Ikhlas adalah syarat diterimanya amal shalih yang dilaksanakan sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Firman Allah, “ Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan dien (agama) kepada-Nya, lagi bersikap lurus”, (Qs. Al-Bayyinah : 5).
Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah SWT dari hal-hal yang mengotorinya. Ikhlas juga dapat diartikan sebagai , menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan, atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Al-Khaliq.
Dari riwayat Abu Umamah, seseorang menemui Raulullah SAW, dan bertanya ,’ Bagaimana pendapat rasul tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?’.
Rasulullah menjawab,’Ia tidak mendapatkan apa-apa’. Orang tadi mengulangi pertanyaan hingga tiga kali. Rasul-pun tetap menjawab,’ Ia tidak mendapatkan apa-apa’.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘ Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karena-Nya dan mengharap wajah-Nya’. (1)
Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sehingga tujuan dari taqarrub benar-benar m urni karena Allah SWT semata. Hal ini hanya akan datang dari seseorang yang mencintai Allah SWT dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat. Bila ia bekerja, makan, minum, buang hajat, ataupun kegiatan lainnya, semuanya dikerjakan dengan ikhlas dan dengan niat yang baik dan benar.
Dari riwayat Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah bersabda,” Semoga Allah mencerahkan orang yang mendengar kata-kataku lalu menjaganya. Betapa banyak orang membawa pemahaman, tetapi ia sendiri tidak apaham. Tiga hal yang seorang mukmin tidak akan dengki terhadapnya : mengikhlaskan amal kepada Allah, memberikan loyalitas kepada para pemimpin kaum muslimin, dan selalu bergabung dengan jamaah mereka”. (2)
Apabila suatu amal telah tercampuri oleh harapan-harapan duniawi, maka sungguh kejernihan amal telah tercemari, begitu juga keikhlasan. Kita kebanyakan terlena dalam harapan-harapan dan syahwat. Kita selalu berusaha untuk melakukan amalan ibadah yang benar-benar bersih dari harapan-harapan tersebut.
Seorang hamba akan selamat dari godaan setan dengan keikhlasan. Firman Allah, mengungkapkan pernyataan iblis,”Kecuali hamba-hamba-Mu yang selalu ikhlas”, (Qs Shad :83).
Seseorang yang termotivasi oleh kecintaannya kepada Allah SWT, maka seluruh aktivitas hariannya merupakan cerminan dari cita-citanya, sehingga semua diupayakan dilakukan dengan ikhlas.
Resep untuk ikhlas adalah memotong kesenangan-kesenangan hawa nafsu, tamak terhadap dunia dan mengusahakan agar hati selalu fokus kepada akhirat. Hal demikian memudahkan seseorang untuk mencapai keikhlasan.
Ada suatu contoh, ada seseorang yang selalu menunaikan shalat di shaft pertama. Suatu ketika ia terlambat dan shalat di shaft kedua. Lalu ia diliputi rasa malu karena dilihat banyak orang. Dari sini ia akan tahu, bahwa ketenangan hatinya dalam melaksanakan shalat di shaft pertama selama ini disebabkan oleh pandangan orang kepadanya.
Sungguh , sedikit amal yang dikerjakan dengan ikhlas. Kita harus menyadari dan berusaha menggapai ikhlas. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT.
Firman Allah ,” Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi mereka dari Allah apa-apa yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan (Qs . Az-Zumar : 47-48).
Firman Allah ,” Katakanlah ,” Maukah kalian kabarkan tentang orang-orang yang paling merugi amalan mereka ? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedangkan mereka menyangka telah mengerjakannya dengan sebaik-baiknya”, (Qs. Al-Kahfi : 103).
Sumber :Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajah Al-Hambali.
(1) HR Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad yang jayyid (bagus). Dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al-Mundziriy dalam At-Targhib 1/24 dan Ibn Hajar dalam Fathul Bariy VI/28. Sunan An-Nasa’i dalam Al-Jihad VI/25. Tentang penisbatan hadits ini kepada Abu Dawud, perlu diteliti. Ibnul Qaththan berkata,’hadits ini tidak ada dalam Sunan Abu Dawud’. Demikian yang tercantum dalam Faidlul Qadir II/275).
(2) HR Al-Bazzaar dengan isnad hasan dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya. Hadits ini Shahih, dan diriwayatkan juga oleh ibnu Majah dari berbagai jalan. As-Sundiy berkata,’sebagian hadits ini telah diperbincangkan dalam Az-Zawaid.Akan tatapi matan-matanya nyata-nyata benar dari para imam. (I/104) Ibnu Hibban mencantumkan hadits ini dalam Al-Mawarid hal. 47 dari sahabat Zaid bin Tsabit.
Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah SWT dari hal-hal yang mengotorinya. Ikhlas juga dapat diartikan sebagai , menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan, atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Al-Khaliq.
Dari riwayat Abu Umamah, seseorang menemui Raulullah SAW, dan bertanya ,’ Bagaimana pendapat rasul tentang seseorang yang berperang untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala?’.
Rasulullah menjawab,’Ia tidak mendapatkan apa-apa’. Orang tadi mengulangi pertanyaan hingga tiga kali. Rasul-pun tetap menjawab,’ Ia tidak mendapatkan apa-apa’.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘ Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal, kecuali jika dikerjakan murni karena-Nya dan mengharap wajah-Nya’. (1)
Ikhlas adalah membersihkan hati dari segala kotoran, sehingga tujuan dari taqarrub benar-benar m urni karena Allah SWT semata. Hal ini hanya akan datang dari seseorang yang mencintai Allah SWT dan menggantungkan seluruh harapannya di akhirat. Bila ia bekerja, makan, minum, buang hajat, ataupun kegiatan lainnya, semuanya dikerjakan dengan ikhlas dan dengan niat yang baik dan benar.
Dari riwayat Abu Sa’id Al-Khudry, Rasulullah bersabda,” Semoga Allah mencerahkan orang yang mendengar kata-kataku lalu menjaganya. Betapa banyak orang membawa pemahaman, tetapi ia sendiri tidak apaham. Tiga hal yang seorang mukmin tidak akan dengki terhadapnya : mengikhlaskan amal kepada Allah, memberikan loyalitas kepada para pemimpin kaum muslimin, dan selalu bergabung dengan jamaah mereka”. (2)
Apabila suatu amal telah tercampuri oleh harapan-harapan duniawi, maka sungguh kejernihan amal telah tercemari, begitu juga keikhlasan. Kita kebanyakan terlena dalam harapan-harapan dan syahwat. Kita selalu berusaha untuk melakukan amalan ibadah yang benar-benar bersih dari harapan-harapan tersebut.
Seorang hamba akan selamat dari godaan setan dengan keikhlasan. Firman Allah, mengungkapkan pernyataan iblis,”Kecuali hamba-hamba-Mu yang selalu ikhlas”, (Qs Shad :83).
Seseorang yang termotivasi oleh kecintaannya kepada Allah SWT, maka seluruh aktivitas hariannya merupakan cerminan dari cita-citanya, sehingga semua diupayakan dilakukan dengan ikhlas.
Resep untuk ikhlas adalah memotong kesenangan-kesenangan hawa nafsu, tamak terhadap dunia dan mengusahakan agar hati selalu fokus kepada akhirat. Hal demikian memudahkan seseorang untuk mencapai keikhlasan.
Ada suatu contoh, ada seseorang yang selalu menunaikan shalat di shaft pertama. Suatu ketika ia terlambat dan shalat di shaft kedua. Lalu ia diliputi rasa malu karena dilihat banyak orang. Dari sini ia akan tahu, bahwa ketenangan hatinya dalam melaksanakan shalat di shaft pertama selama ini disebabkan oleh pandangan orang kepadanya.
Sungguh , sedikit amal yang dikerjakan dengan ikhlas. Kita harus menyadari dan berusaha menggapai ikhlas. Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapatkan taufiq dari Allah SWT.
Firman Allah ,” Dan (pada hari kiamat) jelaslah bagi mereka dari Allah apa-apa yang belum pernah mereka perkirakan. Dan jelaslah bagi mereka keburukan dari apa-apa yang telah mereka kerjakan (Qs . Az-Zumar : 47-48).
Firman Allah ,” Katakanlah ,” Maukah kalian kabarkan tentang orang-orang yang paling merugi amalan mereka ? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia usaha mereka di dunia, sedangkan mereka menyangka telah mengerjakannya dengan sebaik-baiknya”, (Qs. Al-Kahfi : 103).
Sumber :Tazkiyatun Nafs, Ibnu Rajah Al-Hambali.
(1) HR Abu Dawud dan An-Nasa’i dengan sanad yang jayyid (bagus). Dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al-Mundziriy dalam At-Targhib 1/24 dan Ibn Hajar dalam Fathul Bariy VI/28. Sunan An-Nasa’i dalam Al-Jihad VI/25. Tentang penisbatan hadits ini kepada Abu Dawud, perlu diteliti. Ibnul Qaththan berkata,’hadits ini tidak ada dalam Sunan Abu Dawud’. Demikian yang tercantum dalam Faidlul Qadir II/275).
(2) HR Al-Bazzaar dengan isnad hasan dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya. Hadits ini Shahih, dan diriwayatkan juga oleh ibnu Majah dari berbagai jalan. As-Sundiy berkata,’sebagian hadits ini telah diperbincangkan dalam Az-Zawaid.Akan tatapi matan-matanya nyata-nyata benar dari para imam. (I/104) Ibnu Hibban mencantumkan hadits ini dalam Al-Mawarid hal. 47 dari sahabat Zaid bin Tsabit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar