tulisan ini dikutip dari Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Saudaraku, minta-minta atau mengemis adalah meminta bantuan, derma, sumbangan, baik kepada perorangan atau lembaga. Salah satu faktor penyebabnya adalah merasa lebih mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan. Cukup dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan atau sumbangan.
- 2. Faktor kesulitan ekonomi yang tengah dihadapi atau sedang musibah kerugian harta cukup besar. Contohnya pengusaha pedagang yang tertimpa pailit atau petani yang gagal panen dst.. Mereka ini juga orang-orang yang memerlukan bantuan karena sedang mengalami kesulitan ekonomi secara mendadak sehingga tidak bisa menghidupi keluarganya. Bisa jadi hutang yang telah jatuh tempo tidak terbayar bahkan sampai ke urusan pengadilan.
- 3. Faktor musibah yang menimpa suatu anggota masyarakat seperti kebakaran, banjir, gempa, dst sehingga terpaksa harus minta-minta.
- 4. Faktor-faktor yang datang diluar kekuasaan manusia yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Contohnya seperti orang-orang yang secara mendadak harus menanggung hutang kepada berbagai pihak tanpa sanggup membayarnya, menanggung anak yatim, menanggung kebutuhan panti-panti jompo, dan yang semisalnya. Mereka ini juga adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan, dan biasanya tidak punya simpanan harta untuk membayar tanggungannya tersebut tanpa uluran tangan dari orang lain yang kaya, atau tanpa berusaha mencarinya sendiri walaupun dengan cara mengemis.
JENIS-JENIS PENGEMIS
Ketika kita membahas tentang fenomena pengemis dari kacamata kearifan, hukum, dan keadilan, maka kita harus membagi kaum pengemis menjadi dua kelompok:
- 1. Kelompok pengemis yang benar-benar membutuhkan bantuan
Secara riil (kenyataan hidup) yang ada para pengemis ini memang benar-benar dalam keadaan menderita karena harus menghadapi kesulitan.
Namun umumnya mereka ialah justru orang-orang yang masih memiliki harga diri dan ingin menjaga kehormatannya. Mereka tidak mau meminta kepada orang lain dengan cara mendesak sambil mengiba-iba. Atau mereka merasa malu menyandang predikat pengemis yang dianggap telah merusak nama baik agama dan mengganggu nilai-nilai etika serta menyalahi tradisi masyarakat di sekitarnya.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, yang artinya "(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [Qs. al-Baqarah : 273].
- 2. Kelompok pengemis yang bertipu muslihat
Selain mengetahui rahasia-rahasia dan trik-trik mengemis, mereka juga memiliki kepiawaian serta pengalaman yang dapat menyesatkan (mengaburkan) anggapan masyarakat, dan memilih celah-celah yang strategis.
Selain itu mereka juga memiliki berbagai pola mengemis yang dinamis, seperti bagaimana cara-cara menarik simpati dan belas kasihan orang lain yang menjadi sasaran. Misalnya di antara mereka ada yang mengamen, bawa anak kecil, pura-pura luka, bawa map sumbangan yang tidak jelas, mengeluh keluarganya sakit padahal tidak, ada yang mengemis dengan mengamen
Atau ada juga yang mengemis dengan memakai pakaian rapi, pakai jas dan lainnya, dan puluhan cara lainnya untuk menipu dan membohongi manusia.
Islam terhadap kasus ini
Islam tidak mensyari’atkan meminta-minta dengan berbohong dan menipu. Selain melanggar dosa, tetapi juga dianggap mencemari perbuatan baik dan merampas hak orang-orang miskin yang memang membutuhkan bantuan.
Bahkan hal itu merusak citra baik orang-orang miskin yang tidak mau minta-minta dan orang-orang yang mencintai kebajikan. Karena mereka dimasukkan dalam golongan orang-orang yang meminta bantuan. Padahal sebenarnya mereka tidak berhak menerimanya, terlebih kalau sampai kedok mereka terungkap.
Beberapa dalil, yang berkaitan dengan meminta-minta dengan menipu dan tanpa adanya kebutuhan yang mendesak.
- Diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar ra, ia berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya".[1]
- Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah ra, ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, yang artinya "Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api" [2].
- Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub ra , ia berkata bahawa Rasulullah SAW bersabda , yang artinya "Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu" [3]
- Namun, tidak boleh sering meminta kepada penguasa. Hal ini berdasarkan hadits Hakiim bin Hizaam ra, ia berkata bahwa : Aku meminta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lantas beliau memberiku. Kemudian aku minta lagi, dan Rasulullah memberiku. Kemudian Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya ,"Wahai Hakiim! Sesungguhnya harta itu indah dan manis. Barang siapa mengambilnya dengan berlapang hati, maka akan diberikan berkah padanya. Barang siapa mengambilnya dengan kerakusan (mengharap-harap harta), maka Allah tidak memberikan berkah kepadanya, dan perumpamaannya (orang yang meminta dengan mengharap-harap) bagaikan orang yang makan, tetapi ia tidak kenyang (karena tidak ada berkah padanya). Tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta)".
Kemudian Hakîm berkata: "Wahai Rasulullah! Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menerima dan mengambil sesuatu pun sesudahmu hingga aku meninggal dunia”.
Hadits ini juga menerangkan tentang ta’affuf (memelihara diri dari meminta kepada manusia) itu lebih baik. Sebab, Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu 'anhu pada waktu itu tidak mau meminta dan tidak mau menerima.
ORANG-ORANG YANG DIBOLEHKAN MEMINTA-MINTA
Diriwayatkan dari Sahabat Qabishah bin Mukhariq al-Hilali ra, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ,“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang:
- o seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti,
- o seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan
- o seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram”.[5]
KEUTAMAAN TIDAK MEMINTA-MINTA DAN ANJURAN UNTUK BERUSAHA
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya menganjurkan kita untuk berusaha dan mencari nafkah apa saja bentuknya, selama itu halal dan baik, tidak ada syubhat, tidak ada keharaman, dan tidak dengan meminta-minta. Kita juga disunnahkan untuk ta’affuf (memelihara diri dari minta-minta),
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman , yang artinya ,” Apa yang kamu infakkan adalah) untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari minta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak minta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui" [Qs.al-Baqarah : 273].
Diriwayatkan dari az-Zubair bin al-‘Awwâm ra dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda , yang artinya "Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya".[6]
Rasulullah SAW, bersabda, yang artinya "Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rizki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya".[8]
Dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Barang siapa yang ditimpa suatu kesulitan lalu ia mengadukannya kepada manusia, maka tidak akan tertutup kefakirannya. Dan barangsiapa yang mengadukan kesulitannya itu kepada Allah, maka Allah akan memberikannya salah satu diantara dua kecukupan: kematian yang cepat atau kecukupan yang cepat".[9]
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa seorang yang mendapat kesulitan dan kesusahan, namun ia selalu berharap kepada orang lain, maka kefakirannya tidak akan tertutupi.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang yang bersyukur dan qana’ah atas segala nikmatnya, merasa cukup dengan apa yang ada, serta menahan diri dari minta-minta.
Allahu a’lam
Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas , http://www.almanhaj.or.id , majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/20085. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Catatan :
[1]. Muttafaqun ‘alaihi. HR al-Bukhâri (no. 1474) dan Muslim (no. 1040 (103)).
[2]. Shahîh. HR Ahmad (IV/165), Ibnu Khuzaimah (no. 2446), dan ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul-Kabîr (IV/15, no. 3506-3508). Lihat Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr, no. 6281.
[3]. Shahîh. At-Tirmidzi (no. 681), Abu Dawud (no. 1639), an-Nasâ`i (V/100) dan dalam as-Sunanul-Kubra (no. 2392), Ahmad (V/10, 19), Ibnu Hibbân (no. 3377 –at-Ta’lîqâtul Hisân), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (VII/182-183, no. 6766-6772), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyâ` (VII/418, no. 11076).
[4]. Shahîh. Al-Bukhâri (no. 1472), Muslim (no. 1035), dan lainnya.
[5]. Shahîh. HR Muslim (no. 1044), Abu Dâwud (no. 1640), Ahmad (III/477, V/60), an-Nasâ`i (V/89-90), ad-Dârimi (I/396), Ibnu Khuzaimah (no. 2359, 2360, 2361, 2375), Ibnu Hibbân (no. 3280, 3386, 3387 –at-Ta’lîqtul-Hisân), dan selainnya.
[6]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 1471, 2075).
[7]. Shahîh. HR Ibnu Mâjah (no. 2291) dari Jaabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu 'anhuma, dan ath-Thabrâni dalam Mu’jamul-Kabîr (VII/230, no. 6961, X/81-82, no. 10019) dari Samurah dan Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu. Lihat Irwâ`ul-Ghalîl (no. 838).
[8]. Shahîh. HR Muslim (no. 1054) dan lainnya, dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu 'anhu.
[9]. Shahîh. HR Ahmad (I/389, 407, 442), Abu Dâwud (no. 1645), at-Tirmidzi (no. 2326), dan al-Hâkim (I/408). Lafazh ini milik Abu Dâwud