istilah
uang sogok (Risywah) dan hadiah seakan menjadi
hal umum di masyarakat. Banyak istilah yg menyamarkannya ; ucapan terima kasih, parsel, money politik, uang pelicin, pungli dst.
Ada kalangan yg mengaburkan perbedaan risywah dan hadiah. Sebagian beranggapan risywah bukan kejahatan, tapi hanya
kesalahan kecil. Sebagian lain menganggap risywah itu hadiah atau tanda terima
kasih. Ada yang beranggapan sebagai uang jasa atas bantuan yg telah diberikan
seseorang, sehingga mereka tidak merasakan hal itu sebagai kesalahan
( kejahatan).
Lalu apakah ada
perbedaan dengan hadiah? Dari Abdullah bin Umar berkata, aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Allah melaknat orang yang menyuap, dan yang
menerima suap” (HR: Ibnu Hibban)
Ada ulama berpendapat kata (risywah) secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau
komisi. Sedangkan penyuapan risywah
secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya
untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas
hak milik pihak lain.
Ibn al-Atsir
mengatakan rasywah adalah sesuatu yang menyampaikan pada keperluan dengan jalan
menyogok (الوُصْلَةُ
إِلـى الـحاجة بالـمُصانعة). Ar-rasyi adalah
orang yang memberikan risywah secara batil, al-murtasyi adalah orang yang
mengambil risywah dan ar-ra`isy adalah orang yang bekerja sebagai perantara
risywah yang minta tambah atau minta kurang. Risywah
(رشوةِ)
berasal dari kata rasya (رشا)
yang berarti al-ja’lu (menyuap) (Ibn Manzhur dalam Lisanul
Arab, 14:322)
Muhammad Amin, dalam Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut: Darul
Fikri, dari kitab al-Misbah risywah didefinisikan sebagai
berikut:
ما يعطيه
الشخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد
Artinya:
Sesuatu yang
diberikan seseorang kepada hakim atau kepada yang lainnya agar orang tersebut
memutuskan perkara berpihak kepadanya atau membawa kepada yang diinginkannya.
Definisi lain tentang risywah sebagai sesuatu yang diberikan
seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang
tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya.
Rumusan tersebut dikenal dengan urusan ‘isti’jal fi al-qadhiyah’ yakni usaha untuk menyegerakan pengurusan
masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa
melalui prosedur yang berlaku karena ingin cepat proses
pengurusannya.
Risywah dilarang karena dapat mengakibatkan hancurnya
tata nilai dan system hukum. Sebagaimana pendapat Umar Ibn
al-Khatab yang melarang para pejabat menerima hadiah,
karena pada hakekatnya hadiah itu risywah.
Begitu pula pendapatnya tentang harta risywah
tidak boleh dikembalikan kepada pelakunya, terlebih lagi
bagi penerimanya, tetapi harus diinfaqkan untuk sabilillah.
Dari pengertian tersebut diatas ,
bahwa risywah
sepadan dengan kata sogok dalam
bahasa Indonesia. Sungguhpun demikian risywah
tidak sepenuhnya indentik dengan korupsi karena
korupsi mengandung cakupan lebih luas, korupsi yang
dikenal pada saat ini mencakup beragam bentuk penyalahgunaan
wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak
ada unsur suapnya. Dengan kata lain risywah tidak
persis sama dengan korupsi, namun salah satu bentuk
ekspresi korupsi dan dapat mengakibatkan
hancurnya system nilai dan system hukum yang
berlaku di masyarakat. Seperti menyegerakan masalah hukum, termasuk
pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang
berlaku .
Selanjutnya
kata hadiah (هدِيَّة) berarti إهداء (pemberian), اللُّهْنَة (oleh-oleh), التَّقدِمَة (hadiah). Sebelum menjelasan
definisi hadiah, perlu dijelaskan beberapa istilah yang terkadang masih belum
dipahami oleh sebagian orang, sehingga sulit dibedakan. Istilah tersebut
adalah: hibah, hadiah dan sadaqah.
Dalam kitab
Raudhatuth Thalibin (Maktabah al-Islamiyah, 1405 H,
5:364 ) dijelaskan bahwa Imam asy-Syafi’i membagi kebajikan
(tabarru’) seseorang dengan hartanya kepada dua bentuk. Pertama kebajikan yang
berkaitan dengan kematian, yaitu wasiat. Kedua, kebajikan ketika masih hidup
yang dibedakannya antara kebajikan murni (mahdh) dengan waqaf. Kebajikan murni
ada tiga macam, yaitu hibah, hadiah dan shadaqah tathawu’.
Selanjutnya
dijelaskan, jika kebajikan harta bertujuan untuk menghormati dan memuliakan
seseorang dan harta itu harta bergerak disebut dengan hadiah. Dan kalau yang
diberikan itu harta tidak bergerak (tetap) disebut hibah. Akan tetapi kalau
kebajikan harta itu bertujuan untuk pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah dan
mengharapkan pahala akhirat disebut dengan shadaqah. Secara umum hadiah dan
shadaqah dapat kategorikan sebagai hibah, namun hibah berbeda dengan hadiah dan
shadaqah.
Dari penjelasan
di atas dan beberapa litaratur lain dapat didefinisikan bahwa hadiah adalah
pemberian harta bergerak kepada orang lain dengan tujuan untuk menghormati
(ikram), memuliakan (ta’zhim), mengasihi (tawaddud) dan mencintainya
(tahabbub). Dalam hal ini bisa saja pemberian itu ditujukan untuk hal-hal yang
dilarang syara’ (haram), inilah yang kemudian disebut risywah.
Dalam
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta , diceritakan tentang
suatu permasalahan yang berkaitan dengan risywah , sbb ;
Dalam
hal meminta uang, sedang anda adalah sebagai pegawai negeri maupun swasta
setelah selesai memenuhi kebutuhan para pemilik barang merupakan suatu yang
tidak diperbolehkan, karena itu termasuk memakan harta dengan cara yang tidak
benar.
Di
dalam hadits shahih ditegaskan bahwasanya ketika Ibnul Lutbiyyah mendatangi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau telah mengutusnya sebagai
amil zakat.
Lalu
ia berkata : “Ini untuk kalian, dan ini bagian saya”.
Maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, memanjatkan pujian dan sanjungan kepada
Allah, kemudian bersabda, yang artinya “ Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah
mempekerjakan seseorang diantara kalian untuk mengerjakan suatu tugas yang
telah dikuasakan Allah padaku. Kemudian orang itu datang dan berkata, ‘Ini
untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku’.
Mengapa
dia tidak duduk di rumah ayah dan ibunya saja sehingga hadiahnya itu datang
kepadanya, jika dia memang benar ? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara
kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah
dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak.
Dimana
aku tidak akan pernah melihat seorangpun dari kalian menemui Allah dengan
membawa unta yang memiliki leguhan, atau sapi yang meleguh, atau kambing yang
mengembik. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat warna
putih kedua ketiak beliau. Beliau berkata, “Ya Allah, bukankah aku sudah
menyampaikan ? ” [Muttafaq Alaih]
Sedangkan menerima uang
Sedangkan menerima uang
1.
Dengan meminta
secara langsung,
2.
dengan memberi
isyarat
3.
atau semisalnya,
maka perbuatan itu termasuk meminta sogokan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang menyogok dan disogok serta perantara keduanya.
Adapun menerima uang sebagai ganti keterlambatan pulang (lembur) bersama para pemilik barang untuk menyelesaikan urusan mereka, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidak terikat pada diri anda dan tidak juga pada pemilik barang, tetapi tergantung pada penanggung jawabnya, yaitu resmi dan pihak yang memiliki hubungan yang telah mengangkat anda sebagai pegawai disana dengan gaji tertentu.
Oleh
karena itu, sebagai ganti keterlambatan anda pulang bersama pemilik barang
tidak boleh menerima uang imbalan dari pemilik barang itu, tetapi anda boleh
meminta kepada penanggung jawab sebagai upah pekerjaan tambahan untuk
menyelesaikan urusan pemilik barang.
Dengan penjelasan tersebut tampak jelas bawha tiga sumber di atas yang darinya kalian bisa mengambil uang, merupakan sumber yang terlarang, di mana uang yang bersumber dari ketiga jalan tersebut haram. Oleh karena itu, wajib hukumnya menghindarkan diri dari uang tersebut, yaitu dengan mengembalikannya atau dengan menyedekahkannya kepada fakir miskin atau menyerahkan kepada lembaga-lembaga sosial.
Dengan penjelasan tersebut tampak jelas bawha tiga sumber di atas yang darinya kalian bisa mengambil uang, merupakan sumber yang terlarang, di mana uang yang bersumber dari ketiga jalan tersebut haram. Oleh karena itu, wajib hukumnya menghindarkan diri dari uang tersebut, yaitu dengan mengembalikannya atau dengan menyedekahkannya kepada fakir miskin atau menyerahkan kepada lembaga-lembaga sosial.
Adapun Dalil-dalil
yang digunakan para ulama dalam membahas pelarangan risywah berasal dari
Alqur`an dan ada pula dari Hadis Rusullah SAW. Berikut ini dikemukakan
dalil-dalil tersebut:
Alqur’an
Dalam Alqur’an tidak ditemukan kata risywah. Dalam pelarangan risywah ini ulama
mengambil dalil pelarangan memakan harta secara batil, karena risywah salah
satu bentuk penggunaan harta secara batil. Di samping itu ulama juga
menafsirkan kata السحت dalam QS Al Ma’idah : 62—63
dengan risywah. Berikut ini ayat-ayat Alqur`an yang dijadikan ulama sebagai
pelarangan risywah:
Firman Allah
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ
وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ(188)
“ Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya
kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah :188).
Firman Allah ;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا
أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ
اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا(النساء:29)
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadam. " (QS An-Nisa :29)
Ibn
Katsir, dalam Tafsir Ibn Katisir, Beirut:
Darul Fikri, 1401 H, menyatakan bahwa walaupun ayat di atas berbicara dalam konteks riba, namun para ulama
memberlakukannya secara umum terhadap semua cara yang terlarang dalam
mendapatkan rezeki, termasuk risywah. Dalam hal ini berlaku kaidah ”yang
dipandang keumuman lafaz, bukan kekhususan sebab” (العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب). Ibn Katsir menafsirkan bahwa ayat di atas merupakan larangan bagi orang
mukmin memakan harta secara batil satu sama lain dalam bentuk usaha apapun yang
tidak sesuai dengan syari’at seperti riba, judi dan yang sejenisnya.
Firman Allah ;
وَتَرَى
كَثِيرًا مِنْهُمْ يُسَارِعُونَ فِي الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَأَكْلِهِمُ
السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(المائدة:62) لَوْلا يَنْهَاهُمُ الرَّبَّانِيُّونَ
وَالْأَحْبَارُ عَنْ قَوْلِهِمُ الْإِثْمَ وَأَكْلِهِمُ السُّحْتَ لَبِئْسَ مَا
كَانُوا يَصْنَعُونَ(المائدة:63)
" Dan kamu akan
melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa,
permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka
telah kerjakan itu. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka
tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram?.
Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu." (QS Al-Ma’idah : 62—63).
Al-Qurthubi, dalam Tafsir al-Qurthubi, Kairo, Dar
asy-Sya’b, 1372 H, 6:183, menyatakan bahwa Kata أكلهم السحت dalam ayat di atas berarti
memakan yang haram. Salah satu bentuk yang diharamkan adalah memakan hasil
risywah. Ibn Mas’ud, Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya
mengatakan السحت adalah risywah.
Firman Allah :
وَلا
تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ. (المدثر:6)
"dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (QS Al-
Muddassir :6)"
Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat di atas mengutip al-Qarzhi yang
mengatakan: ”jangan engkau memberikan harta untuk menyogok (لا تعط مالك
مصانعة.).
Nabi
Sulaiman pernah ditawari hadiah oleh Balqis ketika dia diajak mengikuti agama
tauhid, namun karena menganggap hadiah tersebut sebagai risywah, beliau tidak
mau menerimanya. Hal ini disebutkan dalam firman Allah SWT beriktut:
وَإِنِّي
مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ
الْمُرْسَلُونَ(35)فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ فَمَا
ءَاتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِمَّا ءَاتَاكُمْ بَلْ أَنْتُمْ بِهَدِيَّتِكُمْ
تَفْرَحُونَ(36)
"Dan
sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah,
dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.
Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman berkata: "Apakah
(patut) kamu menolong aku dengan harta? maka apa yang diberikan Allah kepadaku
lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga
dengan hadiahmu." (QS An-Naml :35-36)
Hadis
Selain ayat-ayat Alqur`an
ditemukan juga hadis-hadis Rasulullah SAW yang melarang risywah. Hadis-hadis
tersebut antara lain sebagai berikut:
عن
أبي هريرة قال ثم لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي
في الحكم. )رواه
الترمذى(
Artinya:
Hadis diterima dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah SAW melaknat
orang yang menyogok dan yang menerima sogok dalam hukum (HR. At-Turmuzi, dalam Sunan
at-Turmuzi, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 3:622)
عن
عبد الله بن عمرو قال ثم لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي
والمرتشي. )رواه
الترمذى(
Artinya:
Hadis diterima dari Abdullah bin Amr, beliau
berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyogok dan menerima sogok (HR.
At-Turmuzi)
عن
ثوبان قال لعن رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم الراشي والمرتشي والرائش يعني
الذي يمشي بينهما )رواه
أحمد(
Artinya:
Hadis diterima dari Tsauban, beliau berkata:
Rasulullah melaknat orang yang menyogok dan yang menerima sogol serta orang
yang menjadi perantara, yaitu orang yang berjalan di antara keduanya (HR. Ahmad,
sebagaimana Asy-Syaukani dalam Nailul
Authar, Beirut: Dar al-Jail, 1973 M, 9:170)
عن
أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال من شفع لأخيه شفاعة فأهدى له هدية
عليها فقبلها فقد أتى بابا عظيما من أبواب الربا. (رواه
أبو داود)
Artinya:
Hadis diterima dari Abi Umamah, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
Siapa yang menolong saudaranya dengan suatu pertolongan lalu dia memberi suatu
hadiah dan hadiah itu diterimanya, maka berarti dia memasuki pintu besar dari
pintu-pintu riba (HR Abu Daud).
Al-Qasim bin Abdur Rahman al-Umawi mengatakan: “ungkapan di atas menunjukkan
haramnya menerima hadiah oleh hakim dan para pemimpin lainnya,” karena termasuk
risywah.
Dalil Kebolehan Hadiah
Dalil-dalil yang digunakan
oleh ulama dalam pembahasan ini pada umumnya berasal dari Hadis. Sehubungan
dengan ini ditemukan beberapa riwayat dari Rasulullah SAW, antara lain sebagai
berikut:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال ثم كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا
أتي بطعام سأل عنه أهدية أم صدقة فإن قيل صدقة قال لأصحابه كلوا ولم يأكل وإن قيل
هدية ضرب بيده صلى الله عليه وسلم فأكل معهم. (رواه البخاري[
Artinya:
Hadis diterima dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah
SAW apabila diberi makanan beliau bertanya: apakah makanan ini hadiah atau
sadaqah. Jika dijawab: sadaqah, beliau mengatakan pada para sahabatnya:
makanlah oleh kalian, sedangkan beliau tidak memakannya. Akan tetapi bila
dijawab: hadiah, maka beliau mengambil dengan tangannya lalu makan bersama
mereka (HR al-Bukhari,dalam Shahih al-Bukhari,
Beirut: Dar Ibn Ktsir al-Yamamah, 1987/1407, 2:910)
عن
أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ثم لو أهدي إلي كراع
لقبلت ولو دعيت عليه لأجبت. (رواه الترمذى)]
Artinya:
Hadis diterima dari Anas bin Malik dia berkata, Rasulullah SAW
bersabda: Kalau aku diberi hadiah betis aku terima, dan kalau aku diundang
atasnya aku akan mengabulkan. (HR. Turmuzi)
قال
الشافعي رحمه الله قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يأكل
الصدقة وأكل من صدقة تصدق بها على بريرة وقال هي لنا هدية وعليها صدقة. (رواه
البيهقى)
Artinya:
Imam asy-Syafi’i r.h. berkata: sesungguhnya Rasulullah SAW
tidak memakan sedekah. Dan ketika beliau ikut memakan sadaqah yang diberikan
kepada Barirah, beliau mengatakan bahwa sadaqah itu bagi kami adalah hadiah dan
bagi Barirah adalah sadaqah (HR. al-Baihaqi dalam Al-Baihaqi,
Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Makkah
al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994/1414, 10:328) Hadis di atas juga diriwayatkan oleh an-Nasa`i
dari Aisyah ([An-Nasa’i, Sunan Kubra, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1991/1411, 2:59.)
عن
علي رضي الله عنه أن كسرى أهدى النبي صلى الله عليه وسلم هدية فقبل منه وأن الملوك
أهدوا إليه فقبل منهم ) أخرج أحمد والبزار(
[
Artinya:
Hadis diterima dari Ali r.a. mengatakan bahwa Kisra memberi hadiah
kepada Nabi SAW, lalu beliau menerimanya. Raja-raja lain juga memberi hadiah
kepada Nabi SAW dan beliau menerimanya hadiah tersebut dari mereka. (HR Ahmad
dan al-Bazar, Abu
al-‘Ala dalam Tuhfatul Ahwazi, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 4:472
عن
عبد الرحمن بن علقمة الثقفي قال لما قدم وفد ثقيف قدموا معهم بهدية فقال النبي صلى
الله عليه وسلم أهدية أم صدقة… الحديث وفيه قالوا لا بل هدية فقبلها )
رواه النسائي]
Artinya:
Hadis diterima dari Abdur Rahman bin ‘Alqamah ats-Tsaqafi, beliau
berkata: Tatkala datang delegasi Tsaqif mereka memPbawa hadiah. Lalu Nabi SAW bertanya:
apakah ini hadiah atau sadaqah…(al-hadis), …lalu mereka menjawab: hadiah, lalu
Nabi menerimanya. (HR. an-Nasa`i)
Hukum Risywah
dan Hadiah dalam Pandangan Ulama
Berdasarkan
riwayat yang dikemukkan di atas ada tiga komponen yang mendapat kecaman dari
Rasulullah sehubungan dengan perlakuan risywah. Pertama, orang yang menyogok
disebut dengan rasyi; kedua, orang yang menerima sogok disebut dengan murtasyi;
dan ketiga, orang menjadi mediator dalam sogok menyogok yang disebut dengan ra`isy.
Ketiga komponen ini dikecam oleh rasul dengan kata laknat, baik laknat itu
datang dari Rasul SAW maupun laknat itu datang dari Allah SWT. Kedua bentuk
laknat ini ditemukan dalam lafaz hadis.
Berdasarkan dalil-dalil yang ada ulama sepakat
melarang risywah. Malah Ibn Ruslan mengatakan sogok itu haram dengan
ijma’ ulama. Demikian juga pendapat Imam al-Mahdi dalam kitabnya al-Bahr.
Dengan arti kata tidak ada ulama yang membolehkannya. Larangan ini berlaku
secara umum, baik sogok dalam dunia peradilan maupun dalam bidang yang lain.
Ketika
menafsirkan QS Al-Ma’idah :42 (آكلون السحت) al-Qurthubi mengutip beberapa
pendapat yang mengatakan bahwa dimaksud السحت adalah risywah (sogok). Risywah tersebut bisa dalam
bentuk pemberian (hadiah) pada hakim dalam memutuskan perkara atau pemberian
yang diperoleh melalui pemanfaatan kekuasaan. Dalam hal ini lebih lanjut
al-Qurthubi mengatakan tidak ada perbedaan pendapat ulama salaf tentang
keharaman sogok.
Dalam riwayat
dari Rasulllah ditemukan sogok itu dilarang dalam dunia peradilan sebagaimana
riyawat Turmuzi yang diterima dari Abu Hurairah. Akan tetapi dalam dalam
riwayat Turmuzi juga yang diterima dari Abdullah bin Amr dan Tsauban pelarangan
sogok beralaku secara umum tanpa mengkhususkan dalam bidang peradilan. Kedua
hadis ini harus dipakai sehingga pelarangan sogok berlaku di bidang apapun.
Hanya saja sogok di dunia peradilan memiliki peluang yang sangat besar, karena
dalam dunia peradilan perebutan hak bagi bagi orang-orang yang berperkara. Bila
mana sogok dibolehkan maka hak jatuh ke tangan orang yang bukan
pemiliknya.
Ada pendapat
yang membolehkan sogok apabila berakaitan dengan penetapan hak. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-Mansur Billah, Abu Ja’far dan sebagian pengikut
asy-Syafi’i. Namun asy-Syaukani membantahnya karena menurut keumuman hadis yang
ada sogok dilarang. Kalaupun ada perbedaan pendapat dalam hal ini dianggap
tidak sah, karena tidak mempengaruhi hukum yang telah ditetapkan. Mengkhususkan
kebolehan sogok terhadap penetapan hak tidak ada dalil. Oleh karena itu harus
berlaku keumuman hadis yang melarang sogok dalam bentuk apapun.
Selanjutnya
asy-Syaukani mengemukakan argumen bahwa pada dasarnya harta seorang muslim itu
haram sebagaimana terdapat dalam QS Al-Baqarah:188. Tidak halal
menggunakan harta seorang muslim kecuali apabila diperoleh dengan cara
yang baik dan benar. Harta dapat diperoleh secara tidak halal melalui dua
kemungkinan.
·
P pertama, diperoleh dengan cara yang benar, tetapi tidak halal.
·
Kedua, dengan cara yang tidak benar dan tidak halal.
Sedangkan
menyogok untuk mendapatkan hak walapun benar tetap tidak halal, karena sogok di
samping memakan harta orang lain, dia juga menyulitkan dan memberatkan seseorang.
Allahu
a’lam
Sumber
: Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, edisi Indonesia : Ahmad bin Abdurrazzaq
Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Nama lengkap: DR. Zainuddin, MA,
adalah Dosen STAIN Sjeh M. Djamil Djembek Bukittinggi dengan jabatan fungsional
Lektor Kepala, www.mui-bukittinggi.org, bidang keahlian :
Fiqh, sukses muliahome’s dst
Tidak ada komentar:
Posting Komentar