Inti kemurahan hati adalah bahawa dalam mengorbankan sesuatu, orang tidak merasakan perasaan tertekan. Orang yang mengutamakan orang lain berarti meninggalkan apa yang sebenarnya dia perlukan , dinamakan sebagai Itsar
Kebalikan dari Itsar adalah kikir, yaitu orangyang menginginkan apa yang tidak ada di tangannya, dan apabila sudah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka dia berat untuk mengeluarkannya.
Dikalangan sufi, sakha’ yaitu seseorang yang memberikan setengah dari hartanya dan menahan setengahnya lagi untuk dirinya meperlihatkan sifat sakha’. Ini merupakan langkagh pertama dari kemurahan hati.
Langkah berikutnya adalah jud, yaitu seseorang yang memberikan sebahagian besar hartanya dan hanya menyisakan sedikit untuk dirinya sendiri..
Selajutnya memberikan tanpa mementingkan diri sendiri. Dimana seseorang yang masih berada dalam keadaan sangat memerlukan tetapi masih mengutamakan keperluan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya sedikit, memperlihatkan sebagai sifat itsar (mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri.)
Asma’ binti Kharijah mengatakan, “Aku tidak mau menolak seseorang yang datang meminta kepadaku.
- Jika dia seorang yang terhormat, aku memberinya untuk menjaga kehormatannya.
- Jika dia seorang bawahan, dia membuatku mampu menjaga kehormatanku sendiri.”
Ketika seseorang dari Manbij bertemu dengan orang dari Madinah, berkata dia kepada orang Madinah tersebut, "Seorang laki-laki dari kota anda, bernama Hakam bin Abdul Muthalib datang kepada kami dan membuat kami kaya raya.”
Orang Madinah itu bertanya, “Bagaimana mungkin? Dia datang kepada anda tanpa membawa apa-apa selain sehelai jubah bulu domba pada tubuhnya!”
Orang Manbij itu menjawab, "Dia tidak menjadikan kami kaya harta, namun dia mengajarkan kepada kami tentang kemurahan hati. Dengan begitu kami lalu saling memberi satu sama lain hingga kami tidak lagi merasa miskin.”
Dikatakan, “Kemurahan hati berarrti bertindak pada saat munculnya kecenderungan yang pertama. Saya mendengar salah seorang sahabat Abul Hasan al-Bunsyanji menuturkan, “Abul Hasan Al-Bunsyanji sedang berada di dalam tenda. Dia memanggil salah seorang muridnya dan memerintahkan , “Ambillah baju ini dariku dan berikannya kepada si fulan.”
Seseorang bertanya kepadanya, “Tidak dapatkah anda menunggu sampai anda keluar dari tenda?”
Dia menjawab, “Aku tidak yakin apakah aku tidak berubah fikiran dan tidak jadi memberikan baju itu.”
Diceritakan bahawa Abdullah bin Jaafar pergi menengok salah satu kebunnya di suatu daerah. Di tengah perjalanan, dia berhenti di sebuah kebun kurma di mana seorang budak hitam sedang bekerja. Ketika si budak itu mengeluarkan bekal makanannya, seekor anjing masuk ke kebun itu dan mendatanginya.
Budak itu lalu melemparkan sepotong roti dan sepotong lagi roti kepada anjing itu, yang terus memakannya.
Abdullah bin Jaafar, yang melihat hal itu, bertanya kepada si budak, “Wahai fulan, berapa banyak makanan yang kau terima setiap hari?”
Dia menjawab, “Seperti yang anda lihat tadi.”
Abdullah bertanya, “Jadi mengapa kau berikan sebagian makananmu kepada anjing itu, bukannya lebih baik kau makan sendiri?”
Si budak menjelaskan, “Di tempat ini tidak ada anjing. Anjing itu telah datang dari jauh dalam keadaan lapar, dan saya tidak mau mengusirnya.”
Abdullah bertanya lagi, “Sedangkan kau , sudah berapa kali makan hari ini ?”
Si budak menjawab, “Harini ini , baru sekali ini aku makan bungkusan ini.”
Abdullah berkata, “Semala ini aku sering dicela orang kerana dianggap terlalu pemurah! Ternyata budak ini lebih pemurah dariku.”
Maka dia lalu membeli kebun kurma itu, budak itu, alat-alat kerjanya, kemudian memerdekakan budak itu, dan memberikan kebun itu kepadanya.
Alangkah herannya hati Abdullah, budak yang baru saja menerima kebun itu , langsung menyerahkannya kepada anak yatim. Dia berkata, ‘anak yatim ini lebih membutuhkan kebun ini daripada aku’.
Seorang laki-laki meminta sedikit sedekah kepada Al-Hasan bin Ali bin Abi thalib ra. Maka beliau lalu memberi orang itu uang sebanyak 50 ribu dirham dan 500 dinar. Beliau menyuruh orang itu mencari kuli [untuk mengangkut uang itu]. Maka orang itu pun lalu mencari kuli. Al-Hasan lalu memberikan kepadanya selendang sambil berkata, “Upah kuli itu, ku tanggung juga.”
Ketika seorang wanita meminta semangkuk madu kepada Al-Laits bin Sa’id, dia menyuruh orang membawa sebekas penuh madu kepada wanita itu. Seseorang mengkritiknya atas tindakannya itu, dan dia menjawab,
“Dia meminta sesuai dengan keperluannya, dan aku memberi sesuai dengan kemampuanku.”
Abdullah bin Mubarak berkata, “Manahan jiwa dengan penuh kemurahan hati dari hawa nafsu untuk memiliki harta milik orang lain lebih baik dari kemurahan hati jiwa dalam memberikan milik sendiri.”
Salah seorang sufi mengabarkan, “Pada suatu hari yang sangat dingin aku pergi kepada Bisyr Al-Hariths. Dia telah menanggalkan sebahagian pakaiannya, dan menggigil kedinginan. Aku bertanya kepadanya, “Wahai Abu Nashr, orang lain mengenakan pakaian tambahan pada hari seperti ini. Mengapa anda berpakaian begitu tipis?”
Dia menjawab, “Aku ingat kepada orang-orang miskin dan keadaan mereka, dan aku tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada mereka. Maka aku ingin menderita kesejukan seperti mana mereka.
Ad-Daqqaq menyatakan, “Kemurahan hati bukanlah jika orang kaya memberi kepada orang miskin. Kemurahan sejati adalah jika orang miskin memberi kepada orang kaya.”
Dalam Madarijus Salikin, dinyatakan bahwa kedermawanan itu ada sepuluh macam, yaitu:
- Kedermawanan dengan pengorbanan jiwa. Ini merupakan tingkatan yang paling tinggi, seperti yang dikatakan dalam syair,
"Kedermawanan dengan jiwa yang dihindari orang bakhil pengorbanan jiwa adalah puncak tertinggi kedermawanan." - Kedermawanan dalam kekuasaan. Kedermawanan orang yang memiliki kekuasaan membuatnya tidak mempedulikan kekuasaannya dan dia lebih mengutamakan keperluan orang lain yang perlu dibantu.
- Kedermawanan dalam kesenangan, ketenangan dan istirahatnya. Dia mengabaikan waktu istirahatnya untuk berpayahpayah demi kemaslahatan orang lain, sampai-sampai dia tidak sempat tidur.
- Kedermawanan dengan ilmu. Ini juga termasuk tingkatan yang paling tinggi, karena mendermakan ilmu lebih baik daripada mendermakan harta, karena ilmu lebih mulia daripada harta.
- Kedermawanan dengan memanfaatkan kedudukan, seperti meminta tolong kepada seseorang untuk menemui seorang pemimpin.
- Kedermawanan dengan memanfaatkan badan dengan berbagai , sebagaimana hadits Nabi SAW, yang artinya ,”Pada setiap persendian salah seorang seorang di antara kalian ada shadaqahnya. Setiap hari yangpadanya matahari terbit, lalu dia bertindak secara adil di antara dua orang adalah shadaqah. Membantu orang berkaitan dengan hewan tunggangannya, lalu dia menaikkannya ke atas punggungnya atau dia mengangkatkan barang dagangannya ke atasnya adalah shadaqah. Kata-kata yang baik adalah shadaqah. Setiap langkah kaki waktu seseorang berjalan menuju shalat adalah shadaqah. Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah shadaqah." (Muttafaq Alaihi).
- Kedermawanan dengan kehormatan diri, seperti yang dilakukan Abu Dhamdham, seorang shahabat. Setiap pagi dia berkata, "Ya Allah, aku tidak mempunyai harta yang bisa kushadaqahkan kepada manusia. Maka aku bershadaqah kepada mereka dengan kehormatan diriku. Siapa yang mencaciku atau menuduhku, maka sudah terbebas dari pembayaran tebusan kepadaku."
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam yang mendengarnya bersabda, "Siapakah di antara kalian yang bisa berbuat seperti Abu Dhamdham?"
Kedermawanan seperti ini bisa membersihkan dada, menenangkan hati dan membuat seseorang tidak ingin bermusuhan dengan orang lain. - Kedermawanan dengan kesabaran dan menahan diri. Ini merupakan tingkatan yang mulia dan lebih bermanfaat bagi pelakunya daripada mendermakan harta. Tidak ada yang bisa melakukannya kecuali orang yang memiliki jiwa besar. Siapa yang tidak bisa menjadi dermawan dengan hartanya, maka dia bisa bederma dengan kesabarannya. Allah menetapkan hukum qishash. Namun siapa yang melepaskan hak tebusan,maka itu merupakan tebusan bagi dosanya. Dengan kedermawanan ini seseorang bisa merasakan pahalanya di dunia dan di akhirat.
- Kedermawanan dengan akhlak, perilaku dan budi pekerti yang baik. Ini di atas tingkatan kedermawanan dengan sabar, menguasai diri dan maaf. Tingkatan ini dapat mengangkat pelakunya ke derajat orang yang puasa pada siang harinya dan shalat tahajjud pada malam harinya, serta dapat memberatkan timbangan. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "janganlah sekali-kali engkau menghina sedikit pun dari hal yang ma'ruf, sekalipun engkau menemui saudaramu dengan wajah yang berseri."
- Kedermawanan dengan membiarkan apa yang ada di tangan manusia dan tidak menengok kepadanya serta tidak mengusiknya dengan apa pun.
Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita untuk bersabar dan bermurah hati.
Sumber : Madarijus salikin, Ar-Risalah Imam Qusyairi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar