Penderitaan adalah salah satu kondisi yg ingin kita hindari. Tidak ada yg ingin menderita, dan kalau hal itu terjadi biasanya karena terpaksa
bukan karena disengaja. Kita pasti berkeinginan hidup enak, nyaman, aman-tenteram, bebas kelaparan, semua kebutuhan tercukupi. Andai kehidupan ini tidak ada penderitaan , tak perlu kerja
keras, tak ada bahaya (bencana). Andai kita hanya menemui
kenikmatan, kebebasan, keindahan, sukses , kemenangan dan hal-hal menyenangkan
lainnya. Apakah ini kebahagiaan sejati? Jikalau Allah mentakdirkan manusia bisa
meraih semua keinginan dan mimpinya. Apakah manusia akan menemukan kebahagiaan sejati? Sebagaimana dalam Kitab-Nya, yg artinya, “ Dan Musa berkata," Wahai Tuhan kami, Engkau telah
memberi kpd fir'aun dan para pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan
dlm kehidupan dunia. Wahai Tuhan kami, (akibatnya) mereka menyesatkan
(manusia) dari jalan-Mu... ," (Qs. Yunus : 88). “Sekali-kali tidak! Sungguh,
manusia itu benar-benar melampui batas, apabila melihat dirinya serba cukup. “ (Qs. Al-'Alaq : 6-7).
Sungguh manusia cenderung cinta kesenangan dan benci kesulitan. Demi kesenangan , ia mau berbuat apa saja. Saudaraku, rasa manis (kesenangan), tidak selalu menguntungkan , dan kepahitan tidak selalu
buruk. Kesenangan tidak selalu membahagiakan dan kesulitan tidak selalu menyedihkan.
Banyak
ha-hal menyenangkan, nikmat justru akan merugikan manusia itu sendiri. Berapa banyak orang menjadi lemah karena banyak
kebutuhannya tercukupi, dan berapa
banyak orang menjadi kuat karena ditempa kesulitan-kesulitan. Contoh , setiap manusia menyukai rasa manis sebagaimana rasa gula , suka makanan
enak-enak , namun apabila kita mengkonsumsi gula secara berlebihan , hal ini justru
akan menjadi sumber kerusakan bagi manusia itu sendiri.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,“ Apakah mereka mengira
bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami
segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak
menyadarinya. Sungguh , orang-orang yang karena takut (azab Tuhannya), mereka
sangat berhati-hati, dan mereka yang beriman dengan tanda-tanda (kekuasaan)
Tuhannya., dan mereka tidak mempersekutukan Tuhannya, dan mereka yang
memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut
(kerena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya,
dan mereka itu bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang
yang lebih dahulu memperolehnya.” (Qs. Al-Mu'minun : 55 -61).
Sebagaimana Allah berfirman,
yang artinya , “ Dan apabila Kami berikan nikmat kepada manusia, dia berpaling
dan menjauhkan diri (dengan sombong) ; tetapi apabila ditimpa malapetaka maka
dia banyak berdoa.” (Qs. Fussilat : 51).
Sudah banyak contoh bahwa
kekayaan yang melimpah, kebun yang luas, anak-anak yang sehat dan segala
kemudahannya . Semua karunia itu justru makin menjauhkan seorang hamba dari
Allah. Orang-orang ini menganggap apa yang dimilikinya itu merupakan kebaikan bagi mereka. Segala kemudahan itu
justru menjadikan mereka lalai dari sikap mohon ampun kepada Allah.
Seringkali justru hamba beriman yang lebih sering ditimpa
musibah beruntun, hidupnya tidak sejahtera, selalu diterpa kesulitan hidup dan
semacamnya. Kesulitan demi kesulitan yang harus dihadapi orang-orang yang
beriman, menunjukkaan bahwa Allah SWT menyayanginya. Kesulitan demi kesulitan
ini mamaksa mereka untuk bersimpuh,
berdoa memohon kepadaNYA agar musibah tersebut menjadi penghapus dosa-dosanya,
serta menjadikan mereka hamba-hamba yang selalu mengingat Allah. Karena
beruntunglah orang-orang yang selalu mengingat Allah. "Qod 'aflahaman
tazakka, wa dzakaros ma Rabbihi fa sholla": "sesungguhnya
beruntunglah orang yg membersihkan diri(dengan beriman) dan dia ingat nama
Tuhannya, lalu dia Shalat atau berdoa." (Qs. Al 'Ala:14-15).
Kesulitan demi kesulitan yang
mendera, menjadikannya ia lebih mudah untuk merendahkan diri dihadapan Allah
untuk memohon ampunan dan berdoa mengadukan kesusahan , kesedihan dan memohon kebaikan
kepada-Nya. Namun apabila ia diberikan kesenangan terus menerus , maka justru
akan menjadikannya lalai dari berdoa, dan memohon ampun. Kesenangan yang terus
menerus , dapat mengakibatkan ia lalai dari rasa bersyukur kepada Allah, sebalinya
akan makin terjerumus dalam sikap
kesombongan yang menghancurkan dirinya.
Sebagaimana firman-Nya, yang
artinya ,” Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia, niscaya dia akan
berpaling dan menjauhkan diri dengan sombong ; dan apabila dia ditimpa
kesusahan, niscaya dia berputus asa. (Qs. Al-Isra’ : 83)
Dan ada sisi lain, yang
jarang diperhatikan , adalah bahwa seseorang yang terus-menerus merasakan
kenikmatan, kepuasan, kenyamanan dst, tanpa diselingi hal-hal yang pahit, maka
akan menjadikan ia terjatuh dalam kejenuhan . Hal ini akhirnya untuk mengatasi
kejenuhan ia akan melakukan hal-hal yang aneh-aneh yang akan merugikan dirinya sendiri.
Abu Abdirahmman Al-Qawiy
dalam “ mengatasi kebosanan” ,menyatakan bahwa Manusia memang mempunyai
perilaku yang unik. Ketika suatu bangsa masih dalam keadaan miskin terbelakang,
mereka bersemangat beersatu menggalakkan pembangunan ekonomi. Setelah
pembangunan berjalan sukses, dan mereka telah menjadi bangsa yang mapan.
Setelah lama hidup dalam kemapanan, justru konsisi ini menyebabkan kebosanan.
Untuk mengatasi kebosanan itu mereka mencari hal-hal yang controversial. Tujuannya
untuk dapat keluar dari irama kehidupan yang membosankan itu. Jangan dikira
bahwa kemapanan merupakan jaminan kegairahan hidup. Kemapanan atau kesempitan,
sebenarnya dua hal berbeda namun mirip. Tinggal bagaimana kita menyikapi semua
itu. Kemapanan yang disyukuri akan membawa nikmat, seperhit halnya kesempitan
yang dihadapi dengan sabar.
Herbert Benson MD,
menyatakan bahw asukses di bidang keuangan, kemajuan karir dst ternyata bukan
akhir segalanya. Jika seseorang telah meraih semua itu, tidak otomatis
kehidupannya tuntas sukses. Bagi sebagian orang , hal itu justru membuatnya
frustasi, karena tidak ada tantangan yang dapat dinikmati lagi.
Sebagaimana Allah berfirman,
yang artinya ,” Dan sekiranya Allah melapangkan rizki kepada hamba-hamba-Nya
niscaya mereka akan berbuat melampui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan
dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan)
hamba-hamba-Nya, Maha Melihat “, (Qs. Asy-syura : 27)
Bisa jadi dengan itu Allah Swt tidak hanya menguji
manusia dengan bala dan musibah, namun terkadang dengan melimpahnya nikmat,
kekuasaan pemerintahan dan keselamatan. Dengan nikmat yang melimpah ini
terkadang manusia menjadi angkuh dan menjadi sebab keterpurukannya. Dan dengan
ujian bala dan musibah , mengingatkan manusia akan keterbatasannya, sehingga
memaksa manusia untuk kembali ke jalan-Nya ,
menjadikan manusia lebih mudah kembali
berdoa dan memohon ampunan-Nya. Ketika masalah bertubi-tubi menghampiri
dan solusi tak kunjung datang, mungkin artinya Allah SWT menyukai agar kita kembali untuk mengadu pada-Nya.
Pengaduan itu berupa doa dan air mata, pertanda tidak ada kuasa
melainkan milik Allah SWT. Sebagaimana yang dicontohkan oleh para Nabi dan para
sahabat. Seperti Nabi Ya’qub berkata, “Hanya kepada Allah aku mengadukan
kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu
ketahui” (QS.12:86).
Imam ‘Ali ra berkata , 'Sesungguhnya Allah menguji para hamba-Nya sehubungan dgn
perbuatan jahat mereka dengan mengurangi buah-buahan, menahan nikmat dan
menutup perbendaharaan yang baik, agar barangsiapa yg ingin bertaubat dapat
bertaubat, orang yang ingin berpaling (dari kejahatan) dapat berpaling, dan
orang yg ingin mengingat (kebaikan yang dilupakan) dapat mengingat, dan orang yg
ingin berpaling (dari kejahatan) dpt berpaling.' (Nahj al-Balâghah).
Jiwa manusia sifatnya
dinamis. Ia tidak akan tahan dengan suasana yg datar , monoton, tidak
bergelombang. Setiap manusia membutuhkan tantangan, membutuhkan sesuatu yang baru
yg menyegarkan kehidupannya. Allah Maha
Mengatur perputaran nasib manusia, kadang Dia melapangkan rizki (mempermudah
kehidupan) , kadang membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki). Sesungguhnya inilah nikmat yang luar biasa
dari-Nya yang hanya bisa dirasakan oleh para hamba yang memahami hakikat
keimanan.
Allahu a’lam
Sumber pustaka : Abu Abdirahmman Al-Qawiy - Mengatasi Kebosanan, republika.com dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar