Islam melarang melakukan seperti ini dan mencela pelakunya. Islam mengembalikan segala permasalahan kepada sunnatullah (ketentuan-ketentuan Allah subhaanahu wata'ala) yang pasti dan kepada kekuasaanNya yang mutlak.
Lawan dari tathayyur adalah tafa'ul yaitu merasa optimis dengan mendengar kalimat yang baik. Hal ini mencakup juga semua perkataan atau perbuatan yang menggembirakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, "Adapun syariat mengkhususkan thiyarah dengan sesuatu yang jelek dan tafa'ul untuk sesuatu yang menggembirakan dengan syarat dia tidak bermaksud melakukan itu, sehingga menjadi thiyarah." (Fathul Bari, 10/215).
Rasulullah saw senantiasa optimis dan tidak pernah merasa sial. (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir).
Rasulullah saw apabila keluar dari rumahnya, beliau senang untuk mendengar kalimat,
يَا رَاشِدُ يَا نَجِيْحُ .
"Wahai orang yang cerdas, wahai orang yang sukses." (HR. at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya).
Perasaan sial (tathayyur) sudah ada semenjak dulu pada sejumlah umat. Allah Subhaanahu Wata'ala memberitahukan kepada kita bahwa Fir'aun dan kaumnya merasa sial dengan Musa as dan pengikutnya. Allah berfirman,
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata:"Ini adalah karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui". (Qs .Al-A'raf: 131)
Sebelum itu kaum Nabi Shalih as juga merasa sial, Allah subhaanahu wata'ala berfirman,
قَالُوا اطَّيَّرْنَا بِكَ وَبِمَنْ مَعَكَ قَالَ طَائِرُكُمْ عِنْدَ اللَّهِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تُفْتَنُونَ
"Mereka menjawab:"Kami mendapat nasib yang malang, disebabkan kamu dan orang-orang yang besertamu". Shaleh berkata:"Nasibmu ada pada sisi Allah, (bukan kami yang menjadi sebab), tetapi kamu kaum yang diuji". (Qs. An-Naml: 47)
Begitu juga penduduk sebuah kampung yang merasa sial dengan utusan Allah subhaanahu wata'ala yang datang kepada mereka, sebagaimana firman Allah subhaanahu wata'ala,
قَالُوا إِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْ
"Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu." (Qs. Yasin: 18)
Adapun jawaban kepada mereka semua adalah bahwa apa yang mereka dapatkan berupa keburukan atau hukuman yang diturunkan kepadanya, semua itu karena ulah mereka sendiri yang ingkar dan sombong,
Allah subhaanahu wata'ala berfirman,
إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
"Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui". (Qs. Al-A'raf: 131)
Ketiga utusan Allah Subhaanahu Wata'ala yang dikirim ke penduduk kampung berkata
طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
"Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas." (Qs. Yasin: 19)
Hingga kini diantara kita masih banyak yang bertathayyur. Perasaan sial (tathayyur) bisa menghapus rasa tawakkal kepada Allah SWT . Kalau tidak demikian, maka apa hubungan antara seekor burung dengan masa depan dan takdir manusia?
Contoh lain , dikisahkan orang-orang Rafidah (salah satu sekte syi'ah) membenci angka 10. Hingga tidak membolehkan membangun bangunan dengan 10 tiang atau dengan 10 penyangga dan lain-nya. Hal ini disebabkan karena kebencian mereka kepada sahabat-sahabat terbaik yang berjumlah 10 orang dan sudah disaksikan sebagai penghuni surga." (Minhajus Sunnah, Ibnu Taimiyah, 1/10).
Banyak orang merasa sial dengan nomor 13. Yang lainnya merasa sial dengan mendengar suara burung hantu dan burung gagak.
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin berkata, "Seseorang apabila membuka pada dirinya perasaan sial, maka dia akan merasakan dunia yang sempit. Mereka selalu membayangkan bahwa setiap sesuatu itu akan membawa sial. Sehingga ada salah seorang yang apabila di waktu pagi keluar dari rumahnya kemudian bertemu dengan seorang yang matanya buta sebelah, maka dia merasa sial dan berkata, 'hari ini adalah hari yang jelek', dan ia segera menutup tokonya. Dia tidak melakukan jual beli pada hari itu –na’udzu billah-."
tathayyur (perasaan sial) hukumnya haram dan bisa merusak tauhid. Rasulullah saw telah menafikan pengaruhnya, menjadikannya sebagai perbuatan syirik serta memberitahukan bahwa dia tidak akan mendatangkan sesuatu kepada orang muslim juga beliau menganggapnya sebagai jibt (sihir).
[1].Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menafikan pengaruhnya, sebagaimana sabda beliau,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَهَامَةَ وَلاَ صَفَرَ .
"Tidak ada adwa, thiyarah, hammah dan shafar." (HR. al-Bukhari, 10/206 dan Muslim, no. 2220).
Adwa: Penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sini ialah untuk menolak aggapan mereka ketika masih hidup di zaman Jahiliyah bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah subhanahu wata’ala. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan keberadaan dan penularannya, sebab dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menjauh dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana menjauh dari singa (HR. al-Bukhari), -pent.
[2].Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan thiyarah sebagai perbuatan syirik. Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
"Thiyarah (kesialan) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik." (HR. Abu Daud, no. 3910 di kitab al-Thibb, at-Tirmidzi, no. 1614 di dalam kitab al-Siyar dan berkata, "Hadits Hasan Shahih”).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu,
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ.
"Barangsiapa yang diurungkan dari hajatnya karena thiyarah (kesialan) maka dia telah melakukan kesyirikan." (HR. Ahmad, 2/220, Ibnu as-Sunni, no. 287 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 1065).
Thiyarah dianggap syirik karena keyakinan mereka bahwa ia bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Mereka seakan-akan menjadikannya sebagai sekutu Allah subhaanahu wata'ala.
Keyakinan seperti ini bertentangan dengan firman Allah subhaanahu wata'ala,
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurnia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Yunus: 107)
Dialah Allah subhaanahu wata'alayang memberi karunia dan menimpakan kemudharatan. Adapun seekor burung, maka ia tidak mengetahui sesuatu yang ghaib dan sedikit pun tidak bisa memberitahukan atas sesuatu yang tersembunyi. Imam Ibnul Qayyim berkata, "Thiyarah adalah merasa sial dengan sesuatu yang dilihat atau sesuatu yang didengar. Apabila seseorang memanfaatkannya sehingga ia mengurungkan diri dari kepergiannya atau tidak jadi melakukan sesuatu yang dia telah tekadkan sebelumnya, maka dia telah membuka pintu kesyirikan, bahkan telah memasukinya. Dia telah melepaskan diri dari tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan membuka dalam dirinya pintu takut dan bergantung kepada selain Allah Subhaanahu Wata'ala.
Perasaan sial dengan apa yang dilihat dan didengar, akan memutuskan dari maqam (tingkatan):
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
"Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Qs. Al-Fatihah: 5)
Juga firman Allah subhaanahu wata'ala,
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
"Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya." (Hud: 123)
Juga firman Allah subhaanahu wata'ala,
عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
"Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." (Asy-Syura: 10)
Hatinya akan senantiasa bergantung kepada selain Allah subhaanahu wata'ala dalam ibadah dan tawakkal. Ia akan merusak hatinya, imannya dan keadaannya serta akan menjadi sasaran dari panah kesialan, akan menuntunnya menuju pintu keraguan, dikuasai oleh setan yang akan merusak agama dan dunianya. Berapa banyak orang yang binasa karena sebab itu sehingga merugi di dunia dan akhirat."
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Apabila seseorang merasa sial dengan apa yang dia lihat dan dia dengar, maka mereka tidak dianggap melakukan syirik yang dapat mengeluarkannya dari agama, namun dia syirik karena dia menjadikannya (perasaan sial) itu sebagai sebab yang tidak pernah dijadikan oleh Allah subhaanahu wata'ala sebagai sebab. Ini dapat melemahkan perasaan tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan mengurangi semangat. Dari segi ini, maka ia dianggap syirik. Sebuah kaidah menyebutkan bahwa setiap orang yang bersandar kepada sebab yang syariat tidak pernah menjadikannya sebab, maka dia telah berbuat syirik."
Syirik kepada Allah subhaanahu wata'ala semacam ini, bisa terjadi pada tasyri' (penetapan hukum) apabila sebab tersebut adalah syariat, dan pada takdir apabila sebab tersebut adalah kauni (alami). Tetapi seandainya orang yang merasa sial ini berkeyakinan bahwasanya kesialan dengan sendirinya yang menjadikannya, bukan karena Allah subhaanahu wata'ala, maka dia telah melakukan syirik besar. Karena telah membuatkan untuk Allah subhaanahu wata'ala sekutu dalam penciptaan dan pengadaan." (Al-Qaulul Mufid 'Ala Kitabut Tauhid, 2/93).
[3].Pemberitahuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa at-thathayyur menafikan hakikat Islam dan dikhawatirkan kepada pelakunya.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ، أَوْ تَكَهِّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ، أَوْ سَحَرَ أَوْ سُحِرَ لَهُ، وَمَنْ أَتَى كَاهِنًا فَصَدَّقَ بِمَا يَقُوْلُ فَقَدْ كَفَرَبِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
"Tidak termasuk golongan kami orang yang melakukan atau meminta dilakukan tathayyur, meramal atau minta diramalkan, menyihir atau meminta disihirkan. Barangsiapa mendatangi tukang ramal lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka sesungguhnya dia telah kafir (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad." [HR. al-Baz-zar. Al-Mundziri berkata, "Sanadnya baik" (Tar-ghib, 4/33). Al-Hafizh Ibnu Hajar juga meng-anggap baik sanadnya (Fathul Bari, 10/213). Ath-Thabrani meriwayatkan awal hadits dengan sanad yang hasan dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Shahihul Jami'].
Dari Urwah bin Amir al-Qurasyi ia berkata, "Thiyarah disebutkan di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau kemudian bersabda,
أَحْسَنُهَا الْفَأْلُ وَلاَ تَرُدُّ مُسْلِمًا.
"Yang paling baik adalah optimis, Ia tidak akan mengurungkan (niat) seorang muslim." (HR. Abu Daud di ath-Thib, no. 3919. Urwah bukan seorang sahabat. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadush Shalihin dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam Kitabut Tauhid)
[4].Pemberitahuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya tathayyur termasuk sihir, sebagaimana sabda beliau,
الْعِيَافَةُ وَالطِّيَرَةُ وَالطَّرْقُ مِنَ الْجِبْتِ.
"Iyafah, thiyarah dan thurq termasuk sihir." (HR. Ahmad, 3/477, Abu Daud, no. 3904 dengan sanad jayyid (baik) dan dihasankan oleh Imam an-Nawawi).
(Al-Jibt adalah sihir sebagaimana yang ditafsirkan oleh Umar bin Khattab. Iyyafah: menerbangkan burung dan optimis dengannya. Thurq: Memukul dengan tongkat, atau membuat garis di pasir sebagaimana yang dilakukan oleh tukang tenung untuk mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi dan lainnya.)
Hal ini disebabkan karena orang yang melakukan kesialan bersandar kepadanya untuk mengetahui sesuatu yang ghaib sebagaimana yang dilakukan oleh tukang sihir yang bersandar kepada pembalikan hakikat sesuatu dengan sesuatu yang tersembunyi
Dalam menghadapi kesialan manusia dibagi menjadi tiga kelompok:
- Pertama, Orang yang merasa sial dan mengikuti konsekwensinya. Mereka tidak urung melakukan sesuatu atau terus melakukannya karena didorong oleh perasaan sialnya. Orang ini telah melakukan sesuatu yang haram dan memasuki salah satu pintu syirik, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
- Kedua, Orang yang apabila terjadi sesuatu yang membuat orang lain sial, maka dia tidak bisa mening-galkan sesuatu yang harus dia kerjakan, namun dia tetap bingung dan susah, dia takut dengan pengaruh kesialan. Orang ini lebih baik dari yang pertama karena dia tidak mengikuti perasaan sialnya, namun tersisa dalam dirinya pengaruhnya. Hendaknya dia melanjutkan (pekerjaannya) dengan bertawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan memasrahkan semua urusannya kepadaNya. Al-Hulaimi berkata, "Jika dia mengetahui bahwasanya Allah subhaanahu wata'ala Yang Maha Mengatur, namun dia khawatir dengan kejahatan, karena pengalaman membuktikan bahwa suara atau keadaannya sudah diketahui akan diikuti dengan kejahatan, jika dirinya tetap berperasangka demikian maka dia telah bersalah. Apabila dia memohon kepada Allah subhaanahu wata'ala kebaikan dan berlindung kepadaNya dari kejelekan dan melanjutkan pekerjaannya dengan bertawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala, maka apa yang ada pada dirinya tidak berpengaruh kepadanya. Kalau tidak demikian, maka dia akan dibalas dengannya. Terkadang apa yang dibenci tersebut terjadi pada dirinya sebagai hukuman bagi dirinya, sebagaimana yang banyak terjadi pada orang-orang Jahiliyah, wallahu a'lam." (Fathul Bari, 10/ 215).
- Ketiga, Tingkatan yang paling tinggi yaitu orang yang tidak melakukan tathayyur dan tidak memperdulikan pengaruh tathayyur. Bukan berarti tidak ada perasaan di dalam hatinya sedikit pun. Tetapi apabila ada perasaan sial di dalam hatinya, maka dia segera menolaknya dengan tawakkal kepada Allah Subhaanahu Wata'ala dan memasrahkan segala urusannya kepadaNya.
Mu'awiyah bin Hakam berkata, "Saya berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 'Di antara kami ada orang yang merasa sial,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ذلِكَ شَيْءٌ يَجِدُوْنَهُ فِي صُدُوْرِهِمْ فَلاَ يَصُدَّنَّهُمْ .
"Itu adalah sesuatu yang terlintas di hatinya, maka jangan dia terpengaruh dengannya." (HR. Muslim, 4/1748).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ، الطِّيَرَةُ شِرْكٌ وَماَ مِنَّا إِلاَّ، وَلَكِنَّ اللهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ.
"Thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyaroh adalah syirik, tidak ada di antara kita kecuali dia seorang manusia (yang memiliki perasaan itu) namun Allah menghilangkannya dengan tawakkal."
Kata "illa" maksudnya tidak ada seorang manu-sia yang selamat darinya (perasaan sial), namun Allah subhaanahu wata'ala menghilangkannya dengan tawakkal. Kalimat dalam hadits ini tambahan dari Abdullah bin Mas'ud ra sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ulama`. [Hadits ini telah disebutkan perawinya sebelumnya. At-Tirmidzi berkata, "Saya mendengar Muhammad bin Ismail (al-Bukhari) berkata, " Sulaiman bin Harb berkata tentang hadits ini, menurutku ini adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu."
Dari Buraidah bahwasanya Rasulullah saw tidak pernah merasa sial karena sesuatu. Apabila mengutus seorang pekerja, beliau bertanya tentang namanya. Jika namanya mengherankan beliau, maka beliau berbahagia dengannya dan hal itu tergambar di wajahnya. Apabila beliau membenci namanya, maka hal itu pun terlihat di wajahnya. Jika memasuki sebuah perkampungan beliau bertanya tentang nama kampung tersebut, jika namanya mengherankan beliau, maka kegembiraannya itu tergambar di wajahnya. Apabila beliau membenci namanya, maka hal itu akan terlihat di wajahnya. (HR. Ahmad, 5/347, Abu Daud di ath-Thib, no. 3920 dan dihasankan sanad-nya oleh al-Hafiz Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/215).
Rasulullah saw menjelaskan bahwa seorang muslim tidak boleh memperdulikan perasaan sialnya sehingga mengurungkan dirinya dari keperluannya. Hendaknya dia meneruskannya sembari bertawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala dan membaca dzikir yang diajarkan (oleh Rasulullah saw) tentang hal itu. Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang diurungkan dari keperluannya oleh perasaan sialnya, maka dia telah melakukan kesyirikan.
Para sahabat bertanya, ’Apa kafarahnya?’ Beliau bersabda, "Hendaknya membaca,
اَللَّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ.
"Ya Allah tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari Engkau, tidak ada kesialan kecuali kesialan dari Engkau dan tidak ada Sesembahan yang haq kecuali Engkau." (HR. Ahmad, 2/220, Ibnu as-Sunni, no. 293 dan ath-Thabrani di al-Majma', 5/105).
Di dalam hadits Urwah terdahulu disebutkan bahwa perasaan sial disebut di hadapan Rasulullah saw, lalu beliau bersabda, "Paling baik adalah fa'l, tidak boleh menggagalkan niat seorang muslim.
Apabila salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang dia benci, maka hendaklah membaca,
اَللَّهُمَّ لاَ يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ يَدْفَعُ السَّيْئَاتِ إِلاَّ أَنْتَ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ.
"Ya Allah, tidak ada yang bisa mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tidak ada yang bisa menolak kejelekan kecuali Engkau. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) Engkau." (HR. Abu Daud di al-Thib, no. 3919. Urwah bukan seorang sahabat. Hadits ini dishahihkan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadush Shalihin dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di dalam Kitabut Tauhid)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وِإِنَّمَا الشُّؤْمُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْفَرَسِ وَالْمَرْأَةِ وَالدَّارِ.
"Tidak ada adwa (penularan penyakit) dan thiyarah, sesungguhnya kesialan itu ada pada tiga hal; kuda tunggangan, wanita dan rumah."
Dalam riwayat lain disebutkan,
إِنْ كَانَ الشُّؤْمُ فَفِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ.
"Jika ada kesialan maka pada rumah, wanita dan kuda." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama` berselisih tentang maksud hadits ini. Imam Malik dan pengikutnya berkata bahwa ia sesuai dengan dzahirnya. Terkadang Allah subhaanahu wata'ala menjadikan rumah memberikan kemudharatan dan kebinasaan kepada penghuninya. Begitu juga dengan mengambil seorang wanita sebagai pembantu atau kuda atau pekerja. Kadang-kadang semua itu bisa mendatangkan kemudharatan dengannya atas takdir Allah subhaanahu wata'ala.
Maksudnya kesialan bisa terjadi pada tiga hal tersebut.
Al-Khathabi dan banyak yang lainnya berkata, "Bahwasanya ia merupakan pengecualian dari thiyarah. Maksudnya kesialan dilarang kecuali pada rumah yang dia diami, wanita yang dia tidak suka bergaul dengannya, atau kuda dan pembantu, maka hendaklah berpisah dengan semuanya."
Imam Ibnul Qayyim berkata, "Pemberitahuan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang kesialan pada tiga hal tersebut, bukan berarti menetapkan adanya kesialan. Tetapi maksudnya adalah Allah subhaanahu wata'ala terkadang menjadikan sesuatu membawa kesialan kepada orang yang mendekatinya atau menempatinya. Atau sesuatu yang barakah dan tidak memberi kesialan dan kejelekan kepada orang yang mendekatinya."
Sebagaimana Allah subhaanahu wata'ala memberikan orang tua seorang anak yang barakah, keduanya bisa melihat kebaikan pada wajahnya, dan memberikan yang lainnya anak yang membawa kesialan dan melihat kejelekan di wajahnya. Begitu juga yang terjadi pada seorang budak dengan majikannya dan lainnya. Demikian pula halnya dengan rumah dan tunggangan. Allah subhaanahu wata'ala menjadikan kebaikan dan kejelekan juga kebahagiaan dan penderitaan. Sebagian dari benda ini dijadikan oleh Allah subhaanahu wata'ala membawa kebahagiaan dan keberkahan dan memberikan kebahagiaan kepada orang yang mendekatinya dan memberikan keberkahan dan keberuntungan kepadanya. Dan yang lain Allah subhaanahu wata'ala ciptakan membawa sial dan mem-berikan kesialan kepada orang yang mendekatinya. Semuanya itu atas qada' dan qadar Allah subhaanahu wata'ala. Sebagaimana Allah subhaanahu wata'ala menciptakan sebab dan mengikatnya dengan penyebabnya yang berbeda dan beragam. Perbedaan antara kedua hal ini bisa ditangkap dengan indera. Begitu juga halnya dengan rumah, wanita dan kuda. Ia merupakan satu masalah dan kesialan masalah yang lain."
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberikan tuntunan berupa do’a yang bermanfaat kepada seorang muslim untuk menolak kemudharatan ketika menikahi seorang wanita atau membeli budak (mendatangkan pembantu) dan tunggangan. Dari Abdullah bin Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila salah satu di antara kalian menikahi seorang wanita atau mem-beli budak, maka hendaklah membaca,
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّمَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.
"Ya Allah, aku memohon kepadamu kebaikannya dan kebaikan yang diberikan kepadanya. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan yang diberikan kepadanya."
Apabila membeli onta, maka hendaklah memegang ubunnya dan mengucapkan yang demikian itu." (HR. Abu Daud, no. 2160, an-Nasa'i di Amalul Yaum wal Lailah, no. 240, Ibnu Majah, no. 1918 dan al-Hakim dan menshahihkannya. Ia disepakati oleh adz-Dzahabi dan dishahihkan oleh an-Nawawi di al-Adzkar)
Kami telah menjelaskan sebelumnya makna fa'l (perasaan optimis) dan perbedaannya dengan perasaan sial. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam selalu merasa optimis dan tidak pernah merasa sial. Diriwayatkan oleh Anas bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوْا وَمَا الْفَأْلُ؟ قَالَ: ((كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ)).
"Tidak ada adwa dan tidak ada thiyarah, tetapi fa'l menyenangkan diriku. Para sahabat bertanya, ‘Apakah fa'l itu?’ Beliau menjawab, "Yaitu kalimat thayibah (kata-kata yang baik)."
Dalam riwayat lain disebutkan,
اَلْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ، اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ.
"Kalimat yang baik dan kalimat yang tayyibah."
Al-Hulaimi berkata, "Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam senang kepada fa'l (optimistis), karena kesialan adalah buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala tanpa sebab yang pasti. Sementara optimistis adalah berbaik sangka kepada-Nya. Seorang mukmin diperintahkan untuk berbaik sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala dalam segala hal."
Ath-Thibi berkata, "Maksud pembolehan fa'l dan larangan kepada kesialan bahwa seseorang seandainya melihat sesuatu dan menyangkanya baik dan bisa mendorongnya untuk mendapatkan hajatnya, maka hendaklah dia melakukannya. Apabila melihat kebalikan dari hal itu, maka janganlah dia memperdulikannya, tetapi dia melanjutkannya untuk mendapatkannya. Jika dia memperdulikannya dan berhenti untuk mendapatkan (hajatnya), maka itulah thiyarah yang dipergunakan untuk kesialan." (Fathul Bari, 10/215).
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Kata-kata yang baik menyenangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena ia bisa menyenangkan jiwa dan membahagiakannya, serta melanjutkan sesuatu yang ingin dilakukan oleh manusia. Hal ini bukanlah kesialan, tetapi termasuk sesuatu yang bisa memotivasi seseorang, karena ia tidak mempengaruhinya. Bahkan dia menambah ketenangan, semangat dan kemajuan." (Al-Qaulul Mufid, 2/88).
Ibnul Atsir berkata, "Fa'l merupakan sesuatu yang diharapkan datangnya berupa kebaikan, dzahirnya baik dan menyenangkan. Kesialan tidak terjadi kecuali pada sesuatu yang menyakitkan. Rasulullah a senang kepada kata-kata yang baik, karena manusia apabila menginginkan keutamaan dari Allah subhaanahu wata'ala dan mengharapkan kembalinya pada setiap sebab yang lemah atau yang kuat, maka dia berada dalam kebaikan. Jika dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, maka dia telah mendapatkan pahala raja' (berharap) kepada Allah subhaanahu wata'ala dan meminta apa yang ada di sisiNya. Dalam raja' ada kebaikan yang segera untuk mereka. Bukankah ketika mereka terputus keinginan dan harapannya kepada Allah subhaanahu wata'ala, mereka berada dalam kejelekan?
Adapun kesialan, maka ia termasuk buruk sangka kepada Allah subhaanahu wata'ala, terputusnya harapan, berharap datangnya bala' dan putus asa dari kebaikan. Semuanya itu tercela oleh semua orang yang berakal dan terlarang dalam agama. Di dalam hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika disebutkan kesialan di sisinya, beliau bersabda, "Yang paling baik adalah fa'l (kata-kata yang baik)."
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, "Telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya fa'l tidak termasuk thiyarah (kesialan), namun mirip dengan thiyarah dari segi kelangsungan. Ia akan menambah semangat dan motivasi kepada seseorang atas apa yang sedang dihadapinya. Dia menyerupai kesialan dari segi ini. Kalau tidak, maka antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Thiyarah membuat seseorang bergantung kepada apa yang membuatnya sial, melemahkan tawakkal kepada Allah subhaanahu wata'ala dan mengurungkan diri melakukan sesuatu disebabkan karena apa yang dia lihat. Adapun fa'l, akan menambah kekuatan, ketetapan hati dan semangat. Kesamaannya adalah pada pengaruh yang diberikan oleh kedua-nya." (Al-Qaulul Mufid, 2/89).
Peringatan!
Sebagian orang apabila selesai melakukan sesuatu di bulan Shafar dia istirahat dan berkata, "Telah selesai dari bulan Shafar yang baik." Ini termasuk mengganti bid'ah dengan bid'ah dan kejahilan dengan kejahilan. Ia bukanlah bulan baik atau jelek. Adapun bulan Ramadhan kita mengatakan bahwa ia bulan baik, maksudnya adalah kebaikan ibadah. Perkataan mereka "Bulan Rajab yang diagungkan" karena ia termasuk salah satu Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang diharamkan). Itulah sebabnya ulama Salaf mengingkari orang yang ketika mendengar suara burung hantu dia mengatakan, "Khairan insya Allah." Jangan mengatakan khairan (baik) atau jelek. Burung hantu bersiul seperti burung-burung yang lain." (Al-Qaulul Mufid, 2/85).
Sebagian orang ada yang membuka mushaf al-Qur'an untuk mencari keberuntungan. Apabila dia melihat kalimat an-nar (neraka), dia merasa sial. Jika dia mendapatkan kalimat al-jannah (surga), maka dia merasa beruntung. Perbuatan ini mirip dengan perbuatan orang jahiliah yang melakukan undian dengan panah. (Al-Qaulul Mufid, 2/86).
Sebagian yang lain apabila berusaha melakukan sesuatu berulang kali, mereka merasa sial dan gagal kemudian meninggalkannya. Hal ini adalah salah, karena segala sesuatu yang anda anggap ada maslahatnya, maka jangan menyerah pada awal usaha. Ulangi lagi berkali-kali hingga Allah subhaanahu wata'ala memberikan kepada anda kemudahan. (Al-Qaulul Mufid, 2/32).
Sebagian ulama memakruhkan untuk memberikan anak nama yang membuatnya sial ketika menafikan atau menetapkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Samurah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
لاَ تُسَمِّ غُلاَمَكَ يَسَارًا وَلاَ رَبَّاحًا وَلاَ نَجِيْحًا وَلاَ أَفْلَحَ فَإِنَّكَ تَقُوْلُ : أَثِمَ هُوَ؟ فَلاَ يَكُوْنُ، فَتَقُوْلُ: لاَ.
"Janganlah menamakan anak anda dengan Yasar (mudah), Rabbah (beruntung), Najih (sukses) dan Aflah (beruntung), karena anda akan berkata, ‘Apa-kah dia bersalah?’ Hal itu tidak terjadi dan anda akan berkata, 'Tidak'." (HR. Muslim, No. 2137 di al-Adab).
Namun hal tersebut (menamakan anak dengan nama-nama seperti di atas) tidak diharamkan, berda-sarkan hadits Umar yang menyebutkan adanya seorang hamba yang disuruh mengajak orang lain untuk meminum minuman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dia bernama Rabbah (orang yang beruntung). (HR. al-Bukhari, Fathul Bari, 9/278 dan Muslim, no. 1479 dalam ath-Thalaq).
Untuk menambah pengetahuan seputar tathayyur bisa merujuk kepada kitab:
1. Kitabut Tauhid dan penjelasannya.
2. Al-Qaulul Mufid 'ala Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
3. Al-Mausu'ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 5/328 dan seterusnya; 12/182 dan seterusnya.
4. Jami'ul Ushul, Ibnul Atsir, 7/628 dan seterusnya.
5. Ilmu al-Sihr wal Sya'wazah, Syaikh Sulaiman al-Asyqar.
Semoga shalawat dan salam tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga dan sahabatnya.
sumber kutipan : http://www.alsofwah.or.id , Dr. Muhammad bin Abdul Aziz Al-Khudhairi , "Khatharut tathayyur wat Tasyaa'um (Edisi Bahasa Indonesia, “Bahaya Sikap Pesimis”)".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar