Allah melaknat pelaku rekayasa (at-tahayul) .
Allah telah mengatur manusia melalui RasulNya dgn syari'at yg mulia .
Demikian pula dlm bermu'amalah, bhw yg halal dan yg haram sudah jelas. Namun karena suatu alasan, sering kita mengabaikan masalah tsb. Bahkan sengaja
mencari celah utk bikin rekayasa, trik
atau tipu daya hal-hal yg telah jelas agar menjadi samar, shg akan nampak
spt halal (boleh). Dalam tindakan seperti ini dikatakan melakukan al hilah الحيلة.
Sungguh, Allah melaknat thd orang spt itu
dan mengancam mereka dgn siksa dunia dan akhirat. Perlu kecerdasan memang untuk
dpt memperdaya suatu aturan , shg
mendapatkan label halal (boleh) dlm
bermu'amalah atau kegiatan pekerjaan yg lain. Misalnya tugas bekerja dikantor , absen masuk kerja pk.
07.30. tetapi direkayasa dgn absen sebelum itu, lalu main entah kemana dan baru
masuk kantor lagi melaksanakan pekerjaan diatas pk.08.00 dan masih banyak
contoh rekayasa yg lainnya.
Sebelum kita masuk ke bahasan, kita ulas dulu
tentang asal kata at tahyul. At tahayul berasal dari kata ‘hailah’ dengan
bentuk fi’ilnya dari hala yahulu berasal dari kata ‘hawl’ yang berarti berubah
sikap dari satu sikap ke sikap yang lain. Kata ‘hailah’ berarti terbina dari ‘ajwaf
wawi, asal katanya ‘hiulah’ dengan munyukun huruf wawu dan mengkasrah huruf
sebelumnya (ha), lalu wawu diganti dengan ‘ya’ seperti dalam kata ‘mizan’, ‘miqat’
dan ‘mi’ad’.
Ibn Sayyidah berkata bahwa kata hawl. Hail dan
tahayyul semuanya menunjukkan taktik dan keunggulan pikiran serta kekuatan
dalam bertindak. Dikatakannya juga bahwa, kata hawl, hail dan hailat adalah
bentuk plural dari kata hailah. Jadi frase rajulun haul, haulah, haul, hawali,
laulul, hauliy artinya adalah sangat merekayasa. (Lisan al-‘Arab I-759).
Jadi , hailah adalah beralih dari satu sikap
ke sikap perbuatan yang lain. Setiap orang yang mengubah sesuatu yang hendak ia
keerjakan atau untuk membebaskan diri dari suatu ketetapan, maka tindakan
perubahan tersebut dinamakan hailah. Kata ‘hailan’ umumnya lebin sering
digunakan untuk menunjukkan pemahaman tentang suatu strategi tertutup
(tertentu) untuk mencapai suatu tujuan, dan hall itu membutuhkan sesuatu yang
berkaitan dengan kecerdasan dan atau kejeniusan.
Definisi lain
Secara bahasa, kata al hilah الحيلة) ), sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari, mempunyai arti, segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut) [. Fat-hul Bari (12/326). Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.].
Secara bahasa, kata al hilah الحيلة) ), sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari, mempunyai arti, segala cara yang mengantarkan kepada tujuan dengan cara yang tersembunyi (lembut) [. Fat-hul Bari (12/326). Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah.].
Adapun
secara istilah, al hilah adalah, melakukan suatu amalan yang zhahirnya boleh
untuk membatalkan hukum syar'i serta memalingkannya kepada hukum yang lainnya.[
Al Muwafaqat (4/201), asy Syatibi. Lihat kitab Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah
al Islamiyah.]
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata,"Sesungguhnya kata umum al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram, sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi." (Al Fatawa al Kubra (3/223).
Ibnu Qudamah berkata,"Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…". (Al Mughni (4/179). Lihat Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah )
Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah berkata,"Sesungguhnya kata umum al hilah, bila diarahkan menurut pemahaman ulama fiqih mengandung arti tipu daya atau cara yang dipakai untuk menghalalkan hal-hal yang haram, sebagaimana tipu dayanya orang-orang Yahudi." (Al Fatawa al Kubra (3/223).
Ibnu Qudamah berkata,"Yaitu dengan menampakkan transaksi yang mubah, sebagai tipu daya dalam melakukan hal yang diharamkan atau jalan yang mengantarkan kepada sesuatu yang telah Allah haramkan…". (Al Mughni (4/179). Lihat Qawa'idul Qasa-il fisy-Syari'ah al Islamiyah )
Al hilah, atau melakukan rekayasa, tipu daya
dalam perkara yang haram, atau yang mengarah kepada sesuatu yang haram, adalah
haram. Kaidah fiqih yang berlaku adalah, "setiap wasilah dihukumi dengan
maksud atau tujuan yang terkandung di dalamnya". Oleh karena itu,
seseorang yang berniat menghalalkan yang telah Allah haramkan, maka hukum
sesuatu tersebut tetap haram, walaupun ia memolesnya dengan banyak tipu daya,
membuat rekayasa.
Menurut Dr Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar
dalam Al-Ikhlash ; Fa’budullaha Mukhlishan lahu ad-Din, dikatakan bahwa
pengerlian ‘hailah’ ada tiga kategori :
1.
Hailah yang haram, yaitu rekayasa yang menggugurkan
kewajiban, menghalalkan keharaman, membalik sesuatu yang dizalimi menjadi zalim
atau sebaliknya, membalik kebenaran menjadi kebatilan atau sebaliknya. Para
ulama sepakat untuk mengecam para pelaku ini.
2.
Hailah yang termasuk ibadah dan ketaatan, yaitu rekayasa
yang digunakan untukmelaksanakan perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya
menyelamatkan diri dari keharaman, memurnikan kebenaran dari kezaliman yang
menghalanginya dan membebaskan orang yang dizalimi dari orang zaliom. Hailah
ini terpuji dan pelakunya mendapat pahala.
3.
Hailah yang mubah dan diperbolehkan. Melakukan hailah
semacam ini lebih dianjurkan daripada meninggalkannya atau sebaliknya menurut
kadar pertimbangan kemaslahatan.
Asy-Syatibi mendefinisikan hailan yang
pertama (hailah yang haram), bahwa rekayasa dengan cara yang diperbolehkan dan
diyariatkan secara nyata atau tidak diperbolehkan untuk menggugurkan hukum atau
mengubah hukum menjadi lain, dimana hukum tersebut tidak bisa gugur dan tidak
bisa berubah kecuali dengan tindakan rekayasa tersebut.
Dalam situasi ini seseorang berupaya dengan
rekayasa itu untuk mencapai tujuan meski mengetahui bahwa cara tersebut tidak disyariatkan. Ketika seseorang berupaya menggugurkan suatu
kewajiban atas dirinya, atau memperbolehkan suatu keharaman dengan cara
rekayasa hingga kewajiban terbut berubah menjadi tidak wajib secara lahiriah,
atau keharaman tersebut diupayakan menjadi halal secara lahiriah, maka rekayasa
semacam itu dinamakan hailah atau tahayul (Muwafaqat II-280).
Tahayul atau rekayasa ini kadangkala
dilakukan seseorang untuk meng-orientasikan tujuan dan niatnya untuk bisa
menghindari suatu kejiban ibadan atau kewajiban tugas dengan berbagai macam
tipuan dan khayalan. Sepintas kelihatan
masuk akan dan memenuhi kpersyaratan , namun dalam hatinya ia bermaksud
melarikan diri dan menggugurkan kewajiban ibadan dengan alasan sebenarnya
karena malas, igin santai, kikir pengorbanan atau kikir harta ataupun juga
karena menuruti hawa nafsu.
Dalam kaitannya dengan ibadah shalat
misalnya, para ulama membuat suatu contoh diantaranya, ketika tiba waktu shalat
dan ia sedang berada di rumah , segera ia minum khamar yang bisa menghilangkan
kesadarannya, atau segera melakukan perjalanan. Semua itu dilakukan agar
sebagian atau keseluruhan shalatnya gugur digantikan shalat dengan duduk,
dengan qashar dst.
Contoh lainnya , ketika masuk bulan ramadhan,
segera ia melakukan safar agar boleh makan dan tidak berpuasa. Dalam kaitannya
dengan masalah zakat , maka ia merekayasa dengan menghibahkan hartanya, atau
merusaknya, atau menjual hartanya sebelum genap setahun (hawul) dst.
Allah juga mengisahkan bagaimana culasnya
suatu kaum dalam merekayasa perintah Allah. Allah melaknat kaum yahudi yang dengan
merekayasa menangkap ikan pada hari sabat dengan alasan-alasan yang dibuat-buat.
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya, “ Kami
kutuk sereka sebagimana Kami mengutuki orang-orang yang berbuat maksiat pada
hari sabtu dan ketetapan Allah pasti berlaku”, (Qs. An-Nisa ‘ : 47).
Sebagaimana firman-Nya , yang artinya, “ Dan
sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari
sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka ; ”jadilah kamu kera yang hina””,( Qs.
Al-Baqarah : 47).
Sebagaimana Allah mengisahkan dalam surah
Al-A’raf , yang artinya, “ Dan tanyakanlah kepada bani israil tentang negeri
yang terletak didekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari sabtu, di
waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung
dipermukaan air, dan hari-hari bukan sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada
mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.
Dan (ingatlah) ketika suatu umat diantara
merak brkata ,’ mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan
mereka atau mengazab dengan azab yang sangat keras?’
Mereka menjawab ,’agar kami mempunyai alasan
(pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu dan supaya mereka bertaqwa’.
Maka taktal mereka melupakan apa yang
diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari
perbuatan jahat dan Kmi timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang
keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.
Maka taktala mereka berbuat sombong terhadap
apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina”, (Qs. Al-A’raf :
163 -166).
Ibn Katsir dalam Al-Binayah wa an-Nihayah II,
meriwayatkan dari Ibn Abbas dan para muffasir besar lainnya, bahwa penduduk
kota itu melakukan rekayasa untuk menangkap ikan pada hari sabtu. Mereka
memasang tambang, jaring, kail, menggali lubang perangkap ikan sehingga
mengalirkan air ke tempat yang telah dipersiapkan. Ketika ikan-ikan masuk maka
tidak bisa keluar. Mereka melakukan itu pada hari jum’at. Sehingga saat ikan
banyak berdatangan di hari sabtu, maka ikan-ikan itu mudah masuk ke jebakan perangkap
mereka.
Pada hari sabtu, mereka diwajibkan untuk
beribadah di rumah-rumah (tempat) ibadah dan dilarang melakukan aktivitas
pekerjaan dst.
Ketika hari sabtu telah berlalu, mereka segera
menangkap ikan–ikan yang sudah terperangkap hari sabtu.
Allah murka dan melaknat mereka karena telah
merekayasa perintah-Nya. Mereka melanggar larangan Allah dengan tipuan yang
kelihatannya masuk akal. Padahal sebenarnya dalam pikiran orang-orang itu ,
adalah menentang peritah-Nya.
Rasulullah tegas memperingatkan kita agar
tidak melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh kaum yahudi itu. Beliau
bersabda, yang artinya, “ Kalian jangan melakukan perbuatan yang telah
dilakukan kaum yahudi. Mereka menghalalkan larangan Allah dengan rekayasa
sederhana”, (diriwayatkan oleh Al-Hafidh ibn Baththah. Ibn Qayyim berkata
Tirmidzi menshahihkan hadits ini dengan sejenisnya , Ighatsah al-Lahfan I-348).
Dikisah lain, Allah juga telah mengharamkan
lemak kepada kaum yahudi. Dan mereka menganggap yang haram itu hanya
mengkonsumsi lemak cair, dan hanya lemak keras saja yang haram sedang yang cair
tidak. Lantas mereka mencairkan lemak itu lalu menjualnya dan memakan hasil
penjualannya. Mereka mengelak hukum dengan berkata kami tidak mengkonsumsi
lemak.
Sehingga Rasulullah pernah bersabda, yang
artinya,” Semoga Allah memerangi kaum yahudi. Allah mengharamkan lemak atas
mereka. Lalu mereka mencairkannya lantas menjualnya ,” (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam perkara muamalah , banyak dijumpai
praktek-praktek yang menggunakan tipu
daya atau rekayasa. Baik yang telah jelas keharamannya berdasarkan dalil-dalil
dari nash, maupun dari masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi. Namun
jika diperhatikan, masalah-masalah yang berkembang atau baru tersebut, akan
didapatkan masalah yang baru tersebut tidak jauh dari permasalahan lama yang
bersumber dari nash-nash ataupun kaidah yang telah ada.
Para ulama, seperti Ibnul Qayyim [I'lamul
Muwaqi'in], atau sebagian ulama lainnya banyak memberikan contoh mengenai mu'amalah yang
menggunakan praktek hilah atau tipu daya ini.
Saudaraku , kita menyadari, bahwa kehidupan ini
tidak lepas dari kewajiban untuk selalu
beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, kewajiban manusia adalah mengikuti
ketentuan yang telah disyari'atkan Allah. Sehingga kita akan mendapatkan
ketenangan dan ketentraman, disebabkan ketakwaan dan keimanan yang selalu
terjaga.
Masih adanya kesusahan dan perasaan berat menjalankan syari'at Allah, seorang hamba tidak seharusnya melampiaskannya dengan melakukan tipu daya, melakukan rekayasa untuk merubah hukum Allah. Yang haram tetaplah haram, meskipun diupayakan dengan berbagai cara, ia tetap tidak berubah hukumnya. Bahkan, jika seorang hamba sengaja memperindah dosa dengan sedikit polesan ketaatan dalam menghalalkan yang diharamkanNya dan mengharamkan yang dilarangNya, niscaya kemurkaan Allah semakin besar. Maka, dengan bersabar dan selalu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Masih adanya kesusahan dan perasaan berat menjalankan syari'at Allah, seorang hamba tidak seharusnya melampiaskannya dengan melakukan tipu daya, melakukan rekayasa untuk merubah hukum Allah. Yang haram tetaplah haram, meskipun diupayakan dengan berbagai cara, ia tetap tidak berubah hukumnya. Bahkan, jika seorang hamba sengaja memperindah dosa dengan sedikit polesan ketaatan dalam menghalalkan yang diharamkanNya dan mengharamkan yang dilarangNya, niscaya kemurkaan Allah semakin besar. Maka, dengan bersabar dan selalu bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan kemudahan.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Itulah
perintah Allah yang diturunkanNya kepada kamu, dan barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan
melipat gandakan pahala baginya". [Qs. ath Thalaq : 5].
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” "Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". [Qs. Yusuf : 90].
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [Qs. ath Thalaq : 2].
Semoga kita diberi hidayah dan petunjuk serta kesanggupan untuk terus membenahi segala amal perbuatan kita.
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” "Sesungguhnya barangsiapa yang bertakwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik". [Qs. Yusuf : 90].
Sebagaimana Allah berfirman, yang artinya ,” Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar". [Qs. ath Thalaq : 2].
Semoga kita diberi hidayah dan petunjuk serta kesanggupan untuk terus membenahi segala amal perbuatan kita.
Wallahu a'lam bish-Shawab.
Sumber : Dr Umar Sulaiman Abdullah (al-Asyqar dalam
Al-Ikhlash ; Fa’budullaha Mukhlishan lahu ad-Din), Manhaj.or.id, Ustadz Muhammad Asim Musthofa, majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun X/1427H/2006M
dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar