Surah ini adalah ahadiyyatul wujud , keesaan wujud, dimana tidak ada hakikat kecuali hakikat-Nya dan tidak ada wujud yang hakiki kecuali wujud-Nya. Segala maujud yang lain adalah berkembang atau muncul dari wujud hakiki itu dan berkembang dari wujud Dzatiyah itu.
Sehingga ini diartikan sebagai keesaan pelaku. Tiada segala sesuatu selain Dia sebagai pelaku hakiki terhadap wujud alam ini. Inilah akidah yang harus tertanam dalam hati sekaligus penafsiran terhadap wujud semesta.
Lengkah berikutnya dari telah mantapnya pandangan penafsiran ini, maka bersihkan hati dari semua kotoran yang menutupi. Yaitu bersih dari ketergantungan selain kepada Dzat Yang Maha Esa dan Tunggal dengan hakikat wujud dan hakikat pelaku.
Bersih dari segala ketergantungan kepada sesuatu selain wujud Allah, jika ia tidak lepas sama sekali dari perasaan tentang adanya sesuatu. KArena tidak ada hakikat bagi suatu wujud selain wujud Ilahi. Maka , untuk apa hati bergantung pada sesuatu yang tidak ada hakikatnya bagi wujud dan tindakannya.
Karena hati sudah bersih dari perasaan terhadap selain hakikat yang satu, Allah, dan dari kebergantungan kepada selain hakikat ini. Maka saat itu juga bebaslah hamba dari segala ikatan, lepas dari segala belenggu, bebas dari ambisi yang merupakan sumber segala ikatan yang banyak. Serta bebas dari ketakutan yang juga menjadi pokok ikatan yang banyak.
- Sehingga untuk apa seorang hamba berambisi sedangkan ia tidak kehilangan sesuatupun bila ia telah bertemu Allah?
- Dan untuk apa seorang hamba merasa takut, sedangkan tidak ada wujud bagi si pelaku kecuali kepunyaan Allah?
Apabila sudah mantap pandangan yang tidak melihat di alam wujud selain hakikat Allah, pandangan ini akan disertai dengan melihat hakikat itu pada semua wujud lain yang bersumber dari hakikat ini.
Ini adalah tingkatan dimana hati melihat kekuasaan Allah berada pada segala sesuatu yang dilihatnya.Dibalik itu terdapat tingkatan dimana ia tidak melihat sesuatu di alam ini kecuali Allah, karena ia tidak melihat sesuatu hakikat di sana kecuali hakikat Allah.
Oleh karena itulah, Al-Qur’an menjauhkan sebab-sebab lahir dan menghubungkan semua urusan secara langsung kepada kehendak Allah.
Dengan menjauhkan semua sebab lahiriah dan mengembalikan segala urusan kepada kehendak Allah, maka akan tercapai ketentraman didalam hati sanubari.
Sehingga tahulah seorang hamba arah dan tujuan satu-satunya untuk mendapatkan apa yang diinginkan di sisi-Nya dan menjauhkan segala yang ditakuti, juga untuk menenangkan dan memantapkan hati didalam menghadapi akibat-akibat , pengaruh-pengaruh, dan sebab-sebab lahiriah yang tida ada hakikat dan wujudnya.
“Adapun makna bahwa Allah Maha Esa adalah bahwa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu di alam semsta ini.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia”. Al-Qur’an menyebutkan perincian-perincian ini adalah untuk menambah kemantapan dan kejelasan.
اﷲ الصمد
Makna Ash-shamad , secara bahasa diartikan sebagai tuan yang dituju yang suatu perkara tidak akan terlaksana kecuali dengan ijinnya. Allah SWT adalah Tuan yang tidak ada tuan yang sebenarnya selain Dia.
Allah adalah Maha Esa didalam uluhiyyah-Nya dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah hamba bagi-Nya. Hanya Dia-lah satu-satunya yang dituju untuk memenuhi segala hajat makhluk. Hanya Dia satu-satunya yang dapat mengabulkan keinginan orang-orang yang berkebutuhan. Sifat ini merupakan aktualisai dari keberadaan-Nya Yang Maha Tunggal dan Maha Esa.
لم يلد ولم يلد
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Maka hakikat Allah itu tetap , abdai dan azali. Dia tidak akan berubah-ubah menyesuaikan dengan situasi maupun kondisi. Sifatnya adalah sempurna dan mutlak dalam semua keberadaan.
ولم يكن له كفوا أحد
Tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. Yaitu tidak ada yang sebanding dan setara dengan Allah, baik dalam hakikat wujudnya maupun dalam hakikat efektifitasnya, dan tidak juga dalam sifat dzatiyah manapun. Ini merupakan perwujudan bahwa Dia adalah “Ahad” “ Maha Esa”, sekaligus penegasan dan penjabaran. Sifat ini meniadakan akidah dualism seperti yang dianut bangsa Persia maupun kawasan selatan jazirah Arab pada saat jaman Rasulullah SAW, yang meyakini ada penguasa cahaya dan penguasa kegelapan.
Sauadraku, surah ini adalah surat sebagai dasar penetapan dan pemantapan akidah tauhid Islam.
Allahu a'lam
Sumber : Ash-shohwah, dari Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Syaikh Sayyid Qutb
Ini adalah tingkatan dimana hati melihat kekuasaan Allah berada pada segala sesuatu yang dilihatnya.Dibalik itu terdapat tingkatan dimana ia tidak melihat sesuatu di alam ini kecuali Allah, karena ia tidak melihat sesuatu hakikat di sana kecuali hakikat Allah.
Oleh karena itulah, Al-Qur’an menjauhkan sebab-sebab lahir dan menghubungkan semua urusan secara langsung kepada kehendak Allah.
Dengan menjauhkan semua sebab lahiriah dan mengembalikan segala urusan kepada kehendak Allah, maka akan tercapai ketentraman didalam hati sanubari.
Sehingga tahulah seorang hamba arah dan tujuan satu-satunya untuk mendapatkan apa yang diinginkan di sisi-Nya dan menjauhkan segala yang ditakuti, juga untuk menenangkan dan memantapkan hati didalam menghadapi akibat-akibat , pengaruh-pengaruh, dan sebab-sebab lahiriah yang tida ada hakikat dan wujudnya.
“Adapun makna bahwa Allah Maha Esa adalah bahwa Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu di alam semsta ini.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia”. Al-Qur’an menyebutkan perincian-perincian ini adalah untuk menambah kemantapan dan kejelasan.
اﷲ الصمد
Makna Ash-shamad , secara bahasa diartikan sebagai tuan yang dituju yang suatu perkara tidak akan terlaksana kecuali dengan ijinnya. Allah SWT adalah Tuan yang tidak ada tuan yang sebenarnya selain Dia.
Allah adalah Maha Esa didalam uluhiyyah-Nya dan segala sesuatu selain-Nya hanyalah hamba bagi-Nya. Hanya Dia-lah satu-satunya yang dituju untuk memenuhi segala hajat makhluk. Hanya Dia satu-satunya yang dapat mengabulkan keinginan orang-orang yang berkebutuhan. Sifat ini merupakan aktualisai dari keberadaan-Nya Yang Maha Tunggal dan Maha Esa.
لم يلد ولم يلد
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Maka hakikat Allah itu tetap , abdai dan azali. Dia tidak akan berubah-ubah menyesuaikan dengan situasi maupun kondisi. Sifatnya adalah sempurna dan mutlak dalam semua keberadaan.
ولم يكن له كفوا أحد
Tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia. Yaitu tidak ada yang sebanding dan setara dengan Allah, baik dalam hakikat wujudnya maupun dalam hakikat efektifitasnya, dan tidak juga dalam sifat dzatiyah manapun. Ini merupakan perwujudan bahwa Dia adalah “Ahad” “ Maha Esa”, sekaligus penegasan dan penjabaran. Sifat ini meniadakan akidah dualism seperti yang dianut bangsa Persia maupun kawasan selatan jazirah Arab pada saat jaman Rasulullah SAW, yang meyakini ada penguasa cahaya dan penguasa kegelapan.
Sauadraku, surah ini adalah surat sebagai dasar penetapan dan pemantapan akidah tauhid Islam.
Allahu a'lam
Sumber : Ash-shohwah, dari Kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Syaikh Sayyid Qutb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar