)
Jadi, jangan tunda lagi. Katakan cinta kepada orang yang Anda cintai.

2. Minta didoakan dari jauh saat berpisah

عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَابِ قَالَ: اِسْتَأْذِنْتُ النَّبِيَّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ فِى الْعُمْرَةِ فَأَذِنَ لِي فَقَالَ: لاَ تَنْسَنَا يَا اُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ فَقَالَ: كَلِمَةً مَا يَسُرُّنِى أَنَّ لِى بِِهَا الدُّنْيَا، وَفِى رِوَايَةٍ قَالَ: أَشْرِكْنَا يَا أُجَيَّ فِى دُعَائِكَ

Umaق bin Khaththab berkata, “Aku minta izin kepada Nabi Muhammad saw. untuk melaksanakan umrah, lalu Rasulullah saw. mengizinkanku.” Beliau bersabda, “Jangan lupakan kami, wahai saudaraku, dalam doamu.” Kemudian ia mengatakan satu kalimat yang menggembirakanku bahwa aku mempunyai keberuntungan dengan kalimat itu di dunia. Dalam satu riwayat, beliau bersabda, “Sertakan kami dalam diamu, wahai saudaraku.” (Abu Dawud dan Tirmidzi, hadits hasan shahih)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُوْ لِأَخِيْهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ : وَلَكَ بِمِثْلٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak seorang hamba mukmin yang berdoa untuk saudaranya dari kejauhan malainkan malaikat berkata, ‘Dan bagimu seperti itu’.” (Muslim)

3. Bila berjumpa, tunjukkan wajah gembira dan senyuman

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُفِ شَيْئاً وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِيْقٍ

Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan apapun, walaupun sekadar bertemu saudaramu dengan wajah ceria.” (Muslim)

4. Berjabat tangan dengan erat dan hangat
Berjabat tanganlah acapkali bertemu. Sebab, Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada dua orang muslim yang berjumpa lalu berjabat tangan melainkan keduanya diampuni dosanya sebelum berpisah.” (Abu Dawud)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَا مِنْ مُسْلِمِيْنَ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا

5. Sering-seringlah berkunjung
Nabi Muhammad saw. bersabda, “Allah swt. berfirman, ‘Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang mencintai karena Aku, keduanya saling berkunjung karena Aku, dan saling memberli karena Aku’.” (Imam Malik dalam Al-Muwaththa’)

6. Ucapkan selamat saat saudara Anda mendapat kesuksesan

عَنْ اَنَسٍ بن مالك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ لَقِيَ أَجَاهُ بِمَا يُحِبُّ لِيَسُرَّهُ ذَالِكَ سَرَّةُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Anas bin Malik berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa bertemu saudaranya dengan membawa sesuatu yang dapat menggembirakannya, pasti Allah akan menggembirakannya pada hari kiamat.” (Thabrani dalam Mu’jam Shagir)
Jadilah Anda orang yang paling pertama mengucapkan selamat kala saudara Anda menikah, mendapat anak, menempati rumah baru, pergi haji, naik jabatan, dan lain-lain.

7. Berilah hadiah terutama di waktu-waktu istimewa

عَلَيْكُمْ بِالْهَدَايَا فَإِنَّهَا تُوْرِثُ الْمَوَدَّةَ وَتُذْهِبُ الضَّغَائِنَ

Hadits marfu’ dari Anas bahwa, “Hendaklah kamu saling memberi hadiah, karena hadiah itu dapat mewariskan rasa cinta dan menghilangkan kekotoran hati.” (Thabrani)

عَنْ عَائِشَةَ: تَهَادَوْا تَحَابُّوْا

Thabrani juga meriwayatkan hadits marfu’ dari Aisyah r.a. bahwa, “Biasakanlah kamu saling memberi hadiah, niscaya kamu akan saling mencintai.”

8. Berilah perhatian dan bantu keperluan Saudara Anda

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ، وَاللهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ اَخِيْهِ.

Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (Muslim)
Karena itu, jadikan diri Anda orang yang paling dahulu membantu kala saudara Anda membutuhkan

Sumber : Mochamad Bugi, http://www.dakwatuna.com



Selasa, 22 Juli 2008

Membaca Alqur'an Disaat Haid?

apakah ada hadist yang memperbolehkan wanita haid membaca Alqur'an? Karena mempunyai target bahwa saya harus khatam Qur'an.
Di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab jilid 2 halaman 158, sebuah kitab fiqih perbandingan mazhab yang sangat fenomenal
karya Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, telah disebutkan bahwa masalah ini adalah masalah ikhtilaf di tengah sekian banyak pendapat.

1. Pendapat Yang Mengharamkan
Di antara pendapat yang mengharamkan wanita haidh dan nifas untuk membaca Al-Quran adalah mazhab Asy-Syafi'i.
Mazhab yang didirikan oleh peletak dasar ilmu ushul fiqih, Al-Imam Asy-syafi'i rahimahullah menetapkan bahwa wanita haidh dan nifas diharamkan untuk membaca Al-Quran. Banyak atau sedikit ayat yang dibaca, hukumnya tetap haram.
Pendapat ini didukung oleh pendapat para shahabat nabi seperti Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, dan Jabir bin Abdullah ridhwanullahi 'alaihim.
Dan juga didukung oleh pendapat para salaf seperti Al-Hasan, Az-Zuhri, An-Nakha'i, Qatadah, Ahmad dan Ishaq.

Dalil atas larangan itu adalah sabda nabi SAW
ابن عمر رضى الله عنهما لا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن


Janganlah orang yang junub dan haidh membaca sesuatu dari Al-Quran (HR At-Tirmizy dan Al-Baihaqi)
Namun sebagian ahli hadits mendhaifkan riwayat ini. Sehingga pendapat yang mengharamkan ini dianggap kurang kuat hujjahnya oleh sebagian ulama itu

2. Pendapat Yang Membolehkan
Di antara ulama yang berpendapat bahwa wanita haidh dan nifas boleh membaca Al-Quran adalah Daud Adz-Dzhahiri, pendiri mazhab Dzhahiri.
Selain itu pendapat ini juga didukung oleh Ibnu Abbas ra, Ibnul Musayyab, Al-Qadhi, Abu At-Thayyib, BInu Ash-Shabbagh.
Sedangkan pendapat Al-Imam Malik agak samar tentang wanita haidh yang membaca Al-Quran. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa beliau membolehkannya, namun sebagian riwayat lainnya melarangnya.
Dalil yang digunakan kalangan yang membolehkan wanita haidh untuk membaca Al-Quran adalah perkataan Aisyah ra:

عائشة رضى الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يذكر الله تعالى على كل أحيانه) رواه مسلم

Dari Aisyah ra berkata bahwa Nabi SAW selalu dalam keadaan berzikir kepada Allah SWT (HR Muslim)
Dan menurut mereka, membaca Al-Quran termasuk ke dalam kategori berzikir, sehingga dalam keadaan haidh sekalipun tetap diperbolehkan membaca Al-Quran.

Target Khatam Quran
Seandainya anda memilih pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa membaca Al-Quran diharamkan bagi wanita haidh, pada hakikatnya anda tetap bisa mengkhatamkan Al-Quran di dalam bulan Ramadhan.
Tentunya dengan perhitungan yang matang antara hari-hari suci dan hari-hari haidh. Di hari-hari suci, mungkin anda bisa memperbanyak bacaan Al-Quran. Dan tidak selalu bergantung pada patokan satu hari membaca 1 juz Al-Quran.

Wallahu a'lam bishshawab,

Sumber : Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc, eramuslim




Hikmah Zakat Fitrah

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan untuk orang-orang miskin.” (Hasan, HR. Abu Dawud Kitabul Zakat Bab. Zakatul Fitr: 17 no. 1609 Ibnu Majah: 2/395 K. Zakat Bab Shadaqah Fitri: 21 no: 1827 dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Mengapa disebut Zakat Fitrah?
Sebutan yang populer di kalangan masyarakat kita adalah zakat fitrah. Mengapa demikian? Karena maksud dari zakat ini adalah zakat jiwa, diambil dari kata fitrah, yaitu asal-usul penciptaan jiwa (manusia) sehingga wajib atas setiap jiwa (Fathul Bari, 3/367). Semakna dengan itu Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi menjelaskan bahwa ucapan para ulama “wajib fitrah” maksudnya wajib zakat fitrah. (Al-Mishbahul Munir: 476)

Namun yang lebih populer di kalangan para ulama –wallahu a’lam– disebut زَكَاةُ الْفِطْرِ zakat fithri atau صَدَقَةُ الْفِطْرِ shadaqah fithri. Kata Fithri di sini kembali kepada makna berbuka dari puasa Ramadhan, karena kewajiban tersebut ada setelah selesai menunaikan puasa bulan Ramadhan. Sebagian ulama seperti Ibnu Hajar Al-’Asqalani menerangkan bahwa sebutan yang kedua ini lebih jelas jika merujuk pada sebab musababnya dan pada sebagian penyebutannya dalam sebagian riwayat. (Lihat Fathul Bari, 3/367)

Hukum Zakat Fitrah
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah.
Dasar mereka adalah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَاْلأُنْثَى وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayatkan juga oleh Muslim)

Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain:

أمر النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ

“Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507)
Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.

Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjurkan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82)

Siapa yang Wajib Berzakat Fitrah?
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan dalam hadits sebelumnya bahwa kewajiban tersebut dikenakan atas semua orang, besar ataupun kecil, laki-laki ataupun perempuan, dan orang merdeka maupun budak hamba sahaya. Akan tetapi untuk anak kecil diwakili oleh walinya dalam mengeluarkan zakat. Ibnu Hajar mengatakan: “Yang nampak dari hadits itu bahwa kewajiban zakat dikenakan atas anak kecil, namun perintah tersebut tertuju kepada walinya. Dengan demikian, kewajiban tersebut ditunaikan dari harta anak kecil tersebut. Jika tidak punya, maka menjadi kewajiban yang memberinya nafkah, ini merupakan pendapat jumhur ulama.” (Al-Fath, 3/369; lihat At-Tamhid, 14/326-328, 335-336)
Nafi’ mengatakan:

فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى إِنْ كَانَ لِيُعْطِي عَنْ بَنِيَّ

“Dahulu Ibnu ‘Umar menunaikan zakat anak kecil dan dewasa, sehingga dia dulu benar-benar menunaikan zakat anakku.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77, no. 1511, Al-Fath, 3/375)
Demikian pula budak hamba sahaya diwakili oleh tuannya. (Al-Fath, 3/369)

Dalam Bentuk Apa Zakat Fitrah dikeluarkan?
Hal ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu. Dan lebih jelas lagi dengan riwayat berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نُعْطِيْهَا فِي زَمَانِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْبٍ ...

“Dari Abu Sa’id radhiallahu 'anhu, ia berkata: ‘Kami memberikan zakat fitrah di zaman Nabi sebanyak 1 sha’ dari makanan, 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum, ataupun 1 sha’ kismis (anggur kering)’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat no. 1508 dan 1506, dengan Bab Zakat Fitrah 1 sha’ dengan makanan. Diriwayatkan juga oleh Muslim no. 2280)
Kata طَعَامٍ (makanan) maksudnya adalah makanan pokok penduduk suatu negeri baik berupa gandum, jagung, beras, atau lainnya. Yang mendukung pendapat ini adalah riwayat Abu Sa’id yang lain:

قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيْرُ وَالزَّبِيْبُ وَاْلأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Ia mengatakan: ‘Kami mengeluarkannya (zakat fitrah) berupa makanan di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari Idul Fitri’. Abu Sa’id mengatakan lagi: ‘Dan makanan kami saat itu adalah gandum, kismis, susu kering, dan kurma’.” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Shadaqah Qablal Id, Al-Fath, 3/375 no. 1510)

Di sisi lain, zakat fitrah bertujuan untuk menyenangkan para fakir dan miskin. Sehingga seandainya diberi sesuatu yang bukan dari makanan pokoknya maka tujuan itu menjadi kurang tepat sasaran.
Inilah pendapat yang kuat yang dipilih oleh mayoritas para ulama. Di antaranya Malik (At-Tamhid, 4/138), Asy-Syafi’i dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah (Majmu’ Fatawa, 25/69), Ibnul Mundzir (Al-Fath, 3/373), Ibnul Qayyim (I’lamul Muwaqqi’in, 2/21, 3/23, Taqrib li Fiqhi Ibnil Qayyim hal. 234), Ibnu Baz dan fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/365, Fatawa Ramadhan, 2/914)
Juga ada pendapat lain yaitu zakat fitrah diwujudkan hanya dalam bentuk makanan yang disebutkan dalam hadits Nabi. Ini adalah salah satu pendapat Al-Imam Ahmad. Namun pendapat ini lemah. (Majmu’ Fatawa, 25/68)

Bolehkah Mengeluarkannya dalam Bentuk Uang?
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini.
Pendapat pertama: Tidak boleh mengeluarkan dalam bentuk uang. Ini adalah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Dawud. Alasannya, syariat telah menyebutkan apa yang mesti dikeluarkan, sehingga tidak boleh menyelisihinya. Zakat sendiri juga tidak lepas dari nilai ibadah, maka yang seperti ini bentuknya harus mengikuti perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Selain itu, jika dengan uang maka akan membuka peluang untuk menentukan sendiri harganya. Sehingga menjadi lebih selamat jika menyelaraskan dengan apa yang disebut dalam hadits.
An-Nawawi mengatakan: “Ucapan-ucapan Asy-Syafi’i sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat dengan nilainya (uang).” (Al-Majmu’, 5/401)
Abu Dawud mengatakan: “Aku mendengar Al-Imam Ahmad ditanya: ‘Bolehkah saya memberi uang dirham -yakni dalam zakat fitrah-?’ Beliau menjawab: ‘Saya khawatir tidak sah, menyelisihi Sunnah Rasulullah’.”

Ibnu Qudamah mengatakan: “Yang tampak dari madzhab Ahmad bahwa tidak boleh mengeluarkan uang pada zakat.” (Al-Mughni, 4/295)
Pendapat ini pula yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan (lihat Fatawa Ramadhan, 2/918-928)
Pendapat kedua: Boleh mengeluarkannya dalam bentuk uang yang senilai dengan apa yang wajib dia keluarkan dari zakatnya, dan tidak ada bedanya antara keduanya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (Al-Mughni, 4/295, Al-Majmu’, 5/402, Bada`i’ush-Shana`i’, 2/205, Tamamul Minnah, hal. 379)

Pendapat pertama itulah yang kuat.

Atas dasar itu bila seorang muzakki (yang mengeluarkan zakat) memberi uang pada amil, maka amil diperbolehkan menerimanya jika posisinya sebagai wakil dari muzakki. Selanjutnya, amil tersebut membelikan beras –misalnya– untuk muzakki dan menyalurkannya kepada fuqara dalam bentuk beras, bukan uang.
Namun sebagian ulama membolehkan mengganti harta zakat dalam bentuk uang dalam kondisi tertentu, tidak secara mutlak. Yaitu ketika yang demikian itu lebih bermaslahat bagi orang-orang fakir dan lebih mempermudah bagi orang kaya.

Ini merupakan pilihan Ibnu Taimiyyah. Beliau rahimahullahu mengatakan: “Boleh mengeluarkan uang dalam zakat bila ada kebutuhan dan maslahat. Contohnya, seseorang menjual hasil kebun atau tanamannya. Jika ia mengeluarkan zakat 1/10 (sepersepuluh) dari uang dirhamnya maka sah. Ia tidak perlu membeli korma atau gandum terlebih dulu. Al-Imam Ahmad telah menyebutkan kebolehannya.” (Dinukil dari Tamamul Minnah, hal. 380)
Beliau juga mengatakan dalam Majmu’ Fatawa (25/82-83): “Yang kuat dalam masalah ini bahwa mengeluarkan uang tanpa kebutuhan dan tanpa maslahat yang kuat maka tidak boleh …. Karena jika diperbolehkan mengeluarkan uang secara mutlak, maka bisa jadi si pemilik akan mencari jenis-jenis yang jelek. Bisa jadi pula dalam penentuan harga terjadi sesuatu yang merugikan… Adapun mengeluarkan uang karena kebutuhan dan maslahat atau untuk keadilan maka tidak mengapa….”
Pendapat ini dipilih oleh Asy-Syaikh Al-Albani sebagaimana disebutkan dalam kitab Tamamul Minnah (hal. 379-380)

Yang perlu diperhatikan, ketika memilih pendapat ini, harus sangat diperhatikan sisi maslahat yang disebutkan tadi dan tidak boleh sembarangan dalam menentukan, sehingga berakibat menggampangkan masalah ini.

Ukuran yang Dikeluarkan
Dari hadits-hadits yang lalu jelas sekali bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan ukuran zakat fitrah adalah 1 sha’. Tapi, berapa 1 sha’ itu?
Satu sha’ sama dengan 4 mud. Sedangkan 1 mud sama dengan 1 cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang.
Berapa bila diukur dengan kilogram (kg)? Tentu yang demikian ini tidak bisa tepat dan hanya bisa diukur dengan perkiraan. Oleh karenanya para ulama sekarangpun berbeda pendapat ketika mengukurnya dengan kilogram.
Dewan Fatwa Saudi Arabia atau Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, wakilnya Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi dan anggotanya Abdullah bin Ghudayyan memperkirakan 3 kg. (Fatawa Al-Lajnah, 9/371)
Adapun Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat sekitar 2,040 kg. (Fatawa Arkanil Islam, hal. 429)

Tentang Al-Bur atau Al-Hinthah
Ada perbedaan pendapat tentang ukuran yang dikeluarkan dari jenis hinthah (salah satu jenis gandum). Sebagian shahabat berpendapat tetap 1 sha’, sementara yang lain berpendapat ½ sha’.
Nampaknya pendapat kedua itu yang lebih kuat berdasarkan riwayat:

عَنْ هِشَامِ بنِ عُرْوَةَ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ أَسْمَاءَ بنِتَ أَبِى بَكْرٍ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهَا كَانَتْ تُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَهْلِهَا الْحُرِّ مِنْهُمْ وَالْمَمْلُوْكِ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعاً مِنْ تَمْرٍ بِالْمُدِّ أوْ بِالصَّاعِ الَّذِي يَـتَبَايَعوْنَ بِهِ

“Dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya bahwa Asma’ binti Abu Bakar dahulu di zaman Nabi dia mengeluarkan (zakat) untuk keluarganya yang merdeka atau yang sahaya dua mud hinthah atau satu sha’ kurma dengan ukuran mud atau sha’ yang mereka pakai untuk jual beli.” (Shahih, HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 2871, Ibnu Abi Syaibah dan Ahmad. Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Sanadnya shahih, sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim.” Lihat Tamamul Minnah hal. 387)

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan di masa sekarang Al-Albani.

Waktu Mengeluarkannya
Menurut sebagian ulama bahwa jatuhnya kewajiban fitrah itu dengan selesainya bulan Ramadhan. Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan bahwa waktu pengeluaran zakat fitrah itu sebelum shalat sebagaimana dalam hadits yang lalu.

وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ

“Dan Nabi memerintahkan agar dilaksanakan sebelum orang-orang keluar menuju shalat.”
Dengan demikian, zakat tersebut harus tersalurkan kepada yang berhak sebelum shalat. Sehingga maksud dari zakat fitrah tersebut terwujud, yaitu untuk mencukupi mereka di hari itu.
Namun demikian, syariat memberikan kelonggaran kepada kita dalam penunaian zakat, di mana pelaksanaannya kepada amil zakat dapat dimajukan 2 atau 3 hari sebelum Id berdasarkan riwayat berikut ini:

كَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُعْطِيْهَا الَّذِيْنَ يَقْبَلُوْنَهَا وَكَانُوا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ

“Dulu Abdullah bin Umar memberikan zakat fitrah kepada yang menerimanya [1]. Dan dahulu mereka menunaikannya 1 atau 2 hari sebelum hari Id.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabuz Zakat Bab 77 no. 1511 Al-Fath, 3/375)

Dalam riwayat Malik dari Nafi’:

أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ

“Bahwasanya Abdullah bin Umar menyerahkan zakat fitrahnya kepada petugas yang zakat dikumpulkan kepadanya, 2 atau 3 hari sebelum Idul Fitri.” (Al-Muwaththa`, Kitabuz Zakat Bab Waqtu Irsal Zakatil Fithri, 1/285. Lihat pula Al-Irwa` no. 846)
Sehingga tidak boleh mendahulukan lebih cepat daripada itu, walaupun ada juga yang berpendapat itu boleh. Pendapat pertama itulah yang benar, karena demikianlah praktek para shahabat.


Sasaran Zakat Fitrah
Yang kami maksud di sini adalah mashraf atau sasaran penyaluran zakat.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan sasaran penyalurannya adalah orang fakir miskin secara khusus.
Sebagian lagi mengatakan, sasaran penyalurannya adalah sebagaimana zakat yang lain, yaitu 8 golongan sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah 60. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, satu riwayat dari Ahmad, dan yang dipilih oleh Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 4/314).
Dari dua pendapat yang ada, nampaknya yang kuat adalah pendapat yang pertama. Dengan dasar hadits Nabi yang lalu:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ

Dari Ibnu Abbas ia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan kata-kata kotor serta sebagai pemberian makanan bagi orang-orang miskin.”
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani dalam bukunya As-Sailul Jarrar [3] dan di zaman ini Asy Syaikh Al-Albani, dan difatwakan Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan lain-lain.
Ibnul Qayyim mengatakan: “Diantara petunjuk beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, zakat ini dikhususkan bagi orang-orang miskin dan tidak membagikannya kepada 8 golongan secomot-secomot. Beliau tidak pula memerintahkan untuk itu serta tidak seorangpun dari kalangan shahabat yang melakukannya. Demikian pula orang-orang yang setelah mereka.” (Zadul Ma’ad, 2/21, lihat pula Majmu’ Fatawa, 25/75, Tamamul Minnah, hal. 387, As-Sailul Jarrar, 2/86, Fatawa Ramadhan, 2/936)
Atas dasar itu, tidak diperkenankan menyalurkan zakat fitrah untuk pembangunan masjid, sekolah, atau sejenisnya. Demikian difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah (9/369).

Definisi Fakir
Para ulama banyak membicarakan hal ini. Terlebih, kata fakir ini sering bersanding dengan kata miskin, yang berarti masing-masing punya pengertian tersendiri. Pembahasan masalah ini cukup panjang dan membutuhkan pembahasan khusus. Namun di sini kami akan sebutkan secara ringkas pendapat yang nampaknya lebih kuat:
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya (8/168) menjelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam hal perbedaan antara fakir dan miskin sampai 9 pendapat.
Diantaranya, bahwa fakir lebih membutuhkan daripada miskin. Ini adalah pendapat Asy-Syafi’i dan jumhur sebagaimana dalam Fathul Bari. (Dinukil dari Imdadul Qari, 1/236-237)
Diantara alasannya adalah karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lebih dahulu menyebut fakir daripada miskin dalam surat At-Taubah: 60.

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat…”
Tentu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan dari yang terpenting. Juga dalam surat Al-Kahfi: 79, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera…”
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut mereka miskin padahal mereka memiliki kapal.
Jadi baik fakir maupun miskin sama-sama tidak punya kecukupan, walaupun fakir lebih kekurangan dari miskin.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam Tafsir-nya (341): “Fakir adalah orang yang tidak punya apa-apa atau punya sedikit kecukupan tapi kurang dari setengahnya. Sedangkan miskin adalah yang mendapatkan setengah kecukupan atau lebih tapi tidak memadai.”

Berapakah yang Diberikan kepada Mereka?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di mengatakan (hal. 341): “Maka mereka diberi seukuran yang membuat hilangnya kefakiran dan kemiskinan mereka.”
Maka diupayakan jangan sampai setiap orang miskin diberi kurang dari ukuran zakat fitrah itu sendiri.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Pendapat yang paling lemah adalah pendapat yang mengatakan wajib atas setiap muslim untuk membayarkan zakat fitrahnya kepada 12, 18, 24, 32, atau 28 orang, atau semacam itu. Karena ini menyelisihi apa yang dilakukan kaum muslimin dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, para khalifahnya, serta seluruh shahabatnya. Tidak seorang muslimpun melakukan yang demikian di masa mereka. Bahkan dahulu setiap muslim membayar fitrahnya sendiri dan fitrah keluarganya kepada satu orang muslim.
Seandainya mereka melihat ada yang membagi satu sha’ untuk sekian belas jiwa di mana setiap orang diberi satu genggam, tentu mereka mengingkari itu dengan sekeras-kerasnya. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan kadar yang diperintahkan yaitu satu sha’ kurma, gandum, atau dari bur ½ atau 1 sha’, sesuai kadar yang cukup untuk satu orang miskin. Dan beliau jadikan ini sebagai makanan mereka di hari raya, yang mereka tercukupi dengan itu. Jika satu orang hanya memperoleh satu genggam, maka ia tidak mendapatkan manfaat dan tidak selaras dengan tujuannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/73-74)


Tempat Ditunaikannya Zakat Fitrah
Sebuah pertanyaan ditujukan kepada Al-Lajnah Ad-Da`imah:
“Apakah saya boleh menunaikan zakat untuk keluarga saya di mana saya puasa Ramadhan di (Saudi Arabia) bagian timur sementara keluarga saya di (Saudi Arabia) bagian utara?”
Jawab: Zakat fitrah itu dikeluarkan di tempat seseorang berada. Namun jika wakil atau walinya mengeluarkannya di daerah tempat yang bersangkutan tidak ada di sana, maka diperbolehkan. (Fatawa Al-Lajnah, 9/384, ditandatangani oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Asy-Syaikh Abdullah Ghudayyan, dan Asy-Syaikh Abdullah bin Qu’ud. Lihat Fatawa Ramadhan, 2/943)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber : Al Ustadz Qomar ZA, Lc Salafi online
1. Yang dimaksud adalah amil zakat, bukan fakir miskin. Lihat Fathul Bari (3/376) dan Al-Irwa` (3/335).
2. Sebelumnya beliau juga menyebutkan hadits lain yang semakna.
3. Lain halnya dalam bukunya Ad-Darari, di situ beliau berpendapat seperti Asy-Syafi’i.

(Dikutip dari majalah Asy Syariah, Vol.III/No.26/1427 H/2006, tulisan Al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Zakat Fitrah Pensuci Jiwa. Url sumber http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=372)




Senin, 21 Juli 2008

Infaq


الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berinfaq. Anjuran yang bahkan pada bagian awal surah Al-Baqarah telah disebutkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala menggambarkan salah satu karakter utama orang bertaqwa.

“Alif Laam Miim. Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan meng-infaq-kan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.”
(QS Al-Baqarah ayat 1-3)

Dalam ayat di atas Allah ta’aala menyebutkan karakter muttaqin yang biasa berinfaq bersama karakternya yang rajin menegakkan sholat. Di dalam Al-Qur’an hampir selalu karakter menegakkan sholat dan mengeluarkan infaq disebutkan dalam suatu rangkaian berpasangan. Hal ini mudah dimengerti sebab ajaran Islam selalu menekankan keseimbangan dalam segala sesuatu. Islam bukan semata ajaran yang mewujudkan hubungan antara hamba dengan rabbnya atau hablum minAllah, tetapi juga hubungan antara hamba dengan sesama hamba atau hablum minan-naas.

Uniknya lagi, di dalam ajaran Islam bila suatu perintah Allah ta’aala dilaksanakan, maka bukan saja hal itu menunjukkan kepatuhan seorang hamba akan rabbnya, melainkan dijamin bakal mendatangkan manfaat bagi si hamba. Ini yang disebut dengan fadhilah atau keutamaan suatu ’amal-perbuatan. Misalnya sholat malam atau tahajjud. Allah ta’aala menjanjikan bagi pelakunya bakal memperoleh kekuatan daya pengaruh ketika berbicara.

يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat.” (QS AlMuzzammil ayat 1-5)
Contoh lainnya bila seseorang meningkatkan ketaqwaan kepada Allah ta’aala maka di antara fadhilah yang akan ia peroleh adalah penambahan ilmu dari Allah ta’aala, jalan keluar kesulitan hidupnya serta rizqi dari arah yang tidak disangka-sangka.

وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
”Dan bertakwalah kepada Allah; Allah (akan) mengajarmu.” (QS AlBaqarah ayat 282)


وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq ayat 2-3)

Demikian pula dengan berinfaq. Allah ta’aala menjanjikan fadhilah di balik kedermawanan seseorang yang rajin berinfaq.

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

“Katakanlah, "Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendaki-Nya)." Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS Saba’ ayat 39)
Bahkan dalam sebuah hadits Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan keuntungan yang bakal diraih seseorang yang rajin berinfaq di pagi hari sekaligus kerugian yang bakal dideritanya bilamana ia tidak peduli berinfaq di pagi hari.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلَّا
مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا
وَيَقُولُ الْآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا (البخاري)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Tidak ada satu subuh-pun yang dialami hamba-hamba Allah kecuali turun kepada mereka dua malaikat. Salah satu di antara keduanya berdoa: “Ya Allah, berilah ganti bagi orang yang berinfaq”, sedangkan yang satu lagi berdo’a “Ya Allah, berilah kerusakan bagi orang yang menahan (hartanya)” (HR Bukhary 5/270)
Pembaca yang budiman, marilah kita galakkan berinfaq di pagi hari agar malaikat mendoakan kelapangan rizqi yang memang sangat kita perlukan untuk memperlancar ibadah, amal sholeh, da’wah dan jihad kita di dunia. Dan jangan biarkan ada satu pagipun yang berlalu tanpa berinfaq sebab itu sama saja kita mengundang kerusakan dalam hidup sebagaimana doa malaikat yang satunya di setiap pagi hari.
Ketahuilah, bukan banyaknya jumlah infaq yang penting melainkan kontinuitas-nya. Lebih baik berinfaq sedikit namun konstan terus-menerus daripada berinfaq dalam jumlah besar namun hanya sekali setahun atau seumur hidup. Orang yang konstan berinfaq tidak bakal dipengaruhi oleh musim. Dalam masa paceklik tetap berinfaq, dalam masa panen tentu lebih pasti.

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.” (QS Ali Imran ayat 133-134)


sumber : Ihsan Tandjung , Eramulsim


Ribakah Royalti?

Keluarga saya ikut menginvetasikan dana di sebuah perusahaan di mana perusahaan tersebut memberikan royalti setiap bulan sebesar 4%. Menurut Pak Ustad nilai royalti yang didapat oleh keluarga saya termasuk ribakah?
Jawabnya ada dua kemungkinan, yaitu bisa halal dan bisa haram. Tergantung sistem yang digunakan dalam investasi itu.
Yang membedakan antara halal dan harambukan besarnya prosentase nilai royalti, melainkan sumber pembagian royalti.

Kalau keluarga anda tiap bulan mendapat 4% dari jumlah uang yang diinvestasikan, maka uang itu adalah uang riba.
Ilustrasi sederhananya, misalnya keluarga anda berinvestasi sebesar Rp 1.00.000.000,-, lalu tiap bulan akan mendapatkan royalti fix sebesar 4% dari jumlah itu, yaitu Rp 4.000.000,-.
Bentuk ini 100% adalah riba dan hukumnya haram. Meski perusahaan tempat keluarga berinvestasi tidak merasa keberatan.

Bentuk investasi yang halal adalah bila angka royalti 4% tiap bulan itu bukan diambil dari nilai investasi, melainkan dari keuntungan usaha. Misalnya, perusahaan itu dapat keuntungan fluktuatif rata-rata sekitar Rp 100.000.000. Dan anda mendapat 4% dari keuntungan usaha yang kemungkinan besar nilainya masih bisa naik dan turun, maka transaksi model begini hukumnya halal.

Yang terjadi adalah bagi hasil, bukan pembungaan uang. Dan investasi bagi hasil itu hukumnya halal secara sistem.

Adapun bidang yang dijadikan lahan usaha, tentu saja harus pada bidang yang halal secara syariah. Maka investasi dalam bisnis dunia hiburan malam, minuman keras, rokok, narkoba dan sejenisnya, termasuk wilayah yang diharamkan bagi kita untuk berinvestasi di dalamnya.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:


وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maidah: 2)
Berinvestasi dalam dunia bisnis itu ada syarat mutlaknya, yaitu kita harus tahu pasti bahwa bisnis yang dikembangkan adalah bisnis yang halal 100% sesuai dengan syariah Islam. Bila masih belum halal, maka kita termasuk golongan orang yang disebutkan oleh ayat di atas, yaitu saling tolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Wallahu a'lam bishshawab,

Sumber : bersama Ust. H. Ahmad Sarwat, Lc, eramuslim




Menangguhkan shalat

Banyak tenaga kerja yang menangguhkan shalat Zhuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan bahwa mereka sibuk dengan pekerjaan atau karena pakaian mereka terkena najis atau tidak bersih. Apa saran untuk mereka?
Seorang Muslim dan Muslimah tidak boleh menangguhkan shalat hingga keluar dari
waktunya, akan tetapi, wajib atas setiap Muslim dan Muslimah yang mukallaf untuk
melaksanakan shalat pada waktunya semampunya.
Pekerjaan bukanlah alasan untuk menangguhkan shalat, demikian juga pakaian yang terkena najis atau kotoran, semua itu bukan alasan yang dibenarkan.
Waktu-waktu shalat harus dikecualikan dari waktu kerja. Ketika tiba waktu shalat, seorang pekerja hendaknya membersihkan pakaiannya dari najis atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Adapun kotoran, maka kotoran itu tidak menghalangi shalat jika bukan merupakan najis atau tidak mengeluarkan bau busuk yang mengganggu. Jika kotoran itu atau baunya mengganggu dirinya, maka harus dicuci terlebih dahulu sebelum shalat atau menggantinya dengan pakaian bersih sehingga bisa melaksanakan shalat secara berjamaah.

Bagi orang yang mendapat udzur secara syar'i, seperti; orang sakit dan musafir, maka dibolehkan menjamak shalat Zhuhur dengan Ashar di salah satu waktunya, juga antara Maghrib dengan Isya di salah satu waktunya.
Hal ini berdasarkan dalil shahih dari Nabi –shollallaahu’alaihi wasallam. Dan dibolehkan juga menjamak shalat dikarenakan hujan dan beceknya jalanan yang menyusahkan orang melewatinya.

Sumber: Syaikh Ibnu Baz, Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal. 19-20, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq. http://www.fatwa-ulama.com



Ciri-ciri Ulama

Terdapat beberapa ungkapan ulama dalam mendefinisikan ulama. Ibnu Juraij rahimahullah menukilkan (pendapat) dari ‘Atha, beliau berkata: “Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia adalah orang alim.” (Jami’ Bayan Ilmu wa Fadhlih, hal. 2/49)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Kitabul ‘Ilmi mengatakan: “Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah.” (Kitabul ‘Ilmi hal. 147)

Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 31)

Abdus Salam bin Barjas rahimahullah mengatakan: “Orang yang pantas untuk disebut sebagai orang alim jumlahnya sangat sedikit sekali dan tidak berlebihan kalau kita mengatakan jarang. Yang demikian itu karena sifat-sifat orang alim mayoritasnya tidak akan terwujud pada diri orang-orang yang menisbahkan diri kepada ilmu pada masa ini. Bukan dinamakan alim bila sekedar fasih dalam berbicara atau pandai menulis, orang yang menyebarluaskan karya-karya atau orang yang men-tahqiq kitab-kitab yang masih dalam tulisan tangan. Kalau orang alim ditimbang dengan ini, maka cukup (terlalu banyak orang alim).

Akan tetapi penggambaran seperti inilah yang banyak menancap di benak orang-orang yang tidak berilmu. Oleh karena itu banyak orang tertipu dengan kefasihan seseorang dan tertipu dengan kepandaian berkarya tulis, padahal ia bukan ulama. Ini semua menjadikan orang-orang takjub. Orang alim hakiki adalah yang mendalami ilmu agama, mengetahui hukum-hukum Al Quran dan As Sunnah. Mengetahui ilmu ushul fiqih seperti nasikh dan mansukh, mutlak, muqayyad, mujmal, mufassar, dan juga orang-orang yang menggali ucapan-ucapan salaf terhadap apa yang mereka perselisihkan.” (Wujubul Irtibath bi ‘Ulama, hal. 8)
Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan ciri khas seorang ulama yang membedakan dengan
kebanyakan orang yang mengaku berilmu atau yang diakui sebagai ulama bahkan waliyullah.
Dia berfirman: “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah adalah ulama.” (Fathir: 28)

Ciri-ciri Ulama
Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui siapa sesungguhnya yang pantas untuk menyandang gelar ulama dan bagaimana besar jasa mereka dalam menyelamatkan Islam dan muslimin dari rongrongan penjahat agama, mulai dari masa terbaik umat yaitu generasi shahabat hingga masa kita sekarang.

Pembahasan ini juga bertujuan untuk memberi gambaran (yang benar) kepada sebagian muslimin yang telah memberikan gelar ulama kepada orang yang sebetulnya tidak pantas untuk menyandangnya.

Di antara ciri-ciri ulama adalah:

  1. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang tidak menginginkan kedudukan, dan membenci segala bentuk pujian serta tidak menyombongkan diri atas seorang pun.” Al-Hasan mengatakan: “Orang faqih adalah orang yang zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat, bashirah (berilmu) tentang agamanya dan senantiasa dalam beribadah kepada Rabbnya.” Dalam riwayat lain: “Orang yang tidak hasad kepada seorang pun yang berada di atasnya dan tidak menghinakan orang yang ada di bawahnya dan tidak mengambil upah sedikitpun dalam menyampaikan ilmu Allah.” (Al-Khithabul Minbariyyah, 1/177)
  2. Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang tidak mengaku-aku berilmu, tidak bangga dengan ilmunya atas seorang pun, dan tidak serampangan menghukumi orang yang jahil sebagai orang yang menyelisihi As-Sunnah.”
  3. Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan: “Mereka adalah orang yang berburuk sangka kepada diri mereka sendiri dan berbaik sangka kepada ulama salaf. Dan mereka mengakui ulama-ulama pendahulu mereka serta mengakui bahwa mereka tidak akan sampai mencapai derajat mereka atau mendekatinya.”
  4. Mereka berpendapat bahwa kebenaran dan hidayah ada dalam mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Dan orang-orang yang diberikan ilmu memandang bahwa apa yang telah diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabbmu adalah kebenaran dan akan membimbing kepada jalan Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Terpuji.” (Saba: 6)
  5. Mereka adalah orang yang paling memahami segala bentuk permisalan yang dibuat Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al Qur’an, bahkan apa yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Demikianlah permisalan-permisalan yang dibuat oleh Allah bagi manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43)
  6. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keahlian melakukan istinbath(mengambil hukum) dan memahaminya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang mampu mengambil hukum (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil amri). Kalau tidak dengan karunia dan rahmat dari Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikuti syaithan kecuali sedikit saja.” (An-Nisa: 83)
  7. Mereka adalah orang-orang yang tunduk dan khusyu’ dalam merealisasikan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: “Katakanlah: ‘Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi”. Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu’.” (Al-Isra: 107-109) [Mu’amalatul ‘Ulama karya Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul, Wujub Al-Irtibath bil ‘Ulama karya Asy-Syaikh Hasan bin Qasim Ar-Rimi]

Inilah beberapa sifat ulama hakiki yang dimaukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam Sunnahnya. Dengan semua ini, jelaslah orang yang berpura-pura berpenampilan ulama dan berbaju dengan pakaian mereka padahal tidak pantas memakainya.

sumber : Ciri-Ciri Ulama , Penulis: Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi Syariah, Kajian Utama, www.asysyariah.com



Minggu, 20 Juli 2008

Istiqomah di jalan ALLAH

Secara etimologi istiqamah berarti tegak dan lurus. Sedangkan secara terminologi para ulama salaf berbeda pendapat dalam menafsirkan kata istiqamah. Perbedaan tersebut hanya pada redaksional saja. Antara satu dan lainnya tidak bertentangan, yang kesimpulannya bahwa istiqamah adalah sikap tengah dalam segala perkara, dalam ucapan dan perbuatan. Memelihara jiwa agar selalu berada dalam kondisi yang baik sehingga tidak tampak jelek atau terjerumus dalam kejelekan

عن سفيان بن عبد الله الثقفي ، قال :قلت : يا رسول الله قل لي في الإسلام قو ً لا ، لا أسال عنه
أحدًا بعدك - وفي حديث أبي أسامة : غيرك - قال : قل آمنت بالله ثم استقم


Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafy, ia berkata; Aku pernah bertanya; Wahai Rasulullah! Beritahukanlah kepadaku satu ucapan dalam Islam yang tidak akan kutanyakan lagi kepada selainmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,” Ucapkanlah; Aku beriman kepada Allah , lalu Istiqamahlah”. (HR.Muslim).

Secara etimologi istiqamah berarti tegak dan lurus. Sedangkan secara terminologi para ulama salaf berbeda pendapat dalam menafsirkan kata istiqamah. Perbedaan tersebut hanya pada redaksional saja. Antara satu dan lainnya tidak bertentangan, yang kesimpulannya bahwa istiqamah adalah sikap tengah dalam segala perkara, dalam ucapan dan perbuatan. Memelihara jiwa agar selalu berada dalam kondisi yang baik sehingga tidak tampak jelek atau terjerumus dalam kejelekan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintah untuk istiqamah, di antaranya adalah firman Allah ,” Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:"Rabb kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS. 46:13). Baca juga surat Fushshilat:6, & 30-32, Hud: 112, al-Jin: 16,al-An’am: 153, Ali Imran: 101 dan lainnya.

Adapun hadits Rasulullah yang memerintahkan untuk istiqamah adalah hadits di atas. Imam Nawawi dalam mengomentari hadits tersebut mengatakan bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi landasan ajaran Islam. DR. Mushthafa al-Buga dalam kitabnya al-Waafi ketika menjelaskan hadits ini menyebutkan pentingnya istiqamah hati, karena inilah landasan dari sikap istiqamah itu. Istiqamah hati dalam bertauhid kepada Allah dengan cara takut, mengharap, tawakkal dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan selain Allah . apabila hati bias istiqamah dalam kebaikan maka anggota tubuh yang lain akan mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah: Artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyiir).


Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan.

Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, "Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."

Oleh karena itu hati seorang mukmin harus senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada dalam sikap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqamah. Imam al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat. Hati yang istiqamah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."

Ada banyak cara untuk menggapai hati yang istiqamah ini. Di antaranya:

  1. Pertama, meletakkan cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara, atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Allah di atas segala-galanya.
  2. Kedua, membesarkan perintah dan larangan Allah. Membesarkan perintah dan larangan Allah harus dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Allah. Membesarkan perintah Allah di antaranya adalah dengan menjaga waktu salat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.
  3. Ketiga, senantiasa berzikir kepada Allah karena itulah perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku akan mengingat-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya." (HR Bukhari).
  4. Keempat, Mempelajari kisah orang-orang saleh terdahulu. Hal ini diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan. Sebagaimana firman Allah , " Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. 12:111).

Disamping istiqamah hati, pada kitab yang sama al-Buga juga menulis pentingnya istiqamah lisan karena ia merupakan pengungkap kata hati. Ketika Rasulullah ditanya tentang apa yang paling beliau khawatirkan dari umatnya. Tanpa berbicara beliau memegang lidahnya. (HR.Turmudzishahih). DR. Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy dalam bukunya al-Istiqamah menyebutkan beberapa rukun atau pondasi untuk membangun keistiqamahannya diantaranya keshalihan, keteguhan dalam sunnah dan jamaah, sikap pertengahan antara ekstrim dan menyepelekan, akhlak yang mulia, dan teman yang shalih.

Dalam kitab Haqiqatul iltizam-nya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al- Jibrien menambahkan beberapa hal yang diperhatikan untuk menjaga keistiqamahan diantaranya Berusaha mengamalkan Assunnah semampunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dari Abdullah bin Amru bin Al- Alsh berkata : Rasulullah bersabda “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi pada bani Isra’il setapak demi setapak ,sampai kalau ada diantara mereka yang mendatangi ibunya dalam keadaan terbuka juga akan terjadi pada umatku seperti itu ,dan sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya di Neraka kecuali satu ,para sahabat bertanya :siapa mereka itu ya Rasulullah ? beliau menjawab“ siapa yang bisa seperti –Ku dan sahabat-Ku. [HR Atturmuziy no 2641 kitab Iman bab Iftiraqul ummah hadist ini punya syawahid yang banyaksebagaimana pada awal kitad AS-Syari’ah karangan Imam Al-Ajurriy).
Di samping itu seorang yang ingin tetap istiqamah harus banyak thalabul ilmu agar tidak terjebak kepada amaliyah yang tidak ada tuntunan syariahnya.

Untuk menjaga keistiqamahan Syaikh Abu Mushab dalam kitabnya al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa melemahkan keistiqamahan diantaranya lemahnya keikhlasan, kurangnya ilmu syar’i dan jauhnya dari ahli agama, futur, lemahnya muhasabah, sibuk dengan keluarga, al-Faudhawiyah (kesemrawutan), sibuk dengan aib orang lain, tidak menghargai waktu, bergaul dengan orang yang tidak baik, dan tidak mempunyai semangat dan harapan.

Akhirnya marilah senantiasa kita berdoa kepada Allah Dia memberikan kita keistiqamahan hati di dalam agama-Nya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi beliau berdoa: ketika ditanya oleh Ummu Salamah kenapa begitu sering mengucapkan doa tersebut, Beliau menjawab; Wahai Ummu Salamah ! sesungguhnya tidak ada satupun anak Adam kecuali hatinya berada diantara jari-jari Allah . Kalau Dia Berkehendak untuk menjadikannya istiqamah ia jadikan, dan barangsiapa yang dikehendaki untuk menyeleweng Diapun berkuasa.

Kemudian Rasulullah membaca ayat: yang Artinya,” Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. 3:8).

Referensi:
(I)- Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy, al-Istiqamah Arkaanuhu wa al-Wasailu al-Mu’inah ala Tathbiqihi, terj. Istiqamah oleh Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2001).
(2)- Mushthafa al-Bugha, al-Waafi fi Syarhi al-Arbaiin al-Nawawi (Riyad: Daar al- Dulaiqan, 1999).
(3)- Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrien Kitab Haqiqatul iltizam dan Abu Mushab, al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam.

http://dear.to/abusalma ,Maktabah Abu Salma al-Atsari