Dari Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah bersabda yang artinya "Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: "Taqwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang" (Hr. Tirmidzi ,no. 2407)
Seorang hamba dapat mempergunakan lidah sebagai perwujudan rasa syukur kepada-Nya berupa mempergunakan lidahnya untuk amar ma'ruf, nahi munkar, atau untuk kegiatan lainnya sebagai wujud ketaatan kepada Allah.
Lidah seorang hamba bisa menjadi faktor yang mengangkat derajat seorang hamba di sisi Allah, namun juga bisa menyebabkan kecelakaan yang besar bagi pemiliknya.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya “ "Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk keridhaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu Allah menaikkannya beberapa derajat. Dan sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang termasuk kemurkaan Allah, dia tidak menganggapnya penting; dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka Jahannam". [HR al-Bukhâri, no. 6478]
Seorang Salaf berkata: ‘Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan. Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi’
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-'Asqalani menjelaskan makna "dia tidak menganggapnya penting", yaitu dia tidak memperhatikan dengan pikirannya dan tidak memikirkan akibat perkataannya, serta tidak menduga bahwa kalimat itu akan mempengaruhi sesuatu". [Lihat Fat-hul-Bâri, penjelasan hadits no. 6478]
Saudaraku, secara umum, bencana yang ditimbulkan oleh lidah ada dua.
Yaitu berbicara batil (kerusakan, sia-sia), atau diam dari kebenaran yang seharusnya wajib untuk diucapkan.
Abu 'Ali ad-Daqqâq ‘ Orang yang berbicara dengan kebatilan adalah setan yang berbicara, sedangkan orang yang diam dari kebenaran adalah setan yang bisu".[3]
Orang yang berbicara dengan kebatilan ialah setan yang berbicara, ia bermaksiat kepada Allah Ta'ala. Sedangkan orang yang diam dari kebenaran ialah setan yang bisu, ia juga bermaksiat kepada Allah Ta'ala.
Saudaraku barangkali kita bias menjaga diri dari makanan haram, berbuat zhalim kepada orang lain, mencuri, atau perbuatan buruk lainnya , namun seringkali kita sulit untuk mengontrol diri dari menjaga gerakan lidahnya. Sehingga sampai jatuh mengucapkan kalimat-kalimat yang menimbulkan kemurkaan Allah, dan ia tidak memperhatikannya. Padahal hanya dengan satu kalimat itu saja, dapat menyebabkan dirinya bisa terjerumus ke dalam kehinaan di hadapan Allah.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya : “ Sesungguhnya ada seseorang yang berbicara dengan satu kalimat, ia tidak menganggapnya berbahaya; dengan sebab satu kalimat itu ia terjungkal selama 70 tahun di dalam neraka.” [5]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, yang artinya ,” "Sesungguhnya ada seorang hamba benar-benar berbicara dengan satu kalimat yang ia tidak mengetahui secara jelas maksud yang ada di dalam kalimat itu, namun dengan sebab satu kalimat itu dia terjungkal di dalam neraka lebih jauh dari antara timur dan barat". [HR Muslim, no. 2988].
Saudaraku, bukankah ini adalah suatu kerugian yang sangat besar,apabila kita tidak hati-hati dalam menjaga lidah kita.
Oleh karena bahaya lidah yang demikian itulah, Rasulullah SAW mengkhawatirkan umatnya, sebagaimana riwayat dibawah ini
"Dari Sufyan bin 'Abdullah ats-Tsaqafi, ia berkata: "Aku berkata, wahai Rasulullah, katakan kepadaku dengan satu perkara yang aku akan berpegang dengannya!"
Beliau menjawab: "Katakanlah, 'Rabbku adalah Allah', lalu istiqomahlah".
Aku berkata: "Wahai Rasulullah, apakah yang paling anda khawatirkan atasku?".
Beliau memegang lidah beliau sendiri, lalu bersabda: "Ini"."[6]
Sehingga Syaikh Husain al-'Awaisyah dalam Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, berkata bahwa ‘Sesungguhnya sekarang ini, sesuatu yang manusia merasa amat tenteram terhadapnya ialah lidah mereka, padahal lidah yang paling dikhawatirkan Nabi n atas umatnya. Dan yang nampak, lidah itu seolah-olah pabrik keburukan, tidak pernah lelah dan bosan’ .[7]
Saudaraku, lidah memiliki fungsi sebagai penerjemah dan pengungkap isi hati. Rasulullah memerintahkan seseorang beristiqomah, kemudian menjaga lisan. Keterjagaan dan lurusnya lidah sangat berkaitan dengan kelurusan hati dan keimanan seseorang.
sebagaimana Musnad Imam Ahmad, dari Anas bin Mâlik , bahwa Rasulullah SAW bersabda , yang artinya "Iman seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga hatinya istiqomah. Dan hati seorang hamba tidak akan istiqomah, sehingga lisannya istiqomah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga".[8]
Dalam hadits Tirmidzi (no. 2407) dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: yang artinya "Jika anak Adam memasuki pagi hari, sesungguhnya semua anggota badannya berkata merendah kepada lisan: "Takwalah kepada Allah dalam menjaga hak-hak kami. Sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu. Jika engkau istiqomah, maka kami juga istiqomah. Jika engkau menyimpang (dari jalan petunjuk), kami juga menyimpang" [9]
Oleh karena itu, seorang mukmin hendaklah menjaga lidahnya.
Sebagaimana Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : yang artinya "Barang siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya dan apa yang ada di antara dua kakinya, niscaya aku menjamin surga baginya." [10]
"Dari 'Uqbah bin 'Aamir, ia berkata: "Aku bertanya, wahai Rasulallah, apakah sebab keselamatan?" Beliau n menjawab: "Kuasailah lidahmu, rumah yang luas bagimu, dan tangisilah kesalahanmu". [HR. Tirmidzi, no. 2406]
Maksudnya, janganlah berbicara kecuali dengan perkara yang membawa kebaikan, betahlah tinggal di dalam rumah dengan melakukan ketaatan-ketaatan, dan hendaklah menyesali kesalahan-kesalahan dengan cara menangis. [11]
Imam an-Nawawi berkata: "Ketahuilah, seharusnya setiap mukallaf (orang yang berakal dan baligh) menjaga lidahnya dari seluruh perkataan, kecuali perkataan yang jelas maslahat padanya. Ketika berbicara atau meninggalkannya itu sama maslahatnya, maka menurut Sunnah adalah menahan diri darinya. Karena perkataan mubah bisa menyeret kepada perkataan yang haram, atau makruh. Kebiasaan ini, bahkan banyak dilakukan. Sedangkan keselamatan itu tidak ada bandingannya.
Diriwayatkan dalam Shahîhain, al-Bukhaari (no. 6475) dan Muslim (no. 47), dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya "Barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam".
Imam asy-Syafi'i dalam Al-Adzkar, berkata bahawa Jika seseorang menghendaki berbicara, maka sebelum berbicara hendaklah ia berfiikir; jika jelas nampak maslahatnya, maka ia berbicara; dan jika ragu-ragu, maka tidak berbicara sampai jelas maslahatnya .[12]
Diriwayatkan bahwasanya Yahya bin Mu'adz berkata: "Hati itu seperti periuk dengan isinya yang mendidih. Sedangkan lidah itu adalah gayungnya. Maka perhatikanlah ketika seseorang berbicara. Karena sesungguhnya, lidahnya itu akan mengambilkan untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis, pahit, tawar, asin, dan lainnya. Pengambilan lidahnya akan menjelaskan kepadamu rasa hatinya".[13]
Diriwayatkan, bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab berkata: "Barang siapa banyak pembicaraannya, banyak pula tergelincirnya. Dan barang siapa banyak tergelincirnya, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak dosa-dosanya, neraka lebih pantas baginya".[14]
Diriwayatkan, bahwasanya Ibnu Mas'ud pernah bersumpah dengan nama Allah, lalu berkata: "Tidak ada di muka bumi ini sesuatu yang lebih pantas terhadap lamanya penjara daripada lidah! Di muka bumi ini, tidak ada sesuatu yang lebih pantas menerima lamanya penjara daripada lidah".[15]
Diriwayatkan bahwasanya Ibnu Mas'ud berkata: "Jauhilah fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan). Cukup bagi seseorang berbicara, menyampaikan sesuai kebutuhannya".[16]
Syaqiq berkata: 'Abdullah bin Mas'ud bertalbiyah di atas bukit Shafa, kemudian berseru: "Wahai lidah, katakanlah kebaikan, niscaya engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah, niscaya engkau selamat, sebelum engkau menyesal".
Orang-orang bertanya: "Wahai Abu 'Abdurrahman, apakah ini suatu perkataan yang engkau ucapkan sendiri, atau engkau dengar?"
Dia menjawab, "Tidak, bahkan aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya “kebanyakan kesalahan anak Adam ialah pada lidahnya)".[17]
Diriwayatkan, Ibnu Buraidah berkata bahwa : "Aku melihat Ibnu 'Abbas memegangi lidahnya sambil berkata, 'Celaka engkau, katakanlah kebaikan, engkau mendapatkan keberuntungan. Diamlah dari keburukan, niscaya engkau selamat. Jika tidak, ketahuilah bahwa engkau akan menyesal'."[18]
Diriwayatkan, bahwasanya an-Nakha`i berkata , ‘Manusia binasa pada fudhûlul-mâl (harta yang melebihi kebutuhan) dan fudhûlul-kalam (pembicaraan yang melebihi keperluan)’.[19]
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Seorang mukmin itu ialah menyedikitkan perkataan dan memperbanyak amal. Adapun orang munafik, ia memperbanyak perkataan dan menyedikitkan amal’.
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Selama aku belum berbicara dengan satu kalimat, maka aku manguasainya. Namun jika aku telah mengucapkannya, maka kalimat itu menguasaiku’.
Diriwayatkan, bahwasanya seorang Salaf berkata: ‘Diam adalah ibadah tanpa kelelahan, keindahan tanpa perhiasan, kewibawaan tanpa kekuasaan. Anda tidak perlu beralasan karenanya, dan dengannya aibmu tertutupi’.[21]
Saudaraku, semoga kita diberikan hidayah dari Allah, sehingga menjadi hamba-hamba yang bias menjaga lidah dari berbicara keburukan.
Wallahul-Musta'an.
sumber kutipan :
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari , Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani , Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi, Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cetakan Kedua, Tahun 1425H/2004M, Hashâ`idul-Alsun, Syaikh Husain al-'Awaisyah, Penerbit Darul-Hijrah, Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bajis, Penerbit ar-Risalah, Cetakan kelima, Tahun 1414H/1994M, majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan
[1]. Tafsir Adh-wâ`ul Bayân, karya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Lihat surat ar-Rahmân, 55/3-4.
[2]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 4-5, 159-160.
[3]. Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam ad-Dâ` wad-Dawâ`, Tahqîq: Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi, Penerbit Dar Ibnil-Jauzi, hlm. 155.
[4]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm, 5-6, 163.
[5]. HR at-Tirmidzi, no. 2314. Ibnu Majah, no. 3970. Ahmad, 2/355, 533. Ibnu Hibban, no. 5706. Syaikh al-Albâni menyatakan: "Hasan shahîh".
[6]. HR Tirmidzi, no. 2410. Ibnu Majah, no. 3972. Dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani.
[7]. Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, hlm. 15.
[8]. HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13.
[9]. HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512.
[10]. HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri.
[11]. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
[12]. Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cet. 2, Th. 1425H/2004M, 2/713-714.
sumber kutipan :
Ustadz Abu Isma'il Muslim al-Atsari , Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani , Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi, Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cetakan Kedua, Tahun 1425H/2004M, Hashâ`idul-Alsun, Syaikh Husain al-'Awaisyah, Penerbit Darul-Hijrah, Jami’ul ‘Ulum wal-Hikam, Imam Ibnu Rajab, dengan penelitian Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bajis, Penerbit ar-Risalah, Cetakan kelima, Tahun 1414H/1994M, majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan
[1]. Tafsir Adh-wâ`ul Bayân, karya Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Lihat surat ar-Rahmân, 55/3-4.
[2]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, Dr. Sa'id bin 'Ali bin Wahf al-Qahthani, hlm. 4-5, 159-160.
[3]. Disebutkan oleh Ibnul-Qayyim dalam ad-Dâ` wad-Dawâ`, Tahqîq: Syaikh 'Ali bin Hasan al-Halabi, Penerbit Dar Ibnil-Jauzi, hlm. 155.
[4]. Âfâtul-Lisân fî Dhau`il Kitab was-Sunnah, hlm, 5-6, 163.
[5]. HR at-Tirmidzi, no. 2314. Ibnu Majah, no. 3970. Ahmad, 2/355, 533. Ibnu Hibban, no. 5706. Syaikh al-Albâni menyatakan: "Hasan shahîh".
[6]. HR Tirmidzi, no. 2410. Ibnu Majah, no. 3972. Dan dishahîhkan oleh Syaikh al-Albani.
[7]. Hashâ`idul-Alsun, Penerbit Darul-Hijrah, hlm. 15.
[8]. HR Ahmad, no. 12636, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/13.
[9]. HR Tirmidzi, no. 2407, dihasankan oleh Syaikh Salim al-Hilali dalam Bahjatun-Nazhirin, 3/17, no. 1521. Lihat pula Jami'ul 'Ulûm wal-Hikam, 1/511-512.
[10]. HR Bukhâri, no. 6474. Tirmidzi, no. 2408. Dan lafazh ini milik al-Bukhâri.
[11]. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi.
[12]. Al-Adzkâr, Imam an-Nawawi. Tahqîq dan Takhrîj: Syaikh Salim al-Hilâli, Penerbit Dar Ibni Hazm, Cet. 2, Th. 1425H/2004M, 2/713-714.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar