Rasulullah SAW pernah bersaba,
من سمع اﷲ به ومن يرﺃي اﷲ به
“ Siapa yang ingin didengar , maka Allah akan menjadikannya sum’ah (menjadi tersohor dan didengar) dan siapa yang ingin dilihat, maka Allah akan menjadikannya ria (senang dilihat),” (Hr Bukhari, dalam fathul bari 11-336).
Sum’ah adalah beramal karena ingin didengar orang lain , ada keterkaitan antara perasaan dan pendengaran. Izz bin Abdus salam dalam Qawa’id al Ahkam , berpendapat bahwa sum’ah adalah bila seorang hamba membicarakan (membanggakan) ketaatannya dan ibadahnya kepada orang lain, sehingga orang lain yang tidak pernah tahu menjadi mengetahui tentang ibadahnya.
Jadi menurut Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul Bari, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sum’ah , hampir tidak berbeda jauh dengan ria, tetapi ia berhubungan dengan perasaan dan pendengaran , sedangkan ria dikaitkan antara perasaan dan penglihatan.
Bisa jadi mendengarkan ini hanya terjadi pada masalah-masalah yang dapat didengar, seperti membaca Al-Qur’an, zikir, shalat malam , atau aktivitas lainnya yang mungkin bisa dilihat namun telah berlalu dimana lawan bicara kita tidak melihatnya waktu itu. Misalnya kita dengan bangga menyatakan telah melakukan ibadah shalat malam kemarin, atau memberi bantuan kepada yayasan yatim diwaktu yang telah lalu.
Sehingga , dalampengertian ini ria tidak akanmenyentuh ibadah yang bersifat kehatian, seperti perasaan takut dan taat kepada Allah.
Ini jelas mempunyai perbedaan dengan unsur-unsur dalam sum’ah. Karena seorang hamba akan berbicara tentang apa yang terlintas dalam pikirannya, bersamaan itu seorang hamba tersebut berharap dengan menceritakan itu, akan mendapat semacam penghargaan atau sanjungan dari lawan bicara atau orang lain.
Jebakan sum’ah ini sangat halus . Seringkali kita tidak merasakan bahwa setiap hari kita melakukan perbuatan hina ini. Saudaraku, mari kita lebih berhati-hati dan selalu mengoreksi perbuatan kita sehari-hari , semoga kita dihindarkan Allah dari perbuatan yang merugikan ini.
Menurut Izz bin Abdus Salam, bahwa amal-amal yang bersifat kehatian (tidak nampak), sebenarnya bisa terjaga dari ria, karena ria hanya akan menghinggapi amal-mala perbuatan baik kita yang bersifat lahiriah. Dimana amalan-amalan ini bisa dilihat atau didengar.
Saudaraku, jangalah kita mengotori amalan dan ketaatan yang telah kita lakukan dengan niatan awal untuk mengharapkan ridha Allah, selanjutnya kita membicarakannya kepada orang lain , sehingga adapeluang menjadikan kita disanjung, dihormati, diberi bantuan atau sebagainya.
Dalam hadits shahih, Rasulullah menjelaskan , yang artinya ,” Orang yang sum’ah terhadap apa yang belum dia lakukan, sama halnya dengan orang yang memakai pakaian curian ,” (Al-Maqashid al-Hasanah).
Saudaraku, ada kecenderungan tinggi dari hawa nafsu setiap hamba untuk mendapat pujian, penghormatan, pengakuan , sanjungan atau apapun bentuknya, dan ia akan selalu mencari peluang untuk menyelinap kedalam hati. Sehingga kita sudah mengira bahwa apa yang telah kita lakukan tela memenuhi kriteria ikhlas , padahal sebenarnya kita sudah terseret dalam arus sum’ah bahkan ria.
Al Muhasibi dalam Ar-Ri’ayah, bahkan menyatakan, bahwa jiwa setiapmanusia ingin mencari kenikmatan, dan keinginan hawa nafsu selalu tersembunyi bagaikan api dalam sekam. Setiap seorang hamba beriman nberupaya mengendalikan nafsunya dengan selalu berupaya menjalankan ibadah dan ketaatan, sepanjang itu pula nafsu tetap berupaya menghiasi ketaatannya agar mendapat pujian, penghargaan, pujian, pengakuan , dukungan atau apapun bentuknya .
Allahu a’lam
Sumber : Dr Umar Sulaiman abudllah al Asyqar ,Al-Ikhlas,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar