Namun saudaraku, perjalanan menuju ridha sangat berat dan sulit, sehingga Allah tidak mewajibkan kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka. Namun begitu Allah sangat menganjurkan kepda hamba-hamba-Nya , memuji pelakunya, dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka. Dan keridhaan Allah merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya.
Ridha adalah pintu Allah yang paling besar, kehidupan orang—orang yang mencintai dan kenikmatan bagi orang-orang yang tekun beribadah. Faktor yang paling besar mencapai ridha adalah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena jalan inilah yang menghantarkan kepada ridha.
Ridha tidak memberikan jalan bagi orang yang marah, sebagaimana firman Allah yang artinya , “ Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku ,” (Qs. Al-Fajr : 27-30).
Ridha tidak mengingkari untuk merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Namun keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Sehingga banyak orang yang tidak bisa masuk ke dalam ridha, karena hal-hal yang tidak disukai. Ini hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya saling bertantangan ?
Namun sebenarnya, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian. Adanya penderitaan dan kebencian tidak menafikkan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya mujahid yang harus menanggung derita luka dst.
Dalam Manazilus Sa’irin, ridha menjadi benar dengan tiga syarat, yaitu :
1. Menyelaraskan berbagai keadaan pada diri hamba. Dalam kondisi ini segala nikmat dan cobaan harus diterima dengan ridha, dan meyakini bahwa ini adalah pilihan terbaik Allah bagi dirinya. Menurut Manazilus sakirin, yang dimaksud menyelaraskan dengan berbagai keadaan bukan berarti tunduk dan pasrah begitu saja, karena yang demikian ini bertentangan dengan tabiat manusia . Ada 62 sudut pandang pandang dalam pengertian ini yaitu al;
- a. Seorang hamba hendaknya mengetahui bahwa kesempurnaan ubudiyahnya justru terjadi ketika ada ketetapan hukum Allah yang dibencinya (misalnya : ketetapan Allah tentang musibah yang menimpanya dst). Sekiranya yang terjadi pada dirinya adalah hal-hal yang disenanginya , tentu itu justru menjauhkan dari Allah. Ubidiyah tidak akan menjadi sempurna, sekalipun disertai kesabaran, tawakkal, tunduk, ridha dst, kecuali jika ada qadar yang dibencinya. Yang menjadi perhatian bukan pada keridhaan pada qadha’ yang disenanginya, tetapi pada qadha’ yang menyakitkan dan yang dibenci oleh hati.
- b. Seorang hamba hendaknya mengetahui bahwa ridhanya terhadap Allah dalam berbagai keadaan akan membuahkan keridhaan Allah terhadapnya. Jika ia ridha terhadap rizki yang sedikit, maka Allah akan ridha terhadap amalanya yang sedikit.
- c. Amarah merupakan pintu keresahan, kekhawatiran, kesedihan , kehancuran hati, persangkaan buruk terhadap Allah. Ridha membebaskannya dari semua itu dan membukakan pintu surga di hatinya.
- d. Hamba yang dihatinya dipenuhi keridhaan kepada takdir, maka Allah memenuhi dadanya dengan kekayaan , rasa aman, kepuasa, dan membuka hatinya agar mencintai-Nya dan tawakkal kepada-Nya.
- e. Ridha menjauhkan hasrat dan ketamakan akan dunia, yang merupakan sumber dari segala kesalahan dan bencana.
- f. Ridha berarti menerima perintah-perintah Rabb-nya , baik yang berupa perintah agama maupun takdir, dengan lapang, tunduk dan patuh.
- g. Ridha membebaskan hamba dari penentangan terhadap Rabb berkaitan dengan hukum dan semua ketetapan-Nya. Sedangkan amarah merupakan penentangan terhadap Rabb, karena hamba tidak ridha kepada-Nya.
- h. Ridha membuahkan kesenangan hatinya terhadap apapun yang ditakdirkan, ketenangan dan kedamaian jiwa dalam menghadapi apapun urusan dunia, kepuasan dan kepasrahan terhadap Rabb-nya dab tidak membuat dirinya mengeluh dan mengadu kepada selain-Nya.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa, kemiskinan dan kekayaan merupakan dua tunggangan dan aku tidak peduli mana yang kujadikan tunggangan. Jika miskin maka didalamnya ada kesabaran dan jika kaya didalamnya ada pengeluaran.
2. Tidak membuat permusuhan dengan manusia.
Jadi ridha dianggap benar dan sah jika seorang hamba menggugurkan permusuhan dengan makhluk, kaerna permusuhan bisa menafikkan keadaan ridha dan menafikkan pengaitan segala sesuatu ke tangan yang menetapkan qadha’ dan qadar. Orang yang ridha tentu akan memusuhi dan tidak akan mencela kecuali terhadap yang berkaitan dengan hak Allah. Sebagaimana Rasulullah tidak pernah memusuhi dan mencela seseorang kecuali dalam perkara yang berkaitan dengan hak Allah. Rasulullah juga tidak marah terhadap diri sendiri. Tetapi jika ada kehormatan Allah yang dilanggar , maka tidak ada sesuatupun yang dapat menghalangi kemarahan beliau sampai akhirnya beliau membalasnya karena Allah.
3. tidak meminta-minta kepada makhluk.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya ,” Dan, orang yang tidak menyangka mereka orang kaya , karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta orang secara mendesak ,” (Qs. Al-Baqarah : 273). Meminta-minta ini pada dasarnya haram (Madarijus Salikin : 288) , lalu diperbolehkan karena ada kebutuhan yang mendesak dan keadaan yang memaksa. Karena meminta-minta ini merupakan jenis kezaliman terhadap hak rububiyah, kezaliman terhadap orang yang diminta dan sekaligus hak orang yang meminta.
Dikatakan kezaliman terhadap hak rububiyah Allah, karena menyatakan permintaan, kebutuhan dan kehinaan kepada selain Allah. Hal ini disamakan dengan meletakkan permintaan bukan pada tempatnya, meminta kepada yang tidak alayak untuk dimintai, kezaliman terhadap pengesaan Allah.
Dikatakan menzalimi terhadap orang yang dimintai, karena dia meminta kepadanya apa yang sebenarnya bukan merupakan miliknya, membebani orang yang dimintai bahkan dengan mengeluarkan celaan apabila dia tidak memberinya.
Dikatakan kezaliman terhadap yang meminta, karena meminta-minta sama dengan meneteskan air mukanya dan menghinakan dirinya kepada selain Khaliq-nya. Sebagaimana dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Demi diriku yang ada Tangan-Nya, salah seorang diantara kalian mengambil seutas talinya lalu dia memanggul kayu bakar diatas punggunya dan menjualnya kepada manusia, lebih baik daripada dia menemui seseorang lalu meminta-minta kepadanya, diberi atau tidak ,”
Allau a’lam
Sumber : Manazilus salikin, Ibnu Qayyim al-Jauziyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar