Pengertian kaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
adalah 1) orang yang mempunyai banyak harta; 2) berkuasa; 3) mengandung banyak
sesuatu/harta. Namun bila diperhatikan , belum tentu orang yang banyak harta, atau
berkuasa sudah merasa berkecukupan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya , “Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya
(ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no.
6446 dan Muslim no. 1051)
Perasaan kaya, merasa cukup atas yang dimiliki adalah suatu
sifat mulia. Seseorang yg merasa cukup atas apa yg telah diterimanya dari
Allah SWT pada umumnya akan terhindar dari keserakahan, ketamakan, rasa iri
terhadap kesenangan orang lain.
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar.
Abu Dzar berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang
bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?”
Aku menjawab “Betul,”
Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa
sedikitnya harta itu berarti fakir?”
Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa, “Betul,”
Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya
yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup).
Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Ketergantungan seseorang pada sesuatu berawal dari
kebutuhannya terhadap sesuatu. Kebutuhan tersebut berawal dari timbulnya
keinginan-keinginannya terhadap sesuatu, baik bersifat material maupun
spiritual.
Seringkali , makna
Merasa cukup adalah suatu sifat yang saat ini dianggap inferior dizaman ini . Karena dengan merasa cukup, seakan talh disisihkan
zaman,
dianggap sebagai orang yang tak punya ambisi dengan posisi.
Tak memiliki keinginan untuk menjadi yang lebih baik pada masa depan.
Karenanya, merasa cukup adalah sifat yang unik sekarang.
Merasa cukup sejatinya suatu ungkapan syukur. Islam
menyebutnya qanaah. Merasa cukup menjadi salah satu indikasi bahwa kita
benar-benar berterima kasih atas segala nikmat yang Allah berikan.
Menjamurnya berbagai penyelewengan moral
karena tidak ada rasa cukup pada seseorang.
Rasulullah bersabda, yang
artinya ,"Barangsiapa berusaha 'iffah (menghindar dari yang tidak terpuji)
niscaya Allah menjadikannya 'iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya
Allah memberikan kecukupan kepadanya." (HR Bukhari)
Ali bin Abu Thalib dalam Nahjul Balaghah berkata, 'Semulia-mulia
kekayaan milik pribadi adalah meninggalkan banyak keinginan. '
Benarlah, keinginan yang beraneka-macamlah itulah yang menyebabkan kita kesulitan merasa cukup atas apa yang telah ada
pada diri. Mengurangi keinginan juga berarti berkurangnya kebutuhan kita pada
hal-hal yang berlebihan.
Dalam bagian lainnya beliau katakan,”Berbahagialah siapa yang
selalu ingat akan Hari Akhir, beramal untuk menghadapi Hari Perhitungan (Yaum
Al-Hisab) dan merasa puas dengan ala kadarnya, sementara ia ridha sepenuhnya
dengan pemberian Allah.”
Pengikatan pikiran kita terhadap Allah, Hari Akhir akan
menyebabkan kerangka berpikir kita dalam menyelesaikan problematika kehidupan
penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Hikmah lainnya adalah berkurangnya
ketergantungan kita kepada selain-Nya.
Ketidak-tergantungan kepada sesuatu selain Allah, menurut
para penempuh jalan kesucian merupakan sarana yang paling utama agar seseorang
‘diperkaya’ oleh Allah SWT. Sehingga bukan banyak sedikitnya harta benda yang
ada pada tangan kita yang menjadi ukuran kekayaan. Namun, kadar ketergantungan
kita kepada Allah, dan keterlepasan kita pada ketergantungan kepada selain-Nya
yang menentukan seseorang ‘kaya’ atau fakir.
Abu Abdullah Ash-Shadiq ra , dalam kitab Lentera Ilahi
mengatakan bahwa jika orang yang puas hatinya terhadap karunia Allah bersumpah
bahwa pada akhirnya, ia akan menguasai keduanya (sekarang dan akhirat), Allah
akan membenarkannya dalam hal itu dengan mewujudkan harapannya melalui
kebesaran rasa kepuasannya.
Dari sini seorang hamba bisa merenungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia
bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan. Sesunggunya
manusia selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa
emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh
karena itu, kekayaan sebenarnya adalah hati yang selalu merasa
cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang
disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya , ia merasa cukup dengan apa yang
diberi, merasa qona’ah (puas) dengan
yang diperoleh dan selalu ridha atas ketentuan Allah.
Bagaimana dapat seorang hamba Allah tidak merasa puas dengan
apa yang telah diberikan Allah kepadanya, sedang Dia telah berfirman, yang artinya “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami
meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar
sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu
lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az Zukhruf 32).
Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan
sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang
diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas
dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah
dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia
peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha
kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta.
Sifat
tamak yang berlebihan di dalam jiwa seseorang bisa merusak agamanya, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
مَا ذِئْبَانِ
جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى
الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
"Tidak ada dua ekor srigala yang dilepas pada kambing
lebih merusak baginya terhadap agamanya daripada sifat tamak seseorang terhadap
harta dan kemuliaan, (Shahih
Sunan at-Tirmidzi, kitab Zuhud, bab ke-30,
no.1935/2495 shahih).
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah
menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang
selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu
tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang
tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah
untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridha dengan pembagian Allah yang Maha Adil
padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Barangsiapa menyerahkan segala urusannya kepada Allah, dan
mematuhi segala hal yang dikehendaki-Nya, serta mempunyai keyakinan terhadap
Tuhannya, ia tentu menganggap bahwa segala sesuatu yang diterima oleh setiap
manusia berasal dari Allah SWT, dan tidak mengakui realitas sebab-sebab
selain-Nya.
Bila seseorang telah mencapai derajat merasa puas dengan apa
yang telah diberikan Allah kepadanya, maka ia akan dibebaskan Allah dari
kesusahan, kesedihan dan keletihan dalam kehidupannya.
Setiap kali kepuasan seorang hamba menurun, maka nafsunya meningkat. Keserakahan
adalah akar setiap kejahatan. Orang yang serakah tidak akan selamat. Sesungguhnya
sifat tamak (rakus) tidak ada akhirnya apabila seseorang melepaskan tali
kendali nafsu syahwatnya. Disebutkan dalam hadits:
...إِنَّ هذَا اْلمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ, فَمَنْ أَخَذَهَا
بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ, وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ
لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيْهِ, كاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
"Sesungguhnya harta ini berwarna hijau serta
manis, maka barangsiapa yg mengambilnya
dengan kemurahan jiwa niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan
barangsiapa mengambilnya dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah
baginya pada harta itu, seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…" (Shahih
al-Bukhari, kitab Zakat, bab ke-50, no. 1472)
Sebagaimana Nabi saw.
bersabda,”Kepuasan adalah suatu kerajaan yang tidak akan punah.” Kepuasan
merupakan kapal ridha Allah, mengangkut siapa pun yang menumpang di atasnya
menuju Allah. Sehingga kita senantiasa dianjurkan untuk memiliki keyakinan pada
apa yang belum diberikan kepada kita, dan rasa puas pada apa yang telah
diberikan.
Dan benarkah
bahwa dengan merasa puas atas karunia Allah akan menyebabkan etos kerja
seseorang menjadi rendah?
Bagi hamba beriman , rasa puas akan karunia Allah senantiasa erat
kaitannya dengan bersyukur kepada-Nya. Imam Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulumuddin
menyebutkan bahwa bersyukur adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah Ta’ala untuk
menaati-Nya serta menjaga agar tidak menggunakan nikmat-nikmat tersebut untuk
berbuat maksiat kepada-Nya.
Etos kerja
seorang beriman adalah pada kerangka dasar tujuan pengabdian dan pemuliaan kepada-Nya.. Semuanya dilakukannya dengan suatu keyakinan bahwa dengan mengharap ridha dari-Nya.
Sedangankan hamba yang tidak beriman mengabdi pada nafsunya dan melakukan segala
kegiatannya dengan tujuan memuliakan dirinya.
Semakin puas dan ridha dia atas karunia Allah, maka ketaatan
kepada-Nya pun semakin ia tingkatkan. Dan semakin taat dia maka etos kerjanya
untuk mengagungkan dan memuliakan Sang Pencipta dengan menebarkan rahmat kepada
alam beserta isinya semakin meningkat.
Kekayaan
dalam pandangan hamba beriman bukanlah pada banyak
sedikitnya harta yang dimiliki. Kekayaan yang diharapkan oleh seorang mu’min
adalah meresapnya rasa cukup atas nikmat Allah kepadanya, ketiadaan ketergantungannya kepada selain Allah, serta
Ijin-Nya kepada kita untuk mengerjakan sesuatu yang tidak melanggar
Kehendak-Nya.
Sungguh, kita perlu saling menasihati dan
mengingatkan satu sama lain untuk menjadikan diri kita
‘orang-orang kaya’ secara hakiki. Karena pada hakikatnya bukanlah materi dan
status di hadapan manusia yang menjadi tujuan kita, Sesungguhnya kita adalah
milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali. (QS. Al Baqarah 2: 156)
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang
terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam
mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan
terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus
mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya
ia bukanlah orang yang kaya hati.”
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya
harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak apa-apa dengan kaya bagi
orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari
kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad
4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang
tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang
Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah bersabda, yang artinya “Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat selalu merasa cukup (qona’ah)
itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah
dalam do’anya.
Dari Ibnu Mas’ud ra berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma
inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta
pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721).
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Afaf dan ‘iffah bermakna
menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al
ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di
sisi manusia.” Semoga qalbu kita senantiasa diberi pintu kelembutan dan
kelapangan sehingga selalu merasa cukup atas karunia Allah.
Merasa cukup, menghindarkan seorang hamba dari sifat
meminta-minta kepada manusia , karena mengetahui bahwa meminta adalah kehinaan di dunia.
Sebagaimana
Rasulullah bersabda, yang artinya , " Barangsiapa yang meminta, sedangkan ia mempunyai sesuatu yang mencukupi
(kebutuhan)nya, maka sesungguhnya ia memperbanyak dari api neraka.” (Shahih Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-24, no. 1435/1629)
CUKUP
bukanlah soal berapa jumlahnya. CUKUP
merupakan persoalan kepuasan hati.
CUKUP hanya bisa diucapkan oleh hamba yang bersyukur. Jangan takut berkata CUKUP. Berkata CUKUP, tak berarti kita berhenti berusaha & berkarya.
CUKUP hanya bisa diucapkan oleh hamba yang bersyukur. Jangan takut berkata CUKUP. Berkata CUKUP, tak berarti kita berhenti berusaha & berkarya.
Wallahu ‘alam bi shawwab.
Sumber : Mahmud Muhammad al-Khazandar, Muhammad Abduh Tuasikal ,http://serambitashawwuf.blogsome.com
, Musyafa Abdurahim, Lc Dosen Ma’had AI-Hikmah Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar