Promosi jabatan
adalah salah satu penghargaan yg diberikan karena prestasi
atau hasil kerja yg dicapai seseorang
dalam melaksanakan tugas yg dibebankan . Pangkat (jabatan) adl motivator yg amat kuat, karena didalamnya biasanya
menempel kemasyhuran, fasilitas, ketenaran, kehormatan, kemapanan
atau pengakuan dari pihak
lain. Tahta/jabatan adalah satu bentuk kenikmatan yg berdaya
tarik luar biasa. Walaupun kenyataan
tidak selalu begitu , karena dibalik itu ada setumpuk tugas , tanggungjawab dan godaan yg sungguh
berat. Jabatan
adalah amanah yg tidak semua orang sanggup menunaikannya kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu Allah SWT. Namun seringkali ambisi menutupi akal sehat dan mengabaikan amanah. Jabatan hanya dilihat dari satu sisi , dan mengabaikan
sisi yg lain (yaitu pertanggungjawaban dihadapan Allah). Ada yg mengejar
jabatan dgn beragam
cara seperti suap,
menzalimi kompetitor, membohongi dst.
Sangat mungkin mereka yg melakukannya mengetahui betul bahwa itu semua dilarang
. Lalu mengapa tetap melakukannya?
Begitu berat tanggung jawab yang harus dipikul, maka Rasulullah saw memperingatkan kita semua bahwa tidaklah dua ekor srigala lapar yang
dilepas kepada kerumunan kambing lebih merusak agama daripada ambisi seseorang
terhadap harta dan jabatan.” (HR. Tirmidzi, dan Tirmidzi mengatakan,”ini adalah hadits
hasan shahih)
Karena itu islam mengharuskan mereka
yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang sanggup meredam gejolak nafsu dan bujuk rayu setan untuk menyimpang dari
tanggungjawab suatu jabatan.
Rasulullah
saw tidaklah memberikan jabatan kepada orang-orang yang memintanya karena itu
adalah salah satu tanda
ambisiusnya, yang kebanyakan nafsunya melebihi kemampuannya sebagaimana yang
diriwayatkan dari Abdurrahman bin samurah bahwa Nabi saw bersabda,”Wahai
Abdurrahman janganlah kamu meminta imaroh (jabatan, kepemimpinan). Sesungguhnya
jika engkau diberikannya karena memintanya maka engkau tidak akan dibantu.”
(HR. Bukhori)
Al
Hafizh Ibnu hajar dalam Al-Ajwibat
Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa makna
dari hadits ini adalah siapa yang
meminta jabatan dan diberikan kepadanya maka dia tidak akan dibantu dikarenakan
ambisinya. Arti dari itu adalah bahwa meminta apa-apa yang berkaitan dengan
hukum adalah makruh, termasuk didalam imaroh adalah hakim, pengawas dan lainnya. Dan bahwasanya
siapa yang berambisi dengan hal itu tidaklah akan dibantu.
Selanjutnya Al Hafizh mengutip hadits
Abi Musa,”Sesungguhnya kami tidaklah mengangkat pemimpin dari orang yang
ambisi” karena itu selanjutnya beliau mengungkapkan kata “pertolongan”.
Riwayat
dari Abu Dzar Al-Ghifari. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau
menjadikanku sebagai pemimpin?”
Mendengar
permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah. Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam
riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu
Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa yang
kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan
jangan sekali-kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim. ” (Shahih, HR.
Muslim no. 1826)
Al-Imam
An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau Riyadhush
Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk
meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau
meninggalkan ambisi terhadap jabatan”.
Agaknya
disini letak kebanaran ungkapan hikmah ”jika manusia itu diberikan danau emas,
maka seketika itu juga ia berpikir untuk mendapatkan gunung permata”.
Al-Muhallab
sebagaimana dinukilkan dalam kitab Fath al-Bari (13/135): bahwa “Ambisi untuk memperoleh jabatan dan kekuasaan
merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling membunuh, hingga
tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan wanita
(yang mana semua itu sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi
kerusakan yang besar di permukaan bumi.”
Maka sesungguhnya siapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dari Allah didalam amalnya maka amal itu tidaklah cukup
oleh karena itu tidak sepatutnya menyambut permintaannya. Sebagaimana diketahui
bahwa kepemimpinan tidaklah kosong dari kesulitan. Maka barangsiapa yang tidak
mendapatkan pertolongan maka ia akan mendapat kesulitan dan kerugian di dunia
dan akherat.
Dan barangsiapa yang memiliki akal maka
ia tidaklah bersikeras untuk memintanya akan tetapi jika ia memiliki kemampuan
dan diberikan tanpa memintanya maka sungguh Rasulullah saw menjanjikan
pertolongan-Nya dan didalamnya terdapat keutamaan.
Al Muhallab mengatakan bahwa terdapat
penafsiran tentang pertolongan didalam hadits Bilal bin Mirdas dari Khaitsamah
dari Anas,”Barangsiapa yang meminta kepemimpinan dan meminta bantuan melalui
para perantara maka semuanya diserahkan kepadanya (tidak dibantu, pen). Dan
barangsiapa yang tidak menyukai hal itu maka Allah akan turunkan malaikat yang
akan memandunya.” Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir.
Selanjutnya al Muhallab mengatakan bahwa
makna “tidak menyukai hal itu” adalah orang itu memganggap bahwa dirinya
bukanlah ahlinya dalam jabatan tersebut karena khawatir dan takut terjatuh
didalam perkara-perkara yang diharamkan dan jika orang itu memegang jabatan
maka dia akan ditolong dan diarahkan.
Pada dasarnya barangsiapa yang tawa’dhu
(merendahkan dirinya) dihadapan Allah maka Allah akan mengangkatnya. Ibnut Tiin
mengatakan bahwa itulah makna yang paling dominan.
Sedangkan perkataan Nabi Yusuf
: “Jadikanlah Aku
bendaharawan negara (Mesir)” (QS. Yusuf : 55) dan perkataan Nabi Sulaiman
: “dan anugerahkanlah
kepadaku kerajaan.” (QS. Shaad : 35) mengandung kemungkinan bahwa
maksud diatas semua adalah terhadap selain para Nabi. (Fathul Bari juz XIII hal
146 – 147)
Terhadap perkataan Nabi Yusuf diatas,
Sayyid Qutb dalam Fi zhilalil Qur’an, Nabi Yusuf tidaklah
meminta jabatan untuk dirinya sendiri, dan dia memandang bahwa raja akan
mengabulkan permintaannya, karena itu dia meminta untuk diberikan jabatan
sebagai bendaharawan Negara, karena dirinya merasa akan mampu melaksanakan
pilihannya tersebut jika disetujui guna memgemban amanah tugas yang berat dan
melelahkan, memiliki tugas yang berat dalam kondisi dan waktu yang genting
(krisis), untuk menjadi penanggung jawab dalam memberikan makan secara sempurna
kepada masyarakat saat itu..
Kedudukan yang diminta itu bukanlah
untuk diri Yusuf sendiri, sesungguhnya memenuhi kebutuhan pangan setiap
rakyatnya yang kelaparan selama tujuh tahun secara terus menerus menjadikan
tidak seorang pun yang mengatakan bahwa jabatan itu adalah keberuntungan
baginya.Sesungguhnya jabatan itu adalah beban berat yang setiap orang lari
darinya dikarenakan hal itu telah dipikul oleh para pemimpin mereka sebelumnya
sementara kelaparan bisa menjadikannya kufur. Sungguh masyarakat yang lapar telah
tercabik-cabik jasadnya didalam berbagai pemandangan kekufuran dan kehilangan
akal. (Fii Zhilalil Qur’an juz V hal 2005).
Bersambung ….
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar