عن سفيان بن عبد الله الثقفي ، قال :قلت : يا رسول الله قل لي في الإسلام قو ً لا ، لا أسال عنه
أحدًا بعدك - وفي حديث أبي أسامة : غيرك - قال : قل آمنت بالله ثم استقم
Dari Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafy, ia berkata; Aku pernah bertanya; Wahai Rasulullah! Beritahukanlah kepadaku satu ucapan dalam Islam yang tidak akan kutanyakan lagi kepada selainmu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda,” Ucapkanlah; Aku beriman kepada Allah , lalu Istiqamahlah”. (HR.Muslim).
Secara etimologi istiqamah berarti tegak dan lurus. Sedangkan secara terminologi para ulama salaf berbeda pendapat dalam menafsirkan kata istiqamah. Perbedaan tersebut hanya pada redaksional saja. Antara satu dan lainnya tidak bertentangan, yang kesimpulannya bahwa istiqamah adalah sikap tengah dalam segala perkara, dalam ucapan dan perbuatan. Memelihara jiwa agar selalu berada dalam kondisi yang baik sehingga tidak tampak jelek atau terjerumus dalam kejelekan. Dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang memerintah untuk istiqamah, di antaranya adalah firman Allah ,” Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan:"Rabb kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (QS. 46:13). Baca juga surat Fushshilat:6, & 30-32, Hud: 112, al-Jin: 16,al-An’am: 153, Ali Imran: 101 dan lainnya.
Adapun hadits Rasulullah yang memerintahkan untuk istiqamah adalah hadits di atas. Imam Nawawi dalam mengomentari hadits tersebut mengatakan bahwa hadits ini adalah salah satu hadits yang menjadi landasan ajaran Islam. DR. Mushthafa al-Buga dalam kitabnya al-Waafi ketika menjelaskan hadits ini menyebutkan pentingnya istiqamah hati, karena inilah landasan dari sikap istiqamah itu. Istiqamah hati dalam bertauhid kepada Allah dengan cara takut, mengharap, tawakkal dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan selain Allah . apabila hati bias istiqamah dalam kebaikan maka anggota tubuh yang lain akan mengikutinya, sebagaimana sabda Rasulullah: Artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyiir).
Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan.
Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah. Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, "Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."
Oleh karena itu hati seorang mukmin harus senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada dalam sikap taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqamah. Imam al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat. Hati yang istiqamah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."
Ada banyak cara untuk menggapai hati yang istiqamah ini. Di antaranya:
- Pertama, meletakkan cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara, atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Allah di atas segala-galanya.
- Kedua, membesarkan perintah dan larangan Allah. Membesarkan perintah dan larangan Allah harus dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Allah. Membesarkan perintah Allah di antaranya adalah dengan menjaga waktu salat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.
- Ketiga, senantiasa berzikir kepada Allah karena itulah perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku akan mengingat-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya." (HR Bukhari).
- Keempat, Mempelajari kisah orang-orang saleh terdahulu. Hal ini diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan. Sebagaimana firman Allah , " Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. 12:111).
Disamping istiqamah hati, pada kitab yang sama al-Buga juga menulis pentingnya istiqamah lisan karena ia merupakan pengungkap kata hati. Ketika Rasulullah ditanya tentang apa yang paling beliau khawatirkan dari umatnya. Tanpa berbicara beliau memegang lidahnya. (HR.Turmudzishahih). DR. Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy dalam bukunya al-Istiqamah menyebutkan beberapa rukun atau pondasi untuk membangun keistiqamahannya diantaranya keshalihan, keteguhan dalam sunnah dan jamaah, sikap pertengahan antara ekstrim dan menyepelekan, akhlak yang mulia, dan teman yang shalih.
Dalam kitab Haqiqatul iltizam-nya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al- Jibrien menambahkan beberapa hal yang diperhatikan untuk menjaga keistiqamahan diantaranya Berusaha mengamalkan Assunnah semampunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dari Abdullah bin Amru bin Al- Alsh berkata : Rasulullah bersabda “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi pada bani Isra’il setapak demi setapak ,sampai kalau ada diantara mereka yang mendatangi ibunya dalam keadaan terbuka juga akan terjadi pada umatku seperti itu ,dan sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya di Neraka kecuali satu ,para sahabat bertanya :siapa mereka itu ya Rasulullah ? beliau menjawab“ siapa yang bisa seperti –Ku dan sahabat-Ku. [HR Atturmuziy no 2641 kitab Iman bab Iftiraqul ummah hadist ini punya syawahid yang banyaksebagaimana pada awal kitad AS-Syari’ah karangan Imam Al-Ajurriy).
Di samping itu seorang yang ingin tetap istiqamah harus banyak thalabul ilmu agar tidak terjebak kepada amaliyah yang tidak ada tuntunan syariahnya.
Untuk menjaga keistiqamahan Syaikh Abu Mushab dalam kitabnya al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa melemahkan keistiqamahan diantaranya lemahnya keikhlasan, kurangnya ilmu syar’i dan jauhnya dari ahli agama, futur, lemahnya muhasabah, sibuk dengan keluarga, al-Faudhawiyah (kesemrawutan), sibuk dengan aib orang lain, tidak menghargai waktu, bergaul dengan orang yang tidak baik, dan tidak mempunyai semangat dan harapan.
Akhirnya marilah senantiasa kita berdoa kepada Allah Dia memberikan kita keistiqamahan hati di dalam agama-Nya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi beliau berdoa: ketika ditanya oleh Ummu Salamah kenapa begitu sering mengucapkan doa tersebut, Beliau menjawab; Wahai Ummu Salamah ! sesungguhnya tidak ada satupun anak Adam kecuali hatinya berada diantara jari-jari Allah . Kalau Dia Berkehendak untuk menjadikannya istiqamah ia jadikan, dan barangsiapa yang dikehendaki untuk menyeleweng Diapun berkuasa.
Kemudian Rasulullah membaca ayat: yang Artinya,” Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. 3:8).
Referensi:
(I)- Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy, al-Istiqamah Arkaanuhu wa al-Wasailu al-Mu’inah ala Tathbiqihi, terj. Istiqamah oleh Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2001).
(2)- Mushthafa al-Bugha, al-Waafi fi Syarhi al-Arbaiin al-Nawawi (Riyad: Daar al- Dulaiqan, 1999).
(3)- Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrien Kitab Haqiqatul iltizam dan Abu Mushab, al- Ilmam fi Asbaab Dho’ fi al-Iltizam.
http://dear.to/abusalma ,Maktabah Abu Salma al-Atsari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar