Dengan demikian meminta agar dijadikan
pemimpin, pejabat negara, hakim, atau segala bentuk kepemimpinan yg bertanggung
jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup publik maupun khusus
(terbatas) termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi
sementara keadaan tidaklah mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan
masih banyaknya orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas untuk
tugas itu maka hal itu adalah bukti ambisi dan syahwatnya sehingga tidak
diperbolehkan. Ibn Qayyim dlm Al-Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an al-Jawab al-Syafi
menyatakan bhw kehidupan seorang pecinta (ambisi) itu laksana kehidupan dalam
tahanan. Sementara kehidupan sesorang yang kosong hatinya dari kecintaan
semacam itu laksana kehidupan orang yg merdeka dan bebas.
Dan hal itu dibolehkan manakala tidak
ada lagi orang yang menginginkannya atau tidak ada yang sanggup mengemban
amanah jabatan itu dan dikhawatirkan instansi yang bersangkutan akan bangkrut
atau mengalami kerugian atau para karyawannya terancam kehilangan pekerjaan
atau sejenisnya sehingga keterpaksaanlah yang menuntutnya untuk meminta agar
dijadikan pemimpin atau manager di perusahaan itu dengan tetap meniatkan semua
itu karena Allah swt dan untuk kepentingan bersama bukan kepentingan
pribadinya.
Imam
Qurtubi dalam Tafsir Al-Qurtubi, 7.215 menukil ungkapan sebagian ulama :
“Dibolehkan seseorang yang memiliki keahlian meminta jabatan sehingga dirinya
memahami sesuatu yang diserahkan kepadanya dalam perbuatan yang tidak
bertentangan dengan syariat, melakukan perbaikan sesuai yang dikehendaki,
adapun jika perbuatannya sesuai dengan pilihan orang yang dzalim, syahwat dan
kedzalimannya maka hal tersebut tidak diperbolehkan.
Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf
as meskipun dia meminta agar dijadikan bendaharawan Negara akan tetapi Allah
swt tetap mengatakan bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang ikhlas didalam
firman-Nya :
إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Artinya : “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang
terpilih (ikhlas).” (QS. Yusuf : 24)
Sehingga orang yang seperti
ini layak mendapatkan bantuan dan pertolongannya dari Allah swt karena bersih
dari berbagai ambisi dan syahwat kepemipinan atau kekuasaan.
Adapun seeorang yang bercita-cita untuk
menjadi pemimpin atau seorang staf yang bercita-cita untuk menjadi seorang
manager tentunya berbeda dengan seorang yang meminta jabatan kepemimpinan.
Cita-cita bisa menjadi harapan manakala
orang itu mengikutinya dengan berbagai usaha dan upaya keras untuk
menggapainya. Tentunya bagi seorang muslim semua upaya itu ditempuhnya dengan
cara-cara yang dibenarkan menurut agama bukan dengan cara-cara yang
dilarangnya. Namun cita-cita itu akan hanya menjadi angan-angan manakala orang
itu tidak pernah berusaha dan berupaya untuk menggapainya, sebagaimana ungkapan
yang mengatakan,”Siapa yang berusah keras maka ia akan mendapatkan hasilnya.”
Sebagaimana
disebutkan didalam firman-Nya :
فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya : “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al Kahfi :
110)
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika
beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya
kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan ,
padahal kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. ” (Shahih, HR.
Al-Bukhari no. 7148)
Bersabdalah Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam : “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang
memintanya dan tidak pula kpd orang yang berambisi utk mendapatkannya. ”
(HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Selain itu, jabatan tidak boleh
diberikan kepada seseorang yang memintanya dan berambisi untuk mendapatkannya.
Abu Musa radhiallahu 'anhu berkata: “Aku dan dua orang laki-laki dari kaumku
pernah masuk menemui Rasulullah. Maka salah seorang dari keduanya berkata:
‘Angkatlah kami sebagai pemimpin, wahai Rasulullah’. Temannya pun meminta hal
yang sama.
Bersabdalah Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam : “Kami tidak menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang
memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi untuk mendapatkannya. ”
(HR. Al-Bukhari no. 7149 dan Muslim no. 1733)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
“Sepantasnya bagi seseorang tidak meminta jabatan apapun. Namun bila ia
diangkat bukan karena permintaannya, maka ia boleh menerimanya. Akan tetapi
jangan ia meminta jabatan tersebut, dalam rangka wara’ dan kehati-hatiannya
dikarenakan jabatan dunia itu bukanlah apa-apa. ” (Syarh Riyadhush Shalihin,
2/470)
Pada dasarnya permasalahan bukanlah pada
jabatan atau kepemimpinan itu sendiri akan tetapi pada cara untuk
mendapatkannya. Seperti halnya orang yang bercita-cita menikah dengan seorang
wanita cantik. Tentunya tidak seorang pun menyalahkan cita-cita orang ini
karena hal itu termasuk perkara yang dibolehkan atau tidak dilarang. Akan
tetapi yang tidak diperbolehkan baginya adalah berusaha mencarinya dengan
cara-cara yang dilarang atau diharamkan agama maka pernikahan orang itu kelak
tidak akan mendapat keberkahan dari Allah swt dan jauh dari bantuan-Nya dalam
setiap permasalahan di rumah tangganya. Akan tetapi jika orang itu
mendapatkannya dengan cara-cara yang dibenarkan dan dihalalkan agama maka
pernikahannya kelak akan diberkahi dan ditolong oleh-Nya.
Hal lainnya, bahwa cita-cita adalah
mengharapkan atau menginginkan sesuatu yang akan datang atau belum terjadi pada
saat ia mencita-citakannya sehingga tidaklah bisa diberikan hukum atasnya
berbeda dengan meminta jabatan maka ia adalah perbuatan yang terjadi pada sat
memintanya sehingga sudah bisa diberikan hukum atasnya apakah ia dibolehkan
atau dilarang.
Saudaraku , ketahuilah bahwa memperebutkan kursi jabatan dan
kepemimpinan, sementara dia bukan orang yang pantas untuk mendudukinya, kelak
pada hari kiamat kedudukan itu akan menjadi penyesalan karena ketidakmampuannya
dalam menunaikan amanah sebagaimana mestinya. Al-Qadhi Al-Baidhawi berkata: “Karena
itu tidak sepantasnya orang yang berakal, bergembira dan bersenang-senang
dengan kelezatan yang diakhiri dengan penyesalan dan kerugian. ” (Fathul Bari,
13/134)
Saudaraku kesimpulannya bahwa :
1.
Jabatan,
kekuasaan, kedudukan jangan diberikan kepada orang yg memintanya,
berambisi untuk meraihnya, atau menempuh segala cara untuk
mendapatkannya.
2.
Kepemimpinan adalah amanah besar dan tanggung jawab yg berat. Maka wajib
bagi orang yang menjadi pemimpin untuk memperhatikan hak orang-orang yang di
bawah kepemimpinannya dan tidak boleh mengkhianati amanah tersebut.
3.
Keutamaan dan kemuliaan bagi seorang
yang menjadi pemimpin dan penguasa apabila memang ia pantas memegang kjabatan dan kekuasaan
tersebut, sama saja ia seorang pemimpin negara yg adil, atau bendahara yg
terpercaya atau karyawan yg menguasai bidangnya.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar