*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Minggu, 07 Agustus 2011

Perasaan sial atau pesimis

Seringkali kita masih terjangkiti perasaan bertathayyur. Perasaan sial (tathayyur) bisa menghapus rasa tawakkal kepada Allah SWT . Seperti kepercayaan nomor 13 penyebab kesialan dst . Tathayyur (perasaan sial) hukumnya haram dan bisa merusak tauhid. Rasulullah saw telah menafikan pengaruhnya, menjadikannya sebagai perbuatan syirik serta mem-beritahukan bahwa dia tidak akan mendatangkan sesuatu kepada orang muslim juga beliau menganggapnya sebagai jibt (sihir). Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya "Tidak ada adwa, thiyarah, hammah dan shafar." (HR. al-Bukhari, 10/206 dan Muslim, no. 2220). Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin berkata, "Seseorang apabila membuka pada dirinya perasaan sial, maka dia akan merasakan dunia yang sempit...
Adwa: Penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud sabda Nabi di sini ialah untuk menolak aggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah subhanahu wata’ala. Anggapan ini ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan keberadaan dan penularannya, sebab dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menjauh dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana menjauh dari singa (HR. al-Bukhari), -pent.

Rasulullah menjadikan thiyarah sebagai perbuatan syirik. Dari Abdullah bin Mas'ud ra, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya ,"Thiyarah (kesialan) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik." (HR. Abu Daud, no. 3910 di kitab al-Thibb, at-Tirmidzi, no. 1614 di dalam kitab al-Siyar dan berkata, "Hadits Hasan Shahih”).

Rasulullah juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar ra, yang artinya "Barangsiapa yang diurungkan dari hajatnya karena thiyarah (kesialan) maka dia telah melakukan kesyirikan." (HR. Ahmad, 2/220, Ibnu as-Sunni, no. 287 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1065).

Thiyarah dianggap syirik karena keyakinan mereka bahwa ia bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Mereka seakan-akan menjadikannya sebagai sekutu Allah subhaanahu wata'ala.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wata'ala, "Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. Yunus: 107)
Dialah Allah subhaanahu wata'ala yang memberi karunia dan menimpakan kemudharatan.

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Thiyarah adalah merasa sial dengan sesuatu yang dilihat atau sesuatu yang didengar. Apabila seseorang memanfaatkannya sehingga ia mengurungkan diri dari kepergiannya atau tidak jadi melakukan sesuatu yang dia telah tekadkan sebelumnya, maka dia telah membuka pintu kesyirikan, bahkan telah memasukinya. Dia telah melepaskan diri dari tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan membuka dalam dirinya pintu takut dan bergantung kepada selain Allah Subhaanahu Wata'ala.

Firman Allah subhaanahu wata'ala , yang artinya "Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya." (Qs. Hud: 123) Firman Allah subhaanahu wata'ala,yang artinya "Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." (Qs. Asy-Syura: 10)

Hati yang bergantung kepada selain Allah subhaanahu wata'ala dalam ibadah dan tawakkal, akan merusak hatinya, imannya dan keadaannya serta akan menjadi sasaran dari panah kesialan, akan menuntunnya menuju pintu keraguan, dikuasai oleh setan yang akan merusak agama dan dunianya.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Apabila seseorang merasa sial dengan apa yang dia lihat dan dia dengar, maka mereka tidak dianggap melakukan syirik yang dapat mengeluarkannya dari agama, namun dia syirik karena dia menjadikannya (perasaan sial) itu sebagai sebab yang tidak pernah dijadikan oleh Allah subhaanahu wata'ala sebagai sebab. Ini dapat melemahkan perasaan tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan mengurangi semangat. Dari segi ini, maka ia dianggap syirik. Sebuah kaidah menyebutkan bahwa setiap orang yang bersandar kepada sebab yang syariat tidak pernah menjadikannya sebab, maka dia telah berbuat syirik."

Syirik kepada Allah subhaanahu wata'ala semacam ini, bisa terjadi pada tasyri' (penetapan hukum) apabila sebab tersebut adalah syariat, dan pada takdir apabila sebab tersebut adalah kauni (alami). Tetapi seandainya orang yang merasa sial ini berkeyakinan bahwasanya kesialan dengan sendirinya yang menjadikannya, bukan karena Allah subhaanahu wata'ala, maka dia telah melakukan syirik besar. Karena telah membuatkan untuk Allah subhaanahu wata'ala sekutu dalam penciptaan dan pengadaan." (Al-Qaulul Mufid 'Ala Kitabut Tauhid, 2/93).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta dilakukan tathayyur, meramal atau minta diramalkan, menyihir atau meminta disihirkan. Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad." [HR. al-Baz-zar. Al-Mundziri berkata, "Sanadnya baik" (Tar-ghib, 4/33). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga meng-anggap baik sanadnya (Fathul Bari, 10/213). Ath-Thabrani meriwayatkan awal hadits dengan sanad yang hasan dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami'].

Dari Urwah bin Amir al-Qurasyi ia berkata, "Thiyarah disebutkan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau kemudian bersabda, yang artinya "Yang paling baik adalah optimis, Ia tidak akan mengurungkan (niat) seorang muslim." (HR. Abu Daud di ath-Thib, no. 3919. Urwah bukan seorang sahabat. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadush Shalihin dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam Kitabut Tauhid)

Pemberitahuan Rasulullah bahwasanya tathayyur termasuk sihir, sebagaimana sabda beliau,yanga rtinya "Iyafah, thiyarah dan thurq termasuk sihir." (HR. Ahmad, 3/477, Abu Daud, no. 3904 dengan sanad jayyid (baik) dan dihasankan oleh Imam an-Nawawi).
(Al-Jibt adalah sihir sebagaimana yang ditafsirkan oleh Umar bin Khattab. Iyyafah: menerbangkan burung dan optimis dengannya. Thurq: Memukul dengan tongkat, atau membuat garis di pasir sebagaimana yang dilakukan oleh tukang tenung untuk mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi dan lainnya.)

Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan kesialan bersandar kepadanya untuk mengetahui sesuatu yang ghaib sebagaimana yang dilakukan oleh tukang sihir yang bersandar kepada pembalikan hakikat sesuatu dengan sesuatu yang tersembunyi

Dalam menghadapi kesialan manusia dibagi menjadi tiga kelompok:

1. Pertama, Orang yang merasa sial dan mengikuti konsekwensinya. Mereka tidak urung melakukan sesuatu atau terus melakukannya karena didorong oleh perasaan sialnya. Orang ini telah melakukan sesuatu yang haram dan memasuki salah satu pintu syirik, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

2. Kedua, Orang yang apabila terjadi sesuatu yang membuat orang lain sial, maka dia tidak bisa meninggalkan sesuatu yang harus dia kerjakan, namun dia tetap bingung dan susah, dia takut dengan pengaruh kesialan. Orang ini lebih baik dari yang pertama karena dia tidak mengikuti perasaan sialnya, namun tersisa dalam dirinya pengaruhnya. Hendaknya dia melanjutkan (pekerjaannya) dengan bertawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan memasrahkan semua urusannya kepadaNya.
Al-Hulaimi berkata, "Jika dia mengetahui bahwasanya Allah subhaanahu wata'ala Yang Maha Mengatur, namun dia khawatir dengan kejahatan, karena pengalaman membuktikan bahwa suara atau keadaannya sudah diketahui akan diikuti dengan kejahatan, jika dirinya tetap berperasangka demikian maka dia telah bersalah. Apabila dia memohon kepada Allah subhaanahu wata'ala kebaikan dan berlindung kepadaNya dari kejelekan dan melanjutkan pekerjaannya dengan bertawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala, maka apa yang ada pada dirinya tidak berpengaruh kepadanya. Kalau tidak demikian, maka dia akan dibalas dengannya. Terkadang apa yang dibenci tersebut terjadi pada dirinya sebagai hukuman bagi dirinya, sebagaimana yang banyak terjadi pada orang-orang Jahiliyah, wallahu a'lam." (Fathul Bari, 10/ 215).

3. Ketiga, Tingkatan yang paling tinggi yaitu orang yang tidak melakukan tathayyur dan tidak memperdulikan pengaruh tathayyur. Bukan berarti tidak ada perasaan di dalam hatinya sedikit pun. Tetapi apabila ada perasaan sial di dalam hatinya, maka dia segera menolaknya dengan tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan memasrahkan segala urusannya kepadaNya.

Mu'awiyah bin Hakam berkata, "Saya berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 'Di antara kami ada orang yang merasa sial, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya "Itu adalah sesuatu yang terlintas di hatinya, maka jangan dia terpengaruh dengannya." (HR. Muslim, 4/1748).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud ra, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yang artinya "Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyaroh adalah syirik, tidak ada di antara kita kecuali dia seorang manusia (yang memiliki perasaan itu) namun Allah menghilangkannya dengan tawakkal."

Kata "illa" maksudnya tidak ada seorang manu-sia yang selamat darinya (perasaan sial), namun Allah subhaanahu wata'ala menghilangkannya dengan tawakkal. Kalimat dalam hadits ini tambahan dari Abdullah bin Mas'ud ra sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ulama`. [Hadits ini telah disebutkan perawinya sebelumnya.

At-Tirmidzi berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) berkata, " Sulaiman bin Harb berkata tentang hadits ini, menurutku ini adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu."

Dari Buraidah bahwasanya Rasulullah saw tidak pernah merasa sial karena sesuatu. Apabila mengutus seorang pekerja, beliau bertanya tentang namanya. Jika namanya mengherankan beliau, maka beliau berbahagia dengannya dan hal itu tergambar di wajahnya. Apabila beliau membenci namanya, maka hal itu pun terlihat di wajahnya. Jika memasuki sebuah perkampungan beliau bertanya tentang nama kampung tersebut, jika namanya mengherankan beliau, maka kegembiraannya itu tergambar di wajahnya. Apabila beliau membenci namanya, maka hal itu akan terlihat di wajahnya. (HR. Ahmad, 5/347, Abu Daud di ath-Thib, no. 3920 dan dihasankan sanad-nya oleh al-Hafiz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/215).

Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh memperdulikan perasaan sialnya sehingga mengurungkan dirinya dari keperluannya. Hendaknya dia meneruskannya sembari bertawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala dan membaca dzikir yang diajarkan (oleh Rasulullah saw) tentang hal itu. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang diurungkan dari keperluannya oleh perasaan sialnya, maka dia telah melakukan kesyirikan.

Para sahabat bertanya, ’Apa kafarahnya?’ Beliau bersabda, "Hendaknya membaca, "Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tidak ada Sesembahan yang haq kecuali Engkau." (HR. Ahmad, 2/220, Ibnu as-Sunni, no. 293 dan ath-Thabrani di al-Majma', 5/105).
Di dalam hadits Urwah terdahulu disebutkan bahwa perasaan sial disebut di hadapan

Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, "Paling baik adalah fa'l, tidak boleh menggagalkan niat seorang muslim. Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah membaca, "Ya Allah, tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang bisa menolak kejelekan kecuali Engkau. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Engkau." (HR. Abu Daud di al-Thib, no. 3919. Urwah bukan seorang sahabat. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadush Shalihin dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam Kitabut Tauhid)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada adwa (penularan penyakit) dan thiyarah, sesungguhnya kesialan itu ada pada tiga hal; kuda tunggangan, wanita dan rumah."

Dalam riwayat lain disebutkan, "Jika ada kesialan maka pada rumah, wanita dan kuda." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Para ulama` berselisih tentang maksud hadits ini. Imam Malik dan pengikutnya berkata bahwa ia sesuai dengan dzahirnya. Terkadang Allah subhaanahu wata'ala menjadikan rumah memberikan kemudharatan dan kebinasaan kepada penghuninya. Begitu juga dengan mengambil seorang wanita sebagai pembantu atau kuda atau pekerja. Kadang-kadang semua itu bisa mendatangkan kemudharatan dengannya atas takdir Allah subhaanahu wata'ala. Maksudnya kesialan bisa terjadi pada tiga hal tersebut.

Al-Khathabi dan banyak yang lainnya berkata, "Bahwasanya ia merupakan pengecualian dari thiyarah. Maksudnya kesialan dilarang kecuali pada rumah yang dia diami, wanita yang dia tidak suka bergaul dengannya, atau kuda dan pembantu, maka hendaklah berpisah dengan semuanya."

Imam Ibnul Qayyim berkata, "Pemberitahuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang kesialan pada tiga hal tersebut, bukan berarti menetapkan adanya kesialan. Tetapi maksudnya adalah Allah subhaanahu wata'ala terkadang menjadikan sesuatu membawa kesialan kepada orang yang mendekatinya atau menempatinya. Atau sesuatu yang barakah dan tidak memberi kesialan dan kejelekan kepada orang yang mendekatinya."

Sebagaimana Allah subhaanahu wata'ala memberikan orang tua seorang anak yang barakah, keduanya bisa melihat kebaikan pada wajahnya, dan memberikan yang lainnya anak yang membawa kesialan dan melihat kejelekan di wajahnya. Begitu juga yang terjadi pada seorang budak dengan majikannya dan lainnya. Demikian pula halnya dengan rumah dan tunggangan. Allah subhaanahu wata'ala menjadikan kebaikan dan kejelekan juga kebahagiaan dan penderitaan. Sebagian dari benda ini dijadikan oleh Allah subhaanahu wata'ala membawa kebahagiaan dan keberkahan dan memberikan kebahagiaan kepada orang yang mendekatinya dan memberikan keberkahan dan keberuntungan kepadanya. Dan yang lain Allah subhaanahu wata'ala ciptakan membawa sial dan mem-berikan kesialan kepada orang yang mendekatinya. Semuanya itu atas qada' dan qadar Allah subhaanahu wata'ala. Sebagaimana Allah subhaanahu wata'ala menciptakan sebab dan mengikatnya dengan penyebabnya yang berbeda dan beragam. Perbedaan antara kedua hal ini bisa ditangkap dengan indera. Begitu juga halnya dengan rumah, wanita dan kuda. Ia merupakan satu masalah dan kesialan masalah yang lain."

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan tuntunan berupa do’a yang bermanfaat kepada seorang muslim untuk menolak kemudharatan ketika menikahi seorang wanita atau membeli budak (mendatangkan pembantu) dan tunggangan. Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila salah satu di antara kalian menikahi seorang wanita atau mem-beli budak, maka hendaklah membaca,"Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikannya dan kebaikan yang diberikan kepadanya. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan yang diberikan kepadanya."

Apabila membeli onta, maka hendaklah memegang ubunnya dan mengucapkan yang demikian itu." (HR. Abu Daud, no. 2160, an-Nasa'i di Amalul Yaum wal Lailah, no. 240, Ibnu Majah, no. 1918 dan al-Hakim dan menshahihkannya. Ia disepakati oleh adz-Dzahabi dan dishahihkan oleh an-Nawawi di al-Adzkar)

Kami telah menjelaskan sebelumnya makna fa'l (perasaan optimis) dan perbedaannya dengan perasaan sial. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu merasa optimis dan tidak pernah merasa sial. Diriwayatkan oleh Anas bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidak ada adwa dan tidak ada thiyarah, tetapi fa'l menyenangkan diriku. Para sahabat bertanya, ‘Apakah fa'l itu?’ Beliau menjawab, "Yaitu kalimat thayibah (kata-kata yang baik)."

Dalam riwayat lain disebutkan, "Kalimat yang baik dan kalimat yang tayyibah."

Al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam senang kepada fa'l (optimistis), karena kesialan adalah buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala tanpa sebab yang pasti. Sementara optimistis adalah berbaik sangka kepada-Nya. Seorang mukmin diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala dalam segala hal."

Ath-Thibi berkata, "Maksud pembolehan fa'l dan larangan kepada kesialan bahwa seseorang seandainya melihat sesuatu dan menyangkanya baik dan bisa mendorongnya untuk mendapatkan hajatnya, maka hendaklah dia melakukannya. Apabila melihat kebalikan dari hal itu, maka janganlah dia memperdulikannya, tetapi dia melanjutkannya untuk mendapatkannya. Jika dia memperdulikannya dan berhenti untuk mendapatkan (hajatnya), maka itulah thiyarah yang dipergunakan untuk kesialan." (Fathul Bari, 10/215).

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Kata-kata yang baik menyenangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena ia bisa menyenangkan jiwa dan membahagiakannya, serta melanjutkan sesuatu yang ingin dilakukan oleh manusia. Hal ini bukanlah kesialan, tetapi termasuk sesuatu yang bisa memotivasi seseorang, karena ia tidak mempengaruhinya. Bahkan dia menambah ketenangan, semangat dan kemajuan." (Al-Qaulul Mufid, 2/88).

Ibnul Atsir berkata, "Fa'l merupakan sesuatu yang diharapkan datangnya berupa kebaikan, dzahirnya baik dan menyenangkan. Kesialan tidak terjadi kecuali pada sesuatu yang menyakitkan. Rasulullah a senang kepada kata-kata yang baik, karena manusia apabila menginginkan keutamaan dari Allah subhaanahu wata'ala dan mengharapkan kembalinya pada setiap sebab yang lemah atau yang kuat, maka dia berada dalam kebaikan. Jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, maka dia telah mendapatkan pahala raja' (berharap) kepada Allah subhaanahu wata'ala dan meminta apa yang ada di sisiNya. Dalam raja' ada kebaikan yang segera untuk mereka. Bukankah ketika mereka terputus keinginan dan harapannya kepada Allah subhaanahu wata'ala, mereka berada dalam kejelekan?
Adapun kesialan, maka ia termasuk buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala, terputusnya harapan, berharap datangnya bala' dan putus asa dari kebaikan. Semuanya itu tercela oleh semua orang yang berakal dan terlarang dalam agama. Di dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika disebutkan kesialan di sisinya, beliau bersabda, "Yang paling baik adalah fa'l (kata-kata yang baik)."

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya fa'l tidak termasuk thiyarah (kesialan), namun mirip dengan thiyarah dari segi kelangsungan. Ia akan menambah semangat dan motivasi kepada seseorang atas apa yang sedang dihadapinya. Dia menyerupai kesialan dari segi ini. Kalau tidak, maka antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Thiyarah membuat seseorang bergantung kepada apa yang membuatnya sial, melemahkan tawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala dan mengurungkan diri melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang dia lihat. Adapun fa'l, akan menambah kekuatan, ketetapan hati dan semangat. Kesamaannya adalah pada pengaruh yang diberikan oleh kedua-nya." (Al-Qaulul Mufid, 2/89).

Untuk menambah pengetahuan seputar tathayyur bisa merujuk kepada kitab:
1. Kitabut Tauhid dan penjelasannya.
2. Al-Qaulul Mufid 'ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
3. Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 5/328 dan seterusnya; 12/182 dan seterusnya.
4. Jami'ul Ushul, Ibnul Atsir, 7/628 dan seterusnya.
5. Ilmu al-Sihr wal Sya'wazah, Syaikh Sulaiman al-Asyqar.

Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya.

Allahu a'lam

sumber kutipan : http://www.alsofwah.or.id , Dr. Muhammad bin Abdul Aziz Al-Khudhairi , "Khatharut tathayyur wat Tasyaa'um .

ikhlas

Orang yg ikhlas adalah orang yg tak menyertakan kepentingan pribadi atau imbalan dari apa yg dapat ia lakukan. Konsentrasi orang yg ikhlas cuma satu yaitu bagaimana agar apa yg dilakukan diterima oleh Allah SWT.
Ikhlas merupakan satu amalan yang tidak dicampuri sesuatu yang mengotorinya karena kehendak-kehendak nafsu, seperti keinginan untuk memperlihatkan amal tampak lebih indah dimata orang , tidak ingin dicela / sanjungan, atau apapun alasannya yang secara keseluruhan dapat disatukan sebagai kehendak untuk selain hanya karena Allah saja. Firman Allah, yang atinya ,” Dan, siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan ?” (Qs. An-nisa’ : 125). Menyerahkan diri kepada Allah diartikan sebagai memurnikan tujuan dan amal karena Allah. Sedangkan mengerjakan kebaikan ialah mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Firman Allah, yang artinya ,” Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya , maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutu-kan seorangpun dalam beribdah kepada Rabb-nya”, (Qs. Al-Kahfi : 110) .

Firman Allah, yang artinya “ Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamany dengan lurus ,” (Qs. Al-Bayyinah : 5).

Apapun yg dilakukan kalau konsentrasi kita hanya kepada Allah itulah ikhlas. Seperti yg dikatakan Imam Ali bahwa orang yg ikhlas adalah orang yg memusatkan pikiran agar tiap amal diterima oleh Allah. Seorang pembicara yg tulus tak perlu merekayasa kata-kata agar penuh pesona tapi ia akan mengupayakan tiap kata yg diucapkan benar-benar menjadi kata yg disukai oleh Allah. Allah Mahatahu segala lintasan hati Mahatahu segalanya! Makin bening makin bersih semua semata-mata krn Allah maka kekuatan Allah yg akan menolong segalanya.

Dalam sebuah hadits qudsy shahih, disebutkan bahwa Rasuluulah bersabda bahwa ,”Allah berfirman ,”Aku adalah paling tidak membutuhkan persekutuan dari sekutu-sekutu yang ada. Barang siapa mengerjakan suatu amal, yang didalamnya ia menyekutukan selain-Ku, maka ia menjadi milik yang dia sekutukannya dan Aku terbebas darinya “.
Saudaraku, banyak definisi tentang ikhlas namun tujuannya adalah sama. Ada yang berpendapat ;

• Ikhlas adalah menyendirikan Allah sebagi tujuan dalam ketaatan,
• Ikhlas artinya membersihkan perbuatan dari perhatian makhluk
• Ikhlas artinya menjaga amal dari perhatian manusia, termsuk dirinya sendiri.
• Al-Fudhail,menyatakan ‘ meninggalkan amal karena manusia adalah riya’, dan mengerjakan amal karena manusia adalah syirik. Sedangkan ikhlas adalah jika Allah memberikan anugerah kepadamu untuk menninggalkan keduanya’
• Dalam manazilus sa’irin, ikhlas adalah membersihkan amalan dari segala campuran.

Bahkan ada yang berpendapat bahwa , siapa yang mempersaksikan (mengaku) ihklas dalam ikhlas, berarti ikhlasnya masih membutuhkan ikhlas lagi.

Buah apa yg didapat dari seorang hamba yg ikhlas itu?
Seorang hamba yg ikhlas akan merasakan ketentraman jiwa ketenangan batin. Karena ia tak diperbudak oleh penantian utk mendapatkan pujian penghargaan dan imbalan. Kita tahu bahwa penantian adalah suatu hal yg tak menyenangkan.

Tapi bagi seorang hamba yg ikhlas ia tak akan pernah mengharapkan apapun dari siapapun karena keni’matan bagi bukan dari mendapatkan tapi dari apa yg bisa dipersembahkan. Ketidak ikhlasan akan banyak membawa kecewa dalam hidup ini. Orang yg tak ikhlas akan banyak tersinggung dan terkecewakan krn ia memang terlalu banyak berharap. Karena biasakanlah kalau sudah berbuat sesuatu kita lupakan perbuatan itu. Kita titipkan saja di sisi Allah yg pasti aman. Jangan pula disebut-sebut diingat-ingat nanti malah berkurang pahalanya.

Saudaraku. Keikhlasan membuat seorang hamba punya kekuatan ia tak akan kalah oleh aneka macam selera rendah yaitu rindu pujian dan penghargaan.
Menurut manazilus sa’irin :, ikhlas ada tiga derajat;

a. tidak melihat amal sebagai amal, tidak mencari imbalan dari amal, dan tidak puas terhadap amal.
Ada tiga macam penghalang dan rintangan bagi seorang hamba yang beramal dalam amalnya. : yaitu pandangan dan perhatiannya, keinginan akan imbalan dari amal itu dan puas/ senang kepadanya.
Yang bisa membersihkan penghalang itu, adalah mempersaksikan karunia dan taufik Allah kepadanya, bahwa amal itu datang dari Allah dan bukan datang dari dirinya, kehendak Allah-lah yang membuat amalnya ada dan bukan kehendak dirinya sendiri. Kyakinan bahwa kebaikan yang keluar dari jiwanya hanya berasal dari Allah dan bukan berasal dari hamba.
Sebagaimana firman Allah , yang artinya , “ Sekiranya tidak karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kalian bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya” . (Qs. An-Nur : 21).

b. Malu terhadap amal sambil tetap berusaha, untuk membenahi amak dengan tetap menjaga kesaksian, memelihara cahaya taufik yang dipancarakan dari Allah.
Dalam kondisi ini , seorang hamba merasa malu kepada Allah karena amalnya, karena dia merasa amal itu belum layak dilakukan karena Allah, namun amal itu tetap diupayakan.

Firman Allah, yang artinya ,” Dan, orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnyamereka akan kembali kepada Rabb mereka ,” (Qs. Al-Mukminun : 60).

Rasulullah saw menjelaskan maksud ayat ini dengan bersabda, “ dia adalah orang yang berpuasa, mendirikan shalat, mengeluarkan shadaqah, dan dia takut amal-amalnya ini tidak diterima”.
Sebagian ulama menyatakan ,’aku benar-benar mendirikan shalat dua rekaat, namun ketika mendirikannya aku tak ubahnya seorang pencuri dan pezina yang tidak dilihat orang, karena merasa sangat malu kepada Allah’.

c. Memurnikan amal dengan memurnikannya dari amal, membiarkan amal berlalu berdasarkan ilmu, tunduk kepada hukum kehendak Allah dan membebaskannya dari sentuhan rupa.
Atau dikatakan sebagai membiarkan amal itu berlalu berdasarkan ilmu dan hamba tunduk kepada hukum kehendak Allah. Dalam hal ini seorang hamba bertindak berdasarkan dua perkara, yaitu perintah dan larangan, yang berkaitan dengan apa yang harus dikerjakan atau ditinggalkannya, dan qadha dan qadar, yang berkaitan dengan iman, kesaksian dan hakikat.

Allahu a’lam

sumber : file chm bundel Tausyiah Manajemen Qolbu Aa Gym, Madarijus Salikin, Ibn Qayyim al-Jauziya.

keindahan dibalik kegagalan

Suatu kegagalaan tidak selalu harus disikapi dengan penyesalan. Ada hal yang tersembunyi disana, yang seringkali kita tidak menyadarinya. Dimana seh letak manisnya kegagalan ? Semua kegagalan yang anda alami itu indah, karena ia dapat mencegah tumbuhnya kotoran-kotoran kesuksesan. Anda perlu mengetahui bahwa kotoran kesuksesan yang amat berbahaya adalah keangkuhan.
Keangkuhan membuat kita tidak dapat tumbuh lebih besar lagi. Keangkuhan akan membuat kita menutup hati dan pikiran dari masukan atau pendapat orang lain. Seorang usahawan yang angkuh akan segera tergeser oleh para pesaing, karena ia tidak dapat membuka diri atas masuknya ide-ide baru bagi perkembangan usahanya.
Seorang ilmuwan yang angkuh akan segera usang, karena ilmu atau hasil penemuannya akan segera tergantikan dengan munculnya penemuan-penemuan baru yang lebih canggih.

Kenapa terjadi demikian, karena ia menganggap apa yang telah diketahuinya merupa-kan kebenaran yang absolute. Keangkuhan akan membuat semuany amenjadi stagnan.
Dalam kegagalan kita akanmenemukan sosok kerendahhatian. Dengan kerendahhatian, seseorang akan lebih mudah untuk banyak belajar. Itulah pertumbuhan yang sebenar-nya . Ia akan terus hidup dan tumbuh . Kerendahhatian adalah laksana bunga indah yang mekar. Keharumannya menarik orang lain untuk mendekat.Dalam kerendahatian terdapat cahaya yang menghangatkan yang menarik perhatian orang.

Dalam kerendahhatian juga muncul adanya kewaspadaaan. Dimana dalam kewaspadaan anda akan terus bersiap. Anda akanmenjadi orang yang reseptif dan open minded. Yang senatiasa membuka diri bagi kebenaran yang datangnya dari manapun dan dari siapapun. Dalam kewaspadaan anda terhidar dari lubang yang sama.

Kotorang sukses yang lain , adalah senang pujian. Kadangkala pujian yang tidak ditem-patkan dengan baik justru akan berakibat buruk. Sebagaimana Rasulullah pernah mem-peringatkan para sahabatnya, bila ada seseorang yang sering memuji, maka lemparkan-lah pasir kepadanya. Ini adalah kiasan untuk tidak mengharapkan puji-pujian karena pujian itu akan melenakan hati. Pujian terasa semanis madu namun sesungguhnya beracun.

Pujian dalam dosis tertentu justru akan merusak kreativitas dan pertumbuhan seseorang. Dengan pujian , ia akan malas bahkan berhenti untuk belajar. Ia akan terlena menikmati setiap pujian yang datang.

Kotoran sukses selanjutnya adalah kesuksesan itu sendiri. Kesuksesan yang berlebihan akan membuat seseorang mabuk dalam keterlenaan. Dan akan memudarkan rasa syukur kepda-Nya , akan memudarkan semangat memohon ampun kepada-Nya. Bagaimana ia akanmemohon ampun kepada Allah, bila disaat yang sama ia tertawa senang meningmati kesuksesannya. Ini berbeda dengan kegagalan , dimana kegagalan akan membuka seorang hamba untuk kembali kepada Allah, memohon ampun atas kesalahan-kesalahannya.

Allahu a’lam
Sumber kutipan : Yusran Pora, gagal itu indah.

Senin, 01 Agustus 2011

cara meraih Keikhlasan

Keikhlasan merupakan salah satu karakter hamba beriman yang tulus menurut Al-Qur`an. Setiap mukmin harus hidup sesuai dengan Al-Qur`an, untuk menggapai keikhlasan. Hingga titik tersebut, ia harus berfokus kepada Allah dengan hati yang murni dan berjuang untuk mendapatkan keridhaan Allah. Ia juga harus waspada dan berhati-hati untuk menghindari segala jenis pengaruh negatif yang dapat merusak kemurniannya. Setiap orang harus waspada bahwa ia dapat merusak keikhlasannya dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar kebiasaan atau bentuk-bentuk tingkah laku yang didapat dari lingkungan sekitarnya. Sehingga secara berkala, ia harus mengevaluasi niat dan membisikkan setiap kata, melakukan setiap tindakan hanya untuk Allah. Ia harus meyakini bahwa tingkatan moralitas ini tidak sulit dijalankan, tetapi mudah asal ada kemauan

Keikhlasan adalah salah satu karakter terpenting yang harus dimiliki seseorang untuk mengabdi kepada Allah sesempurna mungkin. Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Sesungguhnya, Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur`an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allahlah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya, Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya, Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar,” (Qs. az-Zumar : 2-3)

Kesucian, kejujuran, dan fokus kepada Allah dalam sikap yang bersih dan murni, adalah
sifat-sifat yang bisa didapat tanpa usaha yang besar. Tuhan telah memfasilitasi setiap langkah, bahkan telah membantu kita dengan para nabi-Nya dan mukmin yang saleh. Allah juga telah menunjukkan cara untuk mendapatkan keikhlasan di dalam ayat-ayat-Nya.

Badiuzzaman Said Nursi, menyatakan dalam Risale-e nur, “Wahai saudara-saudaraku di hari akhir nanti! Wahai sahabatku dalam kepatuhan kepada Allah! Engkau mesti mengetahui—dan tahukah kalian bahwa di dunia ini keikhlasan adalah prinsip yang paling penting dalam perbuatan-perbuatan yang berkaitan khususnya dengan hari akhir; ia merupakan kekuatan terbesar, perantara yang paling bisa diterima, dukungan yang paling kokoh, cara yang paling dekat menuju kesungguhan, dan yang paling diterima. Ia adalah alat yang paling menakjubkan untuk meraih tujuan, ia kualitas tertinggi dan ibadah yang paling murni.”

“Karena di dalam keikhlasan terdapat banyak kekuatan dan cahaya... kami tentu saja memaksa siapa pun untuk bekerja dengan segenap kekuatan untuk mencapai keikhlasan. Kita perlu menanamkan keikhlasan di dalam diri kita. Jika tidak, apa yang kita capai selama ini dalam amal yang tersembunyi akan hilang sebagian dan tak akan kokoh; dan kita akan bertanggung jawab.”

Di dalam ayat-ayat Al-Qur`an, Allah menjelaskan bagaimana seseorang mencapai keimanan dan keikhlasan yang tak ternoda. Setiap manusia telah diciptakan dengan kemampuan untuk mengerti dan merasakan keikhlasan dan kemurnian. Karena itulah, untuk mencapai dan meningkatkan keikhlasan seseorang, sebenarnya sederhana. Bahkan jika seseorang benar-benar bodoh, ia dapat meraih keikhlasan dengan bersandar pada hati nuraninya. Ia dapat memahami mana yang ikhlas dan mana yang tidak.

Ia dapat membebaskan dirinya dari segala tingkah laku yang menghalangi keikhlasan setelah berpaling kepada Allah dengan tulus hati. Karena itulah, seseorang harus menyadari bahwa hatinya adalah petunjuk dari Tuhan. Ia tidak boleh membodohi dirinya dengan alasan-alasan seperti, “Saya tidak tahu cara mana yang tulus,” “Saya tidak mengira bahwa sikap ini akan mengurangi keikhlasan,” “Saya kira saya orang yang ikhlas dan tulus,” dan sebagainya.

Ia harus selalu ingat bahwa alasan-alasan tersebut tidaklah tulus, hanya dicari-cari untuk menenangkan hatinya. Jadi, mudah bagi seseorang yang menerima dengan hatinya untuk menggapai keikhlasan dan menjaganya hingga hari pembalasan.

Untuk mendapatkan keikhlasan sejati, seseorang pertama-tama harus memahami mengapa
keikhlasan itu penting. Ia harus memiliki keinginan untuk mendapatkan tingkat keikhlasan tersebut. Hal ini karena siapa pun yang gagal memahami keikhlasan, ia dapat selanjutnya mencari kekuatan dan kekuasaan dengan hal-hal yang bersifat keduniawian. Ia akan mengejar dunia untuk mendapatkan martabat sosial. Orang seperti itu mencari ketenaran, reputasi, kemuliaan, kekayaan, kecantikan, ijazah pendidikan, dan kehormatan lainnya.

Akan tetapi, tak ada satu pun hal di atas yang dapat memberikan kekuatan dan kekuasaan yang sesungguhnya, tidak di dunia ini ataupun di hari akhir. Demikianlah, Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan para mukmin bahwa kekuatan di dunia dan di akhirat itu
hanya didapatkan melalui keikhlasan. Ia menyatakan, “Engkau harus tahu bahwa semua kekuatanmu ada dalam keikhlasan dan kebenaran. Ya, kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan. Bahkan, bagi mereka yang salah mendapatkan kekuatan dari keikhlasan dalam kesalahan mereka. Bukti bahwa kekuatan ada di dalam kebenaran dan keikhlasan adalah apa yang kita kerjakan untuk Allah ini. Sedikit keikhlasan di dalam karya kita membuktikan pernyataan ini dan bukti keikhlasan itu sendiri.”

Sebagai cotoh, mari kita misalkan bahwa sebuah tugas yang disangka baik oleh muslim dikerjakan oleh empat atau lima orang. Mari juga kita bayangkan bahwa salah seorang di antara mereka dipercayai untuk merngerjakan sebuah tugas yang pasif, tidak penting, dan berada di balik layar, tetapi begitu sulit dikerjakan. Sementara itu, orang yang lainnya ditugaskan dalam tugas yang aktif, tampak di depan, yang langsung menarik perhatian dan pujian dari orang lain. Jika orang pertama menolak untuk mengerjakan tugas tersebut hanya karena ia akan berada di belakang dan tidak akan mendapatkan pujian, dan ia ingin
menukar tugasnya dengan kesempatan yang lebih besar dan menjanjikan untuk endapatkan pengakuan dan kehormatan, maka hal ini akan merusak keikhlasannya.

Dalam kondisi demikian, orang tersebut akan terbawa pada pikiran-pikiran yang tidak tulus, seperti, “Walaupun saya berusaha keras, nama saya tidak akan disebutkan. Terlebih lagi, orang lain akan lebih banyak mendapatkan balasan kendati ia bekerja lebih sedikit dari saya.” Maka dari itu, cara yang paling mulia untuk diikuti dalam situasi seperti ini adalah
bekerja hanya untuk mendapatkan pengakuan dan pujian Allah, untuk mencari keridhaan-Nya.

Jika pekerjaan itu tampaknya memberikan manfaat, tidaklah penting siapa yang ikut serta di dalamnya. Bahkan, jika ia tampaknya tidak memperoleh pengakuan dari orang lain dan tetap tidak dikenal, ia tetap harus mengerjakan kesempatan tersebut dengan antusias untuk mendapatkan keridhaan Allah. Inilah yang dimaksud dengan ikhlas.

Seseorang yang selalu melakukan sesuatu dengan ikhlas, tidak hanya akan sukses dan menikmati kedamaian pikiran di dunia ini, tetapi juga mendapatkan balasan di hari akhir. Hal ini karena orang yang demikian tidak bergantung pada harta duniawi, kekuasaan, kepemilikan kekayaan, dan kehormatan sosial, tetapi hanya bergantung pada Allah.

Sebagaimana digambarkan di dalam ayat berikut, Allah selalu menolong mereka yang bertujuan kepada-Nya dengan pengabdian yang murni.
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya “... Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya, Allah benar-benar Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (Qs. al-Hajj: 40)

Karena itu, tidak ada suatu kekuatan pun yang dapat melawan keimanan dan keikhlasan. Melalui keikhlasan, seseorang dipastikan akan mendapatkan bantuan, dukungan, dan kekuatan dari Allah.

Allahu a'lam
Sumber : Sincerity Described in The Qur`an, Harun Yahya . Risale- i nur Badiuzzaman Said Nursi