Ada pepatah ,semakin kita berusaha menahan , menjaga apapun yang sudah kita miliki bahkan masih berusaha mengambil hak orang lain, maka kita akan semakin banyak kehilangan. Banyak diantara kita ingin disanjung dan dipuji , namun kita pelit untuk memberikan pujian kepada orang lain.
Sebuah hukum (sunatullah) yang pasti , yaitu prinsip kekal yang dinamakan The law of giving, yaitu penghargaan yang kita terima berkorelasi positif dengan pemberian yang kita berikan kepada pihak lain.
Sebagaimana hadits riwayat Imam Muslim , Rasulullah SAW bersabda, yang artinya, “ Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama si hamba itu mau menolong saudaranya ,” (HR Abu Hurairah)*1
Dalam riwayat Ibn Umar disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya, “ Allah senantiasa memenuhi kebutuhan seorang hamba, selama si hamba itu berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya,”
Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi IV, menjelaskan hadits diatas bahwa ini merupakan isyarat tentang keutamaan menolong , membantu sesama dalam segala hal dan urusan mereka. Juga isyarat bahwa kompensasi yang diperoleh seseorang tersebut berupa pertolongan Allah akan relevan dengan pertolongan yang ia berikan kepada sesamanya, baik itu pertolongan dengan hati, dengan jasmani atau keduanya, baik dg cara menyelamatkan orang lain dari kesulitan atau memberinya keuntungan.
Anthoni Dio Martin, dalam artikel motivasinya, menyatakan bahwa ada beberapa hukum memberi, yaitu bahwa :
- Apa yang kita tabur, itulah yang kita tuai. Maka konsekuensinya bahwa, jika kita tidak pernah memberi , maka kitapun tidak akan pernah menerima apapun. Karena kita jarang memberi maka kitapun jarang diberi.
- Ketika kita memberi , maka kita mendapatkan balasannya. Hal ini bisa langsung kita terima saat itu juga, atau pasti terjadi di masa yang akan datang. Dan kemuliaan akan bertambah besar bila ada keinginan kita untuk tidak mengharap-harap balasan itu.
- Nilai pemberian itu diukur dalam dua hal, yakni ketulusan dan nilai pemberian itu bagi si pemberi. Misalnya pemberian seorang jutawan sebanyak jutaan rupiah, walaupun sebenarnya nilai itu belum ada 1% dari penghasilannya, tentu nilainya tidak sama dengan seorang miskin yang memberikan Rp 5.000 dimana penghasilan tidak menentu.
Saudaraku, kemuliaan memberi , tidak hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkecukupan menurut pandangan kita. Namun memberi hanya bisa dilakukan oleh orang yang merasa berkecukupan, walaupun menurut pandangan kita orang tersebut sangat kekurangan.
Sebagaiman sabda Rasulullah dari riwayat Abu Dawud (meski berderajad mursal) , dimana kita bisa mengambil pelajaran berharga ini. (*2).
Rasulullah , pernah bertanya kepada para sahabat, yang artinya ,” Apakah masing-masing dari kalian merasa keberatan untuk menjadi seperti Abu Dhamdam ? “
Saudaraku, siapa Abu Dhmabdan itu ?
Abu Dhamdam adalah salah satu sahabat Rasulullah. Dia bukanlah sahabat yang terkenal dan punya nama besar, dia juga bukan terkenal karena kedudukan, kekayaan, ataupun latar belakang suku (keluarganya).
Ia hanyalah seorang pria yang sangat miskin, bahkan diriwayatkan segenggam kurma pun tak pernah ia miliki.
Suatu kali Rasulullah memerintahkannya untuk bersedekah, padahal ia begitu miskinnya.
Abu Dhamdan sangat antusias memenuhi perintah Rasulullah. Ia mencari-cari kepingya demi keping dirham yang ada dirumahnya, namun ia tidak menemukannya.
Maka dalam keheningan malam , ia bangun , mengerjakan shalat malam dan berdoa, ‘ Ya Allah ya Rabbi ! Orang-orang yang berharta bisa bersedekah dengan harta mereka.
Mereka yang memiliki kuda bersedekah dengan kuda mereka,
Mereka yang memiliki unta juga bersedekah dengan unta mereka.
Sedangkan aku ini, ya Allah, tidak punya harta sedikitpun, tidak ada kuda , tidak ada unta.
Ya, Allah karena itu ,aku sedekahkan kepada-Mu dengan doaku ini.
Ya Allah , kepada setiap orang yang berbuat zalim kepadaku,
Ya Allah , kepada setiap orang yang mencelaku,
Ya Allah , kepada setiap orang yang mencaciku atau menggunjingku, (dari kalangan muslimin).
Maka jadikanlah mereka selalu sehat , selalu mendapat kemudahan dan selalu mendapat maaf dari-Mu’
Akhirnya Allah menerima sedekah Abu Dhamdan, dan Allah berfirman , yang artinya ,” ... Sesungguhnya Allah hanya menerima (amalan) dari orang-orang yang bertakwa ,” (Qs. Al-Maidah : 27).
Saudaraku, siapapun dari kita bisa menolong, bisa memberi, bisa bersedekah kepada orang lain, apapun kondisi kita.
Imam Dzahabi dalam Siyar A’lamin Nubala , meriwayatkan seorang salaf, Hakim bin Hazam, berkata,’ jika pagi hari didepan pintu rumahku tidak ada orang yang meminta tolong dariku maka aku pun tahu bahwa itu adalah salah satu musibah, karena aku kehilangan kesempatan melakukan perbuatan yang dengannya kuharap ampunan dari Allah ‘.
Sungguh besar keutamaan dari sikap memberi, apa yang kita berikan kepada orang lain, tidak ada artinya dibandingkan dengan kompensasi yang Allah berikan kepada kita.
Sebagaimana Firman Allah , yang artinya ,” ... Dan apa yang kamu infakkan di jalan Allah, maka akan diberikan pengganti dari Allah dan Dia-lah sebaik-baiknya pemberi rizki, “ (Qs. Saba’ : 39).
Sebagaimana Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi , yang artinya ,” Wahai anak cucu Adam, infakkanlah hartamu. Aku pun berinfak kepadamu,”. (Shahih Muslim).
Sumber : Zainuddin bin Qosim dalam The power of giving, Bisnis Indonesia 2010
Catatan :
1. Diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya ih Imam Muslim XIII,212, sunan Abu Dawud XIII-110, Sunan At Tirmidzi V-324, Sunan Ibn Majah I-261, Musnad Imam Ahmad XV-159 )
2. Diriwayatkan Abu Dawud (4887) dan Al-‘uqaili dalam Adh-Dhu’fa (IV-93) dengan sanad mursal dari Abdurrahman bin ‘ajlan. Baihaqi meriwayatkannya dalam Asy-Syu’ab (8082-8083), dari Anas Malik. Lihat Muwadhdhih Auhamil Jami’i wat Tafriq karya Khatib Baghdadi (I-36), Al Ishabah (Ibn Hajar VII-229) dan Al’Irwa’ VIII-33.
3. Dalam Sunan Abi Dawud , menegaskan bahwa Abu Dhamdham adalah seorang shalih di masa dahulu, sebelum masa sahabat. Allahu a’lam, namun intinya Rasulullah mengajak para sahabat untuk mempunyai kepekaan sosial , sebagaimana Abu Dhamdham
Tidak ada komentar:
Posting Komentar