Ibnu Qayyim membari nasihat, bahwa jika manusia itu tidak pernah mendapat cobaan dengan sakit dan kepedihan, maka ia akan menjadi manusia ujub dan takabur. Hatinya menjadi kasar dan beku. Sehingga, musibah dalam bentuk apapun adalah rahmat Allah yang disiramkan kepada hamba-Nya. Akan membersihkan kotoran jiwanya. Itulah obat dan penawar kehidupan yang diberikan Allah untuk hamba beriman. Ketika ia menjadi bersih dan suci karena penyakitnya, maka martabatnya diangkat dan jiwanya dimuliakan. Pahalanyapun berlimpah apabila penyakit (musibah) yang menimpa dirinya diterimanya dengan sabar dan ridha.
Saudaraku , jika seseorang kondisinya serba baik dan tak pernah ditimpa musibah maka biasanya ia akan bertindak melampui batas. Namun apabila ia ditimpa sakit, sehingga banyak hal yang tidak bisa ia lakukan lagi. Disaat itulah timbul kesadaran dalam dirinya, bahwa hanya Allah-lah tempat ia berkeluh kesah.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya , “ Dan apabila Kami memberikan nikmat kepada manusia, ia berpaling dan menjauhkan diri, tetapi apabila ia ditimpa malapetaka maka ia akan banyak berdoa ,” (Qs. Fushilat : 51).
Musibah yang menimpa dapat menyebabkan seorang hamba berdoa dengan sungguh-sungguh, tawakkal dan ikhlash dalam memohon kepada-Nya.
Dengan makin mendekatkan diri kepada-Nya , maka seorang hamba akan merasakan manisnya iman, yang bahkan terasa lebih nikmat dari lenyapnya penyakit yang diderita.
Sebagaimana dilakukan Nabi Ayyub as yang berdoa sebagaimana dikisahkan didalam Al-Qur’an, yang artinya ,” Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabb-nya, “ Ya Rabb-ku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang ,” (Qs. Al-Anbiyaa : 83).
Wahab bin Munabbih mengatakan bahwa Allah menurunkan cobaan kepada hambanya, supaya hamba itu memanjatkan doa dengan sebab bala’ itu.
Musibah atau penyakit akan memunculkan ibadah hati berupa khasyyah (rasa takut) kepada Allah. Seorang hamba menjadi istiqomah dalam agamanya, berlari mendekat kepada Allah, menjauhkan dirinya dari kesesatan. Melakukan Taubatan nasuha, lebih banyak berbuat kebajikan, dimana kesemua itu tidak muncul sebelum ditimpa penyakit. Maka sakit (musibah) yang dapat memunculkan ketaatan-ketaatan baru , pada hakekatnya adalah kenikmatan bagi hamba itu.
Dan ini berarti Allah membarikan kebaikan bagi hambanya. Sebagaimana riwayat Abu Hurairah secara marfu’ bahwa Rasulullah bersabda, yanga artinya, “ Barang siapa yang dikehandaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya".
Bukankah bisa dikatakan bahwa musibah merupakan salah satu indikasi bahwa Allah SWT bermaksud memberikan kebaikan kepada hamba-Nya untuk kembali me-nempuh jalan yang diridhai-Nya, dengan syarat hamba tersebut menerima dengan kesabaran dan ketaqwaan.
Saudaraku, seorang hamba yang sedang tertimpa musibah, tentunya tidak lagi dapat menjalankan ketaatan sebaik atau sekuat waktu sehat (waktu normal).
Diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya dari Abdullah bin Amr bawa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Tidak seorangpun yang ditimpabala’ pada jasadnya melainkan Allah memerintahkan kepada para malaikat untuk menjaganya, Allah berfirman, “ Tulislah untuk hamba-Ku siang dan malam amal shalih yang (biasa) ia kerjakan selama ia masih dalam perjanjian dengan-Ku,”.
Saudaraku, karena sekaitnya , maka seorang hamba terhalang dari melakukan amalan yang biasa ia lakukan selama ia sehat, maka itu tidak menghalangi mengalirnya pahala walaupun ia tidak sanggup melakukan dikala sakit. Sepanjang hamba tersebut masih dalam niat melakukan kebaikan tersebut.
Saudaraku, jika seseorang hamba selalu dalam keadaan sehat , maka ia tak akan mengetahui betapa besar nikmatnya sehat.
Saudaraku, bila tidak ada ujian, maka tidak akan nampak keutamaan dari sifat kesabaran. Kesabaran akan memunculkan sebaga macam kebaikan, namun bila kesabaran hilang maka hilang pula segala kebaikan yang menyertainya.
Semoga Allah memberi hidayah kesabaran kepada kita ,
Allahu a’lam
Sumber : Ash Shohwah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar