Tahadduts binni’mah artinya membincangkan nikmat. Kebiasaan
ini dpt menjauhkan diri dari kesedihan (derita). Ini akan
mendorong kita untuk lebih bersyukur , meskipun sedag
ditimpa kemiskinan atau musibah. (Su’ud
bila Hudud , Dr Musa ibn Rasyid) . Sungguh bila kita membandingkan antara
nikmat yg tiada terhingga dari Allah, maka kita akan mendapati bahwa musibah
ini tidak sebanding dgn nikmat-Nya. Perbuatan ini adalah salah satu perbuatan yg dicintai dan
diperintahkan Allah swt. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya : “Dan
terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).” (Qs. Adh-Dhuha :11).
Saudaraku, pernah kita menerima pemberian (hadiah) dari teman,
keluarga atau orang tua. Pernahkah kita bermuhasabah, sejauh mana kita menghargai atau sekedar
mengucapkan kata Terima Kasih kepada orang yg telah memberi kita hadiah?
Orang yang memberi akan
kecewa manakala kita berekspresi datar dan dingin sehingga tampak kita tidak menghargai pemberiannya. Apalagi jika memang
ternyata kita tidak menghargainya. Mereka pasti akan berduka. Dan sahabat,
janganlah mencoba merendahkan pemberian orang lain karma tentu orang akan marah dengan sikap seperti itu.
Saudaraku, sungguh kenikmatan dari Allah kepada
hamba-hamba-Nya tiada terhitung. Ini semua adalah wujud dari Maha Kasih
Sayang-Nya kepda kita. Tentu Allah akan murka jika kita tidak bersyukur atas
segala karunia-Nya.
Sebagaimana firman-Nya
وَإِذْتَأَذَّنَرَبُّكُمْلَئِنشَكَرْتُمْلأَزِيدَنَّكُمْوَلَئِنكَفَرْتُمْإِنَّعَذَابِيلَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan: `Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih (Q.S 14:7)
Bahkan bersyukur adalah pangkal dari
kebahagiaan manusia itu sendiri. Syaikh Abdurrahman ibn Sa’di berkata,’
Diantara factor penentu kebahagiaan seorang hamba adalah bagaimana orang itu
sanggup melihat (memahami) nikmat-nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dengan
begitu ia akan mendapati bahwa dengan nikmat Allah itu, ia unggul dari
hamba-hamba yang lain. Saat itulah ia menrasakan betapa besar karunia Allah
kepadanya.’
Tahadduts binni’mah adalah istilah untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang
atas nikmat yg diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menyebut dan
memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yg
mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat
di atas, pertama kali ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun,
perintah dalam ayat ini juga berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi ”
(perintah yg ditujukan kepada Rasulullah, juga berlaku untuk
umatnya secara prioritas).
Firman Allah, yang artinya “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka
hendaklah kamu (Muhammad) siarkan“. (Qs. Ad-Dhuhaa: 11)
Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab
tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.
Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya,
mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf
(pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”
Para ulama tafsir sepakat bahwa
pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam
bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah
dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan
menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah
berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan
memberitahukannya kepada orang lain.
Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin
mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau,
memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan
memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi
nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang
bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan
tersebut. Sehingga tahadduts
bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi
nikmat.
Beberapa ulama salaf
menganjurkan agar memberitahukan kebaikan yang dilakukan oleh seseorang jika ia
mampu menghindarkan diri dari sifat riya’ dan agar bisa dijadikan contoh oleh
orang lain. Sehingga secara hukum, tahadduts
bin ni’mah dapat dibagi kepada dua kategori: jika terhindar dari
fitnah riya’, ujub, dan tidak akan memunculkan kedengkian pada orang lain, maka
sangat dianjurkan untuk menyebut dan menceritakan kenikmatan yang diterima oleh
seseorang.
Namun, jika hal itu akan menimbulkan rasa
dengki, dan untuk menghindarkan kerusakan akibat kedengkian dan tipu muslihat
orang lain, maka menyembunyikan nikmat dalam hal ini bukan termasuk sikap kufur
nikmat. Imam Asy-Syaukani berpendapat
bahwa tahadduts
bin ni’mah bukan termasuk bagian dari tafaakhur (berbangga-bangga)
maupun takabbur
yang sangat dibenci oleh Allah swt.
Sebagaimana dalam firmanNya, “Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Qs. Luqman: 18)
William James brkata, bahwa kita sering
memikirkan apa yang tidak kita miliki dan tidak mensyukuri apa yang telah kita
miliki. Bahkan kita justru lebih sering melihat sisi gelap kehidupan kita dan
mengabaikan sisi terangnya. Kita cenderung menyesali kekurangan kita dan tidak bahagia dengan yang ada pada
kita.
Bukankah Allah telah berfirman, yang
artinya ,” Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih
hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi darjatnya, jika kamu
orang-orang yang beriman. “ ( Qs: Al-Imran : 139)
Saudaraku, kesedihan dapat memadamkan
keinginan , menghancurkan tekad dan membekukan jiwa, kesedihan adalah penyakit
yang melemahkan jiwa.
Di sini sangat jelas bahwa tahadduts
binni’mah merupakan salah satu kendali agar tidak terjerumus ke
dalam tindakan mengingkarinya serta tidak mengakui anugerah tersebut berasal
dari Allah swt.
Sebagaimana Allah berfirman, yang
artinya “Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (Qs. An-Nahl: 83).
Sebagaimana Allah mengisahkan tentang
penduduk Negeri Saba’ yang ingkar dan enggan mensyukuri nikmat, Allah
menggambarkan akhir kehidupan mereka yang mendapat azab. “Sesungguhnya bagi
kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka
banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon
Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka.
Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada
orang-orang yang sangat kafir.” (Qs. Saba’: 15-17)
Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Siapa diantara kalian
yang pada pagi hari bangun dalam keadaansehat walafiat, aman di tengah
keluarganya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah
diberikan seluruh dunia dan seisinya ,” (Hr Tirmidzi).
Saudaraku, semua kenikmatan ini sebenarnya telah didapat oleh
banyak orang, tetapi mereka tidak menyadarinya. Mereka tidak pernah melihat ,
menyentuhnya , karena itulah mereka tidak pernah bahagia.
Rasulullah pernah menegur seorang
sahabat yang berpenampilan sedih , jauh bertentangan dengan kenikmatan yang
diterimanya. Seperti yang dikisahkan oleh Imam Al-Baihaqi bahwa salah seorang
sahabat pernah datang menemui Rasulullah saw. dengan berpakaian lusuh dan kumal
serta berpenampilan yang membuat sedih orang yang memandangnya. Melihat keadaan
demikian, Rasulullah bertanya, “Apakah kamu memiliki harta?” Sahabat tersebut
menjawab, “Ya, Alhamdulillah, Allah melimpahkan harta yang cukup kepadaku.”
Maka Rasulullah berpesan, “Perlihatkanlah nikmat Allah tersebut dalam
penampilanmu.” (Syu’abul Iman, Al-Baihaqi)
Saudaraku, yakinlah masalah selalu ada dalam kehidupan ini,
tidak ada manusia yang tidak menghadapi masalah. Sejatinya sumber masalah ada
dalam sikap , p[ikiran, dan cara pandang kita terhadap kehidupan. Apakah kita
memandang kegelapan atau matahari cerah yang Allah perintahkan untuk menyinari
kita. Dengan demikian , kita akan keluar dari kegelapan menuju cahaya dari
penderitaan menuju pencerahan dan rasa percaya diri dalam menghadapi kehidupan.
Sahabat, dengan bersyukur dan menampakkan nikmat-Nya akan membuka lagi
pintu-pintu nikmat yang lain. Sungguh nikmat yang tiada terhingga jika
kita diberi kemampuan dan taufiq untuk senantiasa mensyukuri segala nikmatNya.
Al-Hasan Al-Basri pernah berpesan, “Perbanyaklah oleh kalian
menyebut-nyebut nikmat, karena sesungguhnya menyebut-nyebutnya sama dengan
mensyukurinya.”
Allahu a’lam
Sumber
: Dr. Musa el Bahdal , Su’ud bila hudud
, Dr. Attabiq Luthfi, MA , www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar