Sungguh menarik bahasan ttg shalat Isyraq (Syuruq , Thulu’)
, karena besarnya nilai dan pelaksanaannya yg berkaitan dg waktu matahari terbit. Dalam Tuhfatul
Ahwadzi, at-Targhib wat-Tarhib, Shahihut Targhib wat Tarhib Bughyatul
Mutathawwi’, dsb diceritakan ttg
keutamaan duduk menetap di tempat shalat setelah shalat Shubuh berjamaah , lalu
berdzikir kpd Allah Ta'ala sampai matahari terbit, lalu melakukan shalat dua
rakaat. Tulisan lalu telah diulas dasar hukum yg dijadikan pegangan, kita lanjutkan dg :
Hadits Kedua: ...
Ini adl riwayat yg dimaksud Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri sbg penguat
hadits Imam At Tirmidzi di atas.
Dari Abu Umamah ra, bhw Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
من صلى صلاة الغداة في جماعة ثم جلس يذكر الله حتى تطلع الشمس
ثم قام فصلى ركعتين انقلب بأجر حجة وعمرة
“Barangsiapa yg shalat subuh berjamaah lalu kemudian ia duduk
untuk berdzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, kemudian ia bangun lalu
shalat dua rakaat, mk ia mendapatkan pahala sebagaimana haji dan umrah.” (
Imam Ath Thabarani : Al Mu’jam Al Kabir No. 7741, : Musnad Asy
Syamiyyin No. 885, dan Alauddin Al Muttaqi Al Hindi : Kanzul ‘Ummal No.
3542)
Hadits ini sanadnya kuat, dan dpt dijadikan sbg syahid
bagi hadits di atas. Imam Al Haitsami mengatakan: “Sanadnya Jayyid.” (Majma’
Az Zawaid, 10/104, No. 16938). Imam Al Mundziri juga mengatakan sanadnya
jayyid. (At Targhib wat Tarhib No. 467). Syaikh Al Albany mengatakan: “Hasan
Shahih.” (Shahih At Targhib wat Tarhib, No. 467)
Hadits Ketiga:..
Dari Abdullah bin Ghabir, bahwa Abu Umamah dan ‘Utbah bin Abd
As Sulami Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
من صلى صلاة
الصبح في جماعة ثم ثبت حتى يسبح لله سبحة الضحى كان له كأجر حاج ومعتمر تاما له
حجه وعمرته
“Barangsiapa yg shalat subuh secara
berjamaah kemudian dia berdiam (berdzikir) sampai datang waktu dhuha, mk dia
akan mendapatkan ganjaran seperti haji dan umrah secara sempurna.” ( Imam Ath
Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 317, Imam Al Mundziri, At Targhib wat Tarhib
No. 469)
Imam Al Mundziri menguatkan hadits ini dengan mengatakan:
رواه
الطبراني وبعض رواته مختلف فيه وللحديث شواهد كثيرة
Diriwayatkan oleh Ath Thabarani, sebagian perawinya masih
diperselisihkan kekuatannya, namun hadits ini memiliki banyak syawaahid
(berbagai penguat). (At Targhib wat Tarhib No. 469)
Begitu pula Imam Al Haitsami mengatakan:
فيه: الأحوص
بن حكيم، وثقه العجلي وغيره، وضعفه جماعة، وبقية رجاله ثقات، وفي بعضهم خلاف لا
يضر
Di dalam sanadnya terdapat Al Ahwash bin Hakim, dia
ditsiqahkan oleh Al ‘Ajli dan lainnya, namun segolongan ulama mendhaifkannya,
sedangkan para perawi lainnya adalah terpercaya, dan tentang sebagian mereka
ada yang masih diperselisihkan tetapi tidak apa-apa. (Majma’ Az Zawaid,
10/104) , Syaikh Al Albani mengatakan hasan lighairih. (Shahih At
Targhib wat Tarhib No. 469)
Ustad Farid
Nu'man Hasan menyatakan bahwa
hadits ini kuat dan maqbul (bisa diterima). Dimana para ulama yang
menegaskan ini begitu banyak, seperti: Imam At Tirmidzi , Imam Al Baghawi , Imam
An Nawawi, Imam Zainuddin Al ‘Iraqi , - Imam Nuruddin Al Haitsami ,Imam Al
Mundziri ,Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri ,Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri , Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahumullah dll.
Jadi , hadits ini tidak hanya dikuatkan oleh Syaikh Al Albani
saja, melainkan juga oleh banyak para imamul muhadditsin dan ulama besar
lainnya.
Beberapa
pendapat para ulama tentang waktu shalat Isyraq:
Fatwa Syaikh Utsaimin
"Shalat Isyraq" adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai menjelang zawal. Shalat Dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih utama daripada di awalnya.
Ringkasnya, dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. (Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: Jilid ke 14, Bab: Shalat Thathawwu'.
. . dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. . .
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
bahwa Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha. Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. Yang paling utama, shalat Dhuha dikerjakan saat anak onta kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah baik. Dan jika menambahnya dengan shalat empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau lebih, maka semuanya adalah baik. (Sumber: www.binbaz.org.sa). . . . (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. . .
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah al-Rajihi
Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit setelah terbit matahari sampai menjelang Dzuhur. Semua ini waktu shalat Dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan (panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Darimi) Tarmidhu, maknanya: (anak onta) berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya. Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah (waktunya) yang paling utama. Ringkasnya, shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang Dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat Dhuha, itulah shalat Isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat Isyraq, ia itu adalah shalat Dhuha, ia adalah shalat dhuha. Ya!. (Sumber: islamway.com).
Fatwa Syaikh Utsaimin
"Shalat Isyraq" adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai menjelang zawal. Shalat Dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih utama daripada di awalnya.
Ringkasnya, dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. (Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: Jilid ke 14, Bab: Shalat Thathawwu'.
. . dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. . .
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
bahwa Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha. Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. Yang paling utama, shalat Dhuha dikerjakan saat anak onta kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah baik. Dan jika menambahnya dengan shalat empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau lebih, maka semuanya adalah baik. (Sumber: www.binbaz.org.sa). . . . (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. . .
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah al-Rajihi
Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit setelah terbit matahari sampai menjelang Dzuhur. Semua ini waktu shalat Dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan (panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Darimi) Tarmidhu, maknanya: (anak onta) berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya. Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah (waktunya) yang paling utama. Ringkasnya, shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang Dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat Dhuha, itulah shalat Isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat Isyraq, ia itu adalah shalat Dhuha, ia adalah shalat dhuha. Ya!. (Sumber: islamway.com).
Muhammad
bin Umar bin Salim Bazmul, yang dikutip dari situs Manhaj.or.id, berpendapat
bahwa Shalat Isyraq adalah bagian dari
shalat Dhuha. Jika dikerjakan sesudah matahari terbit, atau di awal waktu
Dhuha, disebut shalat Isyraq. Jika dikerjakan di akhir waktunya, disebut shalat
Dhuha, itulah waktu pelaksanaan Shalat Dhuha terbaik, dan disebut sebagai
Shalat Awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak kembali kepada Allah, banyak
taubat, banyak menjalankan ketaatan.
Bahwa
Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, di mana waktu shalat Dhuha itu
dimulai dari terbitnya matahari.
Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas ra.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas ra.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu
Ummu Hani berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke
rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta
dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta
dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara
diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan
ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang
saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama,
yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian
Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku
tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.
Firman-Nya, yang artinya ,” .. Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Qs. Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?”
Firman-Nya, yang artinya ,” .. Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Qs. Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?”
Dan
setelah itu ia berkata : “Itulah shalat Isyraq” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari
di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim )
Dan
di dalam sebuah riwayat disebutkan, yang artinya “ : Barangsiapa mengerjakan
shalat Shubuh berjama’ah, lalu dia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai
matahari terbit …” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani]
Semoga bermanfaat
Wallahu A’lam wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa
‘Ala Aalihi wa Shahbihi ajmain
Sumber : Ustadz Abdullah Taslim, MA
,muslim.or.id , Farid Nu'man Hasan m.dakwatuna.com, Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI , Ustadz Badrul Tamam, voa-islam.com
, Manhaj.or.id , Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu,
Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar