*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Rabu, 09 Februari 2011

ISTIGHFAR & TAUBAT

Imam Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar kepada orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran, sedikitnya keturunan dan kekeringan .Imam Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bahwa ia berkata :"Ada seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi) maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Yang lain lagi berkata kepadanya, 'Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar Ia memberiku anak!, maka beliau mengatakan kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!. Dan yang lain lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan (pula) kepadanya, 'Ber-istighfar-lah kepada Allah!".
Dan sungguh dianjurkan kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam riwayat lain disebutkan :"Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya, 'Banyak orang yang mengadukan macam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan mereka semua untuk ber-istighfar. [1]. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku tidak mengatakan hal itu dari diriku sendiri.

Sungguh Allah berfirman dalam surat Nuh, yang artinya " Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai- sungai". [Nuh : 10-12] [2]

Sungguh berharga buah dari istighfar . Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-hamba-Mu yang pandai ber-istighfar.
Firman Allah Yang Menceritakan Tentang Seruan Hud AS Kepada Kaumnya Agar Ber-istighfar, artinya ,": Dan (Hud berkata), Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa". [Hud : 52]

Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan : "Kemudian Hud Alaihis salam memerintahkan kaumnya untuk ber-istighfar yang dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan menjaga keadaannya.

Allah berfirman, yang artinya ", Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat aasmu" [Tafsir Ibnu Katsir, 2/492. Lihat pula, Tafsir Al-Qurthubi, 9/51]

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan kami serta jagalah keadan-keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengabulkan do'a. Amin, whai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.

firman Allah, yang artinya ", Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari Kiamat". [Hud : 3]

Pada ayat yang mulia di atas, terdapat janji-janji dari Allah Yang Mahakuasa dan Maha Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang ber-istighfar dan bertaubat.

Dan maksud dari firman-Nya, yang artinya", Niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik terus menerus) kepadamu". Sebagaimana dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu 'anhuma adalah. 'Ia akan menganugrahi rizki dan kelapangan kepada kalian'. [Zaadul Masiir, 4/75]

Sedangkan Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan :"Inilah buah istighfar dan taubat. Yakni Allah akan memberikan kenikmatan kepada kalian dengan berbagai manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang dibinasakan sebelum kalian". [Tafsir Al-Qurthubi, 9/403. Lihat pula, Tafsir Ath-Thabari, 15/229-230, Tafsir Al-Baghawi. 4/373, Fathul Qadir, 2/695 dan Tafsir Al-Qasimi, 9/63]

Dan janji Tuhan Yang Mahamulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata :"Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa ber-istighfar dan bertaubat kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugrahkan kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang ditentukan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang ditetapkan".[Adhwa'ul Bayan, 3/9]

hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ra ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda , yang artinya ," Barangsiapa memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah[3] niscaya Allah menjadikan untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitannya kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tidak disangka-sangka[4]".

Dalam hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara berdasarkan wahyu, Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh orang yang memperbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah Yang Maha Memberi rizki, Yang Memiliki kekuatan akan memberikan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah terdetik dalam hatinya.

Karena itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hendaklah dia bersegera untuk memperbanyak istighfar (memohon ampun), baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada!, sekali lagi hendaknya waspada! dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan. Sebab ia adalah pekerjaan para pendusta.

sumber : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi , Mafatiihur Rizq fi Dhau'il Kitab was Sunnah, dengan edisi Indonesia Kunci-kunci Rizki Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah Penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc]
________
[1]. [Tafsir Al-Khazin, 7/154. Lihat pula, Ruhul Ma'ani, 29/73]
[2]. [Tafsir Al-Qurthubi, 18/302-303. Lihat pula Al-Muharrar Al-Wajiz, 16/123]
[3]. "Barangsiapa menetapi - dalam riwayat lain - tidak meninggalkan istighfar". Lihat, Sunan Abi Daud, 4/267, Sunan Ibni Majah, 2/339. Dan maknanya, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Ath-Thayyib Al-Azhim Abadi yaitu saat terjadinya maksiat atau adanya ujian atau ada orang yang penyakitnya terus menerus, maka sungguh dalam setiap nafas ia membutuhkan kepadanya (istighfar dan taubat). Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Artinya : Beruntunglah orang yang mendapati dalam shahifah (catatan amalnya) istighfar yang banyak". (Hadist Riwayat Ibnu majah dengan sanad hasan shahih). [Aunul Ma'bud, 4/267]
[4] Al-Musnad, no. 2234, 4/55-56 dan lafazh tersebut adalah redaksi miliknya ; Sunan Abi Daud, Abwabu Qiyamil Lail, Tafri'u Abwabil Witr, Bab Fil Istighfar, no. 1515, 4/267 ; Kitabus Sunan Al-Kubra, Kitabu Amalil Yaumi wal Lalilah, no 10290/2,6/118 ; Sunan Ibni Majah, Abwabul Adab, Bab Al-Istighfar, no. 3864, 2/339 ; Al-Mustadrak 'alash Shahihain, Kitabut Taubah wal Inabah, 4/292. Sebagian ahli hadits menyatakan hadits ini dha'if karena salah satu periwayatnya (cacat). (Lihat, At-Talkhish, Al-Hafizd Adz-Dzahabi, 4/262 ; Aunul Ma'bud, 4/267 ; Dha'ifu Sunan Abi Daud, Syaikh Al-Albani, hal. 149) Tetapi sanad hadits tersebut dishahihkan oleh Imam Al-Hakim (Lihat, Al-Mustadrak, 4/262). Dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir berkata : "Sanad hadits ini shahih" (Hamisy Al-Musnad, 4/55). Demikian sebagai jawaban atas apa yang dikatakan tentang salah seorang perawinya. Wallahu a'lam bish shawab.

Selasa, 08 Februari 2011

Ibadah dan isti'anah

Menurut Ibn Qayyim al Jauziyah dalam Madarijus Salikin, dikatakan bahwa ibadah mengandung dua dasar yaitu cinta dan penyembahan. Menyembah yang diartikan sebagai merendahkan diri dan tunduk. Siapapun yang mengaku cibnta namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Seorang hamba dikatakan cinta jika menyembah dan tunduk. Sehingga orang-orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah adalah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang diartikan juga mengingkari keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan) sekalipun mereka mengakui Allah sebagai penguasa dan pencipta semesta alam.
Allah Swt berfirman yang artinya, “Hanya kepada-Mu lah kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan. Hanya kepada-Mulah kami beribadah, (inilah yang dimaksud dengan ibadah). Dan, hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan, (inilah yang dimaksud dengan isti’anah).” (Q.S. Al-Fatihah [1]: 5)

Sedangkan isti'anah (memohon pertolongan) menghimpun dua dasar . Kepercayaan terhadap Allah dan penyandaran kepada-Nya.
Suatu contoh , adakalanya seseorang menaruh kepercayaan kepada orang lain, namun ia tidak menyandarkan semua urusan kepadanya, karena ia merasa tidak membutuhkan dirinya.
Atau adakalanya seseorang menyandarkan suatu urusan kepada seseorang padahal sebenarnya ia tidak percaya kepadanya, karena ia merasa membutuhkannya dan tidak ada orang lain yang memenuhi kebutuhannya. Sehingga ia bersandar kepadanya. Karena faktor kebutuhan, terkadang seseorang menyandarkan suatu urusan kepada yang lain, walaupun ia tidak percaya kepadanya. Sebaliknya, karena tidak membutuhkan, bisa saja seseorang percaya kepada yang lain, tetapi tidak bersandar kepadanya.
Terlepas dari itu semua, adakah manusia yang tidak membutuhkan Allah Swt, Dzat Yang Maha Mampu atas segalanya, yang mengatur alam dan seisinya? Kalaulah ada orang yang tidak tsiqqah kepada Allah Azza wa Jalla pastilah ia seorang kafir.

Tawakal merupakan makna yang jua pas dengan dua dasar ini, kepercayaan dan penyandaran, sekaligus merupakan hakikat iyyaka na'budu wa iyyaka nata'in. Dua dasar ini , tawakan dan ibadah disebutkan berulang dalam beberapa tempat dalam Al-Qur'an, yang keduanya disebut berturutan , al
Sebagaimana Firman-Nya, yang artinya ," Dan, kepunyaan Allah-lah apa yang gaib di langit dan di bumi dan kepada Nya-lah semua urusan, maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya ," (Qs. Hud ; 23).

Ibadah didahulukan dari iti'anah dalam surah al-Fatihah yang mencerminkan didahulukannya tujuan daripada sarana, hal bisa dilihat dari beberapa sebab :


1. Ibadah merupakan tujuan penciptaan hamba, sdangkan isti'anah merupakan sarana untuk dapat melaksanakan ibadah itu.

2. Iyyaka na'budu berkaitan dengan uluhiyah-Nya dan asma Allah, sedangkan iyyaka nata'in berkaitan dengan Rububiyah-Nya dan asma Ar-Rabb. KArena itu iyyaka nata'in sebagaimana asma allah yang didahulukan daripada asma Ar-Rabb di awal Al- Fatihah.

3. Iyyaka na'budu merupakan bagian Allah dan juga merupakan pujian terhadap Allah, karena memang Dia layak menerimanya, sedangkan iyyaka nasta'in merupakan bagian dari hamba, begitu pula ihdinash shirathal mustaqim hingga akhir surat.

4. Ibadah secara total mencakakup isti'anah dan tidak bisa dibalik. Setiap hamba yang beribadah kepada Allah dengan ibdaha yang sempurna adalah orang yang memohon pertolongan kepada-Nya, dan tidak bisa dibalik. Sebab orang yang dikuasai berbagai macam tujuan pribadi dan syahwatnya, juga bisa memohon pertolongan kepada-Nya, hanya karena untuk memenuhi nafsunya. KArena itu ibadah harus lebih sempurna. Berarti isti'anah merupakan bagian dari ibadah dan tidak bisa dibalik, sebab isti'anah merupakan permohonan dari-Nya, sedang ibadah merupakan permohonan bagi-Nya.

5. Ibadaha hanya dilakukan orang ikhlas, sedangkan isti'anah bisa dilakukan orang yang ikhlas dan yang tidak ikhlas.

6. Ibadah merupakan hak Allah yang diwajibkan kepada hamba, sedangkan isti'anah merupakan permohonan pertolongan untuk dapat melaksanakan ibadah.

7. Ibadah merupakan gambaran syukur seorang hamba terhadap nikmat yang dilimpahkan kepadanya, dan Allah sukua untuk disyukuri. Pemberian pertolongan merupakan taufik Allah yang diberikan kepada hamba-Nya. Jika seorang hamba berkomitmen dalam beribadah kepada-Nya dan apabila ibadah lebih sempurna, maka pertolongan allah yang diberikan juga lebih besar.

8. Iyyaka na'budu mrupakan hak Allah dan iyyaka nasta'in merupakan kewajiban Allah. Hak-Nya yang harus didahulukan daripada kewajiban-Nya. Sebab hak Allah berkaitan dengan cinta dan ridha-Nya, sedangkan kewajiban-Nya berkaitan dengan kehendak-Nya. Apa yang tergantung kepada cinta-Nya harus lebih sempurna daripada apa yang bergantung kepada kehendak-Nya.

9. Semua yang ad adi alam semesta , para malaikan maupun setan, mukmin , maupun kafir, orang taat maupun yang durhaka, semuanya bergantung kepada kehendak-Nya. Apa yang bergantung kepada cinta-Nya adalah ketaatan dan iman mereka. Orang-orang kafir ada dalam kehendak-Nya dan orang-orang mukmin ada dalam cinta-Nya.

Allahu a'lam
Sumber : Madarijus Salikin , Ibn Qayyim al Jauziyah

ar rizqu , tak hanya berujud materi

Ibnu al Manzhur dalam Lisan al 'Arab, bahwa ar rizqu, adalah sebuah kata yang sudah dimengerti maknanya, dan terdiri dari dua macam. Pertama, yang bersifat zhahirah (nampak terlihat), seperti bahan makanan pokok. Kedua, yang bersifat bathinah bagi hati dan jiwa, berbentuk pengetahuan dan ilmu-ilmu.[1]
Dari penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rizki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka . Tetapi, bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba adalah suatu rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari musibah, atau sembuh dari penyakit , semua ini merupakan contoh kongkret dari rizki (rejeki). Cobalah kita bayangkan , apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras keuangan dan pikiran yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).

Kendatipun rizki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta'ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , yang artinya , "Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok". [Luqman : 34]

Saudaraku, langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atau emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [al Jumu’ah : 10].

Al Qurthubi mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala ”.[3]

Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman, yang artinya ,"Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya". [al Mulk : 15].

Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]

RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan hadits marfu’ , "akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram".[6]

Pentingnya Berkah

Berkah (atau barokah), berasal dari kata al buruk. Maksudnya ialah (ats tsubut atau menetap).

Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.

Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.

Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang".[8]

Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]

Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.

TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA

Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk mewujudkan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.

Ibnul Qayyim berkata, "Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]

Syukur tidak dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata "alhamdulillah" atau "wa asy syukru lillah".

Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur.

Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , yang artinya ,"Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu". [Ibrahim : 7].

Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmat-Ku, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. [11]

Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ,"Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh".[Qs. al Baqarah : 276].

Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya . [12]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar ra , yang artinya , "Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu". [13]

Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya." [14]

As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : "Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]

Al Mubarakfuri berkata, "Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya." [16]

Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi".[17]

Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.

Al Hafizh berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]

Allahu a'lam

Wa billahit taufiq.
Sumber : majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan:

[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, al Qadr, Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303).

BURUK SANGKA

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, " Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-car kesalahan orang lain” [Qs. Al-Hujurat : 12]
Dalam ayat ini terkandung perintah untuk menjauhi kebanyakan berprasangka, karena sebagian tindakan berprasangka ada yang merupakan perbuatan dosa. Dalam ayat ini juga terdapat larangan berbuat tajassus ialah mencari-cari kesalahan atau kejelekan orang lain, yang biasanya merupakan efek dari prasangka yang buruk.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya ," Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah seduta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadits no. 6064 dan Muslim hadits no. 2563]

Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”

Ibnu Katsir menyebutkan perkataan Umar di atas ketika menafsirkan sebuah ayat dalam surat Al-Hujurat.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.

Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.

Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]

Abu Hatim bin Hibban Al-Busti bekata dalam kitab Raudhah Al-‘Uqala (hal.131), ”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Beliau juga berkata pad hal.133, “Tajassus adalah cabang dari kemunafikan, sebagaimana sebaliknya prasangka yang baik merupakan cabang dari keimanan. Orang yang berakal akan berprasangka baik kepada saudaranya, dan tidak mau membuatnya sedih dan berduka. Sedangkan orang yang bodoh akan selalu berprasangka buruk kepada saudaranya dan tidak segan-segan berbuat jahat dan membuatnya menderita”.
Allahu a'lam

sumber : Syaikh Abdul Muhsin Bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badr, Rifqon Ahlassunnah Bi Ahlissunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, Titian Hidayah Ilahi]