Dari penjelasan Ibnu al Manzhur tersebut, maka hakikat rizki tidak hanya berwujud harta atau materi belaka . Tetapi, bersifat lebih umum dari itu. Semua kebaikan dan maslahat yang dinikmati seorang hamba adalah suatu rejeki. Hilangnya kepenatan pikiran, selamat dari musibah, atau sembuh dari penyakit , semua ini merupakan contoh kongkret dari rizki (rejeki). Cobalah kita bayangkan , apabila kejadian-kejadian itu menimpa pada diri kita, maka bisa dipastikan bisa menguras keuangan dan pikiran yang kita miliki. Tidak jarang, tabungan menjadi ludes untuk mendapatkan kesembuhan. Imam an Nawawi mengisyaratkan makna tersebut dalam kitab Syarh Shahih Muslim (16/141).
Kendatipun rizki telah ditetapkan semenjak manusia berada di perut ibunya, tetapi Allah Subhanhu wa Ta'ala tidak menjelaskan secara detail. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui pendapatan rizki yang akan ia peroleh pada setiap harinya, ataupun selama hidupnya. Ini semua mengandung hikmah.
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , yang artinya , "Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diperolehnya besok". [Luqman : 34]
Saudaraku, langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atau emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [al Jumu’ah : 10].
Al Qurthubi mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala ”.[3]
Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman, yang artinya ,"Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya". [al Mulk : 15].
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]
RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan hadits marfu’ , "akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram".[6]
Pentingnya Berkah
Saudaraku, langit tidak akan pernah menurunkan hujan berlian atau emas perak. Laut pun tidak mengirimkan kekayaan perutnya ke daratan, sehingga orang-orang bisa beramai-ramai mengaisnya. Islam tidak menganjurkan pemeluknya untuk memerankan diri sebagai penganggur, meski dengan dalil untuk mengkonsentrasikan diri dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Jadi, usaha itu merupakan keharusan. Tidak ada kependetaan atau kerahiban dalam Islam. Seorang muslim tidak selayaknya senang bergantung kepada orang lain, menunggu belas kasih dari orang-orang yang lalu-lalang melewatinya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, "Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung". [al Jumu’ah : 10].
Al Qurthubi mengatakan: “Berpencarlah kalian di bumi untuk berdagang, dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kalian, serta untuk mencari sebagian dari rizki Allah Subhanahu wa Ta'ala ”.[3]
Allah Subhanahu wa Ta'alal berfirman, yang artinya ,"Dia-lah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rizkiNya". [al Mulk : 15].
Tentang ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan : “Menyebarlah kemanapun kalian inginkan di penjuru-penjurunya, dan berkelilinglah di sudut-sudut, tepian dan wilayah-wilayahnya untuk menjalankan usaha dan perniagaan”. [4]
RIZKI HARUS HALAL
Al Qur`an dan Sunnah telah mendorong manusia agar mencari rizki yang halal lagi thayyib.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengingatkan manusia, hendaknya berhati-hati dari fitnah harta. Jangan meremehkan pentingnya rizki yang halal, dan harus selektif dalam menghimpun rizki. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan hadits marfu’ , "akan datang suatu masa pada manusia, seseorang tidak peduli terhadap apa yang digenggamnya, apakah dari halal atau dari yang haram".[6]
Pentingnya Berkah
Berkah (atau barokah), berasal dari kata al buruk. Maksudnya ialah (ats tsubut atau menetap).
Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.
Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.
Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang".[8]
Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]
Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.
TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Az Zajjaj mengartikan berkah, sebagaimana dikutip oleh al Qurthubi dalam tafsirnya, dengan limpahan pada setiap hal yang mengandung kebaikan. Kata itu pun dimaksudkan pula kepada makna pertambahan dengan tetap terpeliharanya dzat aslinya.
Namun perlu dingat, pengertian berkah ini tidak melulu identik dengan limpahan materi yang dimiliki, tetapi juga menyertai harta yang sedikit. Hal ini tercermin pada diri yang merasa berkecukupan untuk memenuhi kebutuhan satu keluarga, meskipun income yang didapatkan masih tergolong jauh jika dianggap cukup.
Dalam hadits Hakim bin Hizam Radhiyallahu 'anhu di bawah ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya : "Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini begitu hijau lagi manis. Maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kesederhanaan jiwa, niscaya akan diberkahi. Dan barangsiapa mengambilnya dengan kemuliaan jiwa, niscaya tidak diberkahi; layaknya orang yang makan, namun tidak pernah merasa kenyang".[8]
Tentang hadits ini, al Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan, bahwa mayoritas manusia tidak memahami keberadaan berkah, kecuali pada harta yang semakin bertambah banyak. Maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan dengan permisalan itu, bahwa berkah merupakan salah satu makhluk Allah, dan membawakan permisalan yang sudah akrab dengan manusia. [9]
Dari sini kita bisa mengetahui, bahwa cara-cara yang legal dalam mengais rizki, tidak hanya mendatangkan rizki yang halal lagi thayyib, tetapi juga akan berpengaruh pada lahir insan-insan masa depan, yaitu anak-anak yang berjiwa suci lagi berkepribadian luhur, lantaran mendapatkan asupan gizi dari makanan halal. Selain itu, juga dapat menghadirkan karunia lain, yang tidak bisa terpantau oleh indera ataupun dihitung dengan materi. Itulah berkah.
TIGA PEMBAWA BERKAH PADA HARTA
Pertama : Syukur.
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk mewujudkan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.
Ibnul Qayyim berkata, "Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]
Syukur tidak dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata "alhamdulillah" atau "wa asy syukru lillah".
Kenikmatan yang didapatkan seseorang pada setiap datang, tidak terhitung jumlahnya, termasuk di antaranya harta benda. Kenikmatan ini menuntut seseorang untuk mewujudkan syukur kepada al Khaliq yang telah melimpahkan rizki. Rasa syukur dan terima kasih serta pujian kepada Allah Azza wa Jalla atas nikmat itu, merupakan satu jalan untuk mendapatkan berkah dan tambahan pada harta yang dimiliki.
Ibnul Qayyim berkata, "Allah menjadikan sikap bersyukur sebagai salah satu sebab bertambahnya rizki, pemeliharaan dan penjagaan atas nikmatNya (pada orang yang bersyukur). (Demikian ini merupakan) tangga bagi orang bersyukur menuju Dzat yang disyukuri. Bahkan hal itu menempatkannya menjadi yang disyukuri”. [10]
Syukur tidak dipahami secara sempit, atau hanya dengan lantunan kata "alhamdulillah" atau "wa asy syukru lillah".
Syukur yang seperti ini tidaklah tepat, dan tidak pelak lagi, yang demikian itu merupakan pandangan yang terlalu dangkal. Syukur memiliki makna yang lebih jauh dan lebih luas dari sekedar ucapan tersebut. Segala perbuatan baik, seperti shalat, puasa, pengakuan kurang dalam menjalankan ketaatan, menghargai nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala , memperbincangkannya, menerima dengan ridha, walaupun sedikit, semuanya masuk dalam bentuk syukur.
Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , yang artinya ,"Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu". [Ibrahim : 7].
Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmat-Ku, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. [11]
Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ,"Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh".[Qs. al Baqarah : 276].
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya . [12]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar ra , yang artinya , "Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu". [13]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya." [14]
As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : "Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]
Al Mubarakfuri berkata, "Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya." [16]
Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi".[17]
Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.
Al Hafizh berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]
Allahu a'lam
Dengan bersyukur, maka Allah akan menambahhkan karuniaNya kepada kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman , yang artinya ,"Jika engkau bersyukur, niscaya Kami benar-benar akan menambahimu". [Ibrahim : 7].
Al Qurthubi menjelaskan, artinya, jika engkau mensyukuri nikmat-Ku, niscaya Aku tambahkan kepada kalian dari kemurahanKu. Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa bersyukur menjadi factor yang akan menambah kenikmatan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. [11]
Kedua : Shadaqoh.
Tidak sedikit ayat dan hadits yang menjelaskan shadaqoh dan infak merupakan salah satu penunjang yang dapat mendatangkan rizki dan meraih berkah.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ,"Allah menghapuskan riba dan mengembangkan shadaqoh".[Qs. al Baqarah : 276].
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meningkatkannya di dunia ini dengan berkah dan memperbanyak pahalanya dengan melipatgandakannya . [12]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Asma` bintu Abi Bakar ra , yang artinya , "Berinfaklah, janganlah engkau menahan diri, akibatnya Allah akan memutus (berkah) darimu". [13]
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Larangan dari menahan diri untuk bersedekah lantaran takut habis (apa yang dimiliki), sikap ini merupakan faktor paling yang mempengaruhi terhentinya keberkahan. Karena Allah membalas pahala infak tanpa ada batas hitungannya." [14]
As Sindi memaknai hadits di atas dengan mengatakan : "Janganlah engkau menahan apa yang ada di tanganmu, akibatnya Allah akan mempersulit pintu-pintu rizki. Dalam hadits ini terkandung pengertian, bahwa kedermawanan akan membuka pintu rizki, dan kikir adalah sebaliknya”.[15]
Al Mubarakfuri berkata, "Hadits ini menunjukkan, bahwa sedekah meningkatkan harta dan menjadi salah satu penyebab keberkahan dan pertambahannya; dan (menunjukkan pula), kalau orang yang bakhil, tidak bersedekah, (maka) Allah mempersulit dirinya dan menghambat keberkahan pada harta dan pertambahannya." [16]
Ketiga : Silaturahmi.
Usaha lain yang bisa mendukung bertambahnya rizki dan bisa mendatangkan keberkahan pada harta yang dimiliki, yaitu menyambung jalinan silaturahmi. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , "Barangsiapa ingin dilapangkan dalam rizkinya dan ditunda ajalnya, hendaknya ia menyambung tali silaturahmi".[17]
Hadits di atas menunjukkan manfaat menyambung tali silaturahmi, yaitu dapat mendatangkan curahan kebaikan dari Allah berbentuk rizki, terhindar dari keburukan, dan diraihnya keberkahan.
Al Hafizh berkata : “Para ulama mengatakan, yang dimaksud dilapangkan rizkinya adalah, adanya keberkahan padanya. Sebab menyambung tali silaturahmi adalah sedekah, dan sedekah mengembangkan harta, sehingga semakin bertambah dan bersih”.[18]
Allahu a'lam
Wa billahit taufiq.
Sumber : majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan:
[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, al Qadr, Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303).
Sumber : majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
catatan:
[1]. Lisanu al ‘Arab, 10/1115.
[2]. HR Muslim, al Qadr, Kaifa al Khalqu al Adami fi Bathni Ummi wa Kitabati Rizqihi, 4/ 2037-2038.
[3]. Al Jami’ li Ahkami al Qur`an (18/105).
[4]. Tafsir al Qur`ani al ‘Azhim (4/105), dengan ringkasan.
[5]. HR Ibnu Majah, kitab at Tijarat, bab al Iqtishad fi Thalabi al Ma’isyah (2/724), dan dishahihkan oleh al Albani.
[6]. HR al Bukhari, kitab al Buyu’, bab Man Lam Yubali min Haitsu Kasaba al Mal (4/296).
[7]. Al Jami’u Li Ahkami al Qur`an : 13/1 pada tafsir ayat pertama surat al Furqan.
[8]. HR al Bukhari, kitab az Zakat, bab al Isti’faf ‘an al Mas`alah (3/3350); Muslim, az Zakat, bab Takhawwufi ma Yakhruju min Zahrati ad Dunya (2/727-729).
[9]. Fat-hul Bari (3/337)).
[10]. Madarijus Salikin (2/252) secara ringkas.
[11]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (9/353).
[12]. Al Jami’u li Ahkami al Qur`an (14/41).
[13]. HR al Bukhari (3/299-300, 3/301, 5/217), Muslim (2/713), Abu Dawud (2/134), at Tirmidzi (6/94), an Nasaa-i (5/74).
[14]. Fat-hul Bari (3/301).
[15]. Hasyiyah as Sindi ‘ala Sunan an Nasaa-i (5/74-75)
[16]. Tuhfatul Ahwadi (6/94).
[17]. HR al Bukhari (4/301), (10/415).
[18]. Fathul Bari (4/303).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar