Termasuk berlebihan adl was-was
dan ragu-ragu thd batalnya bersuci, padahal itu tidak perlu. Dalam Shahih Muslim,i
Abu Hurairah ra berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Jika
salah seorang dari kamu merasakan sesuatu dlm perutnya, sehingga ia sulit
(menentukan): Apakah telah keluar sesuatu dari-padanya atau belum? Maka
hendaknya ia tidak keluar dari masjid, sehingga ia mendengar suara atau mencium
bau (kentut)."
Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi,
dlm Dzammul berkata,
"Dianjurkan bagi setiap orang agar memercikkan air pd kelamin dan
celananya saat ia kencing. Hal itu utk menghindarkan was-was daripadanya, shg
saat ia menemukan tempat basah (dari kainnya) ia akan berkata, 'Ini dari air yg
saya percikkan'." Hal ini berdasar riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Majah
dan hadits ini shahih. Dalam takhrij-nya dlm Al-Itmam melalui sanad-nya, Suryan bin
Al-Hakam Ats-Tsaqafi atau Al-Hakam bin Sufyan ia berkata, "Bahwasanya Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam jika buang air kecil beliau berwudhu dan
memercikkan air."
Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku melihat
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam buang air kecil, lalu beliau
memercikkan air pada kemaluannya."
Sedangkan Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma beliau
memercikkan air pada kemaluannya sehingga membasahi celananya.
Sebagian kawan Imam Ahmad mengadu kepada beliau
bahwa ia mendapatkan (kainnya) basah setelah wudhu, lalu beliau memerintahkan
agar orang itu memercikkan air pada kemaluannya jika ia kencing, seraya
berkata, "Dan jangan engkau jadikan hal itu sebagai pusat perhatianmu,
lupakanlah hal itu."
Al-Hasan
dan lainnya ditanya tentang hal serupa, maka beliau menjawab, "Lupakanlah!"
Kemudian masih pula ditanyakan padanya, lalu dia berkata, "Apakah engkau
akan menumpahkan air banyak-banyak (untuk membasuh kencingmu)? Celaka kamu!
Lupakanlah hal itu!"
Was-was setelah Kencing
Termasuk
berlebih-lebihan adalah apa yang banyak dilakukan oleh orang-orang yang suka
was-was dan ragu-ragu seusai kencing mereka. Dan hal itu ada sepuluh macam: As-saltu/an-natru,
an-nahnahatu, al-masyyu, al-qafzu, al-hablu, at-tafaqqudu, al-wajuru,
al-hasywu, al-ishabatu, ad-darjatu.
Syaikh
Mahmud Khathab As-Subki dalam Ad-Dinul Khalish (1/192, cet.4) berkata,
"Hendaknya setiap orang membersihkan diri (dari kencingnya) sesuai dengan
kebiasaannya seperti: Berjalan, berdehem, berlari atau tiduran. Demikianlah
orang yang mengerti."
as-saltu/an-natru
Adapun as-saltu yaitu ia menarik
(mengurut) kemaluannya dari pangkal hingga ke kepalanya. Memang ada riwayat
tentang hal tersebut, tetapi haditsnya gharib dan tidak diterima.
Dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah dari
Isa bin Yazdad dari ayahnya, ia berkata, "Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, 'Jika salah seorang dari kamu buang air kecil, maka
hendaklah ia menarik (mengurut) kemaluannya sebanyak tiga kali'." (no.
326), Ahmad, (4/347), Al-Baihaqi (1/113), Abu Daud dalam Al-Maras.il (no.3),
Ibnu Abi Syaibah (1/161) dari jalur Zam'ah bin Shalih dan Zakaria bin Ishaq
dari Isa bin Yazdad (bertambah), sehingga dikatakan, "Ia melebihi
(bertambah) dari ayahnya karena hadits ini." Sanad hadits ini (tidak bersambung hingga kepada Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam). Demikian seperti dikatakan oleh Abu Hatim, seperti yang
dinukilkan oleh anaknya dalam Al-Ilal (1/42). Lihat Al-Itmam (19076).
Mereka berkata, "Karena dengan as-saltu dan
an-natru (keduanya bermakna menarik/ mengurut, dalam hal ini mengurut
kemaluan) maka akan bisa dikeluarkan sesuatu yang ditakutkan kembali lagi
setelah bersuci."
Mereka juga berkata, "Jika untuk itu
memerlukan berjalan beberapa langkah, lalu ia lakukan, maka itu lebih
baik."
an-nahnahatu
Adapun an-nahnahatu (berdehem)
dilakukan untuk mengeluarkan (air kencing) yang masih tersisa.
Demikian juga dengan al-qafzu, yang
berarti melompat di atas lantai kemudian duduk dengan cepat.
Sedangkan al-hablu yaitu
bergantung di atas tali hingga tinggi, lalu menukik daripadanya kemudian duduk.
At-tafaqqudu yaitu
memegang kemaluan, lalu melihat ke lubang kencing, apakah masih tersisa sesuatu
di dalamnya atau sudah habis
Al-wajur yaitu
memegang kemaluan, lalu membuka lubang kencimg seraya menuangkan air ke dalamnya.
Al-hasywu yaitu
orang tersebut membawa sebuah alat untuk memeriksa kedalaman luka yang dibalut
dengan kapas (mungkin juga lidi atau sejenisnya yang dianggap aman), lalu
lubang kencing itu ditutup dengan kapas tersebut, sebagaimana lubang bisul yang
ditutup dengan kapas.
Al-ishabatu yaitu
membalutnya dengan kain.
Ad-darjatu yaitu naik
ke tangga beberapa tingkat, lalu turun dari-padanya dengan cepat.
Al-masyyu yaitu
berjalan beberapa langkah, kemudian mengulangi bersuci lagi.
Syaikh kami berkata, "Semua itu adalah
was-was dan bid'ah." Saya kembali bertanya tentang menarik dan mengurut
kemaluan (dari pangkal hingga ke kepala kelamin), tetapi beliau tetap tidak
menyetujuinya seraya berkata, "Hadits tentang hal tersebut tidak shahih."
Dan air kencing itu sejenis dengan air susu, jika
engkau membiarkannya maka ia diam (tidak mengalir), dan jika engkau peras maka
ia akan mengalir. Siapa yang membiasakan melakukannya maka ia akan diuji dengan
hal tersebut, padahal orang yang tidak memperhatikannya akan dimaafkan
karenanya.
Dan seandainya hal ini Sunnah, tentu Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam serta para sahabatnya lebih dahulu melakukannya. Sedangkan
seorang Yahudi saja berkata kepada Salman, "Nabimu telah mengajarkan
kepada kalian segala sesuatu sampai dalam masalah khira'ah (buang air
besar)." Salman menjawab, "Benar!" (Diriwayatkan Muslim). Lalu,
adakah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah mengajarkan hal-hal di
atas kepada kita?
senantiasa
Was-was
Termasuk tindakan berlebih-lebihan adalah
melakukan sesuatu secara ekstrim (melampaui batas) padahal Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam yang diutus dengan agama yang mudah telah memberi
kemudahan di dalamnya.*
Sebagaimana
disebutkan dalam sabda beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Aku diutus
dengan agama yang mudah. "Ini adalah hadits hasan, memiliki banyak jalur, lihat
dalam Al-Jtmam (24899), semoga Allah
memudahkan penyempurna-annya.
Di antara
kemudahan itu adalah berjalan tanpa alas kaki di jalan-jalan, kemudian shalat
tanpa membasuh kakinya terlebih dahulu.
Abdullah bin Mas'ud berkata, "Kami tidak
berwudhu karena menginjak sesuatu."*'
Dan dari Ali Radhiyallahu Anhu, bahwasanya
ia menceburkan dirinya di lumpur hujan, kemudian masuk masjid dan shalat, tanpa
mem-basuh kedua kakinya terlebih dahulu.
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu ditanya
tentang seseorang yang menginjak kotoran manusia, beliau menjawab, "Jika
kotoran itu kering maka tidak mengapa, tetapi jika basah maka ia harus membasuh
tempat yg mengenainya."
Abu Asy-Sya'sya' berkata, "Suatu ketika Ibnu
Umar berjalan di Mina dan menginjak kotoran ternak serta darah kering dengan
tanpa alas kaki, lalu beliau masuk masjid dan shalat, tanpa membasuh kedua
telapak kakinya."
Ashim Al-Ahwal berkata, "Kami datang ke Abul
Aliyah, kemudian kami meminta air wudhu.
Lalu beliau bertanya, 'Bukankah kalian masih
dalam keadaan wudhu?'
Kami menjawab, 'Benar! Tetapi kami melewati
kotoran-kotoran.'
Ia bertanya, 'Apakah kalian menginjak sesuatu
yang basah dan menempel di kaki-kaki kalian?'
Kami menjawab, Tidak!'
Dia berkata, 'Bagaimana dengan kotoran-kotoran
kering yang lebih berat dari ini, yang diterbangkan angin di rambut dan di
jenggot kalian?"
Bagaimana
Hilangnya Najis Sepatu?
Jika khuf (sejenis sepatu bot) terkena
najis di bagian bawahnya, maka akan menjadi suci lagi secara mutlak dengan
menggosok-gosokkannya di tanah, serta boleh shalat dganya berdasarkan hadits
yang benar-benar diriwayatkan Abu Hurairah Ra bahwa Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
"Jika
salah seorang dari kamu sandalnya menginjak kotoran, maka sungguh debu bisa
menjadi penyuci baginya."
Dalam
lafazh lain disebutkan,
"Jika
salah seorang dari kamu menginjak kotoran dengan kedua khufnya, maka penyuci
keduanya adalah debu." (Diriwayatkan Abu Daud).* Karena langkah-langkah berikutnya akan
membersihkan kotoran sebelumnya yang mengenai kaki. Demikian seperti yang
diriwayatkan Abu Daud (384) dengan sanad shahih (pen.).
Abu
Sa'idAl-Khudri meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
shalat, lantas beliau menanggalkan sandalnya, dan para sahabatpun menanggalkan
sandal mereka, ketika selesai shalat beliau bertanya, "Kenapa kalian
menanggalkan sandal? "Mereka menjawab, "Wahai Rasulullah! Kami
melihatmu menanggalkan sandal maka kamipun menanggalkannya pula.
"Maka
beliau bersabda, "Se- sungguhnya Jibril datang kepadaku lantas mengabarkan
bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Karena itu, jika salah seorang dari
kalian datang ke masjid, hendaknya ia membalikkan sandalnya, lalu melihatnya,
jika ia mendapatkan kotoran hendaklah ia mengesetkan nya ke tanah, lalu shalat
dengan keduanya.
Tetapi penafsiran hal tsb dgn sesuatu yg menjijikkan seperti ingus atau
sejenisnya dari hal-hal yang suci adalah tidak benar karena beberapa alasan:
1. Hal itu (ingus dan
sejenisnya) tidak dinamakan kotoran.
2. Hal itu tidak diperintahkan
untuk dihilangkan ketika shalat.
3. Sandal tidak ditanggalkan
ketika shalat karena terkena ingus atau sejenisnya, sebab ia termasuk pekerjaan
yg tidak diperlukan Paling maksimal ingus dan sejenisnya itu hukumnya adalah
makruh.
Lalu, dibolehkannya menghilangkan najis pada
sepatu atau sandal dengan hanya mengesetkannya di tanah, karena ia adalah
tempat yang sering bertemu dengan najis, oleh sebab itu ia menjadi sah dengan
mengesetkannya pada barang padat, seperti halnya tempat membersihkan dari buang
air besar (anus dan sekitarnya), bahkan ia lebih utama, karena tempat
membersihkan dari buang air besar pasti terkena najis dalam sehari dua atau
tiga kali.
Allahu a'lam
sumber kutipan
: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam Mawaridul
Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan
fi
Mashayidisy Syaithan Penerbit: Daar Ibnul-Jauzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar