Ridha merupakan akhir dari tawakkal. Saudaraku, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dari sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditinjau dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha dapat dipetik. Seorang hamba yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, maka akan mendapatkan ridha. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya , maka Dia juga ridha kepadanya.
Ridha memunyai tingkat kesulitan yang tinggi dan berat, maka allah tidak mewajib-kannya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka.
Namun Allah menganjurkannya kepada hamba-Nya, memuji pelakunya dan mengabarkan pahala yang mereka terima adalah keridhaan allah kepada mereka. Dan ini adalah pahala yang lebih agung daripada surga seisinya.Keridhaan adalah pintu Allah yang paling besar.
Firman Allah, yang artinya ,” Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku”. (Qs. Al-Fajr : 27-30).
Dalam kitab Manazilus Sa’irin berkata, bahwa ‘didalam ayat ini Allah tidak memberikan jalan bagi orang yang marah. Ridha adalah berada dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-ragu dan tanpa pengingkaran, dimana-pun hamba berada.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersabda, yang artinya ,” Yang merasakan manisnya iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul”.
Yahya bin Mu’adz, pernah ditanya ,”Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha ?”
Maka dia menjawab ,” Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu ia berkata ;
1. Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya,
2. Jika engkau menahan pemberian kepadau, maka aku ridha,
3. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribada,
4. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya.
Memang sungguh berat . Ridha tidak disyaratkan untuk tidak merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tetapi keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir.
Ridha tidak membuat seorang hamba berputus asa karena sesuatu yang tidak bisa didapatkannya dan tidak bergembira karena apa yang didapatkannya. Ini termasuk tanda kebaikan iman.
Ridha terhadap qadha’ adalah sesuatu yang paling berat bagi jiwa, karena ridha ini bertentangan dengan nafsu, tabiat dan keinginannya. Jiwa tidak akan tenang hingga ia ridha terhadap qadha’. Pada saat itulah seorang hamba berhak mendapat seruan dari Allah ,”Hai jiwa yang tenang......”.
Hamba tidak ridha , entah karena tidak mendapatkan apa yang disukainya, entah karena mendapatkan apa yang dibencinya. Namun jika dia yakin bahwa apa yang tidak dia dapatkan bukan untuk menimpakan musibah kepadanya, dan musibah yang menimpanya bukan untuk membuatnya tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka tidak ada gunanya seorang hamba marah setelah itu, jika tidak mendapatkan apa yang dianggapnya bermanfaat dan mendapatkannnn apa yang dianggapnya bermudharat.
Jika hamba ridha kepada Allah dan terhadap Allah atas semua keadaan, maka ia tidak memilih ini dan itu. Ridhanya terhadap apapun yang diberikan kepadanya sudah cukup baginya. Dia mengingat Allah sebagai pengganti dari permohonannya kepada-Nya. Bahkan permohonannya kepada Allah dijadikan sebagai pertolongan untuk dapat mengingat-Nya. Hamba yang meminta semacam ini akan mendapat pemberian yang paling baik, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsy ,”Siapa yang sibuk mengingat-Ku hingga lalai memohon kepada-Ku maka Aku memberinya yang paling baik dari apa yang Ku-berikan kepada orang-orang yang meminta” , (Hr At-Tirmidzy dan Ad-Darimy.
Saudaraku, orang-orang yang meminta tentu saja memohon kepada-Nya. Allah memberikan yang baik seperti yang mereka pinta. Sedangkan orang yang ridha senantiasa ridha terhadap Allah, lalu Allah memberikan ridha-Nya terhadap mereka.
Allahu a’lam
Sumber : Madarijus Salikin (terjemahan), karya Ibn Qayyim Al-Jaujizah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar