Rasulullah bersabda,
yg artinya ,” Sehingga salah seorang diantara mereka, merasa sangat bergembira
dgn bala (musibah) yg menimpanya, seperti gembiranya salah seorang diantara
kalian ketika mendapatkan kemewahan (kelapangan) , “ (Hr Ibn Majah).1. Penyakit
(bala’) itu merupakan nikmat dari Allah Subhanhu wa Ta’ala , shg orang-orang
shaleh terdahulu bergembira ketika mereka ditimpa suatu penyakit (bala’)
seperti gembiranya salah seorang diantara kita ketika mendapatkan kemewahan
(kelapangan). Allah menimpakan kepadanya cobaan berupa bala’ (penyakit) agar
seorang hamba bisa merasakan manfaat dari penyakit yg dideritanya dan
mendapatkan keuntungan yg tidak akan pernah dia dapatkan tanpa menderita sakit
tsb.
Saudaraku, sungguh Allah tidak butuh menyiksa hamba-Nya dan Dia tidak membutuhkan apapun yg dapat menyebabkan hamba-Nya menderita. Namun hikmah Allah dan Rahmat-Nya kpd hamba-Nya lah yg mengharuskan adanya bala’ (penyakit). Segala puji hanya milik Allah dgn seluruh rahmat yg telah Dia berikan.
Saudaraku, sungguh Allah tidak butuh menyiksa hamba-Nya dan Dia tidak membutuhkan apapun yg dapat menyebabkan hamba-Nya menderita. Namun hikmah Allah dan Rahmat-Nya kpd hamba-Nya lah yg mengharuskan adanya bala’ (penyakit). Segala puji hanya milik Allah dgn seluruh rahmat yg telah Dia berikan.
Salah satu faedah dari suatu penyakit dan musibah adalah bahwa penyakit itu dapat meyadarkan seorang hamba untuk kembali dari jalan kesesatan ke jalan Rabb-nya yang lurus. Dan juga sebagai penginta bahwa dirinya telah melalaikan Rabb-nya.
Faedah selanjutnya adalah bahwa penyakit dapat menjadi penyelamat seoranghamba dari siksa api neraka, sebagaimana sabda Rasulullah , yang artinya ,” Beritakanlah kabar gembira, sesungguhnya Allah Azza wa Jalla pernah berfirman, “ Penyakit itu adalah api-Ku yang aku timpakan kepada hamba-Ku yang mukmin di dunia ini agar ia dapat selamat dari api neraka pada akhir nanti “ , (Hr Ahmad dan Hakim). 2.
Penyakit (bala’ atau musibah) dapat mengantarkan seseorang menuju surge. Seseorang itu tidak memperoleh ganjaran berupa surga kecuali setelah ia mendapatkan ujian yang dibenci oleh jiwanya. Yang dimaksud dengan sesuatu yang dibenci adalah segala sesuatu yang dibenci oleh jiwa dan jiwa merasa terbelenggu olehnya. Sebagaimana sabda Rasulullah, yang artinya ,” Surga itu dikelilingi (dipenuhi) oleh berbagai hal yang dibenci dan neraka itu dikelilingi oleh berbagai syahwat (kesenangan hawa nafsu) ,” (Hr Bukhari Muslim).
Termasuk dalam
pengertian diatas adalah kesungguhan atau pengorbanan jiwa dalam melaksanakan
berbagai ketaatan dan pengorbanan menjauhi berbagai perbuatan maksiat, sabar
ketika musibah menimpa dan berserah diri terhadap ketentuan Allah.
Dari Muhammad bin Khalid as-Sulami , dari ayahnya, dari kakeknya , bahwa ia adalah sahabat Rasulullah, ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya seorang hamba itu jika ditetapkan oleh Allah suatu kedudukan baginya , ia tidak akan dapat mencapainya (kedudukan itu) dengan amal perbuatannya. Allah akan memberikan ujian pada tubuh, harta atau anak keturunannya, kemudian ia bersabar terhadap ujian tersebut hingga ia mencapai kedudukan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya itu, “ (Hr Abu Dawud).3.
Ibnu Qayyim dalam Thariq Al-Hijrataini, menyatakan bahwa seandainya manusia mengetahui bahwa nikmat Allah yang ada didalam bala’ itu tidak lain seperti halnya nikmat Allah yang ada dalam kesenangan , niscaya hati dan lisannya akan selalu sibuk untuk mensyukurinya.
Dalam ‘Uddatu ash-Shabirin, bahwa Wahab bin Munbih menyatakan bahwa tidaklah seorang itu dikatakan sebagai ahli fiqh yang sempurna sehingga ia memahami bahwa cobaan adalah nikmat dan kesenangan adalah musbah. Hal itu karena setiap orang yang ditimpa bala pada hakikatnya sedang menantikan kesenangan dan setiap orang yang senang pada hakikatnya sedang menantikan musibah.
Saudaraku, ingatlah bahwa para Rasul dan Nabi serta orang-orang shaleh adalah makhluk yang paling dicintai Allah, maka cobaan bagi mereka pun melebihi cobaan yang ditimpakan kepada orang-orang selain mereka.
Dari Muhammad bin Khalid as-Sulami , dari ayahnya, dari kakeknya , bahwa ia adalah sahabat Rasulullah, ia berkata, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, yang artinya ,” Sesungguhnya seorang hamba itu jika ditetapkan oleh Allah suatu kedudukan baginya , ia tidak akan dapat mencapainya (kedudukan itu) dengan amal perbuatannya. Allah akan memberikan ujian pada tubuh, harta atau anak keturunannya, kemudian ia bersabar terhadap ujian tersebut hingga ia mencapai kedudukan yang telah ditetapkan oleh Allah baginya itu, “ (Hr Abu Dawud).3.
Ibnu Qayyim dalam Thariq Al-Hijrataini, menyatakan bahwa seandainya manusia mengetahui bahwa nikmat Allah yang ada didalam bala’ itu tidak lain seperti halnya nikmat Allah yang ada dalam kesenangan , niscaya hati dan lisannya akan selalu sibuk untuk mensyukurinya.
Dalam ‘Uddatu ash-Shabirin, bahwa Wahab bin Munbih menyatakan bahwa tidaklah seorang itu dikatakan sebagai ahli fiqh yang sempurna sehingga ia memahami bahwa cobaan adalah nikmat dan kesenangan adalah musbah. Hal itu karena setiap orang yang ditimpa bala pada hakikatnya sedang menantikan kesenangan dan setiap orang yang senang pada hakikatnya sedang menantikan musibah.
Saudaraku, ingatlah bahwa para Rasul dan Nabi serta orang-orang shaleh adalah makhluk yang paling dicintai Allah, maka cobaan bagi mereka pun melebihi cobaan yang ditimpakan kepada orang-orang selain mereka.
Diriwayatkan , bahwa
kKhalifah Umar r.a ketika mendapat musibah dia bersyukur karena yakin setiap musibah selalu diiringi oleh 3
hal , yaitu penghapusan dosa , mendapatkan ganti yang lebih baik dan pahala
besar. Bahkan ia berkata bahwa, Tidaklah aku diuji dengan sebuah musibah melainkan di dalamnya kutemukan
sebuah kenikmatan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala,yaitu karena musibah tersebut
tidak menimpa agamaku,tidak lebih besar dari apa yang terjadi, aku ridha dengan
musibah itu,dan aku dapat mengharapkan pahala dari-Nya,"
dalam Riyadh Ash-Shalihin, Imam An-Nawawi , menyebutkan 4 tingkatan manusia dalam
menghadapi musibah, yaitu :
1.
Marah dan tidak bersabar. Maka baginya dosa yang besar.
2.
Bersabar ,
sehingga iia telah selamat dari dosa dan mendapatkan pahala karena
kesabarannya
3.
Ridha , dari musibah yang
menimpanya , maka ia mendapatkan
pahala tambahan yang jauh lebih besar lagi.
4.
Syukur, inilah tingkatan tertinggi dalam menghadapi musibah.
Saudaraku , sungguh benar bahwa sabar atas musibah adalah tanda kemuliaan dan kebaikan
seorang hamba. Namu selalu ada kebaikan di atas kebaikan. Itulah strata .
Seorang yang mendapat jabatan, umumnya orang menganggap itu nikmat, tapi bagi sebagian
orang itu adalah ujian berat, hingga butuh kesabaran yang kuat. Seorang
gubernur di Basrah di masa Umar r.a tercatat sebagai kaum miskin yang
bahkan wajib menerima zakat, suatu ketika berteriak ketakutan ketika khalifah
mengirimkan setumpuk dinar, "telah datang kepadaku fitnah dunia!"
kemudia ia sumbangkan seluruh dinar untuk rakyatnya. Begitulah sabar atas
nikmat.
Sebenarnya, dalam nikmat itu berjuta ujian: apakah
nikmat itu benar-benar digunakan untuk-Nya, apakah kita telah sadar bahwa
rezeki itu dari-Nya, apakah kita justru berbangga dengan nikmat titipan-Nya?
Dan pertanyaan intinya: apakah kita siap mempertanggungjawabkan nikmat yang telah
Allah beri?
Bahkan seorang shalih setingkat Abu Bakr r.a saja , pun masih berkata "Duhai,
andaikan saja aku adalah rumput, yang kemudian dimakan oleh binatang
ternak"
Sebaliknya, bersyukur atas nikmat adalah suatu kebaikan. Tetapi selalu ada kebaikan di atas
kebaikan. Bukankah lebih tinggi nilainya ketika seorang yang tertimpa
musibah justru ia bersyukur? Imam Al-Ghazali, berkata bahwa tidak mungkin seorang
bersabar jika ia tidak bersyukur, dan tidak mungkin seorang bersyukur kecuali
ia bersabar.
Allahu a’lam
Sumber : Abdullah bin ali al-Juaitsin, hikmah bagi orang sakit, dll
Sumber : Abdullah bin ali al-Juaitsin, hikmah bagi orang sakit, dll
Catatan:
- Dikeluarkan Ibn Majah (2/1334-1335), Ahmad dengan lafazhnya (4024), Hakim (4/307) dengan lafazh yang sama seperti Ahmad dari hadits abi Sa’id.
- Dtakhrij oleh ahmad (4/440) , Ibn Majah (2/1149, 3470) dan Hakim (1/345), menurutnya hadits ini isnadnya shahih. Adz-Dzahabi dan al-albani sepakat sengan pendapat tersebut sebagaimana dalam Ash Shahihah (557).
- Ditakhrij oleh Abu Dawud (3/370, 3090) dengan lafazh seperti itu, oleh Ahmad (5/272) dengan lafazh serupa dan Thabrani dalam Al-Kabir (22/318,801) dengan lafazh sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar