Shalat isyraq adalah shalat dua rakaat setelah
matahari terbit dan meninggi, diawali dari shalat Fajar berjamaah di masjid
kemudian duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah Ta'ala hingga
shalat dua rakaat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bersabda
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ
ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ ، كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ ، وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ
، تَامَّةٍ (رواه الترمذي، رقم 586 من حديث أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه
"Siapa yg shalat Shubuh berjamaah, kemudian dia
duduk berzikir kpd Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua
rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna." (HR.
Tirmizi, no. 586, dari hadits Anas bin Malik ra)
Syekh Al-Albany rahimahullah (shahih Sunan Tirmizi),
menyatakan hadits ini hasan.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah beliau berkata, 'Hadits
ini memiliki jalur periwayatan yang baik, maka dapat dikatakan sebagai hadits
hasan lighairihi. Maka shalat tersebut disunnahkan setelah matahari terbit dan
meninggi seukuran tombak, yakni kira-kira setelah sepertiga atau seperempat jam
dari waktu terbitnya." (Fatawa Syekh Ibnu Baz, 25/171)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya
tentang shalat Isyraq dan shalat Dhuha, lalu beliau menjawab, "Shalat
sunnah isyraq adalah shalat sunnah Dhuha, akan tetapi jika ditunaikan segera
sejak matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, maka dia disebut shalat
Isyraq, jika dilakukan pada akhir waktu atau di pertengahan waktu, maka dia
dinamakan shalat Dhuha. Akan tetapi secara keseluruhan dia adalah shalat Dhuha.
Karena para ulama berkata, bahwa waktu shalat Dhuha adalah sejak meningginya
matahari seukuran tombak hingga sebelum matahari tergelincir." (Liqa
Al-Bab Al-Maftuh, 141/24)
Shalat Isyraq, menurut Syaikh Utsaimin adalah shalat yang dikerjakan setelah matahari meninggi satu tombak, sekitar lima belas menit setelah matahari terbit. Disebut demikian karena dikerjakan sesudah terbitnya matahari. Menurut Syaikh Utsaimin, Syaikh Ibnu Bazz, dan lainnya adalah Shalat Isyraq termasuk Shalat Dhuha itu sendiri. Karena Shalat Dhuha dikerjakan sesudah matahari terbit dan meninggi satu tombak, (sekitar 15 sampai 20 menit sesudah terbit) sampai matahari mendekati dipertengahan,(sekitar 10 menit sebelum di pertengahan).
Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam di atas,"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba' pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ مِنْ الضُّحَى
"Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha." (HR. Muslim)
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam,
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى عَلَى مَسْجِدِ قُبَاءَ أَوْ دَخَلَ مَسْجِدَ قُبَاءَ بَعْدَمَا أَشْرَقَتْ الشَّمْسُ فَإِذَا هُمْ يُصَلُّونَ فَقَالَ إِنَّ صَلاةَ الأَوَّابِينَ كَانُوا يُصَلُّونَهَا إِذَا رَمِضَتْ الْفِصَالُ
"Bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba' atau masuk ke dalam masjid Qubba' sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya shalatnya awwaabin (orang yang banyak taan kepada Allah) yang mereka mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan."
Dan dari Al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata:
أَمَا لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّ الصَّلَاةَ فِي غَيْرِ هَذِهِ السَّاعَةِ أَفْضَلُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah bersabda: “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim)
Maksud رَمِضَتْ الْفِصَالُ (anak onta sudah kepanasan) adalah matahari sudah panas sampai memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling utama. (Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: 1/85-86)
Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari)." (Syarah Shahih Muslim li an-Nawawi, hadits no. 1237)
Syaikh Mubarakfuuri mengatakan, "Dan hadits tersebut memberi faidah untuk mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang." ( Bulughul maram dg ta'liqnya Ithaful Kiram: hal. 112)
Pendapat Zaid bin Arqam dalam haidts Muslim di atas bukan merupakan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi Zaid bin Arqam ini adalah lebih menekankan agar orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas. Wallahu Ta'ala a'lam.
Beberpa pendapat para ulama tentang shalat Isyraq adalah shalat Dhuha itu sendiri:
Fatwa Syaikh Utsaimin
Pertanyaan: Shalat Isyraq, apakah itu shalat Dhuha, itu dikerjakan di rumah atau di masjid?
Jawaban: "Shalat Isyraq" adalah shalat yang dikerjakan sesudah matahari meninggi satu tombak. Ukuran jam, sekitar seperempat jam (15 menit) setelah terbit matahari. Inilah yang disebut shalat Isyraq, ia itu Shalat Dhuha juga. Karena shalat Dhuha itu sejak matahari meninggi satu tombak sampai menjelang zawal. Shalat Dhuha dikerjakan di akhir waktunya itu lebih utama daripada di awalnya.
Ringkasnya, dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha. Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. (Majmu' Fatawa wa Rasail, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin: Jilid ke 14, Bab: Shalat Thathawwu'.
. . dua rakaat Dhuha adalah dua rakaat Isyraq, tapi dua rakaat itu dikerjakan di awal waktu, yakni setelah matahari naik satu tombak, maka itu disebut Shalat Isyraq dan Shalat Dhuha.
Dan jika diakhirkan sampai akhir waktu, maka disebut Shalat Dhuha, bukan Shalat Isyraq. . .
Fatwa Syaikh Ibnu Bazz
Pertanyaan: Apakah Shalat Isyraq adalah Shalat Dhuha, dan berapa jumlah rakaat shalat Dhuha yang paling utama?
Jawaban: Ya, Shalat Isyraq adalah shalat Dhuha. Waktu dimulainya adalah shalat Isyraq dan waktu akhirnya menjelang matahari dipertengahan, (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. Yang paling utama, shalat Dhuha dikerjakan saat anak onta kepanasan, yakni saat matahari sudah menyengat, inilah yang paling utama. Apabila mengerjakannya di awal waktu, saat matahari meninggi satu tombak di masjid atau di rumah, keduanya adalah baik. Dan jika menambahnya dengan shalat empat rakaat, enam rakaat, delapan rakaat, atau lebih, maka semuanya adalah baik. (Sumber: www.binbaz.org.sa)
. . . (shalat) di antara terbitnya matahari yang meninggi satu tombak sampai waktu ini, semuanya disebut Shalat Dhuha. . .
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah al-Rajihi
Pertanyaan: Apakah mengerjakan shalat Isyraq sudah mencukupi shalat Dhuha?
Jawaban: Shalat Isyraq itu adalah Shalat Dhuha. Penafsirannya dengan isyraq adalah dikerjakan setelah terbitnya matahari. (Waktu) Shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak, sekitar 15 atau 20 menit setelah terbit matahari sampai menjelang Dzuhur. Semua ini waktu shalat Dhuha. Tetapi paling utamanya, saat anak onta sudah kepanasan (panas matahari sudah menyengat), itulah shalat awwabin sebagaimana yang diterangkan dalam hadits lain,
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
“Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.” (HR. Muslim, Ahmad, dan al-Darimi) Tarmidhu, maknanya: (anak onta) berdiri karena kepanasan. Ini terjadi kira-kira pukul 10 dan sekitarnya. Inilah yang paling utama. Saat terasa panasnya siang, maka inilah (waktunya_red) yang paling utama. Ringkasnya, shalat Dhuha dimulai sejak naiknya matahari setinggi satu tombak sampai menjelang Dzuhur. Jika ia duduk di masjid sampai matahari terbit dan meninggi lalu shalat dua rakaat, maka ini adalah shalat Dhuha, itulah shalat Isyraq. Sebagian orang menamakannya shalat Isyraq, ia itu adalah shalat Dhuha, ia adalah shalat dhuha. Ya!. (Sumber: islamway.com).
Muhammad
bin Umar bin Salim Bazmul, yang dikutip dari situs Manhaj.or.id, berpendapat
bahwa Shalat Isyraq adalah bagian dari
shalat Dhuha. Jika dikerjakan sesudah matahari terbit, atau di awal waktu Dhuha,
disebut shalat Isyraq. Jika dikerjakan di akhir waktunya, disebut shalat Dhuha,
itulah waktu pelaksanaan Shalat Dhuha terbaik, dan disebut sebagai Shalat
Awwabin (shalatnya orang-orang yang banyak kembali kepada Allah, banyak taubat,
banyak menjalankan ketaatan.
Bahwa
Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, di mana waktu shalat Dhuha itu
dimulai dari terbitnya matahari.
Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas ra.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas ra.
Dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan : “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku”.
Lalu
Ummu Hani berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke
rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta
dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta
dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara
diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan
ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang
saat itu adalah waktu Dhuha, berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama,
yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya”.
Kemudian
Ibnu Abbas keluar seraya berkata : “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku
tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.
Firman-Nya, yang artinya ,” .. Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Qs. Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata : “Itulah shalat Isyraq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim [1]
Dan di dalam sebuah riwayat disebutkan, yang artinya “ : Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah, lalu dia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit …” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani] [2]
Semoga bermanfaat
Firman-Nya, yang artinya ,” .. Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Qs. Shaad : 18]
Dan aku pernah bertanya : “Mana shalat Isyraq ?” Dan setelah itu dia berkata : “Itulah shalat Isyraq” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabari di dalam Tafsirnya dan Al-Hakim [1]
Dan di dalam sebuah riwayat disebutkan, yang artinya “ : Barangsiapa mengerjakan shalat Shubuh berjama’ah, lalu dia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit …” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani] [2]
Semoga bermanfaat
Wallaahu Ta'ala A'lam.
sumber kutipan : Ustadz Badrul Tamam, voa-islam.com
, Manhaj.or.id , Bughyatul Mutathawwi Fii Shalaatit Tathawwu,
Edisi Indonesia Meneladani Shalat-Shalat Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Penulis Muhammad bin Umar bin Salim Bazmul, Penerbit Pustaka Imam
Asy-Syafi’i]
Catatan
[1]. Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.
Pertama :
Dari Mus’ar bin Abdul Karim, dari Musa bin Abi Katsir, dari Ibnu Abbas .. yang senada dengannya. Di dalam sanadnya ini terdapat inqitha : Musa bin Abi Katsir tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas. Lihat kitab At-Taqriib hal. 553, dimana dia menempatkannya di tingkatan ke enam, dan mereka itu adalah orang-orang yang tidak ditetapkan pertemuan mereka dengan salah seorang sahabat, sebagaimana yang ditegaskan di dalam mukadimah.
Kedua.
Dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Abul Mutawakkil, dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Di dalam sanadnya terdapat Sa’id, seorang muadllis lagi telah mengalami pencampuran (ikhtilath). Abul Mutawakkil adalah Al-Mutawakkil. Biografinya ada di dalam Al-Jarh wat Ta’diil (VIII/372, di mana padanya tidak disebutkan jarh dan ta’dil. Dan biografinya ada di dalam kitab, Ta’jiilul Manfa’ah hal. 391, dan telah ditetapkan tentang kemuliaannya. Dan ketetapan tersebut dinukil dari Abu Hatim. Tetapi tidak demikian di dalam kitabnya. Bisa jadi terjadi kekeliruan pandangan ada biografi berikut di dalam kitabnya, Al-Jarh wat Ta’diil. Wallahu a’lam.
Ayyub memiliki biografi di dalam kitab, Al-Jarh wa Ta’diil II/250, dan tidak disebutkan jarh dan ta’dil pada dirinya.
Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (tha/53), melalui jalan Sa’id bin Abi Arubah,dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Dapat saya katakan, di dalam sanadnya terdapat Sa’id dan Ayyub, dan tidak disebutkan nama Al-Mutawakkil. Dan ini merupakan bentuk takhlith (percampur adukan) yang dilakukan oleh Sa’id.
Dengan kedua sanad di atas, atsar ini naik ke tingkat hasan lighairihi. Ketetapan tersebut semakin kuat oleh beberapa syahd berikut ini.
[1]. Atsar hasan lighairihi. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya XXIII/138 –al-Fikr dari dua jalan.
Pertama :
Dari Mus’ar bin Abdul Karim, dari Musa bin Abi Katsir, dari Ibnu Abbas .. yang senada dengannya. Di dalam sanadnya ini terdapat inqitha : Musa bin Abi Katsir tidak pernah mendengar dari Ibnu Abbas. Lihat kitab At-Taqriib hal. 553, dimana dia menempatkannya di tingkatan ke enam, dan mereka itu adalah orang-orang yang tidak ditetapkan pertemuan mereka dengan salah seorang sahabat, sebagaimana yang ditegaskan di dalam mukadimah.
Kedua.
Dari Sa’id bin Abi Arubah, dari Abul Mutawakkil, dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bin Naufal bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Di dalam sanadnya terdapat Sa’id, seorang muadllis lagi telah mengalami pencampuran (ikhtilath). Abul Mutawakkil adalah Al-Mutawakkil. Biografinya ada di dalam Al-Jarh wat Ta’diil (VIII/372, di mana padanya tidak disebutkan jarh dan ta’dil. Dan biografinya ada di dalam kitab, Ta’jiilul Manfa’ah hal. 391, dan telah ditetapkan tentang kemuliaannya. Dan ketetapan tersebut dinukil dari Abu Hatim. Tetapi tidak demikian di dalam kitabnya. Bisa jadi terjadi kekeliruan pandangan ada biografi berikut di dalam kitabnya, Al-Jarh wat Ta’diil. Wallahu a’lam.
Ayyub memiliki biografi di dalam kitab, Al-Jarh wa Ta’diil II/250, dan tidak disebutkan jarh dan ta’dil pada dirinya.
Juga diriwayatkan oleh Al-Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak (tha/53), melalui jalan Sa’id bin Abi Arubah,dari Ayyub bin Shafwan, dari Abdullah bin Al-Harits bahwa Ibnu Abbas … dan seterusnya.
Dapat saya katakan, di dalam sanadnya terdapat Sa’id dan Ayyub, dan tidak disebutkan nama Al-Mutawakkil. Dan ini merupakan bentuk takhlith (percampur adukan) yang dilakukan oleh Sa’id.
Dengan kedua sanad di atas, atsar ini naik ke tingkat hasan lighairihi. Ketetapan tersebut semakin kuat oleh beberapa syahd berikut ini.
a)
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam kitab
Al-Mushannaf III/79, dari Ma’mar, dari Atha Al-Khurasani, dia bercerita, Ibnu
Abbas pernah berkata : “Di dalam diriku masih terus dihinggapi sedikit keraguan
sehingga aku membaca.
“Artinya : Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dapat saya katakan, ini adalah sanda hasan kepada Atha, hanya saja riwayat Atha dari para sahabat itu bersifat mursal munqathi [Tahdziibut Tahdziib VII/212]
“Artinya : Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi” [Shaad : 18]
Dapat saya katakan, ini adalah sanda hasan kepada Atha, hanya saja riwayat Atha dari para sahabat itu bersifat mursal munqathi [Tahdziibut Tahdziib VII/212]
b) Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani di dalam kitab Al-Mu’jamul Kabiir XXIV/406. Juga di dalam kitab
Al-Ausath VI/63-64-Majma’ul Bahrain melalui jalan Abu Bakar Al-Hadzali dari
Atha bin Abi Rabah, dari Ibnu Abbas dia bercerita : “Aku pernah diperintahkan
melalui ayat ini, tetapi aku tidak mengerti apa itu Al-Asyiyyi wal Al-Isyraaq,
sehingga Ummu Hani binti Abi Thalib memberitahuku bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah masuk menemuinya, lalu minta dibawakan air di dalam
mengkuk besar, seakan-akan aku melihat bekas adonan di dalamnya, lalu beliau
berwudhu’, untuk selanjutnya beliau berdiri dan mengerjakan shalat Dhuha. Kemudian
beliau berkata : “Wahai Ummu Hani, ini adalah shalat Isyraq”
Dapat saya katakana Abu baker Al-Hadzali adalah seorang
yang haditsnya matruk, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab At-Taqriib,
hal. 625. Dan perafa’annya adalah munkar. Dan yang benar adalah mauquf.
[c]. Dan disana terdapat beberapa syahid lainnya yang disebutkan oleh
As-Suyuthi di dalam kitab, Ad-Durrul Mantsuur, VII/150-151. Dan lihat juga,
Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah II/407-408
[2]. Hadits hasan. Yang takhrijnya akan diberikan pada pembahasan
selanjutnya tentang shalat Dhuha
1 komentar:
terimakasih atas artikelnya. saya jadi mulai paham dengan apa yang saya kerjakan...
by www.tafshare.com
Posting Komentar