Dalam suatu riwayat , diceritakan hamba-hamba yg dimuliakan Allah namun mereka seringkali justru tidak dikenal diakalangan kaumnya. Jika tidak hadir di lingkungan kaumnya maka tidak ada yang merasa kehilangan. Bahkan ketika hamba-hamba itu ada di hadapan kaumnya, mereka juga diabaikan saja. Namun subhanallah karena hamba-hamba tak dikenal itu maka rahmat Allah diturunkan. Hamba-hamba itu adalah orang-orang yg tersembunyi, mereka tidak dikenal bahkan nampak hina di bumi tapi dikenal di langit. Sebagaimana firman Allah , yang artinya "Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (Qs Al-A'raf : 55).
Dalam Shahibut Targhib wat Tarhib, Al-Mundziry yang ditahqiq Al-Albany , menceritakan suatu ketika Umar bin Khattab keluar dari masjid dan mendapati Mu’adz bin Jabal berada di sisi makam Rasulullah SAW sambil menangis.
Umar bertanya, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Muadz?”
Aku menangis karena (teringat) hadits yang aku dengar dari Rasulullah Shalallah ‘alaihi wa sallam. Aku mendengar beliau bersabda: “……Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan, yang bertakwa dan yang menyembunyikan amalnya, yang sekiranya mereka tidak ada mereka tidak dicari-cari, dan jika hadir maka mereka tidak dikenali. Hati mereka adalah pelita petunjuk. Mereka keluar dari setiap sudut yang gelap.”
Dari Muslim dalam Az-Zuhd , Rasulullah bersabda, yang artinya, “ Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya (mencukupkan apa adanya), dan yang beribadah secara khafi (sembunyi-sembunyi)" (HR Muslim )
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , yang artinya , " Shalat sunnahnya seseorang yang dikerjakan tanpa dilihat oleh manusia niainya sebanding dengan dua puluh lima shalat sunnahnya yang dilihat oleh mata-mata manusia” ((HR Abu Ya’la dalam musnadnya, dishahihkan oleh Albani dalam As-Shahihah pada penjelasan hadits no 3149)
Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi, Nabi juga bersabda, yang artinya : "Sebaik-baik dzikir adalah dzikir khafi (diam-diam/tersembunyi), dan sebaik-baik rezeki adalah yang memberikan kecukupan."
Dalam Shahihut-Targhib wat-Tarhib , sebuah riwayat yang di-tahqiq oleh Al-Albani , dimana Rasulullah bersabda , yang artinya , "Sesungguhnya sedekah secara sembunyi-sembunyi itu memadamkan kemarahan Rabb (Allah) Tabaraka wa Ta'ala."
Bisyr ibnul Harits mengatakan, “Janganlah engkau beramal untuk diingat. Sembunyikanlah kebaikan sebagaimana engkau menyembunyikan keburukan.
Dijaman sahabat , para salaf dalam amalan keseharaian diniatkan hanya untuk keridhaan Allah. Mereka menyadari pentingnya ikhlas , berjuang keras untuk menyembunyikan beragam amalnya itu, getaran hati yang mengarah pada sum’ah dan riya dihindari jauh-jauh. Amal salih adalah rahasia antara mereka dengan Allah, dan berusaha tak ada seorang pun yang mengetahuinya .
Karena ketersembunyian, ketertutupan dan kerahasiaan ini pulalah, sehingga para salik (pejalan Ilahi) sering disebut sebagai al-akhfiya (orang-orang tersembunyi).
Sebagaimana firman Allah, yang artinya "Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus." (Qs. Al-Bayyinah: 5).
Saudaraku, dalam surat Al-A’raf diatas , disebutkan Kata "suara yang lembut" sebagai terjemahan dari kata "khufyah". Dalam arti bahasa harfiyah bermakna "tidak tampak" atau "tersembunyi".
Imam Qurthubi menulis dalam Al-Jami' li Ahkamil-Qur'an: makna 'khufyah' adalah (berdoa) secara sembunyi dalam nafs (jiwa/hati), agar terhindar dari sifat riya.
Seperti yang pernah dilakukan Nabi Zakariya dan orang-orang salih , para pejalan Ilahi pun seringkali menjalani laku spiritualnya dengan cara sembunyi-sembunyi. Beribadah dengan terang-terangan memang tidak dilarang, karena banyak ayat dan hadis pun membolehkannya bahkan menganjurkannya.
Do’a yang sering dipanjatkan sahabat Umar ibn Khaththab ra adalah , “Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amal yang shalih, Ikhlas karena mengharap Wajah-Mu, dan janganlah jadikan di dalam amalku bagian untuk siapapun.”
Walid bin Sa'id Bahkum , dalam kitabnya Al-Akhfiya-al-Manhaj was-Suluk , menyatakan bahwa orang-orang yang beribadah secara sembunyi-sembunyi sebagai al-akhfiya, dimana orang-orang ini yang mengetahui bahwa salah satu syarat diterimanya amal adalah al-ikhlas lilllah.
Banyak riwayat yang menyebutkan kaum al-akhfiya , sebagai orang yang merahasiakan berbagai macam amal kebajikannya dari pandangan manusia, karena mereka takut dihinggapi sifat riya, sum'ah, dan 'uzub (arogan).
Abu Hamzah Ats-Tsumali berkata, "Sedekah pada malam yang pekat memadamkan kemurkaan Allah."
Badiuzzaman Said Nursi, dalam Risalah an-Nur, menyatakan bahwa ‘Karena di dalam keikhlasan terdapat banyak kekuatan dan cahaya... kami tentu saja memaksa siapa pun untuk bekerja dengan segenap kekuatan untuk mencapai keikhlasan. Kita perlu menanamkan keikhlasan di dalam diri kita.
Jika tidak, apa yang kita capai selama ini dalam amal yang tersembunyi akan hilang sebagian dan tak akan kokoh; dan kita akan bertanggung jawab.’
Saudaraku , kita harus selalu waspada bahwa riya’ dan sum'ah dapat merusak keikhlasan. Karena itulah, secara berkala, kitaharus memeriksa niat dan membisikkan setiap kata, melakukan setiap tindakan murni hanya untuk menggapai ridha Allah.
‘Uqbah bin ‘Abdul Ghofir mengatakan, “Do’a yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama 70 kali dari do’a secara terang-terangan. Jika seseorang melakukan amalan kebaikan secara terang-terangan dan melakukannya secara sembunyi-sembunyi semisal itu pula, maka Allah pun akan mengatakan pada malaikat-Nya, “Ini baru benar-benar hamba-Ku.”
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan bahwa Abu Hazim berkata, “Sembunyikanlah amalan kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amalan kejelekanmu.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Sebaik-baik ilmu dan amal adalah sesuatu yang tidak ditampakkan di hadapan manusia.”
Banyak riwayat yang menyebutkan kaum al-akhfiya , sebagai orang yang merahasiakan berbagai macam amal kebajikannya dari pandangan manusia, karena mereka takut dihinggapi sifat riya, sum'ah, dan 'uzub (arogan).
Abu Hamzah Ats-Tsumali meriwayatkan bahwa Ali bin Husain memanggul karung berisi roti di atas pundaknya pada malam hari, yang dibagi-bagikannya kepada orang-orang miskin dalam kegelapan.
Dalam sejarah dikenal peristiwa Shahibun Naqab, pada masa khalifah Umayyah yang menceritakan seorang prajurit dipasukan Maslamah bin Abdul Malik. Maslamah bin Abdul Malik bersama pasukannya suatu ketika mengepung salah satu benteng romawi. Pengepungan sekian lama tanpa hasil, maka Maslamah berseru: “Siapa yang berani menerobos pintu, maka jika dia mati dia akan mendapatka surga insyaAllah. Jika dia selamat, maka tanah yang ada di balik pintu itu akan jadi miliknya….”
Tiba-tiba ada seorang prajurit yang memakai cadar, minta dilemparkan ke dalam benteng, sehingga dengan keberaniannya pintu benteng dapat dibuka dari dalam. Selama tiga hari Maslamah meminta orang yang memakai cadar untuk menemuinya namun ternyata tidak datang juga. Akhirnya Maslamah bersumpah memohon agar siapa yang memakai cadar kemarin untuk menemuinya.
Barulah pada tengah malam datang seseorang yang mengenakan cadar diam-diam menemuinya dan dia berkata: “Aku meminta tiga syarat, engkau tidak boleh mengumumkan namanya, engkau tidak boleh memberi imbalan apapun padanya dan engkau tidak boleh menganggapnya orang yang istimewa…”
“Aku terima “, kata Maslamah.
Akhirnya orang tersebut melepas cadarnya. Dan sesuai perjanjian maka Maslamah tidak pernah menceritakan identitas orang itu kepada siapapun. Dan setiap kali Maslamah berdo’a , ia berkata: ” Ya Allah himpunkan aku bersama orang yang bercadar. Himpunkan aku bersama orang yang bercadar…”
Seorang tabi’in Ayyub As-Sikhtiyany mengatakan, ”Sungguh demi Allah! Seorang hamba belum benar-benar jujur menghamba kecuali bila ia telah merasa gembira saat tidak ada seorang makhluk pun mengetahui di mana ia berada”.
Kisah seorang tabi’in bernama Muhammad bin Wasi’ pernah bertutur, ”Ada orang yang selama dua puluh tahun lamanya sering menangis (karena Allah) namun selama itu pula tidak sekali pun istrinya mengetahui tangisannya”.
Muhammad bin Sirin berkata, ”Jadilah orang yang menyukai status khumul dan membenci popularitas. Namun jangan engkau tampakkan bahwa engkau menyukai status rendah itu sehingga menjadi tinggi hati. Sesungguhnya mengklaim diri sendiri sebagai orang zuhud, justru mengeluarkan dirimu dari kezuhudan. Karena dengan cara itu, kamu menarik pujian dan sanjungan untuk dirimu”. Khumul dalam perkataan beliau adalah status tersembunyi dan tidak dikenal. Bukan berarti sikap malas. (Al Qamus Al Muhith, Khamula).
Mereka menutup nutupi keadaan mereka yang mulia sehingga tidak terlihat dihadapan manusia. Mereka bergaul bersama manusia menurut tingkatan akal mereka, tidak berbicara di luar kemampuan pemahaman orang lain sehingga orang yang diajak berbicara beranggapan bahwa mereka sama seperti yang lain padahal mereka tidaklah sepadan dengannya. Orang orang ini menunjukkan bahwa diri mereka masih berada di kedudukan taubat dan muhasabah, padahal mereka sudah berada pada tahap mahabbah dan ma’rifat.
Ibnul Jauzi, dalam Shaid al-Khathir, berkata, “Berapa banyak orang yang terlihat khusyuk agar dia disebut ahli ibadah. Berapa banyak orang yang diam agar disebut penakut. Berapa banyak orang yang meninggalkan dunia agar disebut orang zuhud. Tanda orang yang ikhlas ialah jika penampakan dirinya sama dengan disaat kesendiriannya. Boleh jadi ia memaksakan diri untuk tersenyum kepada manusia dan berpenampilan sederhana, agar dia mendapat sebutan zuhud.
Ibnu Sirin rahimahullah, seorang tabi’in , biasa tersenyum pada siang hari. Namun jika malam tiba, dia menangis seakan-akan telah membunuh penduduk satu kampung”.
Suatu kisah seorang tabi’in bernama Muhammad ibn al-Munkadir dalam suatu malam dimasa kemarau yg panjang. Sudah satu tahun kota Madinah tidak pernah mendapat curahan air hujan . Entah telah beberapa kali penduduk kota itu berkumpul untuk melakukan shalat istisqa’ demi meminta hujan. Namun hingga malam itu, tak setetes hujanpun yang turun menemui mereka.
Dan malam itu, seperti biasanya bila sepertiga akhir malam menjelang, Muhammad ibn al-Munkadir meninggalkan rumahnya dan bergegas menuju Masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usai mengerjakan sholatnya malam itu, ibn al-Munkadir bersandar di sisi tiang masjid. Ia melihat sebuah sosok bergerak tidak jauh dari tempatnya bersandar. Ia mencoba untuk mengetahui siapa sosok itu.Dengan agak susah payah ia melihat seorang pria berkulit hitam . Tapi ia sama sekali tidak mengenalnya. Pria itu membentangkan sebuah kain di lantai masjid itu dan pria itu sepertinya benar-benar merasa hanya ia sendiri dalam masjid. Ia tidak menyadari kehadiran Ibn al-Munkadir yang mengamatinya .
Orang hitam itu berdiri mengerjakan shalat dua raka’at. Lalu besimpuh , bermunajat. Dalam munajat itu, ia mengatakan, “Duhai Tuhanku, penduduk negeri Haram-Mu ini telah bermunajat dan memohon hujan pada-Mu namun Engkau tidak kunjung mengaruniakannya pada mereka. Duhai Tuhanku, sungguh aku mohon pada-Mu curahkanlah hujan itu untuk mereka.”
Ibn al-Munkadir yang mendengar munajat itu sedikit mencibir. “Dia pikir dirinya siapa mengatakan seperti itu,” gumamnya dalam hati. “Orang-orang shaleh seantero Madinah telah keluar untuk meminta hujan, namun tak kunjung dikabulkan… Lalu tiba-tiba, orang ini berdoa pula…??".
Namun sungguh di luar dugaan, belum lagi pria hitam itu menurunkan kedua tangannya, tiba-tiba saja suara guntur bergemuruh dari langit. Rintik air hujan menetes ke bumi. Sudah lama tidak begitu. Tak terkira betapa gembiranya pria itu. Segala pujian dan sanjungan ia ucapkan kepada Allah ta’ala. Namun tidak lama kemudian ia berkata dengan penuh ketawadhu’an, “Duhai Tuhanku, siapakah aku ini? Siapakah gerangan aku ini hingga Engkau berkenan mengabulkan doaku?”
Ibn al-Munkadir takjub melihat pria itu. Tak lama sesudah itu, pria tersebut bangkit kembali dan melanjutkan raka’at-raka’atnya. Hingga ketika saat subuh menjelang, sebelum kaum muslimin lainnya berdatangan, ia segera menyelesaikan witirnya. Ketika shalat subuh ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seolah-olah ia baru saja sampai di masjid itu.
Usai mengerjakan shalat subuh, pria itu bergegas keluar meninggalkan masjid. Jalan-jalan kota Madinah subuh itu digenangi air. Pria itu berjalan cepat sambil mengangkat kain bajunya. Menghilang.
Ibn al-Munkadir berusaha mengikutinya kehilangan jejak. Ia benar-benar tidak tahu kemana pria hitam itu pergi.
Malam berikutnya kembali merangkak semakin jauh. Malam ini, Muhammad ibn al-Munkadir kembali mendatangi Masjid Nabawi. Dan seperti malam kemarin, ia kembali melihat pria hitam itu. Persis seperti kemarin. Ia mengerjakan shalat malamnya hingga subuh menjelang. Dan ketika shalat ditegakkan, ia masuk ke dalam shaf seperti orang yang baru saja tiba di masjid itu. Ketika sang imam mengucapkan salam, pria itu tidak menunggu lama segera keluar dan pergi . Dan Ibn al-Munkadir mengikutinya dari belakang. Ia ingin tahu siapa sebenarnya pria itu.
Pria itu menuju ke sebuah lorong dan setibanya di sebuah rumah ia masuk ke dalamnya.
“Hmm, rupanya di situ pria ini tinggal. Baiklah sebentar aku akan mengunjunginya.”
Matahari telah naik sepenggalan. Usai menyelesaikan Dhuha-nya, Ibn al-Munkadir pun bergegas mendatangi rumah pria itu. Ternyata ia sedang sibuk mengerjakan sebuah sepatu. Begitu ia melihat Ibn al-Munkadir, ia segera mengenalinya. “Marhaban wahai Abu ‘Abdullah !
Adakah yang bisa kubantu? Mungkin engkau ingin memesan sebuah alas kaki?” ujar pria itu menyambut kedatangan Ibn al-Munkadir.
Namun Ibn al-Munkadir justru menanyakan hal yang lain. “Bukankah engkau yang bersamaku di masjid kemarin malam itu?”
Dan tanpa diduga, pria itu tampak sangat marah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Apa urusanmu dengan itu semua, wahai Ibn al-Munkadir??!”
“Tampaknya ia sangat marah. Aku harus segera pergi dari sini,” ujar Ibn al-Munkadir dalam hati.
Ia pun segera pamit meninggalkan rumah tukang sepatu itu.
Di malam ketiga sejak peristiwa itu. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu Ibn al-Munkadir berjalan menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu hal yang agak berbeda malam itu. Setibanya di masjid dan mengerjakan shalat seperti biasanya, ia bersandar sambil berharap pria itu kembali terlihat di depan matanya.
Namun pria yang ditunggu-tunggu tidak kunjung kelihatan. Ibn al-Munkadir tersadar. Ia telah melakukan kesalahan. “Innalillah ! Apakah yang telah kulakukan?”
Dan usai shalat subuh, ia segera meninggalkan masjid dan mendatangi rumah sang tukang sepatu. Namun, yang ditemukan hanyalah pintu rumah yang terbuka dan tidak ada lagi pria itu.
Penghuni rumah itu berkata,”Wahai Abu ‘Abdullah! Apa yang terjadi antara engkau dengannya?”
“Apa yang terjadi?” Tanya Ibn al-Munkadir
“Ketika engkau keluar dari sini kemarin itu, ia segera mengumpulkan semua barangnya hingga tidak satupun yg tersisa. Lalu pergi dan kami tidak tahu kemana ia pergi hingga kini,” jelas penghuni rumah itu.
Semenjak itu , orang hitam tek pernah terlihat di Madinah lagi. Dan sejak hari itu, Ibn al-Munkadir mengelilingi semua rumah yang ia ketahui di kota Madinah. Sungguh, tampak orang hitam itu tidak ingin amalan kebaikannya diketahui orang lain. Biaralah hanya ia dan Allah saja yang mengetahuinya.
Saudaraku, seorang mukhlis yang jujur senang menyembunyikan berbagai kebaikannya sebagaimana dia suka apabila keburukannya tidak terkuak.
Sebagaimana sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya , " Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah ta’ala dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. mereka adalah seorang pemimpin yang adil; seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah; seorang pria yang hatinya senantiasa terpaut dengan masjid; dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul dan berpisah di atas kecintaan kepada-Nya; seorang pria yang diajak (berbuat tidak senonoh) oleh seorang wanita yang cantik, namun pria tersebut mengatakan, “Sesungguhnya saya takut kepada Allah”; seorang pria yang bersedekah kemudian dia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu aa yang telah disedekahkan oleh tangan kanannya; seorang pria yang mengingat Allah dalam keadaan sunyi dan air matanya berlinang.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sungguh ada orang-orang mulia di sekitar kita, namun mereka seolah tak dikenal atau bisa jadi mereka sengaja menyembunyikan amalan kebaikannya . Hanya ridha Allah tujuan mereka. Dan mereka tersembunyi diantara kerumunan orang-orang yang membanggakan diri, orang-orang yang mencari popularitas , kedudukan dst.
Mereka memandang rendah amal kebaikan yang mereka lalukan . Di antara bencana yang dialami seorang hamba adalah ketika ia merasa ridha dengan amal kebaikan yang dilakukan, di mana hal ini dapat menyeretnya ke dalam perbuatan ujub (berbangga diri) yang menyebabkan rusaknya ikhlas.
Sa’id bin Jubair berkata, “Ada orang yang masuk surga karena perbuatan maksiat dan ada orang yang masuk neraka karena amal kebaikannya”.
Ditanyakan kepadanya “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”.
Beliau menjawab, “seseorang melakukan perbuatan maksiat, ia pun senantiasa takut terhadap adzab Allah akibat perbuatan maksiat tersebut, maka ia pun bertemu Allah dan Allah pun mengampuni dosanya karena rasa takutnya itu, sedangkan ada seseorang yang dia beramal kebaikan, ia pun senantiasa bangga terhadap amalnya tersebut, maka ia pun bertemu Allah dalam keadaan demikian, maka Allah pun memasukkannya ke dalam neraka.”
Wallahu a'lam.
sumber :
- Abdul Aziz bin Nashir Al Jalil , Aina Nahnu Min Akhlaq As Salaf.,
- Abdullah bin Abdurahman Al Bassam , Penjelasan Hukum dari Kitab Bulughul Maram,.
- Abul Miqdad Al Madany , Perindu-Perindu Malam,..d ari beberapa sumber bacaan ,
- Walid bin Sa’id Bahkam, ‘Al – Akhfiya; Orang orang yang gemar menyembunyikan amal shalih mereka’
- Sayyid bin Husain Al ‘Afaniy, Ta’thirul Anfas min Haditsil Ikhlas, ,
- Syaikh HAsyim Muhammad , Al-Minhaj fi al-Mafahin al-Islamiayah wad Da'wah ,
- Abul Miqdad al-Madany , Kerinduan Seorang Mujahid,
- dsb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar