*****Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yg sabar.(Qs.Al-Baqarah 2 : 155).*****Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga , padahal (cobaan) belum datang kepadamu seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yg beriman bersamanya , berkata, 'kapankah datang pertolongan Allah?' Ingatlah , sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.(Qs.Al-Baqarah 2 : 214). *****Dan sungguh, Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan , agar mereka memohon (kepada Allah) dengan kerendahan hati.(Qs.Al-An'am 6 : 42). *****Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yg baik-baik dan (bencana) yg buruk-buruk, agar mereka kembali (kepda kebenaran). (Qs. Al-A'raf 7 : 168). *****Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yg apabila disebut nama Allah gemetar hatinya , dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yg melaksanakan shalat dan yg menginfakkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yg benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rizki (nikmat) yg mulia. (Qs.An-anfal 8 : 2-4). *****Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yg berjihad diantara kamu dan tidak mengambil teman yg setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yg kamu kerjakan. (Qs. At-Taubah 9 : 16) *****Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yg sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan. (Qs. Al-Anbiya 21 : 35). *****Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sungguh , Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yg dusta. (Qs. Al-'Ankabut 29 : 2-3)

Selasa, 10 Mei 2011

Bersahabat dengan orang shalih

Dalam kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, Imam al-Ghazali mengatakan bahwa berkawan dengan orang baik karena Allah adalah salah satu pilar memperkuat agama (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 63).
Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba jika mereka mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 41). Pergaulan merupakan faktor yang mempengaruhi pemikiran, lebih-lebih keimanannya. Seseorang dapat menjual iman, karena tergiur tipuan kawannya. Sebaliknya, seseorang bisa menjadi orang shalih karena selalu dinasihati teman dekatnya.
Maka dari itu, Rasulullah SAW bersabda: “Seseorang dapat dinilai dari agama kawan setianya, maka hendaklah di antara kalian melihat seseorang dari siapa mereka bergaul.” (HR. al Hakim).
Yang harus diutamakan kawan adalah orang yang berilmu dan beriman ( dan berakhlak mulia). Sebab sedikit atau banyak akan mempengaruhi pemikiran kita.
Dituturkan oleh Rasulullah SAW bahwa, lebih baik bersendiri dari pada bergaul dengan orang-orang yang rusak. Dan lebih baik bergaul dengan orang-orang baik daripada menyendiri (HR. Al Hakim).
Orang baik (ahl al-khoir) adalah orang yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Individu yang baik ini adalah orang yang beradab. Bukan sekedar beretika, tapi juga bertauhid.
Syed Muhammad Naquib al-Attas mendefinisikan orang baik sebagai orang yang mengamalkan adab secara menyeluruh.
Pengamalan adab ini meliputi adab kepada Allah SWT, sebagai tingkatan adab tertinggi. Kemudian adab dengan sesama manusia, kepada ilmu, kepada alam dan sebagainya. Adab-adab ini dipandang dengan kacamata tauhid.
Karena orang baik (insan adabi) memberi pencerahan dalam segala aspek bidang kehidupan, makanya Rasulullah SAW menganjurkan kita untuk mempergaulinya.
Orang yang demikian akan melihat realitas secara konstan dari kacamata ketuhanan – sebagai fondasi utamanya. Orang yang demikianlah yang dimaksud Rasulullah SAW untuk kita pergauli. Tidak memberi faedah kecuali faedah agama.
Sebaliknya, bergaul dengan orang-orang dzalim dan lalai bisa membutakan hati. Allah SWT berfirman, yang artinya “Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah SWT, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (HR. QS. Hud: 113).
Condong dalam ayat tersebut di atas maksudnya, mendukung, melapangkan jalan, memuji-muji dan bersekutu bersama mereka. Tujuannya tidak lebih untuk kepentingan materialistik.
Setiap kita bergaul secara akrab dengan orang-orang lalai maka, saat itu iman kita mengalami pelemahan (Kitab Al-Arba’in fi Ushul al-Din, hal. 61). Duduk bersama orang-orang fasik oleh Rasulullah SAW dikaitkan dengan kadar keimanannya. Tidak mungkin orang beriman bergaul akrab bersama mereka dalam bersekutu melakukan aktifitas tidak baik.
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk (di suatu majelis) yang dihidangkan padanya minuman keras.” (HR. Abdu Dawud dan Ibn Majah).
Ketika kita memiliki kecondongan kepada mereka, maka cepat-cepatlah memutus kecondongan itu. Sebab dikhawatirkan akan mendapatkan kemungkaran. Karena mereka sangat pandai dalam tipu daya dan penipuan. Terkecuali jika kita memiliki misi khusus, berbekal ilmu akan mendakwahi mereka. Sikap ini bukan dinamakan memiliki kecondongan sebab tujuannya adalah dakwah.
suatu ketika Khalifah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz mendapat laporan tentang adanya suatu kaum yang sedang meminum khamr. Beliaupun memerintahkan agar mereka semua dicambuk. Kemudian seseorang berkata kepada beliau; "Sesungguhnya di antara mereka ada orang yang sedang berpuasa."
'Umar bin Abdul 'Aziz menjawab: "Mulailah darinya (dalam mencambuk). Tidakkah kalian mendengar firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan kepada kalian di dalam al-Qur’an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah SWT diingkari dan diperolok-olok, maka janganlah kalian duduk bersama mereka. Sehingga mereka pindah kepada pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kalian berbuat demikian), maka tentulah kalian serupa dengan mereka.” (QS. Al-Nisa’ : 140).
Hal yang perlu digari bawahi di sini adalah, sebenarnya bergaul dengan siapa pun kita mesti memiliki cara pandang Islam yang kokoh. Semua harus atas dasar berukhuwah karena Allah SWT. Jika kita ingin memasuki majelis orang-orang fasik, maka pertama-tama yang harus dipertanyakan dalam hati adalah, atas dasar apa kita masuk dalam majelis itu?
Jika dasarnya adalah karena Allah SWT dengan maksud berdakwah, maka itu adalah langkah baik. Memberi nasihat, meluruskan padangan orang-orang fasik dan mengajak bertaubat. Jika kita mendapati sebuah majelis di dalamnya ajaran Islam dihina, maka jika kita mampu maka luruskan mereka atau janganlah duduk-duduk bersama. Jika kita diam, berarti kita setuju dengan mereka.
Namun, jika iman kita masih lemah. Sulit untuk menghindar dari godaan, maka lebih baik tidak memasukinya, dan sebaliknya bergabunglah bersama orang-orang shalih.
Faedah bergaul dengan orang shalih ada dua, yaitu mengambil ilmu dan menjaga keimanan agar tetap konstan. Iman itu diperkuat dengan ilmu, maka hendaklah kita mengambil faedah ilmu dari orang shalih agar keimanan selalu terjaga
Allahu a'lam

Sumber : Hidayatullah.com-- Kholili Hasib

Shalat berjama'ah

Tidak disangsikan lagi permasalahan ibadah merupakan inti ajaran Islam. Syari’at sangat memperhatikan permasalahan ini, karena merupakan perwujudan aqidah seseorang. Dan Allah menjadikannya sebagai tujuan penciptaan manusia dalam firmanNya,yang artinya ," Dan Aku tidaklah menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. " [Adz Dzariyat:56].
Diantara ibadah yang agung dan penting ialah shalat. Karena merupakan amalan terbaik seorang hamba. Rasulullah bersabda, yang artinya ," Istiqamahlah, dan kalian tidak akan mampu ber-istiqamah dengan sempurna. Ketahuilah, sebaik-baik amalan kalian ialah shalat. Dan tidaklah menjaga wudhu, kecuali seorang mukmin." [1]
Terlebih lagi, shalat telah diwajibkan Allah terhadap kaum mukminin. Sehingga sudah selayaknya kita memperhatikan masalah ini. Dengan berharap dapat menunaikannya secara sempurna.
KEDUDUKAN SHALAT DALAM ISLAM
Shalat menempati kedudukan tinggi dalam Islam. Adalah rukun kedua dan berfungsi sebagai tiang agama. Rasulullah bersabda, yang artinya," Pemimpin segala perkara (agama) ialah Islam (syahadatain), dan tiangnya ialah shalat." [2]
KeduaSeluruh syariat para rasul menganjurkan dan memotivasi umatnya untuk menunaikannya, sebagaimana Allah berfirman menjelaskan do’a Nabi Ibrohim Alaihissallam , yang artinya," Ya Rabbku, jadikanlah aku dan anak-cucuku, orang-orang yang tetap mendirikan shalat, ya Rabb kami, perkenankan do'aku." [Ibrahim:40].
Dan mengisahkan Nabi Ismail Alaihissallam , yang artinya ," Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya." [Maryam :55].
Demikian juga menyampaikan berita kepada Nabi Musa Alaihissallam, yang artinya ," Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. " [Thaha :14].
Nabi Isa Alaihissallam menceritakan nikmat yang diperolehnya dalam Al Qur’an, yang artinya ," Dan Dia menjadikan aku seorang yang berbakti di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup." [Maryam :31].
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengambil perjanjian Bani Israil untuk menegakkan shalat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya ," Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu):Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling. " [Al Baqarah :83].
Demikian juga Allah memerintahkan hal itu kepada Nabi Muhamad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam firmanNya, yang artinya ," Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa. " [Thaha:132].
Demikian tinggi kedudukan shalat dalam Islam, sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadikannya sebagai pembeda antara mukmin dan kafir.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, " Perjanjian antara aku dan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya, maka telah berbuat kekafiran." [3]
Memang, seseorang yang meninggalkan shalat, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Kemudian terputuslah hubungannya dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abu Bakar Ash Shidiq menyatakan dalam surat Beliau kepada Umar,“Ketahuilah, perkara yang paling penting padaku ialah shalat. Karena seseorang yang meninggalkannya, akan lebih mudah meninggalkan yang lainnya. Dan ketahuilah, Alah Subhanahu wa Ta'ala memiliki satu hak pada malam hari yang tidak diterimaNya pada siang hari. Dan satu hak pada siang hari yang tidak diterimaNya pada malam hari. Allah tidak menerima amalan sunnah, sampai (seseorang) menunaikan kewajiban.” [4]
HUKUM SHOLAT BERJAMA’AH

Shalat jama’ah disyari’atkan dalam Islam. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Terpilah menjadi empat pendapat.
Pertama : Hukumnya Fardhu Kifayah
.
Demikian ini pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, jumhur ulama Syafi’iyah mutaqaddimin (terdahulu, peny.), dan banyak ulama Hanafiyah maupun Malikiyah.
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,“Dzahir nash (perkataan) Syafi’i, shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah. Inilah pendapat jumhur mutaqaddimin dari ulama Syafi’iyah dan banyak ulama Hanafiyah serta Malikiyah.” [5]
Dalil-Dalilnya.

1. Hadits Pertama, yang artinya ," Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali Syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian." [6]
As Saib berkata,”Yang dimaksud berjama’ah ialah jama’ah dalam shalat.[7]
2. Hadits Kedua, yang artinya ," Kembalilah kepada ahli kalian, lalu tegakkanlah shalat pada mereka, serta ajari dan perintahkan mereka (untuk shalat). Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang kalian beradzan dan yang paling tua menjadi imam. " [8]
3. Hadits Ketiga, yang artinya , " Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.” [9]
Kedua . Hukumnya syarat, tidak sah shalat tanpa berjama’ah, kecuali dengan udzur.

Demikian ini pendapat Dzahiriyah dan sebagian ulama hadits. Pendapat ini didukung oleh sejumlah ulama, diantaranya: Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Aqil dan Ibnu Abi Musa.
Diantara Dalil-Dalinya, ialah:
1. Hadits Pertama, yang artinya ," Barangsiapa yang mendengar adzan lalu tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur. [10]
2. Hadits Kedua, yang artinya ," Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar. Lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat, dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka. [11]
3. Hadits Ketiga, yang artinya ," Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [12]
Ketiga : Hukumnya Sunnah Muakkad.

Demikian ini pendapat madzhab Hanafiyah dan Malikiyah. Imam Ibnu Abdil Barr menisbatkannya kepada kebanyakan ahli fiqih Iraq, Syam dan Hijaj.
Dalil-Dalilnya.
1. Hadits Pertama, yang artinya ," Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah n bersabda,”Shalat berjama’ah mengungguli shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.”[13]
2. Hadits Kedua, yang artinya ," Sesungguhnya, orang yang mendapat pahala paling besar dalam shalat ialah yang paling jauh jalannya, kemudian yang lebih jauh. Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat, kemudian tidur. Dalam riwayat Abu Kuraib, (disebutkan): sampai shalat bersama imam dalam jama’ah." [14]
Imam Asy Syaukani menyatakan setelah membantah pendapat yang mewajibkannya,“Pendapat yang tepat dan mendekati kebenaran, (bahwa) shalat jama’ah termasuk sunah-sunah yang muakkad… Adapun hukum shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain atau kifayah atau syarat sah shalat maka tidak”.
Hal ini dikuatkan oleh Shidiq Hasan Khan dengan pernyataan Beliau, “Adapun hukumnya fardhu, maka dalil-dalilnya masih dipertentangkan. Akan tetapi terdapat cara ushul fiqh yang mengkompromikan dalil-dalil tersebut. Yaitu, hadits-hadits keutamaan shalat jama’ah menunjukkan keabsahan shalat secara sendirian. Hadits-hadits ini cukup banyak.
Diantaranya , yang artinya ," Orang yang menunggu shalat sampai shalat bersama imam, lebih besar pahalanya dari orang yang shalat sendirian kemudian tidur. Hadits ini dalam kitab shahih.
Juga, diantaranya hadits tentang seseorang yang shalatnya salah. Kemudian Rasulullah memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya, sendirian. Kemudian hadits ا (seandainya ada seorang yang bersedekah kepadanya) [15]. Ketika melihat seseorang shalat sendirian. "
Diantara hadits-hadits yang menguatkannya ialah hadits yang mengajarkan rukun Islam. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan orang yang diajarinya untuk tidak shalat, kecuali berjama’ah. Padahal Beliau mengatakan kepada orang yang menyatakan saya tidak menambah dan menguranginya: أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ (telah beruntung jika benar) dan dalil-dalil lainnya. Semua ini dapat menjadi pemaling sabda Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam فَلاَ صَلاَةَ لَهُ yang ada pada hadits-hadits yang menunjukan kewajiban berjama’ah kepada peniadaan kesempurnaan, bukan keabsahannya.” [16].
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy Syaukani dan Shidiq Hasan Khan serta Sayyid Sabiq.[17]
Keempat : Hukumnya Wajib ‘Ain (Fardhu ‘Ain) Dan Bukan Syarat.


Demikian ini pendapat Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al Asy’ariy, Atha’ bin Abi Rabbah, Al Auza’i, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, sebagian besar ulama Hanafiyah dan madzhab Hambali.
Dalilnya.
- dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya , " Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan se-raka'at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bershalat, lalu bershalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap-siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu. [An Nisa’:102].
Dalam ayat ini terdapat dalil yang tegas mengenai kewajiban shalat berjama’ah. Yakni tidak boleh ditinggalkan, kecuali ada udzur, seperti: ketakutan atau sakit.
Sebagaiaman Allah berfirman, yang artinya ," Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'." [Al Baqarah:43).
Ayat di atas merupakan perintah. Kata perintah menunjukkan maksud kewajiban shalat berjama’ah.
Allah berfirman, yang artinya ," Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut namaNya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. " [An Nur:36-37].
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ," Katakanlah,"Rabbku menyuruh menjalankan keadilan." Dan (katakanlah),"Luruskan muka (diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepadaNya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepadaNya." [Al A’raf:29].
Kedua ayat di atas, terdapat kata perintah yang menunjukkan kewajiban shalat berjama’ah.
Sebagaimana allah berfirman, yang artinya ," Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa, (dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah, lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera. " [Al Qalam:42-43].
Ibnul Qayyim berkata,“Sisi pendalilannya, adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala menghukum mereka pada hari kiamat dengan memberikan penghalang antara mereka dengan sujud, ketika diperintahkan untuk sujud. Mereka diperintahkan sujud di dunia dan enggan menerimanya. Jika demikian, maka menjawab panggilan mendatangi masjid untuk menghadiri jama’ah shalat, bukan sekedar melaksanakannya di rumahnya saja.”
- Dalil dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Yang artinya ," Demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku bertekad meminta dikumpulkan kayu bakar, lalu dikeringkan (agar mudah dijadikan kayu bakar). Kemudian aku perintahkan shalat, lalu ada yang beradzan. Kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dan aku tidak berjama’ah untuk menemui orang-orang (lelaki yang tidak berjama’ah). Lalu aku bakar rumah-rumah mereka." [18]
Ibnu Hajar dalam menafsirkan hadits ini menyatakan,“Adapun hadits bab (hadits di atas), maka dhahirnya menunjukkan, (bahwa) shalat berjama’ah fardhu ‘ain. Karena, seandainya hanya sunah, tentu tidak mengancam yang meninggalkannya dengan (ancaman) pembakaran tersebut. Juga tidak mungkin terjadi, atas orang yang meninggalkan fardhu kifayah, seperti pensyari’atan memerangi orang-orang yang meninggalkan fardhu kifayah.”[19]
Demikian juga Ibnu Daqiqil ‘Ied menyatakan,“Ulama yang berpendapat, bahwa shalat berjama’ah hukumnya fardhu ‘ain berhujah dengan hadits ini. Karena jika dikatakan fardhu kifayah, kewajiban itu dilaksanakan oleh Rasulullah dan orang yang bersamanya dan jika dikatakan sunnah, tentu tidaklah dibunuh orang yang meninggalkan sunah.
Dengan demikian jelaslah, shalat jama’ah hukumnya fardhu ‘ain.” [20]
Seorang buta mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,“Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai seorang yang menuntunku ke masjid,” lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga dibolehkan shalat di rumah. Lalu Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika ia meninggalkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, langsung Rasulullah memanggilnya dan bertanya,“Apakah engkau mendengar panggilan adzan shalat?” Dia menjawab,“Ya.” Lalu Beliau berkata,“Penuhilah!” [21]
Setelah menyampaikan hujjahnya dengan hadits ini, Ibnu Qudamah berkata,“Jika orang buta yang tidak memiliki orang untuk mengantarnya, tidak diberi keringanan, maka, (yang) selainnya lebih lagi.” [22]
Tidaklah ada tiga orang dalam satu perkampungan atau pedalaman tidak ditegakkan pada mereka shalat, kecuali syaithan akan menguasainya. Berjama’ahlah kalian, karena serigala hanya memangsa kambing yang sendirian.[23]
Nash-nash ini menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah. Pendapat ini dirajihkan oleh Lajnah Daimah Lil Buhuts wal Ifta’ (Komite Tetap Untuk Riset dan Fatwa Saudi Arabia) [24] dan Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Ghanim As Sadlan dalam kitabnya Shalat Al Jama’ah [25]. Demikian juga sejumlah ulama lainnya.
Wallahu a’lam.
sumber : Ustadz Abu Asma Kholid Syamhudi , manhaj or.id, majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun VII/1420H/1999M
catatan :
[1]. Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, kitab Thoharoh Wa Sunanuha, bab Al Muhafadzoh Alal Wudhu No. 253, Ahmad dalam musnadnya No. 21400 dan 21344 dan Addarimiy dalam sunannya, kitab Thaharoh, bab Ma Ja’a fith Thuhur No.653.
[2]. Diriwayatkan oleh Attirmidziy dalam sunannya, kitab Al Iman bir Rasulillah n no. 3541 dan Ahmad dalam musnadnya no. 21054, Attirmidziy berkata: “Ini hadits hasan shohih”.
[3]. Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Jami’nya (Sunannya), kitab Iman bir Rasulillah n , Bab Ma Ja’a Fi Tarki Shalat, no. 2545 dan An Nasa’i dalam Sunannya kitab Shalat, Bab Al Hukmu Fi Tarikis Shalat, no. 459 dengan sanad yang shahih.
[4]. Dinukil oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, 22/40.
[5]. Fathul Bari, 2/26.
[6]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no. 460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[7]. Lihat penukilan Abu Dawud setelah menyampaikan hadits diatas.
[8]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Al Adzan Lil Musafir Idza Kanu Jama’atan wal Iqamah Kadzalik, no. 595 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalat, Bab Man Ahaqu bil Imamah, no. 1080.
[9]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Fadhlu Shalatul Jama’ah, no. 609.
[10]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya, kitab Al Masajid wal Jama’ah, Bab At Taghlidz Fi At Takhalluf ‘Anil Jama’ah, no. 785. Hadits ini dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah, no. 631.
[11]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[12]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[13]. Diriwayatkan oleh Bukhoriy dalam shohihnya kitab Al Adzaan, Bab Fadhlu sholatul jama’ah no. 609.
[14]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam shohihnya kitab Al Masaajid Wa Mawaadhi’ Sholat, bab Fadhlu Katsrotil Khutha Ilal Masaajid, no.1064. Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya no. 11380.
[15]. Raudhatun Nadiyah Syarah Durarul Bahiyah, 1/306.
[16]. Fiqih Sunnah, 1/248.
[18]. Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya kitab Al Adzan, Bab Wujubu Shalatil Jama’ah, no. 608 dan Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Shalat, Bab Fadhlu Shalatil Jama’ah wa Bayani At Tasydid Fit Takhalluf ‘Anha, no. 1041.
[19]. Fathul Bari, 2/125.
[20]. Ihkamul Ahkam, 1/124.
[21]. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Sholat, Bab Yajibu Ityanul Masjid ‘Ala Man Sami’a An Nida’ no. 1044.
[22]. Al Mughni, 3/6.
[23]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya, kitab Ash Shalat, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.460, An Nasa’i dalam Sunannya, kitab Al Imamah, Bab At Tasydid Fi Tarkil Jama’ah, no.738 dan Ahmad dalam Musnadnya, no. 26242.
[24]. Fatawa Lajnah Daimah, 7/283.
[25]. Ibid. hal. 72.

Senin, 02 Mei 2011

ILMU yang bermanfaat

Di dalam Al-Qur-an , Allah Ta’ala menyebutkan ilmu pada kedudukan yang terpuji, yaitu ilmu yang bermanfaat. Dan di dalam al-Qur'an , Dia juga menyebutkan ilmu pada kedudukan yang tercela, yaitu ilmu yang tidak bermanfaat.
Adapun yang pertama, sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya ,“... Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’...” [Qs. Az-Zumar: 9].
Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya ,“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” [Qs. Ali ‘Imran: 18]. Sebagaimana firman-Nya, yang artinya ,“... Dan katakanlah: ‘Ya Rabb-ku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” [Qs. Thaha : 114] . Firman Allah Ta’ala, yang artinya ," ... Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para ulama.” [Qs. Fathir: 28]





Firman Allah Ta’ala tentang kisah Adam dan pelajaran yang didapatkannya dari Allah tentang nama-nama segala sesuatu, dan memberitahukannya kepada para Malaikat. Para Malaikat pun berkata, yang artinya " Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkau-lah Yang Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.’” [Qs. Al-Baqarah: 32]




Dan firman Allah Ta’ala mengenai kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidhir. Nabi Musa berkata kepadanya, yang artinya , "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’” [Qs. Al-Kahfi: 66]




firman-firman diatas menunjukkan bahwa ini semua adalah ilmu yang bermanfaat.




Dan di hal yang lain Allah Ta’ala mengabarkan keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, namun ilmu yang ada pada mereka tidak bermanfaat. Tentunya ini adalah ilmu yang bermanfaat pada hakikatnya, namun pemiliknya tidak mengambil manfaat dari ilmunya itu.



Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, yang artinya , "Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” [Qs. Al-Jumu’ah: 5]




Adapun ilmu yang Allah Ta’ala sebutkan pada kedudukan tercela, yaitu ilmu sihir .
Sebagaimana firman-Nya, yang artinya , "... Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan dan tidak memberi manfaat. Dan sungguh mereka sudah tahu barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak mendapat keuntungan di akhirat. Sungguh sangat buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka mengetahui.” [ Qs. Al-Baqarah: 102]




Dan firman Allah Ta’ala, yang artinya ,"Mereka hanya mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” [Ar-Ruum: 7]




Karena itulah As-Sunnah membagi ilmu menjadi dua yaitu ;
1. ilmu yang bermanfaat ,dan
2. ilmu yang tidak bermanfaat,
Dianjurkan untuk berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat dan memohon kepada Allah Ta’ala ilmu yang bermanfaat. [1]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah mengatakan, “Ilmu adalah apa yang dibangun di atas dalil, dan ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Terkadang ada ilmu yang tidak berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi dalam urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran, ilmu hitung, ilmu pertanian, dan ilmu perdagangan.” [2]

Imam Ibnu Rajab rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua hal.

1. Pertama, mengenal Allah Ta’ala dan segala apa yang menjadi hak-Nya berupa nama-nama yang indah, sifat-sifat yang mulia, dan perbuatan-perbuatan yang agung. Hal ini mengharuskan adanya pengagungan, rasa takut, cinta, harap, dan tawakkal kepada Allah serta ridha terhadap takdir dan sabar atas segala musibah yang Allah Ta’ala berikan.



2. Kedua, mengetahui segala apa yang diridhai dan dicintai Allah ‘Azza wa Jalla dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya berupa keyakinan, perbuatan yang lahir dan bathin serta ucapan. Hal ini mengharuskan orang yang mengetahuinya untuk bersegera melakukan segala apa yang dicintai dan diridhai Allah Ta’ala dan menjauhi segala apa yang dibenci dan dimurkai-Nya. Apabila ilmu itu menghasilkan hal ini bagi pemiliknya, maka inilah ilmu yang bermanfaat. Kapan saja ilmu itu bermanfaat dan menancap di dalam hati, maka sungguh, hati itu akan merasa khusyu’, takut, tunduk, mencintai dan mengagungkan Allah ‘Azza wa Jalla, jiwa merasa cukup dan puas dengan sedikit yang halal dari dunia dan merasa kenyang dengannya sehingga hal itu menjadikannya qana’ah dan zuhud di dunia.” [3]

Imam Mujahid bin Jabr rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih adalah orang yang takut kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya sedikit. Dan orang yang bodoh adalah orang yang berbuat durhaka kepada Allah Ta’ala meskipun ilmunya banyak.” [4]. Perkataan beliau menunjukkan bahwa ada orang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya, namun ilmu tersebut tidak bermanfaat bagi orang tersebut karena tidak membawanya kepada ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Imam Ibnu Rajab rahimahullaah mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [5]

Imam al-Auza’i rahimahullaah berkata, “Ilmu itu apa yang dibawa dari para Shahabat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, adapun yang datang dari selain mereka bukanlah ilmu.” [6]. Beliau juga mengatakan, “Ilmu yang paling utama adalah ilmu tafsir Al-Qur-an, penjelasan makna hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan pembahasan tentang masalah halal dan haram yang diriwayatkan dari para Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan para imam terkemuka yang mengikuti jejak mereka...” [7]

Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i rahimahullaah mengatakan, Seluruh ilmu selain Al-Qur-an hanyalah menyibukkan, kecuali ilmu hadits dan fiqih dalam rangka mendalami ilmu agama.

Ilmu adalah yang tercantum di dalamnya: ‘Qaalaa, had-datsanaa (telah menyampaikan hadits kepada kami)’. Adapun selain itu hanyalah waswas (bisikan) syaitan. [8]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberikan perumpamaan kepada kita mengenai orang yang faham tentang agama Allah Ta’ala, ia memperoleh manfaat dari ilmunya dan memberikan manfaat kepada orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan perumpamaan orang yang tidak menaruh perhatian pada ilmu agama, dengan kelalaiannya itu mereka menjadi orang yang merugi dan bangkrut.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya "Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya laksana hujan deras yang menimpa tanah. Di antara tanah itu ada yang subur. Ia menerima air lalu menumbuhkan tanaman dan rerumputan yang banyak. Di antaranya juga ada tanah kering yang menyimpan air. Lalu Allah memberi manusia manfaat darinya sehingga mereka meminumnya, mengairi tanaman, dan berladang dengannya. Hujan itu juga mengenai jenis (tanah yang) lain yaitu yang tandus, yang tidak menyimpan air, tidak pula menumbuhkan tanaman. Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah, lalu ia mendapat manfaat dari apa yang Allah mengutus aku dengannya. Juga perumpamaan atas orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya. Ia tidak menerima petunjuk Allah yang dengannya aku diutus.” [9]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika datang membawa Islam, beliau mengumpamakannya dengan hujan yang dibutuhkan manusia. Kondisi manusia sebelum diutusnya Rasulullah seperti tanah yang kering, gersang dan tandus. Kemudian kedatangan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membawa ilmu yang bermanfaat menghidupkan hati-hati yang mati sebagaimana hujan menghidupkan tanah-tanah yang mati.

Kemudian beliau mengumpamakan orang yang mendengarkan ilmu agama dengan berbagai tanah yang terkena air hujan, di antara mereka adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Orang ini seperti tanah subur yang menyerap air sehingga dapat memberi manfaat bagi dirinya, kemudian tanah tersebut dapat menumbuhkan tumbuh-tumbuhan sehingga dapat memberi manfaat bagi yang lain.

Di antara mereka ada juga orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu namun dia tidak mengamalkannya, akan tetapi dia mengajarkannya untuk orang lain. Maka, dia bagaikan tanah yang tergenangi air sehingga manusia dapat memanfaatkannya. Orang inilah yang disebut dalam sabda beliau, “Allah memperindah seseorang yang mendengar perkataan-perkataanku dan dia mengajarkannya seperti yang dia dengar.” Di antara mereka ada juga yang mendengar ilmu namun tidak menghafal/menjaganya serta tidak menyampaikannya kepada orang lain, maka perumpamaannya seperti tanah yang berair atau tanah yang gersang yang tidak dapat menerima air sehingga merusak tanah yang ada di sekelilingnya.

Dikumpulkannya perumpamaan bagian pertama dan kedua disebabkan keduanya sama-sama bermanfaat. Sedangkan dipisahkannya bagian ketiga disebabkan tercela dan tidak bermanfaat.

Jadi, perumpamaan hadits di atas terdiri dari 2 (dua) kelompok. Perumpamaan pertama telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan perumpamaan kedua, bagian pertamanya adalah orang yang masuk agama Islam namun tidak mengamalkan dan tidak mengajarkannya.
Kelompok ini diumpamakan dengan tanah tandus sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” Atau dia berpaling dari ilmu sehingga dia tidak bisa memanfaatkannya dan tidak pula dapat memberi manfaat kepada orang lain.

Adapun bagian kedua adalah orang yang sama sekali tidak memeluk agama, bahkan telah disampaikan kepadanya pengetahuan tentang agama Islam, tetapi ia mengingkari dan kufur kepadanya. Kelompok ini diumpamakan dengan tanah datar yang keras, dimana air mengalir di atasnya, tetapi tidak dapat memanfaatkannya.

Hal ini diisyaratkan dengan sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam: yang artinya , "Dan tidak peduli dengan petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”

Ath-Thibi berkata, “Manusia terbagi menjadi dua".



1. Pertama, manusia yang memanfaatkan ilmu untuk dirinya namun tidak mengajarkannya kepada orang lain.



2. Kedua, manusia yang tidak memanfaatkan ilmu bagi dirinya, namun ia mengajarkan kepada orang lain.”




Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani, kategori pertama masuk dalam kelompok pertama. Sebab, secara umum manfaatnya ada walaupun tingkatannya berbeda. Begitu juga dengan tanaman yang tumbuh, di antaranya ada yang subur dan memberi manfaat kepada manusia dan ada juga yang kering. Adapun kategori kedua walaupun dia mengerjakan hal-hal yang wajib dan meninggalkan yang sunnah, sebenarnya dia termasuk kelompok kedua seperti yang telah kami jelaskan; dan seandainya dia meninggalkan hal-hal wajib, maka dia adalah orang fasik dan kita tidak boleh mengambil ilmu darinya.




Hamba semacam ini termasuk dalam sabda Nabi , yang artinya ,“Orang yang tidak menaruh perhatian terhadapnya.” [10]



Allahu a'lam




Sumber : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Manhaj.or.id , Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,




Catatan



[1]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 11-13), Imam Ibnu Rajab rahimahullaah, ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali Abdul Hamid, cet. I, Daar ‘Ammar, th. 1406 H.



[2]. Majmuu’ al-Fataawaa (VI/388, XIII/136) dan Madaarijus Saalikiin (II/488)



[3]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 47).



[4]. Al-Bidaayah wan Nihaayah (V/237).



[5]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).



[6]. Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (I/769, no. 1421) dan Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 42).



[7]. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 41).



[8]. Diiwaan Imam asy-Syafi’i (hal. 388, no. 206), Muhammad ‘Abdurrahim, cet. Daarul Fikr, th. 1415 H.



[9]. Hadits shahih: riwayat Bukhari (no. 79) - Muslim (no. 2282), dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari ra. Lafazh hadits ini milik al-Bukhari.



[10]. Lihat Fat-hul Baari (I/177).

Kamis, 28 April 2011

Jauh dari Allah , penyebab derita

Firman Allah, yang artinya, “ Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupannya yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta ,” (Qs. Ta-Ha : 124).
Firman Allah, yang artinya, “ Allah berfirman,”Demikianlah , telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya , dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan ,” (Qs. Ta-Ha : 126).
Saudaraku, tingkat persaingan penghidupan yang makin ketat, menjadikan kita rentan terbawa arus untuk semakin menjauh dari Allah. Seakan kehidupan spiritual mejadi justru menghambat berkembangnya karier kita .
Saudaraku, pernahkah kita merasa terbelenggu dalam penderitaan ? Selesai dari masalah yang satu segera datang masalah yang lainnya , silih berganti. Ya tentu, saya juga mengalami masalah yang bertubi-tubi seperti anda.
Setelah sekian lama merenung, jawaban semua itu semakin jelas terpampang didepan saya. Ya, anda betul, penyebab paling utama adalah karena saya semakin menjauh dari Allah. Perhatian terlalu tertuju pada masalah fisik duniawi. Kita berpikir bahwa materi, jabatan, pekerjaan, keilmuan kita, atau yang lainnya bisa menjadi jalan keluar dari masalah-masalah yang menimpa.

Bukan itu semua jawabannya , justru depresi yang kita dapatkan. Saya semakin terperosok kedalam dasar jurang depresi , samapai sya tidak tahu lagi harus berbuat apa . Disaat itulah barulah kita tersadar bahwa hanya Allah-lah yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran . Kasih sayang Allah yang telah menggapaiku untuk mendekat kepada-Nya. Kelembutan kasih sayang Allah hadir disaat saya semakin jauh dari-Nya.
Bukankah saat-saat ini adalah saat paling tepat untuk bersyukur kepada Allah? Inilah waktu kita untuk mendekat kepada-Nya.

Barulah kita menyadari, bahwa Allah mencintai diri kita. Jauh lebih besar dari cinta kita terhadap diri kita sendiri. Allah membukakan pintu agar kita mendekat kepada-Nya, disaat kita jauh terperosok dalam kemaksiatan.

Saudaraku, janganlah mengulur waktu untuk selalu berusaha mendekat kepada-Nya. Inilah anugerah terindah dari kasih-sayang-Nya.

Saudaraku, tantangan terbesar dalam kehidupan manusia adalah dirinya sendiri. Tantangan ini tidak bersumber dari luar, namun bersumber dari dalam dirinya sendiri. Benarlah, tantangan yang paling berbahaya adalah kemampuan menerima diri sendiri apa adanya. Dengan kata lain adalah bersyukur kepada Allah, atas apa yang ada dalam dirinya.

Sungguh sangat sedikit orang-orang yang bersyukur, sebagaimana firman Allah , yang artinya ,” Dan sedikit sekali diantara hamba-hamba-Ku yang bersyukur”, (Qs. Saba’ : 13).

Tidak atau kurang bersyukur adalah faktor utama penderitaan manusia. Hamba yang paling menderita adalah orang yang tidak bisa menerima keadaan diri sendiri. Karena sikap ini akan melahirkan serangkaian masalah yang tiada berujung. Semua masalah ini berasal dari dalam diri kita sendiri.

Akibat berpikir negatif tentang dirinya sendiri, maka lambat-laun akan menderita gangguan kejiwaan dan penyakit fisik. Penyebab pikiran negative adalah pengaruh internal dalam dirinya sendiri yang membuat seseorang menghancurkan kehidupannya sendiri. Penyebab utama penderitaan seorang hamba adalah melalui pikiran-pikiran negative tentang dirinya sendiri yang terjadi berulang kali, sehingga akhirnya pikiran ini menjadi keyakinan. Keyakinan yang terus diulang oleh perasaan hingga menjadi kebiasaan yang terbawa sepanjang hidup.
Salah satu bentuk bersyukur adalah kemampuan kita menerima diri sendiri apa adanya. Manfaat bersyukur justru akan kembali kepada kita sendiri, bukan kembali kepada Allah. Kita sendirilah yang mengambil dari manfaat rasa syukur kita.
Sebagaimana firman Allah, yang artinya ,” Dan, barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri “ , (Qs. Luqman : 12).

Wallahu a’lam
Sumber : Quwwat al-Tafkir, Dr Ibrahim Elfiky.