« لأَعْلَمَنَّ
أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِى يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ
جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا
». قِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لاَ نَكُونَ
مِنْهُمْ وَنَحْنُ لاَ نَعْلَمُ. قَالَ : « أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ
وَيَأْخُذُونَ مِنَ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا
خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا ».
Rasulullah bersabda : "Niscaya aku akan melihat beberapa
kaum dari umatku datang pd hari kiamat dg kebaikan sebesar gunung-gunung
Tihamah (nama lain Makkah, al-Qamus
al-Muhit) yg putih, kemudian Allah Azza wa Jalla menjadikannya debu yg
beterbangan". Sahabat Tsauban (riwayat Ibnu Majah) : "Wahai Rasulullah,
jelaskanlah sifat mereka kpd kami, agar kami tidak menjadi bagian dari mereka
sementara kami tidak tahu,"
Rasulullah
menjawab: "Ketahuilah, mereka adl saudara kalian, satu bangsa, dan
bangun malam seperti kalian. Tapi ketika mereka menyendiri, mereka melanggar larangan-larangan
Allah, " (HR Ibnu Majah 4245, shahihn Syaikh al-Albâni, as-Silsilah ash-Shahîhah, 5054).
Kita mungkin sanggup menghindari dosa (maksiat) saat dilihat orang lain. Tetapi jika menyendiri dan terlepas dari pandangan manusia, sanggupkah kita mengekang nafsu dan menghindari dosa. Apakah kita tidak merasa malu melakukan kemaksiatan di hadapan Allah ? Padahal Allah telah mengingatkan kita melalui firman-Nya;
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِنَ ٱلْقُرُونِ مِنۢ بَعْدِ نُوحٍۢ ۗ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِۦ خَبِيرًۢا بَصِيرًۭا
"Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan. Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya ". (Qs. al-Isra` : 17).
Sebagaimana
Allah berfirman ;
وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
"…Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kalian kerjakan". (Qs. al-Baqarah : 74).
Saudaraku, kadar rasa malu sangat berkaitan dengan kadar maksiat. Seorang hamba yang tingkatrasa malunya sedikit , maka ia akan lebih ringan melakukan tindakan. Begitu juga sebaliknya perbuatan maksiat itu sendiri juga akan menghilangkan rasa malu. Sedangkan rasa malu adalah energi kehidupan kalbu. Ibnul Qoyyim dalam Al Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an al-Jawab al-syafi berkata bahwa salah satu akibat kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati, malu adalah pandasi setiap kebaikan, maka menghilangnya rasa malu dari seseorang berarti sirnanya seluruh kebaikan. Jadi siapa yang tidak malu maka ia akan berbuat sesuka hatinya.
Mengapa kita harus
mempunyai rasa malu kepada Allah ?
Ingatlah
firman-Nya , yang artinya , "Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah
mengetahui segala yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka
tampakkan?" (Qs.al-Baqarah : 77).
Ingatlah
firman-Nya, yang artinya , "Tidakkah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui
rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang
ghaib?" (Qs. at-Taubah : 78)
Ingatlah
firman-Nya, yang artinya , "Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah Maha Melihat (segala perbuatannya) ?” (Qs. Al-Alaq : 14).
Rasa malu adalah salah satu
anugerah-Nya kepada manusia , dan merupakan bagian dari kesadaran diri (self awareness).
Hal ini berarti manusia memang
telah dibekali perangkat kekuatan untuk
mengendalikan diri.
Seorang pakar psikologi barat, Albert Ellis dlm REB , Rational
Emotive Behaviour menyebutkan empat tahapan pengendalian diri yg perlu
dilakukan ketika seseorang mengalami konflik untuk menentukan tindakan yg akan
diambil , yaitu:
1.
Memikirkan akibat
yg akan dihadapi ketika memilih (melakukan)
suatu tindakan.
2.
Melakukan
percakapan batin (self talk).
3.
Berdebat dengan
diri sendiri.
4. Memperhitungkan efek dari tiga langkah sebelumnya.
Siapa
yang merasa malu kepada Allah ketika
hendak melakukan tindakan perbuatan dosa atau maksiat, maka Allah pun akan malu
untuk menyiksanya di hari pertemuan manusia dengan Allah. Siapa yang tidak merasa
malu untuk melakukan perbuatan dosa atau maksiat, maka Allah pun tidak akan
malu untuk menghukumnya. Sungguh celakalah kita , jika kita menyangka bahwa Allah Azza wa Jalla
tidak melihat segala kegiatan kita , maka alangkah besar kekufuran kita . Begitupun
juga bila kita masih meyakini bahwa sesungguhnya
Allah mengetahuinya segala perbuatan
kita , maka alangkah sedikit rasa malu kita kepada-Nya.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya
: "Mereka bersembunyi dari manusia,
tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah mengetahui mereka,
ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak
ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka
kerjakan". [Qs. an-Nisa` : 108).
Sebagaimana Allah berfirman, yg artinya "Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, tetapi kalian mengira bhw Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yg kalian kerjakan. Dan yg demikian itu adalah prasangka kalian yg telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi". (Qs. Fushshilat : 22-23).
Sebagaimana Allah berfirman, yg artinya "Kalian sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulit kalian terhadap kalian, tetapi kalian mengira bhw Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yg kalian kerjakan. Dan yg demikian itu adalah prasangka kalian yg telah kalian sangka terhadap Rabb kalian, prasangka itu telah membinasakan kalian, maka jadilah kalian termasuk orang-orang yang merugi". (Qs. Fushshilat : 22-23).
Saudaraku
, setiap perbuatan kita tak pernah lepas dari pandangan-Nya . Tapi pernahkah kita malu dengan
banyaknya dosa yg sering kita
perbuat. Malulah dari sekarang. Malulah dengan sebenar-benar malu. Terlalu
sering kita merasa aman atau bahkan mengira kita bisa terlepas dari
pengawasan-Nya ? Terlalu mudah kita ingkari nikmat Nya yang agung, hingga kita
benar-benar tidak tahu malu.
Diriwayatkan bahwah Alqomah bin Ulatsah
pernah berkata kepada Rasulullah saw, ”Ya Rasulullah, berilah nasehat
kepadaku.”
Maka Rasulullah saw bersabda, ”Hendaknya
kamu merasa malu kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan orang-orang
terhormat di kaummu merasa malu kepadamu.”
Malu
adalah benteng kehormatan kita dlm menghindari menghindari maksiat. Tapi malu yang seperti
apa?. Dari Abdullah Ibn Mas’ud r.a,
bahwa Nabi bersabda , yg artinya , “Orang yg malu kepada Allah dengan
sepenuh malu adalah orang yang menjaga kepalanya dari isinya, menjaga perutnya
dari segala rezeki tidak halal, selalu mengingat kematian, meninggalkan
kemewahan dunia dan menjadikan perbuatan akhirat sebagai hal yg lebih utama.
Sesiapa yang melakukan semua itu, maka ia telah malu kpd Allah dgn sepenuh
malu”.
Syu'abul-Iman
lil-Baihaqi, berkata bahwa Ibnul-A'rabi
berkata: "Orang yg paling merugi, ialah yg menunjukkan amal-amal shalihnya
kepada manusia dan menunjukkan keburukannya kepada Allah yg lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya"
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya". (Qs. Qaf :16).
Sungguh takwa kepada Allah dalam keadaan tidak nampak (fil-ghaib) dan takut kepada-Nya dalam keadaan tersembunyi merupakan tanda kesempurnaan iman. Hal ini menjadi sebab diraihnya ampunan.
Sebagaimana Allah berfirman, yg artinya ,” "Sesungguhnya orang-orang yg takut kpd Tuhan mereka dlm keadaan tersembunyi akan memperoleh ampunan dan pahala yg besar". (Qs. al-Mulk : 12).
Sebagaimana Allah berfirman, yg artinya ,” "Dan didekatkanlah surga itu kpd orang-orang yg bertakwa pd tempat yg tiada jauh (dari mereka). Inilah yg dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yg selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yg takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah dalam keadaan tersembunyi dan dia datang dgn hati yg bertobat. Masukilah surga itu dgn aman, itulah hari kekekalan. Mereka di dalamnya memperoleh apa yg mereka kehendaki; dan Kami memiliki tambahannya".(Qs. Qaf : 31-35).
Dan di antara doa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
أَسْأَلُكَ خَشْيَتَكَ فِى الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
"Aku memohon rasa takut kepada-Mu dalam keadaan tersembunyi maupun nampak".[ HR Ahmad, 18351 dan dishahîhkan Syaikh al-Albâni]
Maknanya, hendaklah seorang hamba takut kepada Allah dalam keadaan tersembunyi maupun nampak, serta lahir dan batin, karena kebanyakan orang takut kepada Allah dalam keadaan terlihat saja. Namun yang penting adalah takut kepada Allah saat tersembunyi dari pandangan manusia, dan Allah telah memuji orang yang takut kepada-Nya dalam kondisi demikian.
Dalam atsar Illahi Allah berfirman, yang
artinya ,” Wahai anak Adam, (apakah) kamu tidak merasa malu kepada-Ku. Aku
sudah membuat manusia lupa aibmu, Aku membuat bumi lupa akan dosa-dosamu dan
Aku menghapus dari induk kitab
kesalahan-kesalahanmu. Jika tidak, tentu Aku akan menghisabmu pada hari kiamat”.
Dalam hadits qudsi riwayat Mu'adz bin
Jabal, Rasulullah bersabda, yg artinya ,” bahwa
Allah berfirman:
·
"Wahai anak Adam, malulah engkau kepada-Ku ketika
engkau akan melakukan maksiat, niscaya Aku akan malu kepadamu bahwa Aku akan
menyiksamu pd hari "menghadap yg agung" (kiamat).
·
Wahai anak Adam, bertaubatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan
memuliakanmu seperti kemuliaan para nabi.
·
Wahai anak Adam, janganlah kau tutupi hatimu dari Aku;
karena sesungguhnya jika kau tutupi hatimu dari-Ku, niscaya Aku akan menghinakanmu
dan Aku tidak menolongmu.
·
Wahai anak Adam, seandainya kamu menjumpai Aku pada hari
kiamat dengan membawa amal baik seperti amal-amal baik penduduk bumi, niscaya
Aku tidak dapat menerima amal-amal tersebut dari dirimu, sehingga kamu
membenarkan janji dan ancaman-Ku.
·
Wahai anak Adam, sesungguhnya Aku adalah Dzat Yang Maha
Memberi rizki, sedangkan kamu adalah yang diberi rizki; dan kamu tahu bahwa
sesungguhnya Aku memenuhi rizkimu. Oleh karena itu janganlah kau tinggalkan
taat kepada-Ku lantaran mencari rizki. Jika kau tinggalkan taat kepada-Ku
lantaran sibuk mencari rizki, niscaya siksa-Ku akan menimpamu.”
Dalam atsar Illahi, Allah berfirman, yg artinya ,”Hamba-hamba-Ku
benar-benar tidak adil terhadap-Ku, ia berdoa kepada-Ku dan Aku malu untuk
tidak mengabulkannya, namun ia durhaka kepada-Ku dan ia tidak malu kepada-Ku”.
Dalam Jami'ul-'Ulum wal-Hikam, disebutkan Bakr al-Muzani berdoa untuk saudara-saudaranya: "Semoga Allah menjadikan kami dan kalian zuhud terhadap hal yg haram, sebagaiman zuhudnya orang yg bisa melakukan dosa dalam kesendirian, namun ia mengetahui bahwa Allah melihatnya, maka ia tinggalkan dosa itu" .
Sebagian lagi mengatakan: "Orang yang takut bukanlah orang yg menangis dan 'memeras' kedua matanya, tetapi ia adalah orang yg meninggalkan hal haram yg ia sukai saat ia mampu melakukannya" (Mukhtashar Minhajil-Qashidin, 4/63).
Abu ad-Darda' menasihati:
"Hendaklah setiap orang takut dilaknat oleh hati kaum mukminin, sementara
dia tidak merasa. Ia menyendiri dengan maksiat, maka Allah menimpakan kebencian
kepadanya di hati orang-orang yang beriman"
Sulaiman at-Taimi berkata: "Sungguh seseorang melakukan dosa dalam ketersembunyian-nya, maka iapun terjatuh ke dalam lubang kehinaan".
Seorang shalih mengatakan: "Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yg hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu ia mendatangi saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu pada dirinya. Ini termasuk tanda yg paling jelas akan keberadaan Rabb yg haq, yg membalas amalan (yg kecil sekalipun) di dunia sebelum akhirat.
Sulaiman at-Taimi berkata: "Sungguh seseorang melakukan dosa dalam ketersembunyian-nya, maka iapun terjatuh ke dalam lubang kehinaan".
Seorang shalih mengatakan: "Sungguh, seorang hamba berbuat dosa yg hanya diketahui dirinya dan Allah saja. Lalu ia mendatangi saudara-saudaranya, dan mereka melihat bekas dosa itu pada dirinya. Ini termasuk tanda yg paling jelas akan keberadaan Rabb yg haq, yg membalas amalan (yg kecil sekalipun) di dunia sebelum akhirat.
Tidak ada amalan yg hilang di sisi-Nya,
dan tiada berguna tirai dan penutup dari kuasa-Nya. Orang berbahagia adalah
orang yg memperbaiki hubungannya dengan Allah. Karena jika demikian, Allah akan
memperbaiki hubungannya dgn orang lain. Dan barang siapa yg mengejar pujian
manusia dengan mengorbankan murka Allah, maka orang yang awalnya memuji akan
berbalik mencelanya".
Salman al Farisi mengatakan,
Salman al Farisi mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُهْلِكَ عَبْدًا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ فَإِذَا نَزَعَ مِنْهُ الْحَيَاءَ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا مَقِيتًا مُمَقَّتًا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الْأَمَانَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا خَائِنًا مُخَوَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ فَإِذَا نُزِعَتْ مِنْهُ الرَّحْمَةُ لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا فَإِذَا لَمْ تَلْقَهُ إِلَّا رَجِيمًا مُلَعَّنًا نُزِعَتْ مِنْهُ رِبْقَةُ الْإِسْلَامِ
“Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang mk akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya mk tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yg sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tsb. Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang berkhianat dan dikhianati. Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yg terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”
Saudaraku, sungguh seseorang
yang tidak lagi memiliki rasa malu , maka ia tidak memiliki faktor pencegah
untuk melakukan keburukan. Ia akan mudah
untuk melakukan yang haram dan sudah tidak takut dengan dosa.
Rasulullah pernah bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yg lainnya.” (Shahih: HR.al-Hakim (I/22), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush Shaghir (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhib wat Tarhib (no. 3827), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/328, no. 5741), Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 3200))
Saudaraku, ketika seorang hamba
menyakini bahwa Allah melihat dirinya dalam situasi apapun, maka hal ini adalah
modal untuk menumbuhkan rasa malu terhadap Allah, lalu mendorongnya untuk
semakin taat.
Allahu a’lam
sumber : Dr. 'Abdul-Qayyum as-Suhaibani, terjemahan Abu Bakr Anas dari al-Muraqabah adz-Dzatiyyah. Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII , Al Jawab al-Kafi liman Sa’ala ‘an al-Jawab al-syafi ; Ibnu Qoyyim, Madarijus Salikin ; Ibnu Qayyim , REB , Rational Emotive Behaviour : Albert Ellis, dll
Pustaka:
- Al-Maktabah asy-Syamilah.
- Al-Qamus al-Muhith, Muassasah ar-Risalah, 1424 H.
- Al-Qur`an dan Terjemahnya, Mujamma' Malik Fahd.
- http://quran.al-islam.com
- Jami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, Darul Ma'rifah, 1408 H.
- Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah Digital.
- Syu'abul Iman lil Baihaqi, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 H.
- Tafsir Ibnu Katsir, Muassasah ar-Rayyan, 1418 H.
- Taysirul Karimir Rahmân, Abdurrahmân as-Sa'di, Muassasah ar-Risalah,
- Al-Maktabah asy-Syamilah.
- Al-Qamus al-Muhith, Muassasah ar-Risalah, 1424 H.
- Al-Qur`an dan Terjemahnya, Mujamma' Malik Fahd.
- http://quran.al-islam.com
- Jami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab al-Hanbali, Darul Ma'rifah, 1408 H.
- Mushaf al-Madinah an-Nabawiyyah Digital.
- Syu'abul Iman lil Baihaqi, Darul Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 H.
- Tafsir Ibnu Katsir, Muassasah ar-Rayyan, 1418 H.
- Taysirul Karimir Rahmân, Abdurrahmân as-Sa'di, Muassasah ar-Risalah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar