Para fukaha mengatakan tentang pembatasan muru’ah, dimana maksudnya adalah pemakaian sesuatu yang membuat lebih baik pada seorang hamba dan meninggalkan apa yang mengotori maupun memperburuk dirinya.
Muru’ah atau kewiraan juga diartikan sebagai sifat-sifat kemanusiaan yang dimiliki jiwa seseorang. Didalam jiwa itu sendiri ada tiga penyeru yang saling tarik menarik :
a. Penyeru yang mengajak kepada sifat-sifat syetan, seperti takabur, iri, dengki, sombong, aniaya, kejahatan, kerusakan, dusta, tipu dst.
b. Penyeru yang mengajak ke sifat-sifat hewan, atau mengajak kepada nafsu syahwat.
c. Penyeru yang mengajak kepada sifat malaikat, seperti kebaikan, kebajikan, ilmu, taat, dst.
Hakikat muru’ah ialah bila seorang hamba membenci dua penyeru yang pertama dan memenuhi penyeru ketiga.
Sebagian salaf berkata, ‘Allah menciptakan
- para malaikat yang mempunyai akal dan tidak mempunyai syahwat.
- Hewan yangmempunyai syahwat dan tidak mempunyai akal, dan
- Manusia yang didalam dirinya ada akal dan syahwat.
Siapa yang akalnya mengalahkan syahwatnya, maka dirinya termasuk golongan malaikat, dan siapa yang syahwatnya mengalahkan akalnya, maka dia termasuk golongan binatang’.
Muru’ah adalah menerapkan setiap akhlak yang baik danmenjauhi setiap akhlak yang buruk.
Saudaraku, hakikat muru’ah adalah menghindari hal-hal yang rendah dan hina.
Ada tiga derajad muru’ah :
- Muru’ah seorang hamba terhadap dirinya sendiri, yaitu dengan membawa dirinya kepada hal-hal yang membuatnya baik dan mulia, serta meninggalkan ha-hal yang mengotori dan menghinakan dirinya. Atau dikatakan sebagai menjadi malaikat secara lahirniahnya. Barangsiapa menginginkan sesuatu dalam kesendiriannya, maka dia harus menjadi malaikat dalam penampakannya, sehingga ia tidak harus menyingkap aib saat sendirian.
- Muru’ah saat bersama manusia lainnya. Yaitu dengan melaksanakan syarat-syarat adab, rasa malu dan akhlak yang baik terhadap sesama manusia. Tidak memperlihatkan apa yang dibencinya terhadap orang lain dihadapan mereka. Menjadikan orang lain menjadi cermin bagi dirinya. Apapun yang dibencinya (baik berupa perkataan, perbuatan, akhlak) harus dihindarinya.
- Muru’ah dihadapan Allah. Dengan merasa malu karena Dia melihat kita kapanpun dan dimanapun dalam setiap saat kehidupan kita. Sesungguhnya Allah telah membeli jiwa kita. Maka tidak termasuk muru’ah bila kita menyerahkan dagangan (diri kita) yang ada cacat (aib),
Wallahu a’lam bish-shawab
Sumber : Madarijus Salikin,Ibn Qayyim al-Jauziyah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar