Ada beberapa pendapat para alim ttg
status (hukum) menerima hadiah bagi hakim (penguasa, pejabat dst). Banyak
ulama mengambil jalan tengah, atau bersikap inshaf
(adil). Muhammad Asy-Syarbini dlm Al-Khatib fi Mughni Al-Muhtaj Ila Al Fazh Al
Minhaj, bhw An-Nawawi dan orang-orang yg bersikap inshaf (adil) memilih
pendapat bhw hakim (penguasa, pejabat , pegawai negara dst) dilarang menerima
hadiah. Hal ini dikuatkan oleh Ar-Ramli dlm Nihayat Al-Muhtaj .
Syaikh Ahmad bin Ahmad Muhammad
Abdullah Ath-Thawil dlm Al Hadiyah Bainal Halal Wal Haram, bhw ketika Umar bin Abdul Aziz menolak suatu
hadiah, lalu dikatakan kpdnya bhw Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam dulu menerima
hadiah, mk beliau (Umar) berkata,’Dahulu pemberian utk beliau (Rasulullah)
adalah hadiah, sedangkan utk kita adalah suap.’ ‘Beliau Nabi didekati
disebabkan kerasulan (kenabian) beliau bukan karena kekuasaan beliau, sedangkan
kita didekati karena alasan kekuasaan semata’.
Alauddin Ath Tharablasi dlm Mu’ayyan
Al-Hukkam fima Yataraddadu Bain Al Khasmaini Min Al-Ahkam, bhw dlm atsar
disebutkan,” akan datang kpd manusia suatu masa yg pd waktu itu as-suht
(penghasilan yg haram) dianggap sbg hadiah yg halal ........”.
Berkata Rabi’ah , ‘berhati-hatilah
kamu thd hadiah, karena hadiah itu membawa kpd suap’.
Maksud
dari kalimat beberapa pendapat para alim tersebut diatas, bukan berarti ada yg
memperbolehkan hadiah. Dalam Mawahih al Jalil li syarhi Mukhtashar Khalil,
dikatakan para ulama tidak berselisih ttg makhruhnya bagi penguasa, hakim dan
stafnya menerima hadiah. Ia berkata, ini adalah madzab Malik dan ahlus sunnah.
Dia melarang hakim menerima hadiah dengan memakruhkannya.
Pendapat
ini yang memakruhkan dan bukan mengharamkan dinisbahkan kepada Ibnul Hajib dan
Ibn Habib dari pengikut madzab Maliki. Akan tetapi dalam penjelasan mereka
berdua tetap berakhir pd kesimpulan bhw hukumnya adalah haram dan terlarang .
(lihat Syaikh Muhammad Ad Dasuqi dalam
Hasyiyatu Ad-Dasuqi ‘ala Asy-Syarh al-Kabir).
Adapun
dalam Duror al Hukkam fi Syarh Majallah al Ahkam al
Adliyyah 13/95-98 disebutkan, bahwa “Hukum menerima hadiah yg diberikan karena yang diberi
hadiah punya jabatan tertentu hukumnya adalah haram karena ketika Rasulullah
mengetahui ada seorang pegawai baitul mal menerima hadiah Nabi
berkhutbah di atas mimbar seraya berkata, “Andai dia duduk di rumah ibu dan
bapaknya, apakah dia akan mendapatkan hadiah?!” (HR Bukhari).
Demikian juga ketika Khalifah Umar
mengetahui ada seorang pegawai baitul mal yang pulang membawa banyak hadiah,
beliau menanyainya, “Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?”. Pegawai
tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar jawaban tersebut beliau
lantas membacakan sabda Rasul di atas dan mengambil hadiah-hadiah tersebut lalu
diserahkan ke baitul maal.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
“Dari Abdullah bin Buraidah dari Bapaknya Rasulullah saw bersabda, yg artinya :’ Barangsiapa bekerja dan telah mendapat gaji, maka pendapatan yang selebihnya dikatakan ghulul’ (Hadis Abu Dawud No 2554)
“Dari Abu Humaid Assa’ady bahwa Rasulullah
bersabda, yg artinya :’ hadiyah kepada pegawai dianggap sebagai ghulul” (hadis riwayat
Ahmad, Thabrani, Bayhaqi dan Ibnu “Adi, dikutip dari Jami’ul Ahadis, hadis no.
25011)
Bagaimana para ‘ulama memahami
hadis-hadis ini? Salah satunya adalah yang terdapat dalam kitab Al Fiqh al
Islam wa ‘Adillatuhu karya Prof Dr. Wahbah Zuhaili
لا يقبل القاضي هدية أحد إلا من ذي رحم محرم، أو ممن جرت عادته قبل
القضاء بمهاداته؛ لأن المقصود في الأول صلة الرحم، وفي الثاني استدامة المعتاد. والحاصل أن المهدي إذا كان له خصومة في الحال يحرم قبول هديته، لأنها
بمعنى الرشوة
“seorang hakim (termasuk pegawai)
dilarang menerima hadiah, kecuali dari saudaranya yg digolongkan mahram atau
dari seseorang yg sudah biasa bertukar hadiah sebelum dia diangkat menjadi
hakim atau pegawai, yg pertama dimaksudkan agar tetap terjaga silaturrahim,
sedangkan yg kedua dimaksudkan agar kebiasaan yg baik tidak menjadi hilang.
Namun ada syarat lain si pemberi hadiah tidak dalam keadaan berperkara
(berurusan) dengannya, apabila berurusan dianggap risywah (Al Fiqh Al Islami wa
Adillathuhu Juz 8 hal 101)
Al Imam
Asy Syaukani ,dalam Nail Al Authar, dikatakan bahwa secara dzhahir , bahwa
hadiah yang diberikan kepada hakim atau orang yang mempunyai kedudukan semisal
dengan mereka merupakan bentuk suap, karena apabila si pemberi hadiah itu tidak
biasa memberi hadiah kepada hakim sebelum ia memegang jabatan, maka tentu saja
dibalik pemberian hadiah itu pasti ada tujuan tertentu.
Bisa jadi karena takut kepada hakim
artas kesalahannya, atau memberikan hadiah kepada hakim dengan maksud untuk
mendapatkan haknya. Semuanya itu haram.
Paling tidak hadiah itu dimaksudkan
untuk pendekatkan kepada hakim (pejabat), penghormatan dan mempengaruhi
perkataannya. Dan tidaklah ia mempunyai tujuan demikian kecuali untuk
mencemarkan kehormatan musuhnya, atau agar selamat dari tuntutan mereka
kepadanya, sehingga membuat orang yang mempunyai hak atasnya ketakutan. Semua
tujuan itu pada akhirnya mbermuara pada suap.
Dalam Hasyiyah Ibn Abidin dan Radd Al
Muhtar, dikatakan bahwa para ulam asepakat tidak diperbolehkannya seorang
penguasa (pejabat) menerima hadiah. Jika seorang penguasa mengambil hadiah dari
jalur suap, maka rakyatnyapu akan mencontohnya.
Kita kembali kepada suatu kisah pada Suatu hari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melimpahkan tugas ke seorang
lelaki untuk memungut sedekah. Tapi utusan itu ternyata menerima hadiah dari
penyetor zakat. Seusai melakukan tugasnya, lelaki tersebut berkata, Wahai
Rasulullah, harta ini adalah hasil kerjaku dan aku serahkan kepadamu. Sedangkan
harta ini adalah hadiah yang aku dapatkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mengapa engkau tidak duduk-duduk saja di rumah ayah dan ibumu, lalu
lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Selanjutnya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik mimbar dan berkhutbah, Amma
ba’du: Mengapa seorang utusan yang aku beri tugas lalu ketika pulang ia
berkata, ‘Ini hasil tugasku sedangkan ini adalah hadiah milikku?’
Tidakkah ia duduk saja di rumah
ayah dan ibunya, lalu dia lihat adakah ia mendapatkan hadiah atau tidak.
Sungguh demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam genggaman-Nya, tidaklah ada
seorang dari kalian yang mengambil sesuatu tanpa haknya (korupsi), melainkan
kelak pada hari kiamat ia akan memikul harta korupsinya.
Bila dia mengambil seekor unta,
maka dia membawa untanya dalam keadaan bersuara. Bila ia mengambil sapi, maka
ia membawa sapinya itu yang terus melenguh (bersuara). Dan bila yang dia ambil
adalah seekor kambing, maka dia membawa kambingnya itu yang terus mengembik.
Sungguh aku telah menyampaikan peringatan ini.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sudah menjelaskan dengan tegas dalam hal hadiah. Hadiah yang
diterima karena peran atau jabatan yang seseorang pangku hakekatnya
gratifikasi, dan tentu hukumnya haram.
Dalam hadis itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak membedakan antara hadiah yang datang sebelum menjalankan tugas
dan hadiah yang datang setelah menjalankan tugas. Karena itu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menegaskan, “Tidakkah engkau duduk-duduk saja di rumah
ayah dan ibumu, lalu lihatlah adakah engkau mendapatkan hadiah atau tidak?” Dalam
hadis lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menekankan ketentuan ini
melalui sabdanya, “Hadiah para pejabat adalah korupsi.” (HR. Ahmad dan
lainnya)
Hadis tersebut selain menekankan pemahaman
mengenai ketentuan hadiah, juga menjelaskan segala bentuk hadiah, baik berupa
barang, uang, atau lainnya, statusnya sebagai suap. Sebagaimana hadiah bagi
pejabat dianggap gratifikasi, walaupun pejabat itu menjalankan tugasnya secara
profesional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Ketentuan gratifikasi secara syariat lebih tegas
dan jelas daripada ketentuan dalam Pasal 5 Undang-undang No. 20/2001 tentang
Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut, hadiah hanya dianggap gratifikasi bila dengan maksud pegawai
terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya. Atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan
sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. Baik kewajiban itu dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
Saudaraku, Islam dalam urusan gratifikasi sudah tegas dan jelas. Sedangkan UU No. 20/2001
masih menyisakan celah bagi pemberian gartifikasi. Dalam UU
tersebut, suatu hadiah dianggap gratifikasi bila dengan maksud buruk, yaitu
agar penerimanya melakukan tindakan yg bertentangan dengan kewajibannya.
Saudaraku,
hadiah-hadian yg beragam
bentuknya itu, yg diberikan kepada pejabat sbg wujud
terima kasih atas layanannya menjadi salah satu penyebab hilangnya amanah
dan keadilan.
Diriwayatkan
daripada Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda,“Hadiah-hadiah yang
diberikan kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR
Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid
Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”).
Imam
Taqiuddin An-Nabhani menjelaskan,”... bahwa hadiah yang diberikan kepada
pegawai yang melaksanakan tugas umum adalah haram, baik yang diberikan sebelum
dia menetapkan kebijakan tertentu ataupun sesudahnya, atau diberikan karena dia
adalah pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan karena dia adalah
orang yang berpengaruh terhadap penguasa. Semuanya adalah haram.” (Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz
II/338).
Allahu a’lam
sumber : Syaikh Ahmad bin Ahmad Muhammad
Abdullah Ath-Thawil dlm Al Hadiyah Bainal Halal Wal Haram , ustadzaris.com , Dr. Muhammad
Arifin Badri, M.A, Fikih Muamalah Edisi 27, pengusahamuslim.com , KH. M. Shiddiq Al Jawi dll
1 komentar:
wah keren bro infonya...
salam kenal ya :D
Posting Komentar