Allah ta’ala berfirman,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Ingatlah kepada-Ku, Aku
juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku, janganlah kalian
kufur.” (Qs. Al Baqarah : 152)
Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Dzikir kepada Allah ta’ala
yang paling utama adalah dengan menyesuaikan isi hati dengan dzikir yang
diucapkan oleh lisan. Itulah dzikir yang dapat membuahkan pengenalan kepada
Allah, rasa cinta kepada-Nya, dan pahala yang melimpah dari-Nya. Dzikir adalah
bagian terpenting dari syukur.
Ibnul Qayyim dalam Al Wabil Ash
Shayyib, menyatakan bhw
Syaikhul Islam mengatakan, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas
apakah yang akan terjadi pada seekor ikan apabila dia dipisahkan dari air?” .
Ibnul Qayyim dalam Madarijus
Salikin, menyatakan bahwa Dzikir adalah mengingat Allah dengan hati dan
menyebut-Nya dengan lisan , dan merupakan tempat persinggahan orang-orang mulia
, yang disanalah mereka membekali diri, berniaga dan kesanalah mereka pulang
kembali.
Al Hasan Al-Bashri
berkata, ‘Carilah kemanisan dalam tiga perkara
Dalam Shalat, dalam dzikir dan membaca Al-Qur’an. Jika kalian
tidakmendapatkannya , maka ketahuilah
bahwa pintunya dalam keadaan tertutup.
Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab dalam Al Qawa’id Al Arba’, menyatakan “aku memohon kepada Allah yang Maha mulia Rabb
pemilik arsy yang agung, semoga Dia senantiasa menolongmu dalam kehidupan dunia
dan akhirat. Semoga Dia menjadikanmu senantiasa diberkahi di manapun engkau
berada dan menjadikanmu bersyukur apabila diberi karunia, bersabar apabila
mendapat coba, dan memohon ampun apabila terjatuh dalam dosa, karena
sesungguhnya ketiga hal itulah lambang kebahagiaan.”
Syukur termasuk
persinggahan yang paling tinggi. Syukur merupakan setengah dari iman, sedang seteengah lainnya adalah sabar.
Allah memerintakan untuk bersyukur, dan
Allah juga menjadikan syukur sebagai sebab untuk mendapatkan tambahan
karunia-Nya, memelihara dan menjaga nikmat-Nya.
Disamping itu Allah juga
mengabarkan bahwa hamba-hamba yang bersyukur adalah mereka yang dapat mengambil
manfaat dan pelajaran dari ayat-ayat-Nya, mengambil dari salah satu asma’-Nya ,
karena Allah juga mensifati diri-Nya sebagai Asy-Syakur. Yang berarti
menghantarkan orang yang bersyukur kepada Dzat yang disyukurinya.
”Syukur memiliki kaitan
erat dengan tauhid. Syaikh Muhammad bin abdul Wahhab dalam Syarh Qawa’id Arba’ menyebutkan
do’a untuk kita supaya bersyukur atas karunia, bersabar atas musibah dan
istighfar ketika berbuat dosa, dan menyatakan tentang suatu kewajiban yang harus senantiasa ditunaikan.
Sebab
seorang yang telah bertauhid mendapatkan karunia yang sangat besar, tidak ada
lagi nikmat lain yang menandinginya. Nikmat itu adalah
keberadaannya di atas ajaran Islam yang lurus. Nikmat itulah yang membuatnya
bisa tegak di atas prinsip tauhid yang murni. Tauhid itulah yang menjadi sebab
Allah menjanjikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi orang-orang yang
merealisasikannya.”
Syaikh Shalih berkata,
“Apabila berdosa maka diapun beristighfar”. Dalam diri seorang muwahhid juga
terdapat unsur ketidaktaatan. Dia tidaklah terlepas dari perbuatan dosa, yang
kecil maupun yang besar. Sedangkan salah satu Asma’ Allah adalah Al Ghafuur
(Maha Pengampun) maka pengaruh hukum dari Asma itu pasti terwujud pada alam
serta kerajaan-Nya. Karena itulah Allah mencintai hamba-Nya yang bertauhid lagi
ikhlash untuk senantiasa meminta ampunan. Seorang muwahhid pasti mengalami hal
itu.”
“Apabila
seorang hamba meninggalkan keagungan istighfar ini, niscaya dia akan tertimpa
kesombongan. Padahal kesombongan akan
menghapuskan banyak pahala amal perbuatan.
Karena latar belakang
itulah beliau (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah) mengatakan di
sini,”Apabila berdosa maka diapun beristighfar. Karena sesungguhnya ketiga hal
itu adalah simbol kebahagiaan sejati”.
Oleh sebab itu Allah
memerintahkannya secara khusus, kemudian sesudahnya Allah memerintahkan untuk
bersyukur secara umum. Allah berfirman yang artinya, “Maka bersyukurlah kepada-Ku.”
Yaitu bersyukurlah kalian
atas nikmat-nikmat ini yang telah Aku karuniakan kepada kalian dan atas
berbagai macam bencana yang telah Aku singkirkan sehingga tidak menimpa
kalian….”
“Disebutkannya perintah
untuk bersyukur setelah penyebutan berbagai macam nikmat diniyah yang berupa
ilmu, penyucian akhlak, dan taufik untuk beramal, maka itu menjelaskan bahwa
sesungguhnya nikmat diniyah adalah nikmat yang paling agung. Bahkan, itulah
nikmat yang sesungguhnya. Apabila nikmat yang lain lenyap, nikmat tersebut
masih tetap ada.
Sudah selayaknya setiap
orang yang telah mendapatkan taufik (dari Allah) untuk berilmu atau beramal
untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat itu. Hal itu supaya Allah menambahkan
karunia-Nya kepada mereka. Dan juga, supaya lenyap perasaan ujub (kagum diri) dari
diri mereka. Dengan demikian, mereka akan terus disibukkan dengan bersyukur.”
Ibnul Qayyim dalam Al Fawa’id , berkata bahwa , “Bangunan agama ini
ditopang oleh dua kaidah: Dzikir dan syukur. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman
,yang artinya, “Ingatlah
kepada-Ku, Aku juga akan ingat kepada kalian. Dan bersyukurlah kepada-Ku,
janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah [2] : 152).”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada Mu’adz, yang artinya “Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu. Maka
janganlah kamu lupa untuk membaca doa di setiap akhir shalat: ‘Allahumma a’innii ‘ala dzikrika wa
syukrika, wa husni ‘ibaadatik.’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu
dan bersyukur kepada-Mu, serta agar bisa beribadah dengan baik kepada-Mu).”
(HR. An Nasa’i [1303] dalam pembahasan Sujud Sahwi, Abu Dawud [1522] dalam
pembahasan Shalat, dan Ahmad [21614] dari jalan Abdurrahman Al Hubla dari Ash
Shonabihi dari Mu’adz bin Jabal, disahihkan Al Albani dalam Sahih Sunan Abu Dawud. (Tahqiq Al Fawa’id))
“Bukanlah yang dimaksud
dengan dzikir di sini sekedar berdzikir dengan lisan. Namun, dzikir dengan hati
sekaligus dengan lisan. Berdzikir/mengingat Allah mencakup mengingat nama-nama
dan sifat-sifat-Nya, mengingat perintah dan larangan-Nya, mengingat-Nya dengan
membaca firman-firman-Nya. Itu semua tentunya akan melahirkan ma’rifatullah
(pengenalan terhadap Allah), keimanan kepada-Nya, serta keimanan kepada
kesempurnaan dan keagungan sifat-sifat-Nya.
Allah Yang Maha suci akan
mengingat siapa saja yang mengingat diri-Nya. Dan Allah juga akan berterima
kasih (membalas kebaikan) kepada siapa saja yang bersyukur kepada-Nya.
Mengingat Allah adalah
sebab Allah mengingat hamba. Dzikir merupakan ruh amal-amal shalih. Jika amalterlepas dari
dzikir, maka amalitu seperti badan yang tidakmemiliki ruh.
Dan bersyukur kepada-Nya
adalah sebab Allah menambahkan nikmat-Nya. Maka dzikir lebih terfokus untuk
kebaikan hati dan lisan. Syukur dari hati dalam bentuk rasa cinta dan taubat
yang disertai ketaatan. Adapun di lisan, syukur itu akan tampak dalam bentuk
pujian dan sanjungan. Dan syukur juga akan muncul dalam bentuk ketaatan dan pengabdian
oleh segenap anggota badan.” (Al
Fawa’id, )
Syukur itu sendiri dilandaskan pada lima sendi ,
yaitu hamba yang bersyukur tunduk kepada
yang disyukuri, mencintai-Nya, mengakui nikmat-Nya, memuji-Nya karena
nikmat itu, dan tidak menggunakan nikmat itu untuksesuatu yang dibenci-Nya
(Madarijus Salikin).
Allahu
a’lam
Sumber : Abu Mushlih Al Jukjakarti , muslim.or.id, Ibn Qayyim dalam Madarijus Salikin, Fauzi Muhammad Zayd
dalam Kaifa Yuhibukallah Dar Al-Iman wa Al-Hayag, Ibnul Qayyim dalam Al Wabil Ash Shayyib ,dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar