Sebelumnya telah diulas seputar hadiah kpd pegawai
atau pejabat menurut beberapa ulama. Lalu bagaimana pandangan MUI (Majelis Ulama
Indonesia). Dalam fatwanya MUI juga menyoroti masalah hadiah kpd pejabat,
disamping masalah lainnya seperti praktik suap (Risywah), korupsi (Ghulul),
yang merupakan perbuatan yang tidak benar (batil). Sebagai berikut :
1.
Hadiah kpd pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang dan atau
masyarakat yg diberikan kepada pejabat, karena kedudukannya, baik di lingkungan
pemerintahan maupun lainnya.
2.
Risywah adalah pemberian seseorang kpd orang lain (pejabat) dgn maksud memuluskan
suatu perbuatan yg batil (tidak benar menurut syariat) atau
membatalkan perbuatan yg hak. Ada pihak (rasyi); penerima (murtasyi);
dan penghubung antara keduanya (ra'isy) (Ibn Al-Atsir, An-Nihayah fi Gharib
al-Hadits wa al-Atsar, II, h. 226).
3.
Suap, uang pelicin, money politic dan lain sebagainya dapat dikategorikan
sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau
membatilkan perbuatan yang hak.
4.
Korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya
dengan cara yang tidak benar menurut syariat Islam.
Dalam MuNas VI MUI pada tanggal 23-27 Rabi'ul Akhir 1421 H/ 25-29
Juli 2000 M, MUI telah membahas tentang Suap (Risywah) Korupsi (Ghulul)
dan Hadiah kepada Pejabat.
Kesimpulan dalam pertemuan tersebut adalah bahwa:
1.
Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
2.
Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
Dengan ketentuan bahwa
a)
Jika pemberian hadiah itu pernah
dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu
hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya;
b)
Jika pemberian hadiah itu tidak
pernah dilakukan sebelum pejabat tsb memegang jabatan, maka dalam hal ini ada
tiga kemungkinan:
i.
Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan
apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram;
ii.
Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi
pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram
memberikannya apabila perberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu
yang batil (bukan haknya);
iii.
Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik sebelum
maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk
sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah
itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.
Dalam memutuskan fatwa ini, Majelis Ulama Indonesia berpegang
pada beberapa dalil antara lain:
1.
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yg lain di antara
kamu dg jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kpd hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dg (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 188).
2.
“Hai orang yg beriman, janganlah kami saling memakan harta sesamamu dg
jalan yg batil.” (QS. An-Nisa : 29).
3.
“Barang siapa yg berkhianat dalam urusan harta rampasan perang, mk pada
hari kiamat ia akan datang membawa apa yg dikhianatkannya itu.” (QS. Ali
Imran : 161).
4.
“Sesuatu yg haram mengambilanya haram pula memberikannya.” (Kaidah Fiqhiyah)
Berkata
Ibnu Baaz Rahimahullahu ,
“Dan hadits ini menunjukkan bahwa wajib atas pegawai di pekerjaaan apa saja
untuk Negara untuk menunaikan apa-apa yg dipercayakan kepadanya dan tidak boleh
bagi dia untuk menerima hadiah yg terkait dg pekerjaaanya. Dan apabila dia
mengambilnya mk dia harus menaruhnya di Baitul Mal , dan tidak boleh bagi dia
untuk mengambil bagi dirinya sendiri berdasark hadits shahih ini karena
sesungguhnya hal itu merupakan perantara kejelekkan dan pelanggaran amanat.” (Fatawa Ulama
Baladil Haram
Hal. 655)
Dalam Subulussalam, Shan’ani, 1/216, dinyatakan
bahwa banyak sebutan untuk pemberian
sesuatu kpd petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus,
fee dan sebagainya. Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai,
yaitu gaji, uang suap, hadiah dan bonus.
Hal
seperti diatas , tidak hanya bisa terjadi di lingkungan pegawai atau pejabat
pemerintahan , namun bisa juga terjadi diseluruh lapisan masyarakat atau
pekerjaan.
Misalnya
kebiasaan berbagi tip. Istilah tip, di negara-negara Arab dikenal dengan
baqsyisy (ikramiyyah) . Tip seperti yg berlaku pada umumnya, diberikan kpd para
pelayan dan kurir, misalnya, sbg bentuk ucapan terima kasih dan penghargaan
atas penggunaan jasanya. Fenomena ini pun mengundang perhatian lembaga fatwa di
negara-negara tsb.
Beberapa
ulama Arab Saudi, di antaranya Syekh
Shalih al-Fauzan dan Syekh Abdurrahman al-Barrak berpandangan bahwa hukum pemberian tip
dilarang dan haram. Ini dikategorikan sebagai suap dan grativikasi yang
dihukumi haram menurut agama.
Opsi
pelarangan ini merupakan simpulan yang dikeluarkan oleh sejumlah instansi
fatwa, salah satunya Komite Tetap Kajian dan Fatwa Arab Saudi. Tip berdasarkan
kajian lembaga yang dipimpin oleh Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz itu
dinilai bisa menimbulkan beberapa mudarat. Baik dari segi pemberi atau
penerima.
Penerima tip akan selalu berharap dan bisa tersakiti hatinya jika tidak menerimanya. Ini bisa berdampak pula pada diskriminasi antarpengguna jasa. Pekerja atau pelayan itu, misalnya, hanya akan memberikan layanan terbaik bagi mereka para pemberi tip. Aktivitas itu akan menjadi budaya yang jelek, yaitu meminta-minta.
Penerima tip akan selalu berharap dan bisa tersakiti hatinya jika tidak menerimanya. Ini bisa berdampak pula pada diskriminasi antarpengguna jasa. Pekerja atau pelayan itu, misalnya, hanya akan memberikan layanan terbaik bagi mereka para pemberi tip. Aktivitas itu akan menjadi budaya yang jelek, yaitu meminta-minta.
Namun, dekan Fakultas Ushuludin Universitas Al Azhar Mesir Prof Muhammad al-Bahi menyanggah pandangan ini. Menurutnya, tip dan grativikasi atau suap tidak bisa disamakan. Keduanya, berbeda dari segi prinsip ataupun elemennya.
Tip diperuntukkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan tidak memiliki kekuasaan atau berhubungan langsung dengan pemerintah. Jumlah tip-nya pun tidak besar, hanya sepantasnya saja.
Sementara,
grativikasi atau suap ialah pemberian bagi mereka yg berhubungan langsung
dengan kegiatan pemerintahan. Misalnya, soal pemenangan tender proyek. Besaran suap dalam kasus semacam ini tentunya
tidaklah kecil. Sekalipun kecil, pemberian kepada mereka yang berkepentingan
dan mempunyai otoritas tersebut haram hukumnya. “Jadi, jangan samakan antara
tip dan suap,” katanya.
Bersambung...
Wallahu a’lam
bi shawab.
Sumber fatwa: Tim Penyusun Buku Fatwa MUI, Himpunan
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Penerbit Erlangga, 2011 , Heri
Ruslan , Republika , Syaikh Ahmad bin Ahmad Muhammad Abdullah ath-Thawil
dalam Al-Hadiyah Bainal
Halal wal Haram , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar