Saudaraku, pemberian kpd sesama adalah perbuatan terpuji dan
dianjurkan . Namun akan lain , jika
pemberian tsb bertujuan selain mengharapkan ridha Allah. Tujuan lain yg
dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dgn seberapa jauh dampak dan
kerusakan yg ditimbulkan dari pemberian tsb. Hadiah bisa menjadi
Risywah yg menurut bahasa berarti: “pemberian yang diberikan kepada seseorang
agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul Arab, dan mu’jam wasith). Atau “pemberian yg bertujuan membatalkan yang
benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yg salah.” (At-Ta’rifat/aljurjani
148).Seringkali ada pihak mempermainkan istilah syariat, sehingga
sesuatu yg haram dianggapnya halal. Begitu pula dengan suap. Diistilahkan sbg
bonus,fee dsb. Maka, yg utama bagi kita mengetahui bentuk pemberian
tsb dan hukum tentang permasalahan
itu.
Asal
risywah adalah rasya' yang bermakna tali
timba yang berfungsi mengantarkan timba sehingga bisa sampai ke air. Sedangkan
secara istilah, risywah adalah
pemberian yang diberikan kepada seseorang supaya yang benar menjadi salah dan
yang salah menjadi benar. Jadi makna risywah secara istilah lebih sempit
dibandingkan makna risywah secara bahasa. Dapat dipahami bahwa suatu pemberian berstatus risywah ketika tujuannya adalah membuat yang
benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar.
Dalam
kamus Besar Bahasa Indonesia: Korupsi adalah penyelewengan dan penggelapan
harta negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain . Dalam Islam, ada beberapa istilah yang terkait
dengan mengambil harta tanpa hak, misalnya; ghasb, ikhtilas, sariqoh, hirobah,
ghulul dll. Semuanya mengandung makna yang berbeda, tetapi semua istilah itu
bermuara pada pengambilan harta dengan cara yang tidak benar. Dan biasanya
Untuk memuluskan tindakan korupsi disertai dengan risywah. Oleh karena itu
banyak orang yang mengidentikan korupsi dengan risywah.
Dalam UU tindak
pidana korupsi pasal 5 ayat (1) terdapat kemiripan antara korupsi dan suap,
dimana korupsi didefinisikan dengan : "memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara,
dimana pegawai negeri atau penyelengara negara tersebut supaya berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya"
Kalau kita melihat di lapangan, setidaknya sudah ada beberapa isntitusi di negeri ini yang dipelopori instansi KPK sudah mulai melangkahkan kaki untuk memberantas praktek-praktek tidak terpuji diatas . Katakanlah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang menggulirkan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yang diharapkan dapat meredam tindakkan yang tidak terpuji itu. Salah satu nilai yang pertama ditanamkan adalah Integritas, dengan berpikir, berkata , berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memeagang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Adapun salah satu cabang pengertian itu ditekankan dalam perilaku bertindak jujur, tulus dan dapat dipercaya.
Setiap pegawai atau dalam jabatan apapun juga dituntut untuk betindak jujur dan dapat dipercaya. Dapat dipercaya masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani. Mereka sudah dibayar negara dengan uang pajak rakyat, dan sudah menjadi kewajiban untuk melayani dengan jujur, tulus dan dapat dipercaya bahwa mereka tidak melakukan tindakan korupsi dalam segala bentuk cabangnya.
Dilarang mereka menerima dalam bentuk apapun pemberian yang berkaitan dengan kedudukan atau pekerjaan mereka, karena inilah jalan paling rentan yang sangat menggiurkan. Setiap pemberian kepada pegawai harus diwaspadai.
Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi tiga pola bagian.
Kalau kita melihat di lapangan, setidaknya sudah ada beberapa isntitusi di negeri ini yang dipelopori instansi KPK sudah mulai melangkahkan kaki untuk memberantas praktek-praktek tidak terpuji diatas . Katakanlah Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang menggulirkan Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yang diharapkan dapat meredam tindakkan yang tidak terpuji itu. Salah satu nilai yang pertama ditanamkan adalah Integritas, dengan berpikir, berkata , berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memeagang teguh kode etik dan prinsip-prinsip moral. Adapun salah satu cabang pengertian itu ditekankan dalam perilaku bertindak jujur, tulus dan dapat dipercaya.
Setiap pegawai atau dalam jabatan apapun juga dituntut untuk betindak jujur dan dapat dipercaya. Dapat dipercaya masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani. Mereka sudah dibayar negara dengan uang pajak rakyat, dan sudah menjadi kewajiban untuk melayani dengan jujur, tulus dan dapat dipercaya bahwa mereka tidak melakukan tindakan korupsi dalam segala bentuk cabangnya.
Dilarang mereka menerima dalam bentuk apapun pemberian yang berkaitan dengan kedudukan atau pekerjaan mereka, karena inilah jalan paling rentan yang sangat menggiurkan. Setiap pemberian kepada pegawai harus diwaspadai.
Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi tiga pola bagian.
1.
Pemberian Yang Diharamkan
Memberi. Maupun Mengambilnya.
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan utk sesuatu yg batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yg memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai , atau memang sudah menjadi SOP pegawai tsb.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yg seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dsb.
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan utk sesuatu yg batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yg memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai , atau memang sudah menjadi SOP pegawai tsb.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yg seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dsb.
2.
Pemberian Yang Terlarang
Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai ybs yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai (pejabat), yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dgn maksud) untuk menghentikan sebuah kezaliman atau menagih haknya yg wajib, maka hadiah ini haram bagi yg mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kpd beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kpd mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.”(Majmu’ Fatawa, 31/286. Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261)
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai ybs yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai (pejabat), yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dgn maksud) untuk menghentikan sebuah kezaliman atau menagih haknya yg wajib, maka hadiah ini haram bagi yg mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kpd beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kpd mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.”(Majmu’ Fatawa, 31/286. Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261)
3.
Pemberian yang
Diperbolehkan, bahkan Dianjurkan memberi dan mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Dalam beberapa permasalahan, yg hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang bagi pegawai sebaiknya tidak menerima hadiah tsb, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari dosa dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian haram.
1.
Hadiah seseorang yg tidak
mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat,
ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya.
Dan pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang
menjabat.
2. Hadiah orang yg tidak
biasa memberi hadiah kpd seorang pegawai yg tidak berlaku persaksiannya,
seperti Qadi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tsb tidak ada hubungannya dgn
usahanya.
3.
Hadiah yg telah mendapat
izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.
4.
Hadiah atasan kepada
bawahannya.
5.
Hadiah setelah ia
meninggalkan jabatannya, dsb.
Hadiah dan Ghulul
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu
lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari ‘Adi bin Amirah ra , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.
Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,”
Dari ‘Adi bin Amirah ra , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.
Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,”
beliau bersabda,
“Apa gerangan?”
ia berkata, “Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan
begini,”
Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ”Saya tegaskan
kembali. Barangsiapa yg kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah
ia membawa semuanya, yg kecil maupun yg besar. Apa yg diberikan
kepadanya, ia ambil. Dan apa yg dilarang mengambilnya, ia tidak
mengambilnya.”[HR Muslim, no. 1833]
Saat
ini makin beragam bentuk risywah ,
seperti pemberian yang diberikan kepada seseorang dengan tujuan investasi jasa,
baik materi atau pelayanan, pemberian
yang diberikan kepada seseorang dari dana yang bukan miliknya, seperti dana
Anggaran Negara dll.
Bagaimana ttg pemberian dilihat dari sisi orang yang diberi ?
a.
Penguasa
Ibnu
Hubaib berkata, “Para ulama sepakat mengharamkan memberikan hadiah kepada
penguasa, hakim, pejabat dan pegawai penarik retribusi.” (al-Qurtubi
2/340). Hal ini juga pernah dikatakan oleh Umar bin Abdul Aziz ketika beliau
menolak hadiah yang diberikan kepadanya, karena pemberian yang diberikan kepada
beliau lantaran karena pangkat jabatannya .
Sebagaimana
hadits Rasulullah SAW, yg artinya “Hadiah
kepada pejabat adalah penyelewengan.” (HR Ahmad)
b.
Pejabat negara
hadiah
yang diberikan kepada pejabat hukumnya sama dengan hadiah yang diberikan kepada
penguasa, sebagaimana penjelasan yang disampaikan oleh Ibnu Hubaib, hal itu
diperkuat dengan sabda Rasulullah dalam hadits Ibnul Utbiyah
عَنْ أَبِي
حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِي اللَّه عَنْهم قَالَ اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأَزْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ
الْأُتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا
أُهْدِيَ لِي قَالَ فَهَلَّا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ
فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ
مِنْهُ شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى
رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ
شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ بِيَدِهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَةَ إِبْطَيْهِ
اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ ثَلَاثًا
Dari
Abi Humaid As Sa’idi RA berkata Nabi SAW mempekerjakan seseorang dari suku Azdy
namanya Ibnu Alutbiyyah untuk mengurusi zakat, tatkala ia datang berkata
[kepada Rasulullah] ini untuk Anda dan ini dihadiahkan untuk saya, bersabda
beliau : kenapa dia tidak duduk di rumah ayahnya atau ibunya, lantas melihat
apakah ia diberi hadiah atau tidak, Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya tidaklah
seseorang mengambilnya darinya sesuatupun kecuali ia datang pada hari kiamat
dengan memikulnya di lehernya, kalau unta atau sapi atau kambing semua bersuara
dengan suaranya kemudian beliau mengangkat tangannya sampai kelihatan putih
ketiaknya lantas bersabda : Ya Allah, tidaklah telah aku sampaikan?
(HR Bukhari)
Dan
sabda Rasulullah SAW :
هدايا
الأمراء غلول ”
“Hadiah
yang diberikan kepada para penguasa adalah ghulul”
(HR. Ahmad 5/424)
Ghulul,
secara bahasa berarti khianat dan secara istilah mengambil sesuatu dari
rampasan perang sebelum dibagi atau khianat pada harta rampasan perang. Berkata
Nawawi, ghulul arti asalnya adalah khianat, tetapi penggunaannya secara dominan
dipakai pada khianat dalam ghanimah. Dan yang biasa berkhianat atas harta itu
adalah para penguasa dan pejabat.
c.
Hakim
Pemberian
yang diberikan kepada hakim adalah harta haram menurut kesepakatan para ulama,
karena termasuk SUHT (yaitu yang haram yang tidak boleh di konsumsi maupun
digunakan sebagai investasi).
d.
Mufti
Haram
bagi seorang mufti menerima suap untuk memberikan fatwa atau putusan hukum
sesuai yang diinginkan mustafti (yang meminta fatwa). (ar-Raudhah 11/111, Asnaa
al-Mutahalib 4/284) Ibnu Arfah berkata, “sebagian ulama mutaakhkhirin
mengatakan : ‘hadiah yang diberikan kepada seorang mufti jika tidak berpengaruh
kepada semangat mufti tersebut, baik ada hadiah atau tidak ada tetap semangat
maka boleh diambil, dan jika mufti tersebut tidak semangat kecuali dengan
hadiah maka tidak boleh diambilnya, ini jika tidak berkaitan dengan masalah
yang dipertikaikan. Tapi sebaiknya seorang mufti tidak menerima hadiah dari
mustafti, karena itu bisa menjadi risywah kata Ibnu Aisyun.
e.
Guru
Jika
pemberian itu diberikan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang karena ilmu
dan keshalihannya maka boleh diterima, tapi jika diberikan agar memberikan
tugas dan kewajiban yang sudah menjadi tanggung jawabnya maka sebaiknya tidak
diambilnya.
f.
Saksi
Haram
bagi seorang saksi menerima pemberian (risywah) apabila ia menerimanya maka
gugurlah keadilan yang menjadi syarat sah kesaksiannya. (al-Muhadzaab 2/330,
al-Mughni 9/40 dan 160).
Sanksi
bagi pelaku risywah
Risywah
adalah sebuah pelanggaran yang jelas pelakunya harus dikenai sanksi, baik
ar-rasyi sebagai pemberi maupun al-murtasyi sebagai penerima pemberian.
Dan
dikarenakan tidak adanya nash khusus tentang sanksi yang harus diberikan baik
bentuk maupun ukurannya, maka sanksi risywah berbentuk ta’zir yang bentuk dan
macamnya diserahkan kepada hakim. Risywah hukumnya tetap haram walaupun
menggunakan istilah hadiah, hibah atau tanda terima kasih dll. Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada hadits Ibnul Lutbiyah.
Oleh
karena itu setiap perolehan apa saja di luar gaji dan dana resmi/legal yang
terkait dengan jabatan/pekerjaan merupakan harta “ghulul” (korupsi) dan
hukumnya tidak halal. Meskipun hal itu atas nama ‘hadiah’ dan ‘tanda terima
kasih’ akan tetapi dalam konteks dan perspektif syari’at Islam bukan merupakan
hadiah tetapi dikategorikan sebagai ‘risywah’ (suap) atau ‘syibhu risywah’
(semi suap) atau ‘risywah masturoh’ (suap terselubung), ‘risywah musytabihah’
(suap yang tidak jelas) ataupun ‘ghulul’ dsb.
Segala
sesuatu yg dihasilkan dengan cara yg tidak halal seperti risywah maka harus
dikembalikan kepada pemiliknya jika pemiliknya diketahui, dan kepada ahli
warisnya jika pemiliknya sudah meninggal, dan jika pemiliknya tidak diketahui
maka harus diserahkan ke baitulmal sebagaimana penjelasan yg terdapat dalam
hadits Ibnul lutbiah, atau digunakan untuk kepentingan umat.
Sebagaimana
oleh syekhul Islam Ibnu Taimiyah terkait dengan orang yang bertaubat setelah
mengambil harta orang lain secara tidak benar: ”jika pemiliknya diketahui maka
harus dikembalikan kepada pemiliknya, dan jika tidak diketahui maka diserahkan
untuk kepentingan umat ” (Kasysyaful Qina’ 6/317)
Semoga bermanfaat
Wallahu a’lam bish shawab.
sumber : As-Sunnah Edisi 05/Tahun X , DR. Surahman Hidayat , http://www.dakwatuna.com, Al Hawil Kabir, Subulussalam, Shan’ani, 1/216, Kamus Besar Bahasa Indenesia, 0, dan Mukhtarush Shihah dan Qamus Muhith, 4/336, Aqrabul Masalik, 5/341,342, Az Zawajir, Haitsami 1/131, al Baghawi, Syarhussunnah,, UU anti korupsi , dll.
sumber : As-Sunnah Edisi 05/Tahun X , DR. Surahman Hidayat , http://www.dakwatuna.com, Al Hawil Kabir, Subulussalam, Shan’ani, 1/216, Kamus Besar Bahasa Indenesia, 0, dan Mukhtarush Shihah dan Qamus Muhith, 4/336, Aqrabul Masalik, 5/341,342, Az Zawajir, Haitsami 1/131, al Baghawi, Syarhussunnah,, UU anti korupsi , dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar