1. Hawa nafsu manusia sendiri
Faktor ketiga yg bergejolak dan mempengaruhi hati adalah
nafsu, dimana nafsu sangat mengajak kepada keburukan, menyeru kpd kezaliman dan
memerintakan kejahatan. Media nafsu yang selalu menyuruh pada kejahatan adalah
keinginan dan syahwat. Seorang hamba beriman tidak akan selamat kecuali dengan
memerangi dan melawan keinginannya. Nafsu selalu mencari apa yg belum diraih
dan dan belum dicapainya. Tidak ada sesuatupun yg bisa menghentikan kekurangan
dan kebutuhan nafsu selain menuju Tuhan sebagai sesembahannya, hingga ia
mengenal dan menuju kepada-Nya, bukan yg lain. Baru ketika itu hati
menemukan harapannya dan nafsu mencapai
tujuannya, mk terwujudlah ketenangan , kedamaian dan ketentraman. Tiada yg bisa
menggapai ketenangan selain kepada Allah yg disembah sebagai tujuannya.
Al-Quran telah mengisahkan perihal nafsu dalam kisah Yusuf , yaitu
وَمَآ أُبَرِّئُ نَفْسِىٓ ۚ إِنَّ ٱلنَّفْسَ لَأَمَّارَةٌۢ بِٱلسُّوٓءِ
إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّىٓ ۚ إِنَّ رَبِّى غَفُورٌۭ رَّحِيمٌۭ
“ Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang. “ (Qs. Yusuf : 53)
Saudaraku, diantara hal yang bisa menolak atau menjauhkan
hawa nafsu adalah intropeksi diri. Instropeksi diri telah menjadi tradisi
orang-orang shalih.
Dalam Al Mustadrak , al-‘Askari dan Al-Qadha’i, Al Hakim
berkata , bahwa Rasulullah bersabda , yang artinya,” Orang cerdas adalah orang
yang menundukkan hawa nafsunya..”. (Hakim berkata bhw hadits ini shahih menurut
persyaratan Imam Bukhari. Adz-Dzahabi menambahkan bhw dalam sanad hadits ini
terdapat Ibn Abi Maryam, ia periwayat yang diragukan, As-Sahawi, al-Maqashid al
Hasanah).
Dalam Ar-Ri’ayah dikatakan bahwa Umar bin Khaththab berkata,’
hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbangkalah diri kalian sebelum
ditimbang’.
Dr. Umar Sulaiman ‘Abdullah al-Asyqar , menyatakan bahwa,
instropeksi diri (Muhasabag) ada tiga macam ;
1. Melakukan instropeksi diri sebelum mulai melakukan suatu
perbuatan.
Hal ini dilakukan dengan
cara merenungkan maksud dan tujuannya. Jika seseorang menafikan segala bahaya
sebelum bersarang di hati, maka ini lebih mudah baginya untuk menolak bahaya
tersebut, karena setiap perbuatan itu diawali dengan getaran hati.
Getaran hati atau
kecenderungan hati yang menguat , sehingga menjadi bisikan-bisikan. Lalu
bisikan ini menjadi kehendak, akhirnya kehendak yang mantap pasti menjadi
perbuatan.
Al-Hasan berkata,’Jika
seseorang hendak bersedekah sesuatu, ia memantapkan diri. Jika sedekah itu
hanya karena Allah, maka ia menunaikannya”. Semoga Allah merahmati hamba yang
memeriksa tujuannya.
Sorang hamba tidak akan
beramal hingga ia mennyengaja. Apabila tujuannya karena Allah, maka ia
melakukannya. Jika bukan karena Allah, maka ia membatalkan amalannya. Dan
kemantapan terhadap bisikan ini dicapai hanya dengan cara meninjau tujuan dan
bisikan dari sudut pandang Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Tidak mematuhi dorongan hawa nafsu.
Al Bushairi berkata ,
‘tentanglah nafsu dan setan , langgarlah keduanya. Jika keduanya memberimu
nasihat tulus , maka curigalah’. Menolak dorongan hawa nafsu ini akan terwujud dengan sabar menjauhi maksiata
dan dosa.
Ibnu Qayyim dalam ‘Iddah
ash-Shabirin , berkata,’Kesebaran merupakan keteguhan dan pembangkit rasio akal
dan agama dalam emlawan pendorong hawa nafsu dan syahwat.’ Nafsu mengajak kita
pada perbuatan zina, amarah, dendam , bakhil , lemah , malas, membuka rahasia
dst. Menahan dari semua ini dinamakan sabar.
3. Intropeksi diri setelah melakukan kesalahan atau telah menuruti
hawa nafsu, maka ia akan lebih mencermati amal perbuatannya selanjutnya. Jika
ia mendapatati perbuatannya telah melampui batas , maka ia mengecam hawa
nafsunya dan kembali kepada Allah serta memohon ampunan-Nya.
Sesungguhnya setiap gerakan atau ucapan
itu akan dihadapkan pada dua pertanyaan, untuk siapa dikerjakan? dan bagaimana
cara pengerjaannya? Pertanyaan pertama tentang ikhlas dan yang kedua tentang mutaba'ah (kesesuaian
dengan sunnah)
Kita manusia memang tidak sanggup lepas
dari kelalaian dan kesalahan. Sebagaimana Allah berfirman,
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا
مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“ Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku
yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus
asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya (yakni
dengan taubat). Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(Qs. Az-Zumar : 53).
Nurani yang paling dalam tentu senang dalam melakukan kebaikan. Hanya saja
karena hawa nafsu atau hal lainnya kita enggan untuk berbuat kebaikan. Sungguh Allah Ta'ala telah
banyak menyediakan pintu kebaikan dengan beraneka ragamnya. Ada yang berangan-angan dan berkata, "Aku
ingin berbuat kebaikan", namun ketika dihadapkan kepada jalan menuju kebaikan , maka ia berkata, "Itu bukan
jalan hidup saya, saya tidak mau menempuh jalan itu," dan berbagai alasan
lainnya setelah ia mengetahui bahwa jalan kebaikan itu begitu terjal dan
dipenuhi dengan onak dan duri. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhannya meraih
kebahagiaan perlu perjuangan yang tidak
ringan.
Imam Al-Hasan Al-Basri dalam Mawa’izh
Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah semata. “Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah semata. “Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
Saudaraku, “Seorang hamba akan
senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya
sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”
Beberapa contoh orang shalih dalam
instropeksi diri . Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak
mungkin mampu membuangnya. Yunus bin 'Ubaid berkata, "Aku benar-benar
mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada
pada diriku."
Muhammad bin Wasi' berkata,
"seandainya dosa-dosa itu mempunyai bau, sungguh tidak ada seorang pun
yang sanggup duduk di dekatku."
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Darda'
berkata, "Seseorang itu tidak memahami agama ini dengan baik sampai ia
membenci orang lain karena Allah subhanahu wa ta'ala, kemudian ia kembali
kepada nafsunya dan ia lebih membencinya lagi."
Ada tiga hal yang harus dipersiapkan setiap hamba, dalam
menghadapi medan peperangan yang panjang ini. Yaitu seorang hamba harus selalu
waspada dengan mengendalikan nafsu dari keinginannya, mengendalikan nafsu yang
selalu menyuruh pada kejahatan. Menyiapkan bekal untuk melawan musuh hati yaitu
setan. Melawan setan dengan senjata yang mengenalkan dia kepada AQlalah, yaitu
berupa dzikrullah dst.
Allahu a’lam
Sumber : Mawa’izh
Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri Al-Ikhlash - Fa’budullaha Mukhlishan
lahu ad-Din (Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar), , Tazkiyah An-Nafs , Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Al-Ikhlash : dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar