Allah berfirman
وَيْلٌ
لِّلْمُطَفِّفِينَ
الَّذِينَ إِذَا
اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
وَإِذَا كَالُوهُمْ
أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besar bagi orang-2 yg curang, (yaitu) orang-2 yg bila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan bila mereka menakar atau menimbang utk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
“Kecelakaan besar bagi orang-2 yg curang, (yaitu) orang-2 yg bila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan bila mereka menakar atau menimbang utk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dlm
tafsirnya, bhw Muthaffifin adl orang yg meminta
haknya secara utuh namun mengurangi hak orang (pihak) lain. Artinya, mereka
mengumpulkan dua sifat ('syuhh' dan bakhil). Syuhh
adl menuntut hak secara penuh, sedangkan bakhil adl enggan melaksanakan
kewajiban, (enggan menyempurnakan takaran ,timbangan). Ustadz Abu Minhal, (almanhaj.or.id)
menjelaskan bhw makna muthaffifin
sebagaimana dlm al-Jami li Ahkâmil
Qur`an , bhw kata wail (وَيْلٌ) artinya
adzab yg dahsyat di akhirat.
Ibnu Abbas ra berkata, “Itu adalah satu
jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.” Sementara
kata التَّطْفِيفُ
(at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya
sesuatu yang sedikit.[ Jami’u al-Bayâni fi Ta`wil Ay al-Qur`an, ath-Thabari
15/114, al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/219, Tatimmah Adhwaul Bayan 9/91 ]
Sedangkan , si pelaku disebut mutathaffif karena ia mencuri
(mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan walaupun
kadang dlm kadar yg sedikit.[ al-Jami li
Ahkamil Qur`an 19/219 ]
Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[ Jami’u al-Bayani fi Ta`wil Ay al-Qur`an, 15/114, Ahkâmul Qur`an , Ibnul ‘Arabi, 4/274 ]
Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[ Jami’u al-Bayani fi Ta`wil Ay al-Qur`an, 15/114, Ahkâmul Qur`an , Ibnul ‘Arabi, 4/274 ]
Allah Azza wa Jalla langsung menafsirkan
hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan
berikutnya, dengan berfirman [sebagaimana ditulis dl Tatimmah Adhwaul Bayan
9/91, Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalâmil Mannan , as-Sa’di, hlm. 999 ]
yang artinya, "Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang
lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi." (al-Muthaffifîn/83:1-6)
Dalam al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/220 , dikatakan bhw tindakan kecurangan ini sebagaimana diterangkan Allah Azza wa Jalla , jk orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, mk mereka menuntut takaran dan timbangan yg sempurna dan bahkan masih meminta tambahan. Mereka menuntut hak mereka dipenuhi dg sebaik-baiknya, bahkan kalau bisa dilebihkan.
Dalam al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/220 , dikatakan bhw tindakan kecurangan ini sebagaimana diterangkan Allah Azza wa Jalla , jk orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, mk mereka menuntut takaran dan timbangan yg sempurna dan bahkan masih meminta tambahan. Mereka menuntut hak mereka dipenuhi dg sebaik-baiknya, bahkan kalau bisa dilebihkan.
Namun apabila mereka yg menakar atau
menimbang utk (hak) orang lain, mereka mengurangi kadarnya sedikit, dg cara-cara yg curang. Dilain pihak ,
sifat yg juga melekat pd orang seperti ini adalah mereka
tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yg sama dg perlakuan utk dirinya
(dg dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).
Dalam kitab lain , di Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri
Kalamil Mannan , dikatakan juga bhw kecurangan ini jelas merupakan satu bentuk
praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap
adil dg sesama. Jadi perbuatan mengambil milik orang lain melalui takaran dan
timbangan yg curang walaupun sedikit , tentu berakibat ancaman doa kecelakaan.
Perbuatan sebagaimana diatas yg dijadikan contoh
oleh Allah dalam ayat ini terkait
dg takaran dan timbangan adalah sekadar contoh klasik saja , sehingga bisa
dianalogkan dengan hal-hal yg serupa. Sehingga setiap orang yg menuntut haknya
secara utuh namun tidak mau menunaikan kewajiban dg baik termasuk dlm ayat di
atas. Termasuk di dlmnya ada beragam bentuk-bentuk
kecurangan yg lain. Siapa saja yg menuntut haknya dipenuhi dg sempurna dan
mengurangi hak orang lain, maka ia termasuk dlm ayat tsb.
Misalnya, seorang suami menuntut agar haknya dipenuhi
oleh istrinya dg sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan haknya
sedikitpun. Namun, giliran si suami saat harus memenuhi hak istrinya, justru ia
melalaikan dan tidak menyempurnakannya.
Demikian pula, orangtua yg menginginkan agar anak-anaknya
memberikan hak orangtua dgn utuh, yaitu berbakti kpd orangtuanya dg harta,
badan, dan semua bentuk bakti. Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan hak anak
mereka dan mereka tidak mau melaksanakan kewajiban sbg orangtua. Dikatakan
bhw orangtua ini adalah muthaffif,
sebagaimana suami model pertama juga muthaffif.”
(Tafsir Juz ‘Amma, hal. 93-95
Demikian juga, seorang pekerja (pegawai) yg menuntut agar
mendapatkan gaji (tunjangan) yg utuh,
namun ia melalaikan kewajiban sebagai pekerja sebagaimana perjanjian yang telah
disepakati kedua pihak . Maka pekerja itu termasuk dlm pengertian muthaffif yg Allah tegur
dg teguran keras dalam ayat di atas.
Sebagaimana hadits
عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ
الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sesungguhnya
Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahat.”
(Hr. Bukhari no. 2408, dan Muslim no 4580)
Yang dimaksud “mana’a wahat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, atau meminta hal yg bukan haknya.
Seorang pegawa(pekerja) yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, misal : dalam hal disiplin waktu atau yang lainnya, namun menuntut kompensasi yang penuh, dikhawatirkan maka ia termasuk dalam hadits di atas.
Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, ulama hadits dari Madinah , mengatakan, bhw Setiap pegawai dan pekerja wajib menggunakan jam kerjanya hanya untuk mengerjakan pekerjaan yg menjadi kewajibannya. Tidak diperbolehkan menggunakan jam kerja untuk urusan lain selain pekerjaan yg menjadi kewajibannya.
Dalam Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, dikatakan bahwa Tidak boleh memanfaatkan seluruh jam kerja atau sebagian jam kerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain, jika tidak ada hubungannya dg pekerjaannya. Sesungguhnya, jam kerja tidak lagi menjadi milik pegawai atau pekerja tsb, namun milik pekerjaan dg kompensasi gaji yg didapatkan dari pekerjaan tsb.
Yang dimaksud “mana’a wahat” adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, atau meminta hal yg bukan haknya.
Seorang pegawa(pekerja) yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, misal : dalam hal disiplin waktu atau yang lainnya, namun menuntut kompensasi yang penuh, dikhawatirkan maka ia termasuk dalam hadits di atas.
Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, ulama hadits dari Madinah , mengatakan, bhw Setiap pegawai dan pekerja wajib menggunakan jam kerjanya hanya untuk mengerjakan pekerjaan yg menjadi kewajibannya. Tidak diperbolehkan menggunakan jam kerja untuk urusan lain selain pekerjaan yg menjadi kewajibannya.
Dalam Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf al-Amanah, dikatakan bahwa Tidak boleh memanfaatkan seluruh jam kerja atau sebagian jam kerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain, jika tidak ada hubungannya dg pekerjaannya. Sesungguhnya, jam kerja tidak lagi menjadi milik pegawai atau pekerja tsb, namun milik pekerjaan dg kompensasi gaji yg didapatkan dari pekerjaan tsb.
Al Mu`ammar bin Ali bin al Mu`ammar al-Baghdadi
menasihati Nizhamul Mulk, seorang menteri di masanya di Mesjid Jami’ al-Mahdi.
Di antara nasihat beliau, bahwa Telah dimaklumi bersama, wahai pemuka Islam,
bhw setiap orang memiliki pilihan tentang apa yg diinginkan dan apa yg akan
dilakukan. Jika mau maka dilanjutkan, dan jika tidak mau maka berhenti di
tengah jalan. Adapun orang, dia memiliki
jabatan tertentu, sehingga dia tidak memiliki hak pilihan dalam keinginan dan
tindakan yg akan dilakukannya, karena orang yg memiliki jabatan di pemerintahan
itu, pd hakikatnya adl buruh yg telah menjual waktunya dg kompensasi gaji yg
diterima.
Sebagaimana kita sbg seorang pekerja
(buruh, pegawai) , tentu ingin mengambil upah dari kerja kita sempurna serta
tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, mk hendaklah kita juga memberikan
hak kepada (isntasni) pemberi kerja , seperti tidak mengurangi dari jam kerja
untuk sesuatu yg bukan kepentingan kerja, memperlambat pekerjaan atau tidak
mekasimal dlm melaksanakan kewajiban sbg pekerja.
Misalnya , waktu jam kerja tidak bisa dipergunakan seenaknya sendiri. ia tidak boleh melakukan shalat sunnah dan beri’tikaf sunnah (pada waktu jam kerja, pent) sehingga dia tidak memikirkan dan mengatur hal-hal yg menjadi kewajibannya. Hal itu dikarenakan, amal-amal tersebut bernilai sunnah sedangkan pekerjaan adalah kewajiban yg harus dikerjakan.
Wajib atas setiap pegawai dan pekerja
untuk menggunakan waktu yg telah dikhususkan bekerja pd pekerjaan yg telah
dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pd perkara-perkara lain
selain pekerjaan yg wajib ditunaikannya pd waktu tsb.
Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu
atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain
apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah milik
pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil
upah dengannya.
Ibnu Rajab dalam Dzail Thabaqat al-Hanabilah,
1/43 berkata bahwa engkau, wahai pemuka Islam, meski engkau berstatus sebagai
menteri namun hakikatnya engkau adalah pelayan masyarakat. Negara telah
menggajimu dengan gaji yang besar supaya engkau menggantikan tugas negara di
dunia dan di akhirat.
Di dunia untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin, sedangkan di akhirat untuk menjawab pertanyaan Allah. Engkau akan berdiri di hadapan Allah, lalu Allah akan berkata kepadamu, “Telah kuberikan kekuasaan kepadamu untuk mengatur negeri dan rakyat, lalu apa saja yg telah kau lakukan utk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan?”
Di dunia untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin, sedangkan di akhirat untuk menjawab pertanyaan Allah. Engkau akan berdiri di hadapan Allah, lalu Allah akan berkata kepadamu, “Telah kuberikan kekuasaan kepadamu untuk mengatur negeri dan rakyat, lalu apa saja yg telah kau lakukan utk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan?”
Sungguh sangat menyedihkan, bila kaum
muslimin yg melalaikan kewajiban ini. Seorang pegawai atau pekerja dg santainya
seakan tidak merasa berdosa pulang sebelum jam kerja berakhir dan terlambat tiba
di tempat kerja, tanpa alasan yg jelas. Demikian pula, seorang guru namun
jarang masuk kelas untuk menunaikan kewajibannya sbg pengajar.
Sesungguhnya menzhalimi orang lain
(pihak lain) lebih berat daripada menzhalimi diri sendiri dg melalaikan hak Allah
subhanahu wa ta'ala. Karena dosa
kezhaliman thd diri sendiri dg melalaikan hak Allah, bergantung kpd kehendak
Allah, selain dosa syirik tentunya. Jika Allah subhanahu wa ta'ala berkehendak
mengampuninya, Allah akan mengampuninya, dan jika tidak maka Allah akan
mengadzabnya.
Namun kezhaliman thd hak orang lain (pihak lain) , tidak
tergantung kpd kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, orang itu harus membayarnya.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Menurut
anggapan kalian siapakah orang muflis(pailit) itu?”,
Mereka menjawab: ‘Orang yang pailit
(bangkrut) menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya
barang.’
Rasulullah bersabda, yang artinya :
“Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari
kiamat dengan membawa pahala kebaikan laksana gunung-banyak sekali, namun ia
telah menzalimi si A, telah memaki si B, telah memukul si C dan telah merampas
harta si D. Lalu si A mengambil pahala kebaikannya, si B mengambil pahala
kebaikannya dan si C juga mengambil pahala kebaikannya. Jika habis pahala
kebaikannya sebelum ia membayarnya hutang-hutangnya itu, maka akan diambil
dosa-dosa orang yang dizhaliminya tadi kemudian dicampakkan kepadanya. Kemudian
ia pun dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)
Syaikh Al-Mu’ammar bin ‘Ali Al-Baghdadi rahimahullah memberikan nasehat kepada para pejabat sipil kerajaan,
diantara yang beliau ucapkan pada awal nasehat tersebut adalah, “Sudah menjadi
perkara yang maklum –wahai para pemuka Islam!-, bahwasanya salah seorang rakyat
memiliki pilihan dalam tujuan dan pelaksanaan (urusan mereka sendiri), apabila
mereka mau, mereka meneruskan dan apabila mau, mereka bisa menghentikan. Adapun
orang yang memegang wilayah, sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam
keinginan dan pelaksanaan. Sebab siapa yang diangkat sebagai pemimpin, pada
hakekatnya dia adalah pegawai, dia telah menjual waktunya dan telah mengambil
harganya., sehingga tidak tersisa lagi baginya dari siangnya waktu untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan pilihannya, tidak ada waktu baginya untuk shalat nafilah
(sholat sunnah) dan tidak pula masuk i’tikaf...., sebab hal itu hanyalah
tambahan, sedangkan ini (yakni tugas yang ia emban) adalah kewajiban yang
pasti.”
Wajib
bagi setiap pegawai dan keryawan untuk menggunakan jam kerjanya untuk
menjalankan tugas khususnya, sehingga dia tidak menyibukkan diri pada jam kerja
tersebut dengan urusan lain selain tugas yang wajib dia kerjakan serta tidak
menggunakan seluruh jam kerja atau sebagiannya untuk kepentingan pribadi dan
tidak pula untuk kepentingan orang lain, apabila memang tidak ada hubungan
kerja dengannya. Sebab jam kerja bukanlah milik pegawai dan karyawan, bahkan
jam kerja tersebut untuk meningkatkan kualitas kerja yang dia mengambil upah
darinya sebagai imbalan.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, yg artinya “Barang siapa
mempekerjakan seorang buruh hendaknya memberitahukan terlebih dahulu berapa
jumlah upahnya.”
Tujuannya,
agar seorang buruh memiliki motivasi kerja yang tinggi. Dalam hadis lain disabdakan , “Berikanlah upah buruh sebelum
kering keringatnya.”
Islam sangat menjamin hak-hak pengusaha (pemberi kerja) juga hak-hak pekerja. Kesepakatan antara buruh dan pengusaha merupakan sumpah yg harus ditunaikan oleh masing-masing. Hal ini juga menjadi alat pengontrol dalam melaksanakan kewajibannya. Seorang buruh juga harus berpegang pada janjinya dalam bekerja.
Islam sangat menjamin hak-hak pengusaha (pemberi kerja) juga hak-hak pekerja. Kesepakatan antara buruh dan pengusaha merupakan sumpah yg harus ditunaikan oleh masing-masing. Hal ini juga menjadi alat pengontrol dalam melaksanakan kewajibannya. Seorang buruh juga harus berpegang pada janjinya dalam bekerja.
Sebagaimana firman-Nya
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“ Hai orang-orang yg beriman, penuhilah
aqad-aqad itu...”
(Qs Al-Maidah : 1).
Islam
dg kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk
menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di
antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran.
Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Qs. ar-Rahman : 9).
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Qs. ar-Rahman : 9).
Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“ Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yg bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yg kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan “ (Qs. At-Tahrim
: 6).
Ini semua menjadi tanggung jawab kita,
sebab kita adalah pemimpin yg akan dimintai pertanggung jawaban. Seorang
pekerja, buruh atau pegawai juga seorang pemimpin (bagi keluarganya, bagi dirinya sendiri ,
dst) , juga dimintai pertanggung jawaban atas penghasilan yg didapat dan
dibelanjakan untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya dst.
Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ
رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ
رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا
وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian
semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas
yg dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin,
wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh
kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas
yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dlm Fatawa al Huquq yg dikumpulkan oleh
Khalid al Juraisi. Dikatakkan bhw beliau pernah mendapat pertanyaan sbb, “Jika seorang karyawan telah melaksanakan
pekerjaan yg menjadi tanggung jawabnya lalu dia ingin memanfaatkan jam kantor
yg tersisa dg membaca al Qur'an atau membaca tulisan-tulisan yg bermanfaat atau
pun tertidur sejenak agar badan fresh apakah dia berdosa?”
Jawaban beliau, “Karyawan tersebut tidak berdosa jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yg menjadi tanggung jawabnya. Namun jika dia kerjanya asal selesai atau tidak maksimal dlm bekerja mk 'pemanfaatan jam kantor yang tersisa' itu hukumnya tidak boleh dan haram. Sedangkan ngantuk dlm kerja itu tidak mengapa karena seseorang itu tidak memiliki diri dan jiwanya oleh karena itu terkadang seorang itu tertidur saat kerja tanpa dia sadari.”
Jawaban beliau, “Karyawan tersebut tidak berdosa jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yg menjadi tanggung jawabnya. Namun jika dia kerjanya asal selesai atau tidak maksimal dlm bekerja mk 'pemanfaatan jam kantor yang tersisa' itu hukumnya tidak boleh dan haram. Sedangkan ngantuk dlm kerja itu tidak mengapa karena seseorang itu tidak memiliki diri dan jiwanya oleh karena itu terkadang seorang itu tertidur saat kerja tanpa dia sadari.”
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa Syaikh Ibnu Baz 8/361.
Dikatakan beliau mendapat pertanyaan sbb, “Saya seorang
karyawan. Saat ada waktu longgar dalam jam kerja kumanfaatkan untuk membaca al
Qur'an akan tetapi pimpinan menegurku dengan mengatakan bahwa sekarang adalah
jam kerja bukan waktu untuk membaca al Qur'an. Apa hukum agama dalam kasus
semacam ini?”
Jawaban beliau, “Jika pekerjaan anda memang benar-benar sudah tuntas maka tidak mengapa jika anda manfatkan untuk membaca al Qur'an, membaca tasbih, tahlil atau pun kalimat dzikir lainnya. Hal ini lebih baik dari pada bengong.
Akan tetapi jika kegiatan membaca al Qur'an dilakukan sebelum pekerjaan benar-benar tuntas mk hal itu tidak diperbolehkan karena jam kerja diperuntukkan utk kegiatan kerja. Sehingga saat jam kerja anda tidak boleh memanfaatkannya dg kegiatan yg menghalangi berjalannya pekerjaan dg baik.”
Jawaban beliau, “Jika pekerjaan anda memang benar-benar sudah tuntas maka tidak mengapa jika anda manfatkan untuk membaca al Qur'an, membaca tasbih, tahlil atau pun kalimat dzikir lainnya. Hal ini lebih baik dari pada bengong.
Akan tetapi jika kegiatan membaca al Qur'an dilakukan sebelum pekerjaan benar-benar tuntas mk hal itu tidak diperbolehkan karena jam kerja diperuntukkan utk kegiatan kerja. Sehingga saat jam kerja anda tidak boleh memanfaatkannya dg kegiatan yg menghalangi berjalannya pekerjaan dg baik.”
Ustadz Aris Munandar dalam beberapa
tulisannya , menyatakan bhw meski memanfaatkan waktu kosong saat jam kerja
dengan membaca al Qur'an atau buku agama itu diperbolehkan akan tetapi yg lebih
baik jika waktu kosong tersebut digunakan untuk kegiatan yang menunjang
pekerjaan misal pekerjaan mengharuskan karyawan memiliki kemampuan bahasa
Inggris yang baik maka yang lebih baik saat senggang dalam jam kerja adalah
memanfaatkannya dengan membaca buku yang bisa meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris. Jika seorang karyawan telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya dengan baik boleh baginya untuk memanfaatkan waktu kosong
yang tersedia dengan membaca al Qur'an, buku atau pun majalah keislaman yg
bermanfaat.
Termasuk juga dalil-dalil atas perjanjian atau kontrak kerja, amanah
dst
Sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah.” (QS. An-Nisa: 58).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yg beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul dan janganlah kalian mengkhianati amanah yg diberikan kpd kalian sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 27).
Semoga bermanfaat
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah.” (QS. An-Nisa: 58).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yg beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul dan janganlah kalian mengkhianati amanah yg diberikan kpd kalian sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 27).
Semoga bermanfaat
Allahu a’lam
Sumber : Tafsir
Juz 'Amma (Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-Utsaimin) , Ustadz
Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S
(Pengusahamuslim.com) , Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al- amanah (Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad
Al-Abad) , republika, Ustadz Abu Minhal, Lc : almanhaj.or.id, majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
XV/1433H, Ustadz Aris
Munandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar