Saudaraku,
ada hamba yg telah melaksanakan shalat namun sering masih terjerumus dlm kemaksiatan. Meskipun sudah shalat , masih juga melakukan
kejahatan. Seakan nilai-nilai shalat belum tertanam dlm perilakunya. Agus Mustofa dalam Khusyu’
Berbisik-bisik dengan Allah menyatakan bhw hal ini mengindikasikan nilai-nilai shalatnya tidak (belum) terefleksi dlm perilaku sehari-hari. Shalat
masih dianggap sebagi sekadar tujuan ibadah. Shalat belum dijadikan sbg
sarana untuk mencapai kualitas keimanan
yg lebih tinggi.
Hamba
yg menjadikan shalat sbg tujuan, akan merasa sudah cukup ketika sudah
melaksanakan shalatnya, minim upaya untuk bagaimana meningkatkan kualitasnya. Namun
hamba yg menjadikan shalat sebagai media dan cara untuk mencapai kualitas
yg lebih baik, maka ia akan termotivasi untuk berupaya selalu memperbaiki
kualitas (kekhusyu’an) shalatnya.
Syaikh
Mukmin Fathi Al-Haddad dalam Jaddid Shalataka (kaifa Takhsya’u fi Shalatika wa
tadfa’u min Wasawika), menyatakan bahwa ciri pelaksanaan shalat adalah kata
mendirikan. Berapa banyak orang yang mengerjakan shalat namun belum masuk dalam
taraf mendirikan.
Sebagaimana
Allah memperingatkan kita dalam firman-Nya, yang artinya ,” Maka celakalah
orang-orang yang shalat, namun lalai dalamshalatnya,” (Qs. Al-Ma’un : 4-5).
Hudzaifah
ra, berkata bahwa Demi Tuhan , orang-orang yang shalat.... Tidaklah ada
kebaikan dalam hal yang seperti itu. Allah Yang Maha Suci mengancam orang-orang
yang mengerjakan shalat , tetpi tidakmendirikannya.
Mereka
adalah hamba-hamba yang mengerjakan shalat, akan tetapi belum mendirikannya.
Sungguh telah melakukan gerakan-gerakan shalat, melafalkan doa-doa, namun
hatinya tidak terpaut tidak hidup
bersama dalam shalat. Jiwa-jiwa hamba itu belum hadir dalam hakikat shalat,
bacaan doa, tasbih dst. Walaupun merasa sudah mengerjakan, namun hakikatnya
belum mendirikan.
Mengapa
seseorang yang sudah melaksanakan shalat masih diancam Allah?
Agus
Mustofa, menyatakan bahwa menurut firman-Nya tsb, bahwa hamba tsb lalai terhadap nilai-nilai
shalatnya (alladzina hum ‘an shalatihim sahun). Beliau mengulas ada kata ‘an
sebagai suatu penegasan, bahwa yang diancam tsb adalah bukan orang yang lalai
di dalam shalatnya, melainkan lalai terhadap shalatnya.
Lalai
terhadap shalatnya merupakan penafsiran yang lebih mendekati dari kalimat ‘an
shalatihim shaun , adapun bila dikatakan sebagai lalai di dalam shalat maka
kalimat asalnya berupa fi shalatihim
sahun.
Beliau
menambahkan bahwa, ada perbedaan pemahaman yang mendasar dari keduanya.
Bilasaja seandainya kalimat dalamayat diatas menggunakan kata fi, maka semua
orang yang shalat akan masuk neraka,karena sesungguhnya kita sangat sering
lalai didalam shalat.
Adapun
kata ‘an, ditafsirkan sebagai meskipun agak lalai didalam shalat , asalkan tidak lalai menjalankan nilai-nilai
shalat di luar shalat, maka itu insya’Allah sudah terlepas dari ancaman itu.
Yang
dimaksud dengan mendirikan shalat adalah menghadirkan hakikat shalat dan berdiri menghadap Allah SWT Tuhan Yang
Maha Esa. Al-Qur’an telah memperingatkan orang-orang yang mengerjakan shalat
dengan sebuah kecelakaan. Menurutt Syaikh Mukmin Fathi Al-Haddad , hal itu
karena hamba tsb tidak mendirikan shalat sesuai dengan hakikatnya, melainkan
baru pada tataran melakukan gerakan tanpa ruh, dan bukan semata-mata karena
Allah. Sehingga shalatnya belum meninggalkan pengaruh apapun dalam hati maupun
perilakunya diluar shalat. Ini adalah kesia-siaan shalat dan bahkan merupakan
kedurhakaan yang buruk.
‘Atha
berkata, kalaulah dikatakan lalai dalam shalat , tentulah mereka itu adalah
orang adalah orang-orang yang beriman.
Segala puji kepada Yang Berfirman , ‘dari shalat’ mereka dan tidak mengatakan ‘ dalam shalat mereka’.
Az-Zamakhsyari
berkata bahwa, jika engkau bertanya ,’Apakah perbedaan dari firman-Nya “ dari
shalat mereka” dengan “ dalam shalat mereka”?. Maka sayapun berkata bahwa makna
kati “an” (dari) disini adalah mereka lalai, meninggalkan shalat dan sangat
sedikit mengingatnya (termasuk diluar shalat ,pen). Inilah kelakuan orang
munafik bahkan musuh terselubung dalam agama Allah.
Sementara
makna dari “fi” (dalam), adalah lalai
yang datang ketika (sedang) shalat, karena bsisikan-bisikan syetan.
Setiap hamba beriman nyaris tidak bisa menghindar dari hal seperti itu. Bahkan
Rasulullah pun pernah dihinggapi was-was dalam shalatnya, apalagi selain
beliau, apalagi kita ini yang sangat banyak keburukan kita. Bahkan Ibn ‘Arabi
berkata, bahwa selamat dari was-was dalam shalat adalah mustahil dan para
sahabat pun juga pernah lupa. Maka tidak ada ayat yang menyebutkan shalat,
kecuali dibarengi dengan hal lain. Oleh sebab itulah para ahli fiqih menetapkan
sebuah bab tentang sujud sahwy dalam kita-kita mereka.
Agus
Mustofa menyoroti bahwa sebenarnya kekhusyu’an shalat bisa jadi amat sulit
diukur dengan panca indera pada saat shalat itu dijalankan. Namun hakekat
kekhusyu’an itu bisa dilihat setelah selesai shalat, beradasr efek positif pada
sikap dan perilakunya. Semakin besar efek positifnya maka maka bisa dikatakan
semakin tinggi pula kualitas shalatnya , dimana shalatnya mempunyai dampak yang
kuat terhadap jiwanya.
Ibnu
Qayyim berkata, bahwa betapa sedikitnya orang-orang yang mengerjakan shalat,
dan yang mendirikan shalat lebih sedikit lagi. Orang yang menjadikan shalatnya
seakan musim semi di hatinya, kelapangan serta penyejuk pandangannya, pengusir
gundah, penawar resah dan gelisah serta penghibur dikala cobaan dan ujian
datang.
Allah
juga memperingatkan kita dalam firman-Nya, yang artinya,” Maka datanglah
sesudah mereka generasi yang
menelantarkan shalat dan memperturutkan hawa nafsu mereka. Mereka kelak akan
menemui kesesatan”, (Qs. Maryam : 59).
Abdullah
bin Mas’ud berpendapat tentang ayat ini bahwa maksud menelantarkan shalat
adalah menunda-nunda waktu shalat, dan tidak mendirikannya sesuai hakikat. Atau mengerjakan shalat namun melangar apa
yang telah ditetapkan dalam shalat, maka s esungguhnya shalat kita tidak sah dan
tidak pula mendapat pahala.
Saudaraku
mendirikan shalat menghadirkan kekusyu’an yang tidak hanya mempunyai dampak
langsung dalam kualitas pada shalat itu sendiri, melainkan juga terkait erat
dengan sikap perilaku setelah shalat. Sungguh beruntung hamba-hamba yang telah
mendirikan shalat, menegakkan shalat.
Sebagaimana
firman-Nya, yang artinya ,” Mereka itu adalah orang-orang yg bertaubat , yang
beribadat, yang memuji (Allah), yang melawat (demi ilmu dan agama), yang rukuk,
yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang
memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman ,”
(Qs. At-Taubah : 112).
Sebagaimana
firman-Nya, yang artinya ,” Sesungguhnya Allah itu mencintai orang-orang yang
selalu bertaubat dan orang-orang yang membersihkan dirinya ,” (Qs. Al-Baqarah :
222).
Imam
Ghazali dalam Mukasyafatul Qulub berkata bahwa Rasulullah bersabda, yang
artinya ,” Barang siapa yang shalatnya
tidkmampu mencegah perbuatan keji dan munkar,
maka tidak bertambah-tambah (dekat) kecuali semakin jauh”,
Imam
Ghazali juga memperingatkan bahwa
shalatnya orang tidak khusyu’ tidak akan mampu mencegah perbuatan keji
dan munkar.
Allahu
a’lam
Sumber
: Syaikh Mukmin Fathi Al-Haddad : Jaddid
Shalataka (kaifa Takhsya’u fi Shalatika wa tadfa’u min Wasawika), Agus Mustofa : Khusyu’ Berbisik-bisik dengan
Allah, Fauzi Muhammad Abu Zayd : Kayfa uhibbullah Dar Al-Iman wa Al-Hayah, Imam
Ghazali : Mukasyafatul Qulub , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar