*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Jumat, 03 Januari 2014

mana’a wahat menuntut hak tapi malas dg kewajiban



Allah berfirman
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ
الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ
وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ
“Kecelakaan besar bagi orang-2 yg curang, (yaitu) orang-2 yg bila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan bila mereka menakar atau menimbang utk orang lain, mereka mengurangi” (Al-Muthaffifin: 1-3)
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dlm tafsirnya, bhw  Muthaffifin adl orang yg meminta haknya secara utuh namun mengurangi hak orang (pihak) lain. Artinya, mereka mengumpulkan dua sifat ('syuhh' dan bakhil). Syuhh adl menuntut hak secara penuh, sedangkan bakhil adl enggan melaksanakan kewajiban, (enggan menyempurnakan takaran ,timbangan). Ustadz Abu Minhal, (almanhaj.or.id)  menjelaskan bhw makna muthaffifin sebagaimana  dlm al-Jami li Ahkâmil Qur`an , bhw kata wail (وَيْلٌ)  artinya adzab yg dahsyat di akhirat. 

Ibnu Abbas ra berkata, “Itu adalah satu jurang di Jahannam, tempat mengalirnya nanah-nanah penghuni neraka.” Sementara kata التَّطْفِيفُ (at-tathfîf) bermakna pengurangan. Kata ini berasal dari kata الطَّفِيْفُ yang artinya sesuatu yang sedikit.[ Jami’u al-Bayâni fi Ta`wil Ay al-Qur`an, ath-Thabari 15/114, al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/219, Tatimmah Adhwaul Bayan 9/91 ]
Sedangkan , si pelaku  disebut mutathaffif karena ia mencuri (mengambil) milik orang lain melalui proses penakaran dan penimbangan walaupun kadang dlm  kadar yg sedikit.[ al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/219 ]

Menurut Ulama Lughah (Bahasa Arab), al-muthaffifûn adalah orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan, tidak memenuhi dan menyempurnakannya.[ Jami’u al-Bayani fi Ta`wil Ay al-Qur`an, 15/114, Ahkâmul Qur`an , Ibnul ‘Arabi, 4/274 ]
Allah Azza wa Jalla langsung menafsirkan hakekat muthaffifîn (yang melakukan kecurangan) dalam ayat kedua dan berikutnya, dengan berfirman [sebagaimana ditulis dl Tatimmah Adhwaul Bayan 9/91, Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalâmil Mannan , as-Sa’di, hlm. 999 ] yang artinya, "Yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi." (al-Muthaffifîn/83:1-6)

Dalam  al-Jami li Ahkamil Qur`an 19/220 , dikatakan bhw tindakan kecurangan ini  sebagaimana diterangkan Allah Azza wa Jalla , jk orang lain menimbangkan atau menakar bagi mereka sendiri, mk mereka menuntut takaran dan timbangan yg sempurna  dan bahkan masih meminta tambahan. Mereka menuntut hak mereka dipenuhi dg sebaik-baiknya, bahkan kalau bisa dilebihkan.
Namun apabila mereka yg menakar atau menimbang utk (hak) orang lain, mereka mengurangi kadarnya sedikit,  dg cara-cara yg curang.  Dilain pihak , sifat yg juga melekat pd orang seperti ini adalah mereka tidak suka orang lain mendapatkan perlakuan yg sama dg perlakuan utk dirinya (dg dipenuhi timbangan dan takaran bila membeli).

Dalam kitab lain , di Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan , dikatakan juga bhw kecurangan ini jelas merupakan satu bentuk praktek sariqah (pencurian) terhadap milik orang lain dan tidak mau bersikap adil dg sesama. Jadi perbuatan mengambil milik orang lain melalui takaran dan timbangan yg curang walaupun sedikit , tentu berakibat ancaman doa kecelakaan.

Perbuatan sebagaimana diatas yg dijadikan  contoh  oleh  Allah dalam ayat ini terkait dg takaran dan timbangan adalah sekadar contoh klasik saja , sehingga bisa dianalogkan dengan hal-hal yg serupa. Sehingga setiap orang yg menuntut haknya secara utuh namun tidak mau menunaikan kewajiban dg baik termasuk dlm ayat di atas.  Termasuk di dlmnya ada beragam bentuk-bentuk kecurangan yg lain. Siapa saja yg menuntut haknya dipenuhi dg sempurna dan mengurangi hak orang lain, maka ia termasuk dlm ayat tsb.

Misalnya, seorang suami menuntut agar haknya dipenuhi oleh istrinya dg sempurna dan supaya istrinya tidak melalaikan haknya sedikitpun. Namun, giliran si suami saat harus memenuhi hak istrinya, justru ia melalaikan dan tidak menyempurnakannya.

Demikian pula, orangtua yg menginginkan agar anak-anaknya memberikan hak orangtua dgn utuh, yaitu berbakti kpd orangtuanya dg harta, badan, dan semua bentuk bakti. Akan tetapi, mereka menyia-nyiakan hak anak mereka dan  mereka tidak mau melaksanakan kewajiban sbg orangtua. Dikatakan bhw orangtua ini adalah muthaffif, sebagaimana suami model pertama juga muthaffif.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 93-95

Demikian juga, seorang pekerja (pegawai) yg menuntut agar mendapatkan gaji (tunjangan)  yg utuh, namun ia melalaikan kewajiban sebagai pekerja sebagaimana perjanjian yang telah disepakati kedua pihak . Maka pekerja itu termasuk dlm pengertian muthaffif yg Allah tegur dg teguran keras dalam ayat di atas.

Sebagaimana hadits

عَنِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الأُمَّهَاتِ، وَوَأْدَ الْبَنَاتِ، وَمَنَعَ وَهَاتِ

Dari al-Mughirah bin Syu’bah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan mendurhakai ibu, membunuh anak perempuan, dan mana’a wahat.” (Hr. Bukhari no. 2408, dan Muslim no 4580)

Yang dimaksud mana’a wahat adalah tidak mau melaksanakan kewajiban, atau meminta hal yg bukan haknya.

Seorang pegawa(pekerja) yang tidak menunaikan kewajibannya dengan baik, misal : dalam hal disiplin waktu atau yang lainnya, namun menuntut kompensasi yang penuh, dikhawatirkan maka ia termasuk dalam hadits di atas.

Syekh Abdul Muhsin al-Abbad, ulama hadits dari  Madinah , mengatakan, bhw Setiap pegawai dan pekerja wajib menggunakan jam kerjanya hanya untuk mengerjakan pekerjaan yg menjadi kewajibannya. Tidak diperbolehkan menggunakan jam kerja untuk urusan lain selain pekerjaan yg menjadi kewajibannya.


Dalam Kaifa Yu`addi al-Muwazhzhaf  al-Amanah, dikatakan  bahwa Tidak boleh memanfaatkan seluruh jam kerja atau sebagian jam kerja untuk kepentingan pribadi atau kepentingan orang lain, jika tidak ada hubungannya dg pekerjaannya. Sesungguhnya, jam kerja tidak lagi menjadi milik pegawai atau pekerja tsb, namun milik pekerjaan dg kompensasi gaji yg didapatkan dari pekerjaan tsb.

Al Mu`ammar bin Ali bin al Mu`ammar al-Baghdadi menasihati Nizhamul Mulk, seorang menteri di masanya di Mesjid Jami’ al-Mahdi. Di antara nasihat beliau, bahwa Telah dimaklumi bersama, wahai pemuka Islam, bhw setiap orang memiliki pilihan tentang apa yg diinginkan dan apa yg akan dilakukan. Jika mau maka dilanjutkan, dan jika tidak mau maka berhenti di tengah jalan.  Adapun orang, dia memiliki jabatan tertentu, sehingga dia tidak memiliki hak pilihan dalam keinginan dan tindakan yg akan dilakukannya, karena orang yg memiliki jabatan di pemerintahan itu, pd hakikatnya adl buruh yg telah menjual waktunya dg kompensasi gaji yg diterima.

Sebagaimana kita sbg seorang pekerja (buruh, pegawai) , tentu ingin mengambil upah dari kerja kita sempurna serta tidak ingin dikurangi bagiannya sedikitpun, mk hendaklah kita juga memberikan hak kepada (isntasni) pemberi kerja , seperti tidak mengurangi dari jam kerja untuk sesuatu yg bukan kepentingan kerja, memperlambat pekerjaan atau tidak mekasimal dlm melaksanakan kewajiban sbg pekerja.

Misalnya , waktu jam kerja tidak bisa dipergunakan seenaknya sendiri. ia tidak boleh melakukan shalat sunnah dan beri’tikaf sunnah (pada waktu jam kerja, pent) sehingga dia tidak memikirkan dan mengatur hal-hal yg menjadi kewajibannya. Hal itu dikarenakan, amal-amal tersebut bernilai sunnah sedangkan pekerjaan adalah kewajiban yg harus dikerjakan.

Wajib atas setiap pegawai dan pekerja untuk menggunakan waktu yg telah dikhususkan bekerja pd pekerjaan yg telah dikhususkan untuknya. Tidak boleh ia menggunakannya pd perkara-perkara lain selain pekerjaan yg wajib ditunaikannya pd waktu tsb.

Dan tidak boleh ia menggunakan waktu itu atau sebagian darinya untuk kepentingan pribadinya, atau kepentingan orang lain apabila tidak ada kaitannya dengan pekerjaan ; karena jam kerja bukanlah milik pegawai atau pekerja, akan tetapi untuk kepentingan pekerjaan yang ia mengambil upah dengannya.

Ibnu Rajab dalam Dzail Thabaqat al-Hanabilah, 1/43 berkata bahwa engkau, wahai pemuka Islam, meski engkau berstatus sebagai menteri namun hakikatnya engkau adalah pelayan masyarakat. Negara telah menggajimu dengan gaji yang besar supaya engkau menggantikan tugas negara di dunia dan di akhirat.

Di dunia untuk mewujudkan kebaikan bagi kaum muslimin, sedangkan di akhirat untuk menjawab pertanyaan Allah. Engkau akan berdiri di hadapan Allah, lalu Allah akan berkata kepadamu, “Telah kuberikan kekuasaan kepadamu untuk mengatur negeri dan rakyat, lalu apa saja yg telah kau lakukan utk mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan?”

Sungguh sangat menyedihkan, bila kaum muslimin yg melalaikan kewajiban ini. Seorang pegawai atau pekerja dg santainya seakan tidak merasa berdosa pulang sebelum jam kerja berakhir dan terlambat tiba di tempat kerja, tanpa alasan yg jelas. Demikian pula, seorang guru namun jarang masuk kelas untuk menunaikan kewajibannya sbg pengajar.

Sesungguhnya menzhalimi orang lain (pihak lain) lebih berat daripada menzhalimi diri sendiri dg melalaikan hak Allah subhanahu wa ta'ala.  Karena dosa kezhaliman thd diri sendiri dg melalaikan hak Allah, bergantung kpd kehendak Allah, selain dosa syirik tentunya. Jika Allah subhanahu wa ta'ala berkehendak mengampuninya, Allah akan mengampuninya, dan jika tidak maka Allah akan mengadzabnya.

Namun  kezhaliman thd hak orang lain (pihak lain) , tidak tergantung kpd kehendak Allah subhanahu wa ta'ala, orang itu harus membayarnya.

Sebagaimana  Rasulullah saw bersabda, yang artinya, “Menurut anggapan kalian siapakah orang muflis(pailit) itu?”,
Mereka menjawab: ‘Orang yang pailit (bangkrut) menurut kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya barang.’
Rasulullah bersabda, yang artinya : “Orang yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala kebaikan laksana gunung-banyak sekali, namun ia telah menzalimi si A, telah memaki si B, telah memukul si C dan telah merampas harta si D. Lalu si A mengambil pahala kebaikannya, si B mengambil pahala kebaikannya dan si C juga mengambil pahala kebaikannya. Jika habis pahala kebaikannya sebelum ia membayarnya hutang-hutangnya itu, maka akan diambil dosa-dosa orang yang dizhaliminya tadi kemudian dicampakkan kepadanya. Kemudian ia pun dilemparkan ke dalam neraka” (HR. Muslim)

Syaikh Al-Mu’ammar bin ‘Ali Al-Baghdadi rahimahullah memberikan  nasehat kepada para pejabat sipil kerajaan, diantara yang beliau ucapkan pada awal nasehat tersebut adalah, “Sudah menjadi perkara yang maklum –wahai para pemuka Islam!-, bahwasanya salah seorang rakyat memiliki pilihan dalam tujuan dan pelaksanaan (urusan mereka sendiri), apabila mereka mau, mereka meneruskan dan apabila mau, mereka bisa menghentikan. Adapun orang yang memegang wilayah, sama sekali tidak memiliki kebebasan dalam keinginan dan pelaksanaan. Sebab siapa yang diangkat sebagai pemimpin, pada hakekatnya dia adalah pegawai, dia telah menjual waktunya dan telah mengambil harganya., sehingga tidak tersisa lagi baginya dari siangnya waktu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihannya, tidak ada waktu baginya untuk shalat nafilah (sholat sunnah) dan tidak pula masuk i’tikaf...., sebab hal itu hanyalah tambahan, sedangkan ini (yakni tugas yang ia emban) adalah kewajiban yang pasti.”

Wajib bagi setiap pegawai dan keryawan untuk menggunakan jam kerjanya untuk menjalankan tugas khususnya, sehingga dia tidak menyibukkan diri pada jam kerja tersebut dengan urusan lain selain tugas yang wajib dia kerjakan serta tidak menggunakan seluruh jam kerja atau sebagiannya untuk kepentingan pribadi dan tidak pula untuk kepentingan orang lain, apabila memang tidak ada hubungan kerja dengannya. Sebab jam kerja bukanlah milik pegawai dan karyawan, bahkan jam kerja tersebut untuk meningkatkan kualitas kerja yang dia mengambil upah darinya sebagai imbalan.

Sebagaimana Rasulullah bersabda, yg artinya “Barang siapa mempekerjakan seorang buruh hendaknya memberitahukan terlebih dahulu berapa jumlah upahnya.”

Tujuannya, agar seorang buruh memiliki motivasi kerja yang tinggi. Dalam hadis lain disabdakan , “Berikanlah upah buruh sebelum kering keringatnya.”

Islam sangat menjamin hak-hak pengusaha
(pemberi kerja) juga hak-hak pekerja. Kesepakatan antara buruh dan pengusaha merupakan sumpah yg harus ditunaikan oleh masing-masing. Hal ini juga menjadi alat pengontrol dalam melaksanakan kewajibannya. Seorang buruh juga harus berpegang pada janjinya dalam bekerja.
Sebagaimana firman-Nya

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yg beriman, penuhilah aqad-aqad itu...” (Qs Al-Maidah : 1).

Islam dg kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran.

Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Qs. ar-Rahman : 9).

Sebagaimana Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yg bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yg kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan “ (Qs. At-Tahrim : 6).

Ini semua menjadi tanggung jawab kita, sebab kita adalah pemimpin yg akan dimintai pertanggung jawaban. Seorang pekerja, buruh atau pegawai juga seorang pemimpin  (bagi keluarganya, bagi dirinya sendiri , dst) , juga dimintai pertanggung jawaban atas penghasilan yg didapat dan dibelanjakan untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya  dst.

Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَّةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّت) متفق عليه
“Kalian semua adalah pemimpin dan seluruh kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yg dipimpin. Penguasa adalah pemimpin dan seorang laki-laki adalah pemimpin, wanita juga adalah pemimpin atas rumah dan anak suaminya. Sehingga seluruh kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpin.” (Muttafaqun alaihi)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dlm Fatawa al Huquq yg dikumpulkan oleh Khalid al Juraisi. Dikatakkan bhw beliau pernah mendapat pertanyaan sbb, “Jika seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaan yg menjadi tanggung jawabnya lalu dia ingin memanfaatkan jam kantor yg tersisa dg membaca al Qur'an atau membaca tulisan-tulisan yg bermanfaat atau pun tertidur sejenak agar badan fresh apakah dia berdosa?

Jawaban beliau, “Karyawan tersebut tidak berdosa jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yg menjadi tanggung jawabnya. Namun jika dia kerjanya asal selesai atau tidak maksimal dlm bekerja mk 'pemanfaatan jam kantor yang tersisa' itu hukumnya tidak boleh dan haram. Sedangkan ngantuk dlm kerja itu tidak mengapa karena seseorang itu tidak memiliki diri dan jiwanya oleh karena itu terkadang seorang itu tertidur saat kerja tanpa dia sadari.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa Syaikh Ibnu Baz 8/361. Dikatakan beliau mendapat pertanyaan sbb, “Saya seorang karyawan. Saat ada waktu longgar dalam jam kerja kumanfaatkan untuk membaca al Qur'an akan tetapi pimpinan menegurku dengan mengatakan bahwa sekarang adalah jam kerja bukan waktu untuk membaca al Qur'an. Apa hukum agama dalam kasus semacam ini?

Jawaban beliau, “Jika pekerjaan anda memang benar-benar sudah tuntas maka tidak mengapa jika anda manfatkan untuk membaca al Qur'an, membaca tasbih, tahlil atau pun kalimat dzikir lainnya. Hal ini lebih baik dari pada bengong.
Akan tetapi jika kegiatan membaca al Qur'an dilakukan sebelum pekerjaan benar-benar tuntas mk hal itu tidak diperbolehkan karena jam kerja diperuntukkan utk kegiatan kerja. Sehingga saat jam kerja anda tidak boleh memanfaatkannya dg kegiatan yg menghalangi berjalannya pekerjaan dg baik.

Ustadz Aris Munandar dalam beberapa tulisannya , menyatakan bhw meski memanfaatkan waktu kosong saat jam kerja dengan membaca al Qur'an atau buku agama itu diperbolehkan akan tetapi yg lebih baik jika waktu kosong tersebut digunakan untuk kegiatan yang menunjang pekerjaan misal pekerjaan mengharuskan karyawan memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik maka yang lebih baik saat senggang dalam jam kerja adalah memanfaatkannya dengan membaca buku yang bisa meningkatkan kemampuan bahasa Inggris. Jika seorang karyawan telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya dengan baik boleh baginya untuk memanfaatkan waktu kosong yang tersedia dengan membaca al Qur'an, buku atau pun majalah keislaman yg bermanfaat.

Termasuk juga dalil-dalil  atas perjanjian atau kontrak kerja, amanah dst
Sebagaimana firman-Nya :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا

Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah.” (QS. An-Nisa: 58).
 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Wahai orang-orang yg beriman janganlah kalian mengkhianati Allah dan rasul dan janganlah kalian mengkhianati amanah yg diberikan kpd kalian sedangkan kalian mengetahuinya.” (QS. Al-Anfal: 27).
 

Semoga bermanfaat

Allahu a’lam
Sumber : Tafsir Juz 'Amma (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) , Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S (Pengusahamuslim.com) , Kaifa Yuaddi Al-Muwazhzhaf Al- amanah (Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abad) , republika,  Ustadz Abu Minhal, Lc : almanhaj.or.id,   majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1433H, Ustadz Aris Munandar

Tidak ada komentar: