firman Allah “Hai orang-orang yg beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dgn jalan yg batil, kecuali dgn jalan
perniagaan yg Berlaku dgn suka sama-suka di antara kamu…” (Qs. An-Nisa ' : 29) .
Uang
sogok (hadiah), rentan thd tindakan memakan harta dgn cara yg bathil. Bagian dari korupsi al ; dgn cara memberi / menerima suap (risywah) atau hadiah utk
pejabat atau yg berkepentingan. Hadiah yg
diberikan kpd aparat pasti mengandung maksud . Selain
pendapat di atas ada riwayat dari Wahab bin Munabbih, ketika dia
ditanya tentang risywah: apakah semuanya haram ? Beliau menjawab: tidak,
risywah yg diberikan bukan utk memperoleh milik atau utk memelihara
agama, darah dan harta hukumnya makruh, tidak haram dan boleh dilakukan.
Ibn Taimiyah dimintai fatwa ttg hadiah (pemberian) yg
terjadi di luar dunia peradilan. Beliau menjawab dgn hadis riwayat Abu Daud yg mengatakan
bahwa seseorang yg menolong saudaranya lalu diberi hadiah dan ia menerimanya
berarti ia telah memasuki pintu besar dari pintu-pintu riba. Ibn mas’ud berkata hadiah tsb adalah hadiah dlm hal yg batil,
shg ia menggolongkan pelakunya kpd kafir dgn alasan siapa yg tidak
menghukum dgn hukum Allah adalah kafir (Qs. Al-Maidah :44).
Abu al-Laits as-Samarqandi termasuk yang membolehkan risywah dalam situasi tertentu .
Untuk memperkuat alasannya Abu al-Laits mengemukakan riwayat dari Ibn Mas’ud,
ketika beliau berada di Habsyah dia memberikan risywah sebanyak dua dinar, dan
beliau mengatakan: sesungguhnya risywah itu dosa bagi orang yang menerima,
tetapi tidak dosa bagi orang yang memberikan.( lihat Ibn Manzhur dlm Lisanul Arab.)
Kalau demikian halnya secara
substantif risywah yg diberikan oleh Ibn mas’ud ini adalah ujrah atau hadiah,
namun karena terakait dengan pembebasan yang otoritasnya berada di dalam
kekuasaan seseorang, Ibn Ma’ud tidak menggunakan kata ujrah atau hadiah. Ini
pulalah agaknya yang disebut sebagai hadiah atau ujrah yang masih samar-samar.
Menurut para ulama hadiah kepada pemimpin agar dia melakukan sesuatu yg
tidak boleh maka hadiah tersebut adalah haram, baik bagi pemberi maupun bagi
penerima, karena pemberian semacam ini termasuk risywah.
Akan tetapi apabila hadiah itu diberikan untuk menghambat kezaliman atau
mewujudkan kebenaran yg mesti dilakukan maka hadiah ini haram bagi penerima dan
boleh bagi pemberi. Dalam hal ini Ibn Taimiyah memperkuat pendapatnya dengan
hadis berikut ( lihat Muhammad Amin dalam Hasyiyah Ibn
Abidin, Beirut: Darul Fikri, 1386 H )
كان النبى
يقول انى لأعطى أحدهم العطية فيخرج بها يتابطها نارا قيل يا رسول الله فلم تعطيهم
قال يأبون إلا أن يسألونى ويأبى الله لى البخل
Artinya:
Nabi SAW berkata: Sesungguhnya aku memberi seseorang
pemberian, lalu dengan pemberian tersebut dia terhindar dari api neraka. Lalu
sahabat bertanya: kenapa engkau memberi mereka ya Rasulullah ? Beliau menjawab:
mereka enggan, kecuali mereka meminta kepadaku. Allah pun enggan kalau aku
bakhil.
Ibn Taimiyah
juga membolehkan hadiah untuk menyelesaikan sesuatu yg wajib untuk
kemashlahatan umat, baik yg fardhu a’in maupun fardhu kifayah, demikian
pendapat mutaakhkhirin. Sekalipun pendapat ini bertentangan dengan hadis Nabi,
pendapat para sahabat dan imam-imam lainnya, tetapi dibolehkan dengan alasan
upah untuk meujudkan kemashlahatan umum yang wajib dilakukan.(
Raudhatuth Thalibin, Beirut: Maktabah al-Islamiyah, 1405 H )
Abu Wa`il
Syaqiq bin Salamah ( ulama tabi’in , juga seorang hakim) mengatakan: apabila seseorang menerima hadiah
berarti memakan yang haram dan apabila mengambil risywah akan sampai pada
kekafiran. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan Abu Daud dari
Abu Umamah di atas. Di samping itu juga ada hadis yang diriwayatkan oleh
al-Baihaqi dari Abu Hamid dan riwayat al-Khathib dari Anas sebagai berikut: ( Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katisir, Beirut:
Darul Fikri, 1401 H.).
عن أبي حميد:
هدايا الأمراء غلول (أخرجه البيهقي وابن عدي)
Artinya:
Hadis diterima
dari Abu Hamid: hadiah pemimpin adalah korupsi. (HR al-Baihaqi dan Ibn ’Adi)
عن أنس:
هدايا العمال سحت (أخرجه الخطيب)
Artinya:
Hadis diterima
dari Anas: hadiah karyawan adalah haram (risywah). (HR al-Khatib)
Hadis ini
mengkategorikan hadiah pemimpin terhadap karyawan dan karyawan terhadap
pemimpin sebagai risywah. Al-Buhuti membolehkannya apabila sebelum menjabat
atau sebelum menjadi karyawan hadiah tsb sudah biasa diberikan.
Namun apabila
ketika menjabat, ada perkara antara yg memberi dengan yg menerima tetap saja
hadiah tersebut haram, karena sama dengan risywah. ( Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Kairo,
Dar asy-Sya’b, 1372 H ).
Demikian juga
pendapat Imam Syirazi (At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi,
Beirut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi. ) , beliau berargumen dgn hadis Al-Bukhari
berikut:
روى أبو حميد
الساعدي قال بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا من الأزد يقال له ابن اللتبية
على الصدقة فقال هذا لكم وهذا أهدي إلي فقام النبي صلى الله عليه وسلم فحمد الله
وأثنى عليه ثم قال
ما بال العامل نبعثه فيجيء فيقول هذا لكم وهذا أهدي إلي ألا جلس في بيت أمه فينظر
أيهدي إليه أم لا والذي نفس محمد بيده لا نبعث أحدا منكم فيأخذ شيئا إلا جاء يوم
القيامة يحمله على رقبته إن كان بعيرا له رغاء أو بقرة لها خوار أو شاة تيعر فرفع
يديه حتى رأيت عفرة إبطيه فقال اللهم هل بلغت ثلاثا )متفق عليه)
Artinya: Hadis riwayat
Abu Hamid as-Sa’adi, beliau berkata: Nabi SAW pernah mengutus seseorang dari
Bani al-Azad, ada yang mengatakan namanya Ibn al-Lutbiyah, untuk mengumpulkan
sadaqah.
Setelah kembali
beliau mengatakan kepada Rasulullah: ini untukmu dan ini dihadiahkan untukku.
Lalu Nabi SAW
berdiri berkhutbah sambil memuji Allah SWT. Dalam khutbahnya beliau mengatakan:
seorang karyawan yang kita utus mengumpul sadaqah datang dan berkata: ini
untukmu dan ini untukku. Kenapa dia tidak duduk saja di rumah bapaknya menunggu,
apakah dia akan diberi hadiah atau tidak ?
Demi yang diri
Muhammad di tangan-Nya: tidaklah kami mengutus seseorang di antara kamu
mengambil sesuatu kecuali datang dia pada hari kiamat membawa di lehernya, jika
dia menerima unta akan berbunyi unta, begitu juga sapi akan berbunyi sapi,
kambing akan berbunyi kambing. Kemudian laki-laki tersebut mengangkat kedua
tangannya sehingga terlihat bulu katiaknya sambil berdo’a: Ya Allah, jangan
engkau datangkan hal itu kepadaku. Do’a itu diucapkannya tiga kali (HR. al-Bukhari).
Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengomentari bahwa hadiah di masa lalu (Rasul)
adalah hadiah, akan tetapi sekarang hadiah itu adalah risywah. ( Asy-Syaukani, Nailul Authar,
Beirut: Dar al-Jail, 1973 M.)
Al-Khaththabi
berpendapat bahwa hadiah yg diperoleh setelah melakukan pertolongan semuanya
makruh dari segala segi.
1. Bila pertolongan itu dalam hal yang batil maka
menerima hadiah adalah terlarang, hukumnya haram.
2. Apabila dalam hal yang hak memberikan hadiah, berarti
mengambil harga terhadap amal kebajikan (ma’ruf) yang seharusnya tidak
dilakukan.
Al-Khaththabi
mencontohkan dengan mengambil upah terhadap ahli qiyafah (ahli jejak).
Karena terkait dengan penetapan nasab maka keputusan ahli qiyafah mirip
dengan keputusan hakim. Oleh karena itu upah yg diterimanya dikategorikan
sebagai risywah, dan upahnya itu harus dimasukkan ke baitulmal. Namun demikian
dalam hal ini beliau menetapkan hukumnya makruh. ( Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Beirut: Dar Ibn Ktsir al-Yamamah, 1987/1407.)
Risywah dalam Peradilan
Dalam dunia peradilan risywah mempunyai konsekuensi terhadap keputusan
yang diambil, jabatan yang diduduki dan eksistensi pribadi seseorang. Adapun
konsekuensi terhadap keputusan adalah apabila seorang hakim menerima sogok lalu
dia memutuskan perkara sesudah itu, maka dalam hal ini tiga pendapat, yaitu:
1.
Imam Abu Hanifah berpendapat apabila seorang hakim
menerima sogok harus dipecat pada waktu itu juga. Kalau hakim tersebut tidak
dipecat maka keputusannya yg diambilnya tidak sah, karena dia telah menjadi
orang fasik. ( An-Nasa’i, Sunan Kubra,
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991/1411)
2.
Keputusannya tidak berlaku, baik terhadap perkara yg
disogok maupun terhadap perkara yang lain. ( Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi
al-Kubra, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994/141 )
3.
Keputusannya tidak berlaku pada perkara yg disogok, namun
berlaku untuk perkara lain. Perdapat ini dipilih oleh Imam as-Sarakhsi.
4.
Keputusannya masih berlaku, baik terhadap perkara yg
disogok tersebut maupun terhadap perkara yang lain. Pendapat ini dipilih oleh
Imam al-Bazdawi dengan alasan bahwa yg ditimbulkan oleh risywah hanyalah fasik.
Tidak mesti memecat orang ini dari jabatannya, dan malah keputusannya tetap
berlaku. Selanjutnya al-Bazdawi mengatakan: sayogianya kita berpegang pada
pendapat ini, karena dharurah pada zaman kita sekarang. Kalau tidak demikian
maka batallah seluruh keputusan yang terjadi sekarang, karena setiap keputusan
sulit keputusan yg terhindar dari risywah, dan akan terjadi kekosongan hukum.
Sedangkan
konsekuensi terhadap jabatan dan pribadi adalah :
- Diberhentikan dari jabatan (dipecat)
- Diberi hukuman ta’zir
- Digolongkan kepada orang fasiq
- Malah ada ulama yang menganggapnya kafir
- Penyogok masuk neraka
Beberapa
Fenomena Pemberian Dalam Masyarakat
Dapat kita pahami
bahwa tentang risywah dan hadiah sudah jelas secara hukum syara’. Hanya saja
ada kemudian dalam realita kehidupan masyarakat ditemukan sesuatu yang samar
antara hadiah dan risywah. Secara hukum sebenarnya tidak ada kesamaran.
Akan tetapi karena risywah dibungkus dengan hadiah atau balas jasa tidak
terkesan sebagai sebuah kesalahan. Apalagi ditambah dengan kata-kata ikhlas,
sehingga risywah dianggap amal kebajikan.
Umpamanya,
parsel sebagai pemberian yang sudah menjadi budaya masyarakat kelas atas.
Sebenarnya sebagai sebuah pemberian untuk medekatkan hubungan kebajikan antar
sesama manusia parsel tidak masalah secara hukum syara’. Akan tetapi kalau dia
sudah didasari atas maksud-maksud selain hubungan kebajikan baru menimbulkan
masalah. Umpamanya parsel untuk mendekatkan hubungan koneksitas, melancarkan
bisnis yang kemudian berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan dan keputusan.
Hal ini dikategorikan sebagai risywah.
Begitu juga
uang jasa, tanda terima kasih atau pemberian yang diterima selama menduduki
jabatan yang sering mempengaruhi keputusan dan kebijakan. Akan tetapi bila
benar-benar tidak mempengaruhi keputusan dan kebijakan dan sudah biasa diterima
sebelumnya menjabat, pemberian ini dikategorikan sebagai hadiah.
Jadi, terhadap
hadiah yang samar-samar ini secara hukum syara’ tidak dapat dilihat dari aspek
lahiriyah saja, akan tetapi perlu dikaitkan dengan aspek keyakinan dan
ketentraman batin. Karena bagaimanapun ketika seseorang memberi, di dalam
hatinya pasti sudah terkandung niat yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Bila niat itu hadiah, maka jadilah dia sebagai hadiah. Akan tetapi jika niat
itu adalah risywah yang dibungkus dengan hadiah secara lahiriyah, dia akan
tetap menjadi ancaman bagi jiwa seseorang orang yang memberikannya. Begitu juga
bagi yang menerima, bila suara hati nurani mengatakan hadiah, maka jadilah dia
hadiah dan boleh diterima. Akan tetapi bila suara hati nurani mengatakan
risywah berarti dia risywah, maka hendaklah dihindari.
Adapun
bentuk-bentuk tradisi masyarakat yang tidak dapat ditolerir sebagai hadiah
adalah uang sogok untuk memasuki perkerjaan, sekolah, urusan administrasi,
money politik, pembahasan anggaran, pemeriksaan keuangan, tender, mafia
peradilan, pemberitaan media massa, fatwa hukum, pembuatan Undang-Undang atau
Peraturan Pemerintah dan lain-lain sebagainya. Kesemuanya ini sulit kita
mencari helah untuk memasukkannya sebagai hadiah, karena sangat berhubungan
dengan kepentingan dan mempengaruhi terhadap kebijakan. Di samping itu
terpenuhi pula kriteria risywah sebagaimana yang dilarang syara’.
Kesimpulan
Ulama sepakat melarang risywah dan membolehkan
hadiah. Akan tetapi dalam situasi dan kondisi tertentu ada risywah yang
dianggap hadiah atau upah, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
1. Ulama salaf tetap melarangnya,
2. sedangkan ulama
khalaf cendrung membolehkannya dengan helah. Namun sebagian ulama khalaf masih
ada yang tetap melarangnya. Kebolehan tersebut sebenarnya tidak menggunakan
risywah substantif, akan tetapi hadiah atau ujrah upah.
Sungguh Allah Maha Megetahui segala niat
seseorang dan atau dalam segala tindakan seseorang.
Sumber ktutipan : Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah
Wal Ifta, edisi Indonesia : Ahmad bin
Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Nama lengkap: DR.
Zainuddin, MA, adalah Dosen STAIN Sjeh M. Djamil Djembek Bukittinggi dengan
jabatan fungsional Lektor Kepala, www.mui-bukittinggi.org, bidang
keahlian : Fiqh, sukses muliahome’s dst
Pustaka :
1.
Ibn Manzhur, Lisanul Arab.
2. Muhammad Amin, Hasyiyah Ibn Abidin, Beirut:
Darul Fikri, 1386 H
3. Raudhatuth Thalibin, Beirut: Maktabah al-Islamiyah, 1405 H.
4. Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katisir, Beirut: Darul
Fikri, 1401 H.
5. Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Kairo, Dar
asy-Sya’b, 1372 H.
6. At-Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, Beirut: Dar
Ihya at-Turats al-‘Arabi.
7. Asy-Syaukani, Nailul Authar, Beirut: Dar
al-Jail, 1973 M.
8. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn
Ktsir al-Yamamah, 1987/1407.
9. Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi al-Kubra, Makkah
al-Mukarramah: Maktabah Dar al-Baz, 1994/1414
10. An-Nasa’i, Sunan Kubra, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1991/1411.
11. Abu al-‘Ala, Tuhfatul Ahwazi, Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah.
12. Ibn Taimiyah, Kutub wa Rasa`il wa Fatawa Ibn
taimiyah fi al-Fiqh, Maktabah Ibn Taimiyah.
13. Al-Buhuti, Raudh al-Murabba’, Maktabah Riyadh
al-Haditsah.
14. As-Sirazi, Al-Muhazzab, Beirut: Darul Fikr.
15. Asy-Syafi’I, Al-Umm, Beirut: Dar al-Ma’rifah.
16. Al-Khaththabi, al-Gharib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar