Islam itu mudah,
bahkan sangat mudah. Ada satu ibadah yg sangat agung nilanya, dan sangat mudah pelaksanaanya
.Dari Anas bin Malik ra
berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى
جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ
تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yg shalat subuh
berjamaah, kemudian ia duduk (dlm
riwayat lain: ia menetap di mesjid) , utk berzikir kpd Allah sampai matahari
terbit, lalu ia shalat dua rakaat, mk ia akan mendapatkan (pahala) seperti
pahala haji dan umrah, sempurna sempurna sempurna“.
Diriwayatkan Ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741),
dinyatakan baik isnadnya oleh al-Mundziri. HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan
hasan oleh at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish
shahihah” (no. 3403).
Saudaraku,
ibadah ini amat mudah dan amat murah, bisa kita lakukan setiap hari sesibuk
apapun kita. Kesibukan apa lagi yg menghalangi kita untuk melewatkannya ?
Hadits
yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan duduk menetap di tempat shalat,
setelah shalat shubuh berjamaah, untuk berzikir kepada Allah sampai matahari
terbit, kemudian melakukan shalat dua rakaat ( “Tuhfatul ahwadzi” ,3/157) dan
“at-Targhib wat tarhib” 1/111-shahih at-targhib).
Faidah-faidah penting yang
terkandung dalam hadits ini:
- Shalat dua rakaat ini diistilahkan oleh para ulama ( penamaan ini dari sahabat Ibnu Abbas , lihat kitab Bughyatul mutathawwi hal. 79). dengan shalat isyraq (terbitnya matahari), yang waktunya di awal waktu shalat dhuha (Tuhfatul ahwadzi (3/157) dan Bughyatul mutathawwi hal. 79).
- Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “… sampai matahari terbit“, artinya: sampai matahari terbit dan agak naik setinggi satu tombak(“Tuhfatul ahwadzi” (3/158), yaitu sekitar 12-15 menit setelah matahari terbit (syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul mumti’” (2/61) , karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat ketika matahari terbit, terbenam dan ketika lurus di tengah-tengah langit (Hr Muslim , 831).
- Keutamaan dalam hadits ini lebih dikuatkan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri, dari Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu: bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika selesai melakukan shalat shubuh, beliau duduk (berzikir) di tempat beliau shalat sampai matahari terbit dan meninggi” (HSR Muslim no.670 dan at-Tirmidzi no.585).
- Keutamaan dalam hadits ini adalah bagi orang yang berzikir kepada Allah di mesjid tempat dia shalat sampai matahari terbit, dan tidak berbicara atau melakukan hal-hal yang tidak termasuk zikir, kecuali kalau wudhunya batal, maka dia boleh keluar mesjid untuk berwudhu dan segera kembali ke mesjid.
- Maksud “berzikir kepada Allah” dalam hadits ini adalah umum, termasuk membaca al-Qur’an, membaca zikir di waktu pagi, maupun zikir-zikir lain yang disyariatkan.
- Pengulangan kata “sempurna” dalam hadits ini adalah sebagai penguat dan penegas, dan bukan berarti mendapat tiga kali pahala haji dan umrah (Tuhfatul ahwadzi 3/158).
- Makna “mendapatkan (pahala) seperti pahala haji dan umrah” adalah hanya dalam pahala dan balasan, dan bukan berarti orang yang telah melakukannya tidak wajib lagi untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah jika dia mampu.
Coba kita lihat tinjauan dan ulasan ustad Farid Nu'man Hasan , seorang alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran . Pernah bertugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Beliau menunjukkan dalil-dalil sbb :
Hadits
Pertama:
Dari Anas
bin Malik ra, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
من صلى الصبح
في جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة
قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تامة تامة تامة
“Barangsiapa yang
shalat subuh berjamaah lalu dia duduk untuk berdzikir kepada Allah hingga
terbit matahari kemudian shalat dua rakaat maka dia seperti mendapatkan pahala
haji dan umrah.” Anas berkata: Rasulullah bersabda: “Sempurna, sempurna,
sempurna.”
Dikeluarkan oleh:
- Imam At Tirmidzi dalam Sunannya
No. 586, katanya: hasan gharib.
- Imam Al Baghawi dalam Syarhus
Sunnah No. 710
Sanad hadits ini: Abdullah bin Muawiyah Al Jumahi Al Bashri,
Abdul Aziz bin Muslim, Abu Zhilal, Anas bin Malik.
1. Abdullah bin Muawiyah. ia adalah Abdullah bin Muawiyah bin Musa bin Abi Ghalizh bin
Mas’ud bin Umayyah bin Khalaf Al Jumahi. Kun-yahnya Abu Ja’far. Siapa
Dia? Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat –
orang-orang terpercaya. (No. 13862). Imam At Tirmidzi mengatakan: dia orang
shalih. Abbas Al Anbari mengatakan: tulislah hadits darinya, dia
terpercaya. Maslamah bin Qasim mengatakan: terpercaya. (Tahdzibut
Tahdzib, 6/38-39). Imam Adz Dzahabi mengatakan: seorang imam, ahli
hadits, jujur, musnid-nya kota Bashrah, usianya sampai 100 tahun. (Siyar
A’lamin Nubala, 11/435)
2. Abdul Aziz bin Muslim. ia adalah Abdul Aziz bin Muslim Al Qasmali Al Khurasani Al
Bashri. Kun-yahnya Abu Zaid. Imam Adz Dzahabi mengatakan: dia seorang
imam, ahli ibadah, salah satu orang terpercaya. (Siyar A’lamin Nubala,
7/240). Imam Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Ats Tsiqaat. (No.
9254). Yahya bin Ma’in mengatakan: laa ba’sa bihi – tidak ada
masalah. Abu Hatim mengatakan: haditsnya bagus dan terpercaya. (Mizanul
I’tidal, 2/635)
3. Abu Zhilal. Dia adalah Hilal bin Abi Suwaid Al Qasmali Al Bashri kawan
dari Anas bin Malik. Siapakah Abu
Zhilal? Imam At Tirmidzi bertanya kepada Imam Al Bukhari, katanya: “Dia muqaribul
hadits (haditsnya mendekati shahih), namanya Al Hilal.” (Sunan At
Tirmidzi No. 586). Segenap ulama mendhaifkannya, Yahya bin Ma’in
mengatakan: dhaif, bukan apa-apa. An Nasa’i dan Al Azdi mengatakan: dhaif.
Ibnu Hibban mengatakan: seorang syaikh yang lalai, tidak bisa dijadikan hujjah.
Ya’qub bin Sufyan mengatakan: layyinul hadits – haditsnya lemah. Abu
Ahmad Al Hakim mengatakan: bukan termasuk orang yang kokoh. (Tahdzibut
Tahdzib, 11/85)
4. Anas bin Malik. ia adalah sahabat nabi yang masyhur, dan mendengarkan
hadits ini langsung dari nabi.
Selanjutnya ,dari semua perawi yang ada, semuanya tsiqah kecuali
Abu Zhilal yang didhaifkan umumnya para imam, kecuali Imam Bukhari yang
menyebutnya muqaribul hadits. Inilah yang menyebabkan sanad hadits ini
memiliki cacat menurut pihak tertentu.
Kenyataannya Imam At Tirmidzi tidak mendhaifkannya, dia
menghasankannya, sebab hadits seperti ini ada dalam berbagai riwayat lain yang
menjadi syawahid (saksi yang menguatkan). Telah ma’ruf bagi para
peneliti hadits, bahwa sanad yang dhaif (lemah) bisa terangkat menjadi
hasan bahkan shahih jika dikuatkan oleh hadits-hadits serupa di berbagai jalur
lainnya. Wallahu A’lam
Imam An Nawawi dalam At
Taqrib wat Taisir Lima’rifatis Sunan Al Basyir An Nadzir, mengatakan bahwa :
بل ما كان
ضعفه لضعف حفظ رايه الصدوق الأمين زال بمجيئه من وجه آخر وصار حسناً، وكذا إذا كان
ضعفه بالإرسال زال بمجيئه من وجه آخر
Tetapi jika hadits dhaif itu kedhaifannya disebabkan adanya
satu perawi yang lemah hapalannya tapi dia orang jujur dan amanah, lalu
dikuatkan oleh jalur riwayat yang lain maka hadits itu menjadi hasan. Begitu
pula jika kedhaifannya karena mursal (terputusnya sanad pada salah satu
thabaqat – generasi perawi hadits, pen), maka dia juga gugur kedhaifannya jika
ada hadits serupa dari jalur lainnya.
Abu Zhilal bukanlah seorang pendusta dan bukan pemalsu
hadits, tetapi dia orang yang lemah hapalannya, dan sanad hadits ini pun
bersambung. Oleh karena itu, berkata Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah
dalam Mir’ah Al Mafatih, 3/328)
وإنما حسن
الترمذي حديثه لشواهده، منها: حديث أبي أمامة عند الطبراني، قال المنذري في
الترغيب، والهيثمي في مجمع الزوائد (ج10: ص104) : إسناده جيد، ومنها: حديث أبي
أمامة، وعتبة بن عبد عند الطبراني أيضاً. قال المنذري: وبعض رواته مختلف فيه. قال:
وللحديث شواهد كثيرة-انتهى.
Sesungguhnya penghasanan At Tirmidzi terhadap hadits ini
karena banyaknya riwayat yang menjadi penguat (syawahid), di antaranya
hadits Abu Umamah yang diriwayatkan Ath Thabarani, yang oleh Al Mundziri dalam At
Targhib dan Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (10/104) dikatakan:
“Isnadnya jayyid, di antaranya hadits Umamah dan ‘Utbah bin Abd yang
diriwayatkan Ath Thabarani juga. Al Mundziri mengatakan: “Sebagian perawinya
diperselisihkan.” Dia katakan: “Hadits ini memiliki banyak syawaahid
(saksi yang menguatkannya).”
Begitu pula dikatakan oleh Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah:
حَسَّنَهُ
التِّرْمِذِيُّ فِي إِسْنَادِهِ أَبُو ظِلَالٍ وَهُوَ مُتَكَلَّمٌ فِيهِ لَكِنْ
لَهُ شَوَاهِدُ فَمِنْهَا حَدِيثُ أَبِي أُمَامَةَ
Dihasankan oleh At Tirmidzi, dalam isnadnya terdapat Abu
Zhilal, dia diperbincangkan keadaannya, tetapi hadits ini memiliki banyak
penguat di antara hadits Abu Umamah. (Tuhfah Al Ahwadzi, 3/158)
Jadi, hadits di atas selain dihasankan oleh Imam At Tirmidzi,
juga dihasankan oleh
·
Imam An Nawawi. (Al Khulashah Al Ahkam, 1/470),
·
Imam Zainuddin Al ‘Iraqi juga turut menghasankannya. (Takhrijul
Ihya, Hal. 396),
·
Imam Al Baghawi juga mengikuti penghasanan At Tirmidzi. (Syarhus
Sunnah No. 710),
·
Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri (Mir’ah Al Mafatih,
3/328),
·
Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri. (Tuhfah Al Ahwadzi,
3/158).
·
Syaikh Al Albani (Misykah Al Mashabih No. 971),
dan menshahihkan dalam kitab lainnya. (Shahihul Jami’ No. 6346, Shahihut
Targhib No. 464)
Tentang kehujjahan hadits hasan, Imam An Nawawi mengutip dari
Imam Al Khathabi Rahimahullah:
ويقبله أكثر
العلماء، ويستعمله عامة الفقهاء
Diterima oleh mayoritas ulama, dan dipakai oleh semua fuqaha
(ahli fiqih). (At Taqrib, Hal. 2)
Maka hadits ini tidak hanya diakui oleh Syaikh Al Albani.
Para ulama yang telah menghasankan dan menshahihkan hadits ini sangat banyak.
Hadits
Kedua: ............
Bersambung
..........
Allahu
a’lam
Sumber : Ustadz Abdullah Taslim, MA ,muslim.or.id , Farid
Nu'man Hasan m.dakwatuna.com, Soal-Jawab: Majalah
As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI)
Pustaka :
1. HR ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabir” (no. 7741),
2. HR at-Tirmidzi (no. 586), dinyatakan hasan oleh at-Tirmidzi
dan syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaditsish shahihah” (no. 3403).
3. Tuhfatul ahwadzi dan at-Targhib wat tarhib.
4. Bughyatul mutathawwi
5. syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin dalam “asy-Syarhul
mumti’” (2/61).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar