Saudaraku , syariat mendorong naluri manusia
untuk berusaha, hal ini tidak saling bertentangan dan tidak boleh
dipertentangkan. Imam Mawardi (Al Hawil Kabir), mengelompokkan bidang usaha manusia dalam tiga bidang
pokok : pertanian, perdagangan, dan industri . Dewasa ini, ulama
memasukkan bidang SDM (kepegawaian ) sebagai satu unsur dalam usaha. Mencari rizki menjadi
pegawai adalah sesuatu yg halal. Namun ,tak jarang pegawai
menghadapi hal-hal yg haram atau makruh dalam pekerjaan. Munculnya suap, sogok atau
pemberian uang diluar gaji yg tidak halal diterima. Diantara
sebab turunnya keberkahan Allah bagi kehidupan adalah sikap dan
perilaku takwa, sebaliknya perbuatan maksiat dan dosa kpd Allah merupakan
penghalang turunnya rahmat dan keberkahan Allah SWT,
firman-Nya:
Dan
jika pendudukan negeri beriman dan bertakwa, niscaya akan Kami bukakan untuk
mereka pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi (QS. Al-A’raf: 199).
Masalah risywah juga sangat rentan terjadi dalam
keiatan SDM diseluruh sektor usaha . Risywah menurut bahasa berarti : “pemberian
yang diberikan kepada seseorang agar mendapatkan kepentingan tertentu” (lisanul
arab, dan al-mu’jam al-wasith).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti : “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat, aljurjani 148).
Sedangkan menurut istilah risywah berarti : “pemberian yang bertujuan membatalkan yang benar atau untuk menguatkan dan memenangkan yang salah.” (At-Ta’rifat, aljurjani 148).
Ada banyak sebutan untuk pemberian sesuatu
kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee
dan sebagainya. Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai,
yaitu gaji, uang suap, hadiah dan bonus . (Subulussalam,
Shan’ani, 1/216).
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. [Kamus Besar Bahasa Indenesia, Mukhtarush Shihah, 244 dan Qamus Muhith, 4/336]
Sedangkan Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”.[Aqrabul Masalik, 5/341,342]
Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [Kamus Besar Bahasa Indenesia,]
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. [Kamus Besar Bahasa Indenesia, Mukhtarush Shihah, 244 dan Qamus Muhith, 4/336]
Sedangkan Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”.[Aqrabul Masalik, 5/341,342]
Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [Kamus Besar Bahasa Indenesia,]
Berdasarkan
beberapa definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa suatu tindakan termasuk
atau dinamakan risywah jika memenuhi unsur-unsur berikut:
a. Adanya
athiyyah (pemberian)
b. Ada
niat Istimalah (menarik simpati orang lain)
c. Bertujuan:
- Ibtholul haq (membatalkan yang haq), atau
- Ihqaqul bathil (merealisasikan kebathilan), atau
- al mahsubiyah bighoiri haq (mencari keberpihakan yg tidak dibenarkan), atau
- al hushul alal manafi’ (mendapatkan kepentingan yg bukan menjadi haknya), atau
- al hukmu lahu (memenangkan perkaranya)
Suap, sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَاتَأْكُلُواأَمْوَالَكُمبَيْنَكُمبِالْبَاطِلِوَتُدْلُوابِهَاإِلَىالْحُكَّامِلِتَأْكُلُوافَرِيقًامِّنْأَمْوَالِالنَّاسِبِالْإِثْمِوَأَنتُمْتَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[Qs. Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”.[6 Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88 ]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَهَلْعَسَيْتُمْإِنتَوَلَّيْتُمْأَنتُفْسِدُوافِيالْأَرْضِوَتُقَطِّعُواأَرْحَامَكُمْأُولَٰئِكَالَّذِينَلَعَنَهُمُاللَّهُفَأَصَمَّهُمْوَأَعْمَىٰأَبْصَارَهُمْ
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.”[7 Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208.
Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya ,” Mereka itu adalah
orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [Qs. Al-Maidah
: 42]
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qadi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”.[Al Mughni, 11/437]
Dari Ibnu Umar ra , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya ber-campur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, Shan’ani rahimahullah.
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qadi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”.[Al Mughni, 11/437]
Dari Ibnu Umar ra , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya ber-campur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnul Atsir, Shan’ani rahimahullah.
Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat, sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang remeh.
Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]
Dari Abu Hurairah ra, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,”Sanadnya shahih”]
Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.
Imam Hanafi membagi risywah dalam 4 bagian:
a. Memberikan sesuatu untuk mendapatkan pangkat/jabatan hukumnya
adalah haram, baik bagi penyuap maupun bagi penerima.
b. Memberikan sesuatu kepada hakim agar bisa memenangkan
perkara, hukumnya haram bagi penyuap dan yang disuap, walaupun keputusan
tersebut benar, karena hal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya.
c.
Memberikan sesuatu agar
mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan penguasa dengan tujuan mencegah
kemudharatan dan meraih kemaslahatan, hukumnya haram bagi yang disuap saja.
Al-Hasan mengomentari sabda Nabi yang berbunyi, ”Rasulullah melaknat orang yang
menyuap dan yang disuap”, dengan berkata, ”jika ditujukan untuk membenarkan
yang salah dan menyalahkan yang benar. Adapun jika untuk melindungi hartamu,
tidak apa-apa” Yunus juga meriwayatkan bahwa al-Hasan berkata:”tidak apa-apa
seseorang memberikan hartanya selama untuk melindungi kehormatannya”. Abu Laits
As-Samarqandi berkata, ”Tidak apa-apa melindungi jiwa dan harta dengan suap.
d. Memberikan sesuatu kepada seseorang yg tidak bertugas di
pengadilan atau di instansi tertentu agar bisa menolongnya dalam mendapatkan
haknya di pengadilan dan instansi tsb, maka hukumnya halal bagi keduanya
(pemberi dan penerima) sebagai upah atas tenaga dan potensi yg dikeluarkannya.
Namun dalam point huruf
d ini , Ibnu Mas’ud dan Masruq memasukkan pemberian tersebut (d) juga termasuk suap yang dilarang, karena orang
tersebut memang harus membantunya agar tidak terzhalimi.
Sebagaimana Firman Allah SWT yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan
(mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan
ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu)
kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram,
mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertaqwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
amat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Maidah:
2)
Hamba beriman perlu cermat dalam mengetahui perbedaan ini,
maka ia akan dapat membedakan jalan yang hendak ditempuh, halal ataukah haram. Beberapa
ahli mendefiniskan perbedaan tersebut, di antaranya :
1. Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia
termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian
yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang
muslim.
2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai
dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara
tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal
yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan
kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk
membalas budi.[12 Ar-Ruh, Ibnul Qayyim,
1/240 ]
4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun
berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati.
Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5. Suap biasanya diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah
diberikan setelahnya. [ kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal
27-29. ]
Bersambung ........
Allahu a’lam
sumber: mausu’ah fiqhiyyah
,tafsih ayat ahkam lil Jash-shash, Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah
Wal Ifta, edisi Indonesia : Ahmad bin
Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Nama lengkap: DR.
Zainuddin, MA, majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M , dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar