Banyak jalan menuju popularitas. Namun bila dicermati, popularitas itu hanya menemui kesia-siaan. Sebab jalan menuju popularitas umumnya mensyaratkan utk melakukan suatu perbuatan utk diakui, dipuji. Sungguh jalan utk meraih popularitas rentan jebakan riya’ dan beramal dlm rangka mendapatkan penghormatan. Allah tetap memberi balasan amal pdnya karena semangat dan kesungguhannya dlm meraih keinginan itu. Balasan amal itu bisa berupa hasil luar-biasa misal: kesehatan, kegembiraan , keluarga , harta ,jabatan , ketenaran dst. Namun hakekatnya hamba tsb termasuk golongan yg merugi.
Sebagaimana Allah berfirman, yg artinya ,” Barangsiapa
yg menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kpd
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dg sempurna dan mereka di dunia itu
tidak akan dirugikan. Itulah orang-2 yg tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yg telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yg telah mereka kerjakan “ (Qs. Hud : 15-16)
Sa’id Abdul ‘Azhim dalam Al-Atqiya’ul Akhfiya’,
berkata bahwa Ibn Abbas ra berkata bahwa
·
‘Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia’, yaitu balasan amalnya di
dunia berupa hasil duniawi dan perhiasannya :
·
‘ Niscaya Kami penuhi mereka’, yakni Allah penuhi balasan amal mereka
berupa kesehatan dan kegembiraan bersama keluarga, harta dan anaknya.
·
‘dan mereka didunia tidak dirugikan’, yakni tidak dikurangi pahalanya.
Para ahli tafsir berkata berkenaan dengan firman-Ny,
yang artinya ;
‘Dan musnahlah apa yang mereka perbuat didalamnya’,
yakni di akhirat , segala perbuatan yang telah mereka perbuat itu musnah.
Maksudnya, mereka tidak mendapat balasan amak mereka, karena mereka
melaksanakan amal perbuatan tsb bukan untuk mencari ridha Allah, namun hanya
ingin meraih hasil didunia. Dan Allah pun memenuhi balasan amal mereka didunia
saja. Dan batallah apa yang dahulu merekqa kerjakan, sebab ia melaksanakannya
tidak berdasarkan keikhlasan karena Allah.
Dari Abu
Hurairah ra secara marfu’. Allah berfirman, yang artinya ,” Aku adalah dzat
yg paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yg beramal dengan
mempersekutukan Aku dengan selain-Ku, niscaya Aku tinggalkan amalan itu dan
persekutuannya”, (Shahih riwayat Muslim).
Hamba yang
tercemari riya’ beramal dengan niat mencari ridha Allah sekaligus meraih tujuan
lainnya. Sehingga menjadikan Allah memiliki sekutu. Jika demikian maka perlu
dipahami bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Kaya yang memiliki kekayaan
mutlak. Sedangkan para sekutu, bahkan seluruh makhluk adalah fakir yang butuh
kepada-Nya. Maka tidak aada pahala dalam sebuah amalan, kecuali diniatkan
ikhlas hanya karena Allah semata.
Sa’id Abdul ‘Azhim, mensifati perlikau hamba yang
meraih dunia dengan amalannya, ini merupakan salah satu bentuk kesyirikan.
Dalam hal ini seseorang menggunakan agamanya untuk meraih ambisi-ambisi
pribadinya. Misalnya seseorang berjihad untuk mendapatkan beludru sutra dst.
Karenanya Nabi menamainya sebagai hamba beludru sutera.
Diriwayatkan dalam Ash-Shahih dari Abu Hurairah , ia
berkata bhwa Rasulullah bersabda, yang artinya,” Celakalah hamba dinar,
celakahlah hamba dirham, celakah hamba khomishoh, celakalah hamba khamilah
(beludru suter). Jika diberi ia merasa senang, tapi jika tidak diberi ia marah.
Sungguh celaka dan rugi, jika ia tertusuk duri , maka tidak bisa mencabut.
Sungguh bahagia seorang hamba yang memegang kendali kudanya di jalan Allah,
kepalanya kusut, telapak kakinya berdebu ; jika bertugas jaga , ia berjaga,
jika bertugas di belakang pasukan ; ia berada di belakang pasukan, jika meminta
ijin, ia tidak diberi ijin, dan jika meminta syafaat , ia tidak diberi
syafaat”. (Hr. Bukhari).
Ath Thaibi berkata... mereka adalah orang-orang yang
merasa kepuasan dan kemurkaanya karena faktor selain Allah. Demikianlah keadaan
orang-orang yangbergantung pada jabatan, gambar atau hal-hal yang disukai oleh
hawa nafsunya. Jika berhasil meraihnya ,
ia merasa puas. Jika tidak maka ia marah. Maka ia menjadi hamba dan budak
keinginannya. Sebab hakikat penghambaan atau perbudakan adalah penghambaan dan
perbudakan hati. Maka barang siapa yang diperbudak hati, ia akan menjadi budak
dan hambanya. Telah dimaklumi bahwa cinta kepada kepemimpinan dan kehormatan d
mata manusia merupakan pendorong baginya melakukan perbuatan riya’.
Nafsu selalu ingin meraih kenikmatannya berupa
pernghormatan dari makhluk. Nafsu merasakan kenikmatan dan kepuasan yang besar,
manakala ia dipuji, dimintai berkah oleh orang-orang sekitar, dilayani ,
dumuliakan atau dikedepankan dalam berbagai acara. Ia tidak puas hanya dengan pandangan sang
Khaliq. Ia merasa senang dengan pujian manusia dan tidak merasa puas dengan
pujian Allah saja.
Pada saat itu dirinya menyangka bahwa ia termasuk
hamba-hamba yang dekat kepada-Nya, padahal ini hanyalah tipu daya nafsu. Tak
seorangpun yang selamat dari jebakan ini selain orang-orang yang shiddiq.
Karenanya ada pepatah bahwa hal terakhir
yang keluar dari pikiran orang-orang shiddiq adalah ambisi kepepimpinan.
Tipu
daya ketenaran ternyata juga menjangkiti para ahli ibadah dan para
penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakekatnya sama
adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga ingin kesungguhannya dalam beribadah
diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu
bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi
dihadapan manusia.
Dalam riwayat Al-Baihaqi dalam
Syu’ab Al-Iman no 6500 beliau berkata, “Sembunyikanlah kebaikan-kebaikanmu sebagiamana engkau
menyembunyikan keburukan-keburukanmu, dan janganlah engkau kagum dengan
amalan-amalanmu, sesungguhnya engkau tidak tahu apakah engkau termasuk orang yg
celaka (atau orang yang bahagia”.
Adapun hamba Allah adalah seorang hamba yang merasa
senang dengan sesuatu yang diridhai Allah , merasa murka karena sesuatu yang
dimurkai Allah, mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya dan membenci
apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.
Muhammad bin Sirin berkata, bahwa Jadilah
orang yang menyukai status khumul dan membenci popularitas. Namun jangan engkau
tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati.
Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud, justru mengeluarkan
dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu menarik pujian dan
sanjungan untuk dirimu’. Khumul dalam perkataan beliau adalah status
tersembunyi dan tidak dikenal. Bukan berarti sikap malas. (Al Qamus Al Muhith,
Khamula).
Saudaraku, banyak contoh para ulama bagaimana
uapaya mereka menyembunyikan popularitasnya , :
1.
Tamim Ad-Dari tidak membuka pintu yang bisa
mengantarkannya terjatuh dalam riya, sehingga dia tidak mau menjawab orang yang
bertanya tentang ibadahnya.
2.
Ayyub As-Sikhtiyani sholat sepanjang malam, dan jika
menjelang fajar maka dia kembali untuk berbaring di tempat tidurnya. Dan jika
telah terbit fajar maka diapun mengangkat suaranya seakan-akan dia baru saja
bangun pada saat itu. (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/8).
3.
Seseorang bertanya pada Tamim Ad-Dari ”Bagaimana sholat malam engkau”,
maka marahlah Tamim, sangat marah, kemudian berkata, “Demi Allah, satu rakaat saja
shalatku ditengah malam, tanpa diketahui (orang lain),
lebih aku sukai daripada aku sholat semalam penuh kemudian aku ceritakan pada
manusia” ( kitab Az- Zuhud,
Imam Ahmad).
4.
Ibnul Qoyyim berkata , “Tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati
bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh
apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”
(Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, hal 423).
Allahu a’lam
Sumber : Al-Atqiya’ul Akhfiya’ (Sa’id Abdul ‘Azhim), Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar