Di Al Musnad hadits no 6605,X/106-107, dari Imam Ahmad
bin Abdullah bin Amr ra, berkata bhw, “ Barang siapa bershalawat utk Nabi SAW
satu kali shalawat , Allah dan para malaikatNya bershalawat utknya tujuh puluh
kali. Mk dipersilahkan mempersedikit atau memperbanyaknya”.
Alangkah mudah dan ringannya. Begitu agungnnya
keberuntungan yg diberikan kpd orang yg melaksanakannya. Seseorang hanya
bershalawat utk Nabi , sekali saja . Namun pd saat bersamaan Allah Tuhan
seluruh langit dan bumi, juga para malaikat-Nya bershalawat tujuh puluh kali
utk orang itu. Seandainya ada satu kali
saja shalawat dari Tuhan semesta alam, mk itu sudah sangat mencukupi sbg
keutamaan dan kemuliaan bahkan keselamatan bagi orang itu, apalagi sd tujuh
puluh kali. Ini adl orang yg berbahagia dgn shalawat para malaikat kpd
mereka yg bershalawat untuk Nabi SAW.
Dan hadits diatas , meski mauquf kpd Abdullah bin Amr ra,
namun hukumnya marfu’ karena yg semisalnya tidak dikatakan sbg ra’y (pendapat).
Prof Dr Fadhl Illahi dalam Man Tushalli ‘Alaihum
al-Malaikah waman Ta’anuhum , menyatakan bahwa para ulama menerangkan hal
sebagai berikut :
1.
Al-‘Alamah as Sakhawi berkata, bahwa hukumnya marfu’ ,
tidak perlu ada ijtihad lagi. (Al Qaulul Badi’ fis Shalat ‘alal habib as Syafi’
Shallallhu ‘alaihi wa sallam,153).
2.
Syaikh Ahmad Abdurrahman al Abna berkata, bahwa, Mauquf
kepada Amr ra, namun hukumnya marfu’ karena yang semisal itu tidak pernah
dikatakan ra’y. Apalagi Imam Muslim , Abu Dawud dan Tirmidzi dalam Bulughul
Amani I-5, telah meriwayatkan hadits marfu’ dari Abdullah bin Amr ra bahwa ia
telah mendengar Rasulullah bersabda ,’barang siapa bershalawat untukku , maka
Allah bershalawat untuknya sepuluh kali “. Dikatakan juga bahwa dalam hadits
tsb ada penguatan untk memarfu’kan hadist awal tadi (Bulughul Amani XIV-310).
Dlm
hadits lain (HR.
Muslim 1/288-289 no. 384)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“ Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali “
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“ Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali “
Dan masih banyak dalil lain yang
menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
. Karena itulah, para ulama besar banyak menulis buku khusus ttg keutamaan shalawat. Misalnya , Fadhlush Shalât 'ala
an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Isma'il bin Ishaq al-Qadhi
(199-282 H), Jala'ul Afhâm fi Fadhlish Shalat wa as-Salam 'ala Muhammadin
Khairil Anam karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan Judul buku-buku
lainnya bisa dilihat, antara lain, di mukadimah Syaikh Masyhur bin Hasan Salman
hafzhahullah dalam tahqiq Jala'ul Afham , dst
Banyak
dalil dari al-Qur'an
maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk
memperbanyak amalan mulia ini. Sebagaimana
firman
Allah Azza wa Jalla :
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [ Qs. al-Ahzab : 56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, 6/457) , bahwa "Allah Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan Rasulullah di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allah Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allah Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya" [ Qs. al-Ahzab : 56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, 6/457) , bahwa "Allah Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya tentang kedudukan Rasulullah di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allah Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu Allah Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."
Imam Tirmidzi meriwayatkan hadits dari
Ubay bin Ka’ab ra bahwa ia berkata,’wahai Rasulullah, aku ingin memperbanyak
shalawat untukmu. Berapa banyak aku harus memperbanyak shalawat untukmu?
(maksudnya : saya bershalawat untukmu sebagai ganti saya berdoa untuk diriku
sendiri, Syarakh Thayyibi III-1045).
Beliau bersabda , yang artinya,”
Sekehendakmu”.
Aku bertanya ,’ seperempat?’
Beliau bersabda, yang artinya,”
Sekehendakmu. Jika kamu menambahkan lagi mk yg demikian itu adalah lebih baik
bagimu”.
Aku bertanya, ‘ setengahnya?’
Beliau bersabda, yang artinya,”
Sekehendakmu. Jk kamu menambahkannya lagi mk yg demikian adalah lebih baik
bagimu”.
Aku bertanya lagi,’ dua pertiga?’
Beliau bersabda, yang artinya,”
Sekehendakmu. Jk kamu menambahkannya lagi mk yg demikian adalah lebih baik
bagimu”.
Aku bertanya lagi,’ aku jadikan
shalawatku semuanya untukmu?’ (maksudnya saya bershalawat untukmu sebagai ganti
saya berdoa untuk diriku sendiri).
Beliau bersabda, yang artinya,” Dengan
cara demikian , kesedihanmu akan dihilangkan dan dosamu diampuni”. (Jami’
at-Tirmidzi, hadits no.2574 VII/129-130)
Prof Dr Fadhl Illahi dalam Man Tushalli ‘Alaihum
al-Malaikah waman Ta’anuhum, menyatakan bahwa pelajaran yang dipetik dari
hadits ini bahwa orang-orang yang memperbanyak shalawat untuk nabi, bahkan
lebih mengutamakan shalawat daripada doa untuk dirinya sendiri, maka Allah akan
menghilangkan kesusahannya didunia maupun akhirat serta mengampuni dosa-dosanya.
Sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Ubay bin
Ka’ab , bahwa ia berkata , ‘Ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW
, dan bertanya,’Wahai Rasul, pa pendapatmu jika kujadikan seluruh doaku hanya
untukmu?’
Rasulullah SAW menjawab , yg artinya,” Allah Tabaraka
wa Ta’ala akan menghilangkan kesusahanmu baik kesusahan dunia maupun akhirat “.
(Al Musnad, V-136).
Dalam Syarah ath-Thayibi III-1047, Imam ath Thayibi
berkata dalam memberikan keterangan sabda Rasulullah SAW, “Kesusahanmu
dihilangkan”, maksudnya adalah segala hal yg membuat susah baik urusan dunia
maupun akhirat.
Hal itu karena bershalawat untuk Nabi mencakup berdzikir
kepada Allah, sibuh memnuaikan perintah-Nya daripada untuk mengutamakan
kepentingan tujuannya sendiri , mengutamakan perintah-Nya daripada dirinya
sendiri.
Dari keterangan di atas, nampak begitu
jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam.
Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur'an dan Sunnah
serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allah
Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni
·
dijalankan secara ikhlas karena Allah
·
dan sesuai dengan tuntunan Rusulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Fakhruddîn ar-Razy (544-606 H)
menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [Qs. al-Isra':19]
Kata beliau rahimahullah, bahwa
وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [Qs. al-Isra':19]
Kata beliau rahimahullah, bahwa
"Syarat
pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada
maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allah serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allah dan meraih ketaatan pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allah Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allah serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allah dan meraih ketaatan pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allah Azza wa Jalla , yang artinya, "berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya" maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil
Imam Ibn Katsir mempertegas, "Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anhuma]
Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak."[ Tafsir Ibn Katsir (1/385)]
Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allah Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
1. Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
2. Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla , menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma'shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu “alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.
Meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksudnya:
·
Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau
dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan
lafaz syirik.
·
Bershalawat untuk beliau pada
momen-momen yg beliau syariatkan.[ Ibnul Qayyim dalam Jala'ul Afham (hlm.
380-520), menyebutkan ada empat puluh
satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul Shallallahu 'alaihi wa
sallam.]
·
Memperbanyak membaca shalawat
semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Azza wa Jalla dalam QS.
al-Ahza:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Semoga dengan karunia dan kemuliaan-Nya,
Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang melakukan amalan tersebut.
Kabulkanlah , wahai Tuhan semesta alam.
Catatan :
Pengertian Hadis Mauquf
Al Mauquf berasal dari waqf yang berarti
berhenti. Seakan-akan perawi menghentikan sebuah hadis pada sahabat. Hadis
mauquf menurut istilah adalah perkataan atau perbuatan atau taqrir yang
disandarkan kepada seorang sahabat Nabi Muhammad SAW baik bersambung
sanadnya kepada Nabi maupun tidak bersambung. Hadis mauquf adalah berita yang
disandarkan sampai kepada sahabat saja, baik yang disandarkan itu perkataan
atau perbuatan dan baik sanadnya bersambung maupun terputus
Dengan
itu, dapat disimpulkan bahwa hadis mauquf adalah hadis pada sandarannya
terhenti pada thabaqah sahabat. Kemudian tidak dikatakan Hadis Marfu’ karena
hadis ini tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW.
Macam-Macam
Hadis Mauquf :
·
Mauquf
Qauli (perkataan) : seperti perkataan seorang perawi yakni “Telah berkata Ali
Bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu, “Berbicaralah kepada manusia dengan apa
yang mereka ketahui, apakah kalian ingin mereka mendustakan Allah dan
RasulNya”?
·
Mauquf
Fi’li (perbuatan) : seperti perkataan imam Bukhari, “Ibnu Abbas menjadi imam
sedangkan dia (hanya) bertanyammum”.
·
Mauquf
Taqriri : seperti perkataan seorang tabi’in, “Aku telah melakukan begini di
depan seorang sahabat dan dia tidak mengingkari atasku”.
Riwayat mauquf sanadnya ada yg shahih,
atau hasan, dan ada yg dhaif. Adapun hukum hadis mauquf ini pada dasar
prinsipnya tidak dapat dibuat hujjah kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang
menjadikan marfu’).
Ibnu Shalah berkata:
ومطلقه يختص
بالصحابي، فيمن دونه إلا مقيداً. وقد يكون إسناده متصلاً وغير متصل،
Hadits mauquf jika disebut secara mutlak,
maksudnya hadits shahabat. Jika dimaksudkan untuk selain shahabat, disebutkan
secara muqayyad. Hadits mauquf kadang sanadnya bersambung dan kadang tidak
bersambung.
Menurut Ibnu Katsir, mayoritas ahli fiqih dan
ahli hadits menyebut hadits mauquf dengan isitilah ‘atsar’. Ibnu Shalah
menguatkan bahwa ini berasal dari para ulama Khurasan, mereka menyebut hadits
mauquf dengan istilah atsar”
Ibnu Shalah berkata:
وبلغنا عن أبي
القاسم الفوراني أنه قال: الخبر ما كان عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، والأثر
ما كان عن الصحابي
Ada yang menyampaikan kepada kami dari Abul
Qasim Al Faurani, ia berkata: ‘Hadits dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
disebut khabar,
hadits dari para sahabat disebut atsar‘”
Menurut Ibnu Katsir, inilah mengapa banyak
para ulama yang menamai kitab Jami’nya dengan ‘As Sunan Wal Atsar‘. Sebagaimana kitab ‘As Sunan Wal Atsar‘ karya Ath Thahawi dan Al Baihaqi, juga selain
mereka. Wallahu’alam.
Hukum Hadis
Mauquf
Pada prinsipnya hadis mauquf itu tidak
dapat dibuat hujjah kecuali ada qarinah yang menunjukkan (yang menjadikan)
marfu’. Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa manakala hadis mauquf yang
bermartabatkan sebagai hadis dha’if ia tidah harus dijadikan hujjah tetapi
harus dalam perkara fadhaail dengan syarat yang tertentu.
Allahu a’lam
Sumber
: Man Tushalli ‘Alaihum al-Malaikah
waman Ta’anuhum (Prof Dr Fadhl Illahi), Qaulul Badi’ fis Shalat ‘alal habib as
Syafi’ Shallallhu ‘alaihi wa sallam (Al-‘Alamah as Sakhawi), almanhaj.or.id , majalah
As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H, Al Ba’its Al Hatsits,
Al Imam Abul Fida’ Ibnu Katsir rahimahullah,Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, Drs.
Sohari Sahrani, M.M., M.H, Ulumul Hadis, Drs. M. Agus Solahudin, M.ag., Ulumul
Hadis, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar