Allah SWT berfirman : “Katakanlah
(Muhammad) : Bahwasanya aku
hanyalah seorang manusia seperti kamu. Diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju
kepada-Nya dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Dan kecelakaan yang besar bagi
orang-orang yang mempersekutukan-Nya” (QS.Fushshilat:6).
عَنْ عَمْرٍو وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَسُفْيَانَ بْنِ عَبْدِاللهِ الثَّقَفِي
رَضِيَ اللهُ عَنْهَ , قَالَ: قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ , قُلْ لِيْ فِيْ
اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً , لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدًاغَيْرَكَ. قَالَ: قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ , ثُمَّ اسْتَقِمْ . رواه مسلم
Dari
Abu ‘Amr, ada yg mengatakan dari Abu ‘Amrah Sufyân bin ‘Abdillâh ats-Tsaqafi ra, berkata : “Aku berkata, ‘Ya Rasulullah!
Katakanlah kepadaku dalam Islam sebuah perkataan yg tidak aku tanyakan kpd
orang selain engkau.’ Beliau menjawab, ‘Katakanlah, ‘Aku beriman kpd Allah Azza
wa Jalla,’ kemudian istiqamahlah.” (Hr. Muslim 38)
Hadits ini juga diriwayatkan
imam Ahmad (III/413; IV/384-385), at-Tirmidzi (2410), an-Nasâ-i
dalam as-Sunanul Kubra (11425, 11426, 11776), Ibnu Mâjah ( 3972), ad-Dârimi
(II/298), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabîr ( 6396, 6397, 6398), ath-Thayâlisi
(1327), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah ( 21-22), Ibnu Abid Dun-ya dalam
ash-Shamt (7), al-Hâkim (IV/313), Ibnu Hibbân (938, 5668, 5669, 5670,
5672-at-Ta’lîqâtul Hisân), al-Baihaqi dalam Syu’abul Imân ( 4572, 4574, 4575),
dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (16).
Iman
yang sempuma adalah iman yang mencakup 3 (tiga) dimensi: hati, lisan, dan amal
perbuatan. Seorang yang beriman haruslah istiqamah dalam ketiga hal tsb. Dimana ia akan
menjaga kesucian hatinya, kebenaran ucapannya dan kesesuaian perbuatannya
dengan ajaran Islam. Sseorang yang istiqamah akan selalu mengikuti aturan
(rambu-rambu), sehingga dia bisa sampai ke tujuannya dengan selamat. Dapat
dikatakan juga bahwa Islam adalah tauhid dan
taat. Tauhid terkandung dalam kata "Amantu billâh (aku beriman kepada
Allah Azza wa Jalla)" dan taat terkandung dalam kata "Istiqâmah"
karena arti istiqâmah adalah mengerjakan yang diperintahkan dan meninggalkan
yang dilarang, termasuk yang berkait dengan amalan hati dan badan yaitu iman,
Islam, dan ihsan.
Dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam dan al-Wâfi fi Syarhil-Arba’in , dinyatakan
bahwa dalam manusia masih ada sifat ada kelalaian (kekurangan) dalam istiqamah
yang diperintahkan. Namun tetap terbuka pintu istighfar (mohon ampun kepada Allah Azza wa
Jalla) untuk bertaubat dan kembali kepada istiqâmah.
Secara
etimologis , istiqamah berasal dari kata istaqaama yastaqiimu,
yg berarti tegak lurus. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Istiqamah diartikan
sebagai sikap teguh pendirian dan selalu konsekwen . Dalam
terminologi akhlaq, istiqamah adalah sikap teguh dalam mempertahankan keimanan
dan keislaman sekalipun menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan.
Al-Ustadz
Yazid bin Abdul Qadir Jawas menyatakan
bahwa , istiqamah artinya adalah al-i’tidal (lurus). Dikatakan aqamasy
syai-a was taqama artinya lurus dan mapan.
Sedang menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang dilarang.[ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ]
Sedang menurut syari’at, istiqâmah adalah meniti jalan lurus yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kanan atau ke kiri. Istiqâmah mencakup melakukan seluruh ketaatan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi dan meninggalkan seluruh yang dilarang.[ Jami’ul ‘Ulum wal Hikam ]
Dalam Tafsir
Ibni Katsir (VII/176) , disebutkan banyak pendapat diantara Shahabat, Tabi’in, dan yg lainnya dalam
mendefinisikan istiqamah. Ibnu
‘Abbas ra
dan Qatadah
rahimahullah berkata, “Maksudnya, berlaku luruslah dalam melaksanakan hal-hal
yang diwajibkan.” Abu Bakar Radhiyallahu anhu menafsirkan firman "Kemudian mereka) ثُمَّ
اسْتَقَامُوْا
(Allah Azza wa Jalla, meneguhkan pendirian mereka,”
(Fushshilat/41:30) dengan mengatakan, ”Mereka adalah orang-orang yang tidak
menyekutukan Allah Azza wa Jalladengan sesuatu pun.”
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah
mengatakan, “Maksudnya, mereka mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan beriman
kepada-Nya kemudian berlaku lurus, tidak menyimpang dari tauhid, dan selalu
iltizâm (konsekuen dan konsisten) dalam melakukan ketaatan kepada-Nya sampai
mereka meninggal.”[ Syarh Shahîh Muslim (II/8-9).
Dalam Syarhul-Arba’în libni Daqiqil ‘Ied , Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqamah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barangsiapa yang tidak istiqamah dalam kepribadiannya maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan, ”Istiqamah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan jujur.”
Dalam Syarhul-Arba’în libni Daqiqil ‘Ied , Imam al-Qusyairi rahimahullah berkata, “Istiqamah adalah sebuah derajat, dengannya berbagai urusan menjadi sempurna dan berbagai kebaikan dan keteraturan bisa diraih. Barangsiapa yang tidak istiqamah dalam kepribadiannya maka dia akan sia-sia dan gagal. Dikatakan, ”Istiqamah tidak akan bisa dilakukan kecuali oleh orang-orang yang besar, karena ia keluar dari hal-hal yang dianggap lumrah, meninggalkan adat kebiasaan, dan berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla dengan jujur.”
Imam
an-Nawawi rahimahullah dalam Bahjatun Nazhirin,
Syarh Riyadhis Shalihin mengatakan,
”Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan " لُزُوْمُ طَاعَةِ اللهِِ " artinya tetap konsekuen dan konsisten dalam ketaatan
kepada Allah Azza wa Jalla.”[10]
Dalam hadits riwayat al Darami, dari Ibnu Mas’ud ra
diterangkan, bahwa Nabi S AW pada suatu hari membuat garis
lurus di hadapan beberapa sahabat. Kemudian beliau membuat pula garis melintang
di kanan kiri garis lurus tersebut, Sambil menunjuk garis lurus itu beliau
berkata, yang artinya : “Inilah jalan-jalan yang bersimpang,
pada setiap jalan itu ada syetan yang selalu menggoda“.
Setelah
itu Nabi SAW membacakan Al Qur’an, artinya: “Dan
bahwa (yg Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepada kamu, agar kamu bertaqwa“. (QS. Al
An’am:153)
Ibnu
Rajab al-Hanbali dalam,
. Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, dikatakan bahwa Istiqâmah adalah meniti
ash-shirâthal mustaqîm, yaitu agama yang lurus yang tidak melenceng ke kiri dan
ke kanan. Istiqâmah mencakup pengamalan seluruh ketaatan, yang lahir maupun
batin serta meninggalkan larangan yang lahir maupun batin. Jadi sabda Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menjadi wasiat yang menghimpun seluruh ajaran
agama.
Allah
Azza wa Jalla memerintahkan Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam dan para
pengikutnya agar istiqâmah di atas syari’at yang bijaksana, karena hal ini
adalah agama yang kita diperintahkan untuk beribadah dengannya. Sedangkan
selain Islam yaitu pendapat para tokoh yang kosong dari dalil tidak bisa
disebut agama dan tidak pula sebagai hujjah. (Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah
libni Daqîqil ’Ied)
Ujian yang tidak ringan
Allah
Azza wa Jalla berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا ۚ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka
tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah
diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertaubat bersamamu, dan janganlah
kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs Hud:112)
Dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah dikatakan Ibnu ‘Abba ra berkata, “Tidak ada ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur`an yang lebih berat dan sulit bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada ayat ini.”
Dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah dikatakan Ibnu ‘Abba ra berkata, “Tidak ada ayat yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam al-Qur`an yang lebih berat dan sulit bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada ayat ini.”
al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam rahimahullah Syarhul-Arba’în an-Nawawiyyah lil Allamah
as-Sindi. berkata, “Allah Azza wa Jalla memerintahkan Rasul dan hamba-hamba-Nya
yang beriman agar teguh dan selalu istiqâmah karena itu merupakan sebab untuk
mendapatkan pertolongan yang besar dalam mengalahkan musuh dan dapat
menghindari bentrokan serta dapat terhindar dari perbuatan melampaui batas.
Karena melampaui batas -meskipun terhadap orang musyrik- merupakan kehancuran.
Dan Allah Azza wa Jalla memberi tahu bahwa Dia Maha Melihat perbuatan hamba-hamba-Nya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lalai dan tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi dari-Nya.”
Saudaraku, tantangan dan ujian untuk istiqamah sungguh tidak ringan . Ujian keimanan itu tidak selamanya dalam sifat atau bentuk yang tidak menyenangkan. Keberhasilan , kekayaan , pangkat juga bisa sebagai ujian. Pujian juga bisa sebagai ujian. Justru dengan segala keberhasilan itu bisa berakhir dengan kufur nikmat .
Saudaraku, tantangan dan ujian untuk istiqamah sungguh tidak ringan . Ujian keimanan itu tidak selamanya dalam sifat atau bentuk yang tidak menyenangkan. Keberhasilan , kekayaan , pangkat juga bisa sebagai ujian. Pujian juga bisa sebagai ujian. Justru dengan segala keberhasilan itu bisa berakhir dengan kufur nikmat .
Sikap istiqamah
sebagaimana dicontohkan Nabi SAW yang sangat jelas dan tegas. Ketika
pemuka kafir Quraisy Abu Jahal menawarkan jabatan, harta dan wanita melalui Abu
Thalib (paman Nabi S AW), dengan tegas Nabi SAW menjawab:
“Walaupun matahari
diletakkan di tangan kanan saya, dan bulan di tangan kiri saya, agar saya
menghentikan kegiatan dakwah saya, saya tidak akan menghentikannya“.
kemuliaan
Istiqamah
Dalam
ajaran Islam, orang-orang yang istiqamah dengan ucapannya: Tuhanku Allah SWT,
kepada mereka akan diturunkan Allah SWT malaikat-malaikat-Nya untuk menyertai
dan mendampinginya, kapanpun dan kemanapun mereka, para malaikat tersebut akan
mendampinginya dan menjaga mereka. Pada tempat dan saat tertentu (genting) para
malaikat tersebut berbisik, “Janganlah
kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih” (QS.Fush-shilat:
30). Lebih dari itu, Allah SWT Mengatakan: “Kamilah
pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat; di dalamnya kamu
memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang
apa yang kami minta“. (QS.Fush-shilat: 31).
Dasar
dari istiqamah
adalah hati di atas tauhid seperti
penafsiran Abu akar ash-shiddîq dan lain-lain tentang firman Allah Azza wa
Jalla, إِنَّ الَّذِيْنَ
قَالُوْا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا “Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Rabb kami adalah Allah
Azza wa Jalla,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka...(al-Ahqaf/46:13)
bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak berbuat syirik kepada Allah Azza wa
Jalla dan tidak menoleh kepada tuhan selain Allah Azza wa Jalla.
Jadi,
jika hati telah istiqâmah di atas ma’rifatullâh, takut kepada-Nya,
mengagungkan-Nya, segan kepada-Nya, mencintai-Nya, menginginkan-Nya, berharap
kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, bertawakkal kepada-Nya dan berpaling dari selain
Dia, maka sungguh, seluruh anggota badan akan istiqâmah dengan taat kepada-Nya.
Karena hati adalah raja bagi organ tubuh (lainnya) yang merupakan pasukan hati.
Jika raja sudah istiqâmah, maka pasukan dan rakyatnya akan istiqâmah pula .
Adalah
jelas bagi kita dengan kenyataan yang terjadi dan berlangsung bersama kehidupan
manusia di berbagai tempat dan masa di dunia ini, apalagi orang-orang yang
telah bersama hidayah Allah SWT (muslim/mukmin), mereka merasakan hidup dan
kehidupan bahagia Mereka hidup dengan jaminan keselamatan dan perlindungan dari
Allah SWT. Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bersama mereka curahan rahmat
AUah SWT Mereka selalu kerjakan dalam melaksanakan tugasnya sebagai wakil Allah
SWT di muka bumi ini (khalifatullah fil ardh), tekun dan ikhlas dalam
ibadahnya, senantiasaterlibat aktif berjuang (jihad) di jalan Allah dan rasul-Nya.
Merekalah sesungguhnya orang-orang yang bahagia, tinggi kedudukannya di sisi
Allah SWT.
Hati
adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan
kepada Allah, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya,
bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam
perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan.
Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, “Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan.”
Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, “Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan.”
Anggota
tubuh yang terpenting setelah hati adalah lisan. Karena lisan adalah media yang
mengungkapkan apa yang tersimpan dalam lubuk hati. Terkadang keluar ucapan yang
dianggap sepele namun dapat membuat pengucapnya merugi di dunia dan akhirat.
Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu bertanya, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung lidah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa lisan sangat berbahaya, sebab seseorang dapat istiqâmah apabila lisannya istiqâmah dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa dan murka Allah k
Dalam hadits ini, ketika Sufyân bin ’Abdillâh Radhiyallahu anhu bertanya, ”Apa yang engkau khawatirkan padaku?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Ini,” sambil memegang ujung lidah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini menunjukkan bahwa lisan sangat berbahaya, sebab seseorang dapat istiqâmah apabila lisannya istiqâmah dalam ketaatan atau tidak mengucapkan perkataan yang mendatangkan dosa dan murka Allah k
إِنَّ الْعَبْدَ لَـيَـتَـكَـلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَـتَـبَـيَّـنُ مَا فِـيْهَا يَـهْوِيْ بِـهَا فِـى النَّـارِ أَبْـعَدَ مَا بَيْـنَ الْـمَشْرِقِ وَالْـمَغْرِبِ
“Sesungguhnya
seorang hamba mengucapkan kata-kata yang tidak jelas, maka akan
menjerumuskannya ke dalam Neraka lebih jauh daripada apa yang ada di antara
timur dan barat.”[ Shahîh: HR. al-Bukhari no. 6477 dan Muslim no. 2988-50,
lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Hurairah ]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَازَعِيْمٌ فِيْ رَبْضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَوَإِنْ كَانَ مُحِقًّا , وَأَناَزَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ وَسَطِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْكَذِبَ وَ إِنْ كَانَ مَا زِحًا , وَأَنَا زَعِيْمٌ بِبَيْتٍ فِيْ أَعْلَى الْجَنَّةِ لِمَنْ حَسَّنَ خُلُقَهُ
“Aku
menjamin dengan sebuah istana yang terdapat di taman-taman Surga bagi orang
yang meninggalkan perdebatan meskipun ia yang benar; aku menjamin dengan sebuah
istana yang terdapat di tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta
meskipun ia hanya bercanda; dan aku menjamin dengan sebuah istana di Surga yang
tertinggi bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” ( Hasan: HR. Abu Dawud (
4800) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (X/249) dari Shahabat Abu Umamah . Lihat Silsilatul Ahâdîts ash-Shahîhah (
273).
Semoga
kita termasuk hamba-hamba yang mendapat hidayah dan anugerah hati dan perbuatan yang istiqamah dalam jalan-Nya .
Allahu a’lam
Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, h As-Sunnah Edisi 01/Tahun XIII/Rabiul Tsani 1430 , Lembar Risalah
An-Natijah No. 31/Thn. XIII , al-manhaj.or.id, Al-Islam – Pusat Informasi dan Komunikasi Islam
Indonesia , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar