Hamba
beriman dituntut utk selalu meningkatkan amalan (ibadah) guna meraih ridha
Allah, dan pada saat yg sama ia tidak boleh bersandar kpd prestasi amalannya
itu. Hal ini supaya ia bisa melakukan pendakian menuju ridha Allah,
sebab sebesar apapun hebatnya ia beramal, sebenarnya hamba itu tidak dpt
sanggup menunaikan hak Allah dan tidak dpt sanggup melaksanakan kewajiban utk
mensyukuri-Nya. Sebagaimana firman-Nya,
yg artinya,” Sekali-kali jangan ;
manusia itu belum melaksanakan apa yg diperintahkan Allah kpdnya”, (Qs. ‘Abasa
: 23). “ Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yg kamu
mohonkan kpd-Nya. Dan jk kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dpt
menghitungnya. Sungguh manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat
Allah),” (Qs. Ibrahim : 34).
Atas
dasar itu ,seorang hamba dilarang bergantung pd amalnya. Sebagaimana Rasulullah
bersabda, yg artinya ,” Ber-amallah kamu sebenar dan sedekat mungkin.
Ketahuilah, amal salah seorang dari kalian tidak akan memasukkannya ke dlm
surga”.
Mereka
bertanya,’ Engkaupun tidak ya Rasulullah?’
Beliau bersabda , yg artinya ,” Aku pun
tidak, kecuali jk Allah meliputiku dg ampunan dan rahmat-Nya “, (Hr enam imam,
Sa’id Hawa dlm Mudzakkirat fi Manazil al-Shiddiqin wa al-Rabbaniyyin).
Saudaraku
dengan meninggalkan kebergantungan pada amal terkandung baknya hikmah yang berkaitan dengan pemahaman
tentang Allah dan pembersihan jiwa.
Bersandar
pada prestasi amalan menyebabkan kita tertipu, ujub, lancang, tidak sopan
kepada Allah , bahkan akan tumbuh keyakinan dalam diri hamba itu bahwa dirinya
mempunyai hak-hak di sisi Allah, dan semua itu merupakan racun kesesatan yang
berbahaya.
Bersandar
pada amal adalah sumber kesalahan dan bahaya, dan ini bertentangan dengan
sifat-sifat hamba yang shiddiq.
Dalam
hal ini, ulama Ibn ‘Athaillah mengawali pembahasannya dengan memberitahukan
parameter yang dapat kita gunakan untuk mengukur apakah kita bersandar pada
amal-amal kita, lantas kita takabur dan melupakan kewajiban yang sebenarnya yaitu bersandar kepada Allah?.
Apa
tanda-tanda perbuatan bersandar pada amal atau hanya bergantung pada Allah.
Tentu saja menurut Sa’id Hawa dlm
Mudzakkirat fi Manazil al-Shiddiqin wa
al-Rabbaniyyin, Syaikh Ibn ‘Athaillah tidak mengatakan ,’tinggalkan
amal-amalanmu’.
Syaikh
hanya menekankan kepada kita untuk senantiasa beramal, sekaligus mengarahkan
perhatian kita pada satu persoalan yang dari celah-celahnya kita dapat
mengetahui apakah kita bersandar hanya kepada Allah atau pada amal. Yang
demikian itu disebabkan seorang muslim harus
memeiliki keyakinan kuat yang mantap hanya kepada Allah dalam setiap
keadaan, dan hendaknya keyakinan ini harus terus ditumbuhkembangkan.
Pada
saat kita melakukan perbuatan kesalahan, lantas hal ini mengakibatkan
merosotnya keyakinan kepada Allah dan penyandaran diri kepada-Nya, maka ini
merupakan bukti bahwa pada dasarnya kita
bersandar pada amal kita dan tidak bergantung kepada Allah.
Karena
itulah, Syaikh Ibn ‘Athaillah berkata, ‘ sebagian dari tanda ketergantungan
kepada amal adalah kurangnya raja’ (pengharapan kepada Allah) ketika terjadi suatu
kesalahan atau dosa’. Bila keyakinan kepada Allah sudah matang dan harapan
kepada-Nya juga maksimal, maka segala yang terjadi tidak akan mempengaruhi
pengharapan, keyakinan dan tawakal kepada-Nya. Bilapun terjerumus dalam lembah
dosa, maka kita bertaubat kepada Allah dengan meyakini taubat kita. Karena itulah,hendaknya kita terus mengoreksi
diri dan memperkuat penyandaran diri kepada Allah dalam segenap
keadaan.Kewajiban-kewajiban syariat mesti harus ditunaikan, yaitu taubat,
intropeksi diri dan melakukan sebab-sebab usaha.
Allahu
a’lam
Sumber
: Said Hawa : Mudzakkirat fi Manazil Al-Shiddiqin wa al-Rabbaniyyin, dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar