Rumah kita adalah karunia
besar dari Allah Azza wa Jalla . Lalu apa yg harus dilakukan mengingat
besarnya nikmat ini dan fungsi pentingnya bagi para penghuni. Rumah adalah ruang melepas lelah, menutup aurat, atau tempat menjalankan banyak aktifitas lainnya. Ada ruang khusus untuk ibadah, dimana Anda sekeluarga bisa melaksanakan ibadah dst. Suatu tempat khusus untuk beribadah bagi penghuni rumah, tempat berdzikir
, bermunajat atau tempat mengerjakan ibadah
sunnah lainnya. Sebelum membangun ruang ibadah didalam rumah,
sebaiknya sdh kita rencanakan seja awal . Jadi, ruangan ini tak
terkesan sebagai ruang tambahan, namun memang sudah menjadi bagian dari rumah. Gunakan saja ruang yg bersifat umum, misalnya berdekatan dengan ruang
tamu dan ruang keluarga sehingga jika ada tamu yg hendak shalat, tidak perlu
masuk ke kamar Anda.
Allah
Azza wa Jalla berfirman ttg besarnya
nikmat rumah bagi manusia , yang artinya “dan Allah menjadikan bagimu
rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal” [Qs. an-Nahl : 80]
Saudaraku, rumah bagi hamba beriman harus
menjadi perwujudan ketaatannya, dengan segala kebaikan dan berkah yang ada di
dalamnya. Ssebagaimana Rasulullah Shallallahu `alaihi wasallam bersabda,
(صلوا أيهاالناس فى بيوتكم فأن أفضل
الصلاة المرء فى بيته الا المكتوبة)
Artinya : “Wahai sekalian manusia, shalatlah
di rumah kalian (shalat sunnah) karena sesungguhnya shalat yang paling utama
adalah shalatnya seseorang di rumah kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari)
Salah satu bentuk bersyukur bagi seorang hamba adalah membuat suasana ketaatan di dalam rumah kita dengan menjadikannya sebagai tempat ibadah, dzikir, shalat-shalat dan ibadah-ibadah lainnya. Bukan sebaliknya, menjadikan nya sebagai arena yang melalaikan beribadah kepada-Nya artau banhkan sebagai tempat bermaksiat. Dengan demikian, berkah dan kebaikan akan menyebar luas di dalam rumah. Ketenangan menjadi atmosfer yang menaungi ahlinya. Kedamaian serta ketenangan sebagai atsar dari amalan-amalan tersebut akan dapat dirasakan oleh seluruh penghuni rumah.
Lantas bagaimana membuat masjidul bait dalam rumah bagi seorang muslim? Membuat tempat khusus di dalam rumah sebagai tempat menjalankan amalan-amalan ibadah .
Dari Ummu Humaid ra, istri Humaid al-Sa’idi ra, bahwasanya ia mendatanggi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjamaah) bersamamu”.
Beliau
berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi)
shalatmu di masjid rumahmu (tempat paling dalam –red) lebih baik daripada
shalatmu di kamar, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di dalam
rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu,
shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalamu di masjidku (Masjid
Nabawi)”.
Selanjutnya
Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung
dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai
menjumpai Allah (ajal datang) [Hr.Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban ]
Amirul Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari menyatakan dalam kitab shahihnya : “Bab masjid-masjid di dalam rumah dan shalatnya al-Bara bin Azib ra di masjid rumahnya dengan berjama’ah”.
Dalam Hasyiyah Ibni Abidin menyatakan , bahwa sesuai fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek kebersihan dan keharumannya. Disamping fungsi positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut.
Di ruang ibadah ini, Anda bias menggunakan karpet, tikar dan tempat menyimpan mukena, al Quran , dan kitab-kitab lainnya, buku-buku agama dst
Amirul Mukminin dalam Hadits, Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari menyatakan dalam kitab shahihnya : “Bab masjid-masjid di dalam rumah dan shalatnya al-Bara bin Azib ra di masjid rumahnya dengan berjama’ah”.
Dalam Hasyiyah Ibni Abidin menyatakan , bahwa sesuai fungsinya sebagai tempat ibadah, maka harus diperhatikan aspek kebersihan dan keharumannya. Disamping fungsi positifnya dalam membina dan mendidik anak-anak serta menanamkan nilai-nilai Islam yang luhur pada generasi yang akan datang tersebut.
Di ruang ibadah ini, Anda bias menggunakan karpet, tikar dan tempat menyimpan mukena, al Quran , dan kitab-kitab lainnya, buku-buku agama dst
Ada dua bentuk masjidul bait pada masa lalu seperti tertuang pada beberapa nash dan atsar berikut ;
1.
Berbentuk
kamar khusus di dalam rumah
Hal ini berdasarkan riwayat Ummu Humaid ra, bahwasa ia mendatangi Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjama’ah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik dari pada shalatmu di kamar…. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang).
Hal ini berdasarkan riwayat Ummu Humaid ra, bahwasa ia mendatangi Nabi seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku sangat suka shalat (berjama’ah) bersamamu”. Beliau berkata, “Aku sudah tahu engkau menyukai shalat bersamaku, (akan tetapi) shalatmu di tempat paling dalam di rumahmu lebih baik dari pada shalatmu di kamar…. Selanjutnya Ummu Humaid meminta dibuatkan masjid (tempat shalat) di tempat paling ujung dalam rumahnya dan yang paling gelap. Ia mengerjakan shalat di situ sampai menjumpai Allah (ajal datang).
2.
Tempat
khusus di salah satu pojok kamar
Kadangkala karena kondisi ekonomi yang kurang memungkinkan , maka dapat memanfaatkan yang ada misalnya pojok tertentu dari kamar yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Berdasarkan hadits Abu Hurairah ra bahwa seorang lelaki dan kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya untuk dia jadikan tempat shalatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhinya. [Hr. Ibnu Majah]
Kadangkala karena kondisi ekonomi yang kurang memungkinkan , maka dapat memanfaatkan yang ada misalnya pojok tertentu dari kamar yang dapat dipergunakan untuk tujuan tersebut. Berdasarkan hadits Abu Hurairah ra bahwa seorang lelaki dan kaum Anshar memohon Rasulullah datang (ke rumahnya) untuk berkenan menggarisi tempat sebagai masjid di dalam rumahnya untuk dia jadikan tempat shalatnya. Itu dilakukan setelah ia mengalami kebutaan dan kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhinya. [Hr. Ibnu Majah]
Dalam al-Musnad, Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Itban bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Wahai Rasulullah, air bah telah menghalangiku untuk mendatangi masjid di kampung (untuk shalat fardhu). Aku ingin engkau mendatangiku dan kemudian mengerjakan shalat disuatu tempat (yang nantinya) aku jadikan sebagai masjid (masjidul bait)”.
Nabi
menjawab, “Baiklah”.
Keesokan
harinya, Rasulullah mendatangi Abu Bakar dan memintanya untuk mengikuti beliau.
Ketika memasuki (rumah ‘Itban), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata, “Dimana tempat engkau inginkan?”
Maka
aku (‘Itban) menunjuk ke satu pojok rumahnya. Kemudian Rasulullah berdiri dan
shalat (disitu). Dan kami berbaris di belakang beliau. Beliau mengerjakan
shalat dua rakaat bersama kami”. [HR. Ahmad no. 15886]
Dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah), kemudian beliau aku persilahkan (masuk).
Dalam riwayat al-Bukhari, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin (masuk rumah), kemudian beliau aku persilahkan (masuk).
Beliau
tidak duduk sampai berkata, “Dimana tempat yang engkau ingin aku shalat di
rumahmu?”. Kemudian ia (‘Itban) menunjuk tempat yang ia ingin Nabi shalat di
situ..”[ HR. al-Bukhari no. 795]
Masjidul Bait jaman sahabat
Masjidul Bait jaman sahabat
Dalam generasi
salaf dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, juga mempunyai masjidul bait, di rumah-rumah mereka. Hal ini
berdasarkan pernyataan sahabat Abdullah bin Mas’ud ra :
مَا مِنْكُمْ إِلاَّ وَلَهُ مَسْجِدْ فِيْ بَيْتِهِ
“Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya” [Atsar berderajat shahih riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i 8].
Saudaraku, meski tentu saja rumah tinggal mereka sangat sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan rahmat Allah Azza wa Jalla dan takut dari siksa-Nya, itu semua dijalankan untuk menggapai ridha Allah semata.
مَا مِنْكُمْ إِلاَّ وَلَهُ مَسْجِدْ فِيْ بَيْتِهِ
“Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya” [Atsar berderajat shahih riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa’i 8].
Saudaraku, meski tentu saja rumah tinggal mereka sangat sederhana dan tidak luas, mereka masih mengkhususkan satu tempat dari rumah mereka sebagai tempat menjalankan ibadah-ibadah sunnat dan nafilah. Malam mereka lalui di dalamnya dalam keadaan berdiri, ruku dan sujud, mengharapkan rahmat Allah Azza wa Jalla dan takut dari siksa-Nya, itu semua dijalankan untuk menggapai ridha Allah semata.
Rumah kita sekecil apapun luasnya,
seharusnya memang memiliki kemanfaatan ibadah bagi seluruh anggota keluarga. Sehingga makin terasalah keberkahan Allah di keluarga kita, setiap ruangnya harus merefleksikan
fungsi utamanya sebagai sarana ibadah dan pusat tarbiyah robbaniyah bagi
seluruh anggotanya. Itulah rumah yang aktif dan efektif alias rumah yang tidak
tidur.
Manfaat Masjidul Bait, antara lain sebagai sarana untuk :
1.
menguatkan
hubungan dengan Allah Azza wa Jalla
2.
sunnah
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
3.
membina
jiwa untukmenggapai ikhlas ,sebab ibadah yang dikerjakan jauh dari pandangan
manusia akan lebih mendatangkan ikhlas.
4.
mengerjakan
shalat bagi keluarga.
5.
Membina
anak-anak untuk lebih taat dan rajin beribadah.
6.
Memotivasi
beribadah ,
7.
Membinan
keharmonisan keluarga. Dst
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
عَلَيْكُمْ بِالصَّلاَةِ فِيْ بُيُوْ تِكُمْ فَإِنَّ خَيْرَ صَلاَةِ الْمَرْءِفِيْ بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوْ بَة
“Shalatlah kalian di dalam rumah kalian. Sungguh sebaik-baik shalat seseorang adalah (yang dikerjakan) di dalam rumahnya kecuali shalat fardhu” [HR. al-Bukhari no. 6113 dan Muslim no. 781]
Dalam hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِذَا قَضَى أَحَدُ كُمْ الصَّلاَةَ فِيْ مَسْجِدِهِ فَلْيَجْعَلْ لِبَيْتِهِ نَصِيْبًا مِنْ صَلاَتِهِ فَإِنَّ اللَّهَ جَاعِلٌ فِيْ بَيْتِهِ مِنْ صَلاَتِهِ خَيْرًا
“Jika salah seorang kalian telah menyelesaikan shalat di masjid, maka hendaknya ia memberikan bagian shalatnya di dalam rumahnya. Sesungguhnya Allah akan menjadikan kebaikan di dalam rumahnya melalui shalatnya (yang dilakukan di rumah)”. [HR. Muslim no. 778]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya oleh sahabat Hizam bin Hakim ra perihal tempat mengerjakan shalat, apakah di rumah atau di masjid. Meski rumah beliau dengan masjid sangat dekat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan berkata :
وَلأَِنْ أُصَلِيَ فَيْ بَيْتِيْ أَحَبُّء إِلَيَّ مِنْ أَنْ أُصَلِّي فِيْ مَسْجِدِ إِلاَّ الْمَكْتُوْبَة
“Aku mengerjakan shalat di dalam rumahku lebih aku sukai daripada shalat di masjid kecuali shalat fardhu” [Hadits Shahih riwayat Ahmad dan Ibnu Majah ]
Penekanan shalat wajib di masjid secara berjama’ah , dipertegas melalui nasehat sahabat Abdullah bin Mas’ud ra , bahwa “Barangsiapa di antara kalian yang mau bergembira berjumpa dengan Allah besok dalam keadaan muslim, hendaknya memelihara shalat lima waktu yang telah diwajibkan saat diserukan untuk menjalankannya.
Sesungguhnya shalat lima waktu termasuk jalan-jalan hidayah, dan sungguh Allah telah menetapkan berbagai macam jalan hidayah. Setiap kalian telah mempunyai masjid di dalam rumahnya. Jika kalian mengerjakan shalat (lima waktu) di masjid rumah kalian seperti mutakhollif (orang yang tidak terbiasa datang ke masjid untuk shalat berjama’ah) yang suka menjalankan shalat (fardhu) di rumahnya (saja), berarti kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, dan jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kalian, niscaya kalian akan tersesat.
Aku sudah menyaksikan bahwa yang sudah terbiasa tidak ke masjid (untuk shalat berjama’ah) ialah orang munafik yang telah dimaklumi kenifakannya. Aku dahulu menyaksikan seseorang dipapah oleh dua orang agar bisa berdiri di shaf (shalat fardhu)” [Mukhtashar Fatawa al-Mishriyyah hlm.81]
Disebutkan dalam Hasyiyah Ibni Abidin (2/441), “… Sesungguhnya dianjurkan bagi seorang lelaki untuk mengkhususkan satu tempat dari rumahnya sebagai tempat megerjakan shalat nafilah. Adapaun shalat fardhu dan I’tikaf, sudah dimaklumi hanya dikerjakan di masjid”.
Dengan demikian kebaikan dan keberkahan dari Allah Azza wa Jalla akan mendatangi rumah yang bercahaya dengan ibadah dan dzikir tersebut, sehingga rumah bercahaya tidak gelap seperti kuburan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
اجْعَلُوْا مِنْ صَلاَتِكُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ وَلاَ تَتَّخِذُوْهَا قُبُوْرًا
Kerjakanlah sebagian shalatmu di dalam rumah-rumah kalian. Jangan menjadikan rumah seperti kuburan” [Muttafaqun ‘alaih]
Saudaraku, marilah kita berjuang untuk menghidupkan salah satu sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini di dalam rumah-rumah kita.
Wallahul muwaffiq
sumber kutipan : Ahkamuha wa Adabuha (Ghurfatush Shalati fil Baiti Sunnatun Ghaibah). DR Khalid bin Ali al-Anbari, Darul Atsariyyah, Amman Yordania, majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar