"Sungguh
akan datang pd manusia suatu zaman dimana seseorang tidak peduli dg cara apa
dia mengambil harta, apakah dari yg halal atau dari yg haram." (Hr Bukhari
2083).
Memberi
hadiah adl cara umum utk mempererat interaksi antar kita. Namun sering tersamar dg
praktek korupsi dan turunannya. Prakter korupsi laten ini telah mengakar
kuat dimasyarakat juga di birokrasi baik negeri juga
swasta. Lalu bagaimana kita bisa menghindarinya
?
"Rasulullah mengutuk orang yg menyuap dan orang yg disuap" [Shahih riwayat Abu Daud dlm Sunannya :3580, at-Tirmidzi dlm Sunannya :1337 dan Ibn Majah dlm Sunannya:2313) .
"Rasulullah mengutuk orang yg menyuap dan orang yg disuap" [Shahih riwayat Abu Daud dlm Sunannya :3580, at-Tirmidzi dlm Sunannya :1337 dan Ibn Majah dlm Sunannya:2313) .
Namun
sebelum ke tahap berikutnya , kita pelajari dulu asal kata hadiah . Dari bahasa arab yaitu, Hadiyyah yg dari akar kata yg terdiri dari huruf ha’ dan
ya’.
Sehingga
atas dasar itu makna awal dari suku kata ini berkisar pada dua hal , yaitu
1.
tampil ke depan memberikan petunjuk dan
2.
menyampaikan dengan lemah lembut. Dari makna
kedua ini lahir kata hadiah yang merupakan penyampaian sesuatu dengan lemah
lembut guna menunjukan simpati terhadap yang diberi.
Kata
hadiah, juga disebutkan dalam Al-Qur’an
yaitu :
فَلَمَّا جَاءَ سُلَيْمَانَ قَالَ أَتُمِدُّونَنِ بِمَالٍ
فَمَا آتَانِيَ اللَّهُ خَيْرٌ مِّمَّا آتَاكُم بَلْ أَنتُم بِهَدِيَّتِكُمْ
تَفْرَحُونَ
"Maka tatkala utusan itu sampai kepada
Sulaiman, Sulaiman berkata: 'Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta?,
maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya
kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.m (QS. an-Naml:
36)
Ada kata hadiyyatikum dapat ditafsirkan sebagai hadiahmu dapat dipahami dalam arti hadiah yang
kamu berikan, dapat juga dalam arti hadiah yang diberikan kepada kamu.
Untuk
makna yang kedua ini, seakan-akan penggalan ayat menyatakan” kamu sangat
bergembira dengan suatu hadiah apabila ada yang menghadiahkannya kepada kamu”.
Ini, karena harta benda sangat kamu hargai dan sukai. Sedang buatku harta tidaklah menjadi perhatianku.
Disebutnya kata antum / kamu dan di dahulukannya kata hadiyyatikum atas tafrahum terkandung makna pengkhususan mitra bicara
menyangkut kebanggaan dan kesenangan dalam kaitan pemberian atau penerima
hadiah.
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada sesama
merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan. Hanya, permasalahannya menjadi
berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas
mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda
hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari
pemberian tersebut. Hadiah bisa berpotensi buruk, tergantung bagaimana proses
yg terjadi didalamnya. Namun ada juga sudut kebaikan dalam proses saling
memberi hadiah, semisal bisa memperkuat silahturahmi, membahagiakan orang lain
dan bersedekah.
Ada contoh
sisi buruk dalam proses pemberian hadiah, yang paling mudah adalah seorang
hakim yang telah mendapatkan uang atau hadiah
maka sulit baginya untuk dapat berbuat adil. Hadiah ini entah dalam
bentuk apapun , bisa berubah menjadi
suap yang dapat mebelokkan supremasi hukum . Hadiah
juga sering digunakan sbg senjata untuk
mempermudah suatu urusan yang
dihadapi . Dan ini salah satu fenomena
yang terjadi di banyak negara.
Syaikh Ahmad bin
Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil dalam
Al-Hadiyah Bainal Halal wal Haram, menyoroti topik
hadiah di lingkungan pejabat atau pegawai di lingkungan pemerintahan maupun di
swasta. Beliau memberikan batasan dalam lingkup birokrasi negara maupun swasta,
dimana termasuk didalamnya pengertian kedudukan pegawai. Pegawai adalah setiap
orang yang dibebani suatu tugas pekerjaan untuk melayani kepentingan umum
(masyarakat) di suatu wilayah pemerintahan. Ini mencakup semua pegawai
bagaimanapun bentuk dan fungsinya.
Syaikh Ahmad bin
Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil mengkategorikan pengertian pegawai
sebagaimana tercakup dalam pengertian
sbb ; yaitu
1. Orang yang bekerja
dalam instansi pemerintah, atau dalam instansi-instansi yang berada dalam
naungan pemerintah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya, baik statusnya sebagai
pegawai tetap maupun pegawai honorer,
2. Pemberi kuasa
(arbitrator) atau tenaga ahli yang merupakan pegawai pemerintah atau dari
lembaga yang mempunyai kekhususan dalam melakukan suatu tugas,
3. Dokter atau tenaga
medis jika dilihat dari sumpah-sumpah yang diucapkannya meskipun ia bukan
menjadi pegawai umum,
4. Setiap orang yang
dibebani urusan penting dalam pemerintahan atau lembaga pengatur kekuasaan yang
lain,
5. Para pegawai
perusahaan perseroan atau perusahaan yang memenuhi kebutuhan umum,
6. Orang-orang yang
berkedudukan sebagai wakil rakyat seperti anggota majelis suatu negara atau
anggota majelis syura atau perwakilan yang lainnya misalnya seperti laki-laki
pesuruh.
Dalam penegrtian
diatas tercakup juga kategori pegawai yang bekerja di lembaga-lembaga asing,
perusahaan, yayasan, maupun lembaga tertentu demikian pula dengan
karyawan-karyawannya.
Dalam pemahaman
diatas bisa juga memmutlakkan kata pegawai yang bersifat umum dengan istilah
fikih adalah ‘amil. Dimana ‘amil adalah setiap orang yang menangani urusan atau
permasalahan kaum muslimin yang ditunjuk imam atau penguasa. Syaikh Ahmad bin
Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil memasukkan kategori petugas zakat dan
petugas penarik pajak dalam pengertian ‘amil.
Hal ini merujuk dalam
Al-Qur’an yang menyebut secara tersendiri golongan ini (‘Aamiliin), bersama
golongan-golongan lain yang berhak untuk menerima zakat. Sebagaimana firman-Nya
“Pengurus-pengurus
zakat “ (Qs. At-Taubah : 60).
Dan diriwayatkan Ibn
Lutbiyyah adalah seorang pekerja yang mengumpulkan shadaqah, dimana ia bertugas
mengumpulkan dan menjaga zakat tsb, sedangkan ia bukan hakim maupun wali.
Dan masuk dalam
kategori ‘amil adalah para pimpinan dan pejabat yang membawahi bidang pekerjaan
tertentu. Dengan kedudukannya mereka mampu membuat kebijakan yang dapat
mendatangkan manfaat atau bahaya bagi orang lain.
Syaikh Ahmad bin
Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil berpendapat dalam dalam Al-Hadiyah Bainal Halal wal Haram , menyatakan bahwa bahwa
Islam telah mengharamkan hadiah bagi para pekerja dan orang-orang yang termasuk
dalam kategori pekerja. Islam menamakan hadiah tersebut sebagi suap atau
penghianatan.
Sebenarnya kita tidak sulit untuk membedakan suatu pemberian itu bermakna
hadiah atau suap, atau bahkan secara tidak sadar kita telah melakukan suap
kepada orang lain saat memberikan hadiah kepadanya. Praktik memberi hadiah
sangat mudah berubah menjadi
praktek risywah (suap) .
Seorang prkatisi mengatakan hadiah sangat
berpotensi berubah menjadi suap bila
masuk dalam salah satu dari dalam dua kondisi:
1.
hadiah tersebut
adalah kompensasi dari kewajiban yang seharusnya dijalankan oleh penerima
hadiah (msl : uang tips dll)
2.
hadiah tersebut
berkonsekuensi penerima hadiah harus (perlu) melakukan sesuatu yang tidak boleh
dilakukan oleh penerima hadiah.
Praktek rysiwah pada awalnya yang semula berakar dan tumbuh di dalam ruang
pengadilan, dimana terdakwa biasanya
mencari celah untuk menyelamatkan dirinya dari ancaman hukuman . Selanjutnya
mulai berkembang dan
menjalar , merasuk hampir ke semua lini kehidupan
masyarakat.
Karena seringnya orang mempermainkan istilah
syariat, sehingga sesuatu yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu
pula dengan suap. Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka,
yang terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk pemberian
tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu.
Kita kembali kepada topik yaitu permasalahan hadiah bagi Pegawai atau pejabat . Menurut Ustadz Armen Halim Naro Lc , sebagaimana ditulis dalam majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M , ada tiga pemahaman dalam perkara ini Terbagi Dalam Tiga Bagian.
Pertama :
Kita kembali kepada topik yaitu permasalahan hadiah bagi Pegawai atau pejabat . Menurut Ustadz Armen Halim Naro Lc , sebagaimana ditulis dalam majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M , ada tiga pemahaman dalam perkara ini Terbagi Dalam Tiga Bagian.
Pertama :
Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun
Mengambilnya.[ kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim,]
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.
Kedua :
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.
Kedua :
Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan
Diberi Keringanan Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sseakan udah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan , bahkan memarahi orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261]
Ketiga :
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sseakan udah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan , bahkan memarahi orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261]
Ketiga :
Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan
Dianjurkan Memberi Dan Mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
1.
Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan
pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga
memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu
tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
2.
Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada
seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk
anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
3.
Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya
atau instansinya.
4.
Hadiah atasan kepada bawahannya.
5.
Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang
lain-lain.
Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apalah lagi dengan perbuatan ghulul?
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari ‘Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.
Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,” beliau bersabda, “Apa gerangan?” Dia berkata, “Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini,” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ”Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya.”[HR Muslim, no. 1833]
Selain
itu, seorang pejabat (pegawai) yang menerima hadiah dari orang, berarti
mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan
kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender penempatan pegawai, dan
lain-lain, bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada
apa yang diberikan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang
diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat hubungannya dengan orang tersebut.
Dan sabda Nabi SAW :
“ هدايا الأمراء غلول ”
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa
adalah ghulul” (HR.
Ahmad 5/424)
Rasulullah
Sholallahu Alaihi Wassalam menegaskan, risywah merupakan tindakan
yang sangat tercela, dibenci agama, dan dilaknat Alloh Azza wa Jalla.
Dengan
demikian pantaslah kalau Rasulullah melarang seorang pegawai atau petugas
negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan walaupun pada
asalnya menerima hadiah itu dianjurkan. Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan
bahwa “suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan, tidak boleh
dilakukan.”
....
Bersambung.
Sumber : Syaikh Ahmad
bin Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil dalam
Al-Hadiyah Bainal Halal wal Haram, A.Riris
Muldani, Fak. Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga , makalah MENJAHUI SUAP DAN
HADIAH ,
Pustaka :
·
Nizham Mukafafah , Ar Riswah bi Al-Mammlakah
·
Almanhaj.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar